"Dew, maaf. Maaf aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Aku, aku tidak bisa terus berada di bawah bayang-bayang keluarga kamu. Aku tidak bisa Dew."
Dewi hanya bisa menatap nanar ke arah Hendra, suaminya yang dia nikahi bahkan belum ada seumur jagung.
Dewi menikah sederhana dengan Hendra saat usianya 23 tahun, baru 3 bulan menjalani pernikahan tiba-tiba Hendra menjatuhkan talak padanya.
"Tapi Mas, sekarang aku~"
"Dew, aku sungguh tidak bisa lagi. Aku tidak sanggup lagi terus menerus diomong dibelakang. Di perusahaan orang-orang selalu bilang padaku bahwa betapa enaknya aku sebagai adik ipar sang bos besar. Betapa nyamannya pekerjaanku karena aku menantu dari pemilik JD Grup. Aku sungguh tertekan dengan semua itu Dew."
Belum selesai Dewi bicara, Hendra sudah memotongnya lebih dulu. Dan ya, Dewi akhirnya memilih diam.
Aneh, Dewi merasa aneh karena Hendra tiba-tiba bicara demikian. Ketika mereka mengenal dan berpacaran, lalu menikah, Hendra sudah tahu betul siapa Dewi. Nama lengkap Dewi adalah Raden Roro Dewi Bhuana Joyodiningrat. Dia memang masih keturunan darah biru. Dan Hendra tahu betul itu, karena tidak pernah Dewi menyembunyikan identitasnya.
Dia dua bersaudara. Kakak lelakinya memiliki jarak usia yang jauh dengannya. Namanya adalah Raden Rama Hadyan Joyodiningrat, usinya 34 tahun . Namun keluarga mereka tidak pernah melihat tentang bibit bebet bobot orang yang akan jadi menantu mereka.
Ketika Hendra yang hanya orang biasa melamar Dewi, Hardi ayah dari Dewi terbuka lebar tangannya. Sama halnya ketika mereka menerima Arsita Ayuningrum yang merupakan janda anak satu menjadi menantu pertamanya.
Maka dari itu Dewi merasa bingung, bagaimana Hendra tiba-tiba seperti ini.
"Kamu serius Mas mau berpisah sama aku?"
"Iya Dew, maaf."
Dewi menggelengkan kepalanya dengan erat. Yang dia tahu pernikahan ini bukan hanya permainan, tapi sepertinya tidak dengan Hendra. Menikah mungkin baginya sama seperti orang yang berpacaran, jika tidak cocok bisa putus begitu saja.
"Baiklah kalau gitu, ayo kita urus perceraian. Tapi aku tidak ingin Romo dan Ibu ku tahu. Cukup kita berdua saja yang tahu. Kamu juga harus resign dari JD Coal. Terserah kamu mau kerja dimana, aku tidak peduli. Yang penting jangan pernah berada di sekitar keluarga ku."
Meskipun heran dengan syarat yang disampaikan oleh Dewi, Hendra tetap setuju.
Padahal jika benar cuma itu alasan Hendra tentang tidak nyaman dengan omongan orang di perusahaan, Hendra bisa memilih resign saja dan menjalin kehidupan bersama dengan Dewi di tempat yang lain agar tidak lagi dihubung-hubungkan dengan keluarga Dewi. Bukan malah meminta cerai.
Entah apa yang terjadi pada pria itu, Dewi tetap tidak mengerti dan juga tidak bisa memahami.
Hanya butuh satu bulan mereka akhirnya resmi bercerai. Hendra pergi meninggalkan Jakarta, pun dengan Dewi. Dewi rasa dia tidak ingin membuat beban untuk keluarganya.
Dewi pergi juga dari Jakarta, bukan hanya Jakarta tapi Dewi juga meninggalkan pulau Jawa ini. Dia memilih hidup sendiri.
"Kita bisa ya nak, kita bisa berdua. Jadi anak yang nurut ya nak. Ibu mohon kerjasamanya."
Jeng jeng jeng
Dewi mengusap lembut perutnya yang masih datar. Ya dia hamil. Dia hamil sudah 10 minggu. Ketika Hendra memintanya untuk berpisah, saat itu dia ingin memberitahu tentang kehamilannya. Namun, Dewi urung melakukannya. Dia tidak mau memberitahu tentang kehamilannya itu.
Sudah cukup baginya dengan keputusan sepihak Hendra tanpa alasan yang jelas. Baginya kini hidup berdua dengan anak yang masih di dalam perut akan lebih bahagia.
"Romo, ibu, Mas Rama, Mbak Sita, aku pergi. Aku malu dengan keadaanku. Aku malu dengan gagalnya pernikahanku. Biarkan aku sendiri begini. Semoga kita masih bisa bertemu di lain waktu. Semoga kalian semua sehat."
Beberapa bulan berlalu
Di tempat lain, tepatnya di kediaman Joyodiningrat, Hardi bertanya kepada putra sulungnya tentang kabar adiknya.
"Lha, Rama juga ndak tahu, Romo. Dewi ndak ada ngasih kabar ke aku. Sayang, kamu di chat Dewi tidk?"
Sita menggelengkan kepalanya. Dia saat ini tengah sibuk menyuapi ketiga anak kembarnya dibantu oleh anak sulungnya.
"Njut kenapa adikmu itu yo Ram. Udah setengah tahun semenjak dia nikah, kok ndak ada kabar."
Ayu Tribuana, ibu dari Rama dan Dewi itu pun kebingungan. Dia dan suaminya juga tidak mendapat kabar dari sang bungsu. Ada perasaan tidak enak menyeruak dalam hati Ayu.
Ia paham betul anak bungsunya. Dewi adalah pribadi yang periang. Pribadi yang terbuka juga. Tapi setelah menikah Dewi seolah berubah. Dia lebih tertutup.
Memang benar jika sudah menikah urusan dapur tidak boleh ada yang tahu. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini Dewi tidak memberi kabar ataupun bersua dengan keluarganya.
"Yah, mau coba ku carikan?" bisik Kai. Kai Bhumi Abinawa, putra sambungnya yang sangat dia cintai itu berbisik kepada Rama. Kai saat ini berusia 10 tahun, dengan status lainnya itu, bocah yang mungkin biasa saja jelas bisa menemukan keberadaan sang bibi.
"Ndak usah, belum sampai segitunya kok. Nanti kalau sekiranya sudah ndak ada kabar sama sekali, baru dicari dengan cara mu. Thanks ya Nak untuk idenya."
Kai mengangguk paham. Ia pun kembali diam dan membantu sang ibu menyuapi ketiga adik kembarnya yang sedang usil-usilnya.
Rama sedikit merasa aneh. Hendra resign beberapa bulan yang lalu. Ketika ditanya alasannya, dia hanya ingin mencoba pekerjaan lain katanya. Tapi semenjak itu, dia juga tidak mendengar tentang kabar Dewi.
"Di telpon selalu sibuk. Di chat juga ndak pernah dibalas. Kenapa anak itu?"
Sebagai kakak, hubungan dia dan Dewi sangat baik. Terlebih setelah menikah dengan Sita. Dewi sering datang ke rumah dan berbincang dengan Sita.
Namun hal berbeda setelah Dewi menikah dengan Hendra. Adiknya itu seolah menarik diri dari kehidupan luar. Dewi juga menarik diri dari keluarga.
Drtzzzz
Suara handphone terdengar jelas. Semua melihat ke arah telepon tangan masing-masing. Dan tenyata yang berbunyi adalah handphone milik Sita.
Sita sedikit terkejut juga karena itu adalah panggilan dari Dewi.
"Assalamualaikum Dewi, bagaimana kabarnya? Ini Mbak sedang di rumah Romo dan Ibu. Mbak loudspeaker ya."
"Waalaikum salam, Dewi baik Mbak. Iya ndak apa-apa. Romo, Ibu, Mas Rama, jangan khawatir. Dewi baik-baik saja kok. Maaf ya kalau ndak memberi kabar. Soalnya Dewi sedikit sibuk hehehe. Tapi percayalah, Dewi sungguh baik-baik saja. nanti kalau Dewi sudah ada waktu, Dewi akan pulang ke rumah. Romo, Ibu, Dewi minta maaf ya kalau selalu buat Romo dan Ibu khawatir."
"Ndak Nduk, ndak apa-apa. Yang penting kamu, kalian sehat. Mau dimanapun kalian berada yang penting selalu sehat dan bahagia. Semoga Allah selalu melindungi kalian."
Meskipun di suara terdengar seolah baik-baik saja. Namun aslinya di seberang sana saat ini Dewi tengah menahan tangisnya. Ia mengusap perutnya yang semakin besar.
"Ya sudah kalau begitu. Dewi tutup dulu ya telponnya. Nanti Dewi hubungi lagi. Assalamualaikum."
Dewi langsung terisak ketika dia menutup panggilan telponnya. Rasanya hatinya sangat sakit. Jauh dari keluarga dan hidup sendiri memang tidak mudah. Beruntung dia masih memiliki tabungannya. Hardi, rupanya masih sangat rajin mengirim uang ke rekening Dewi meskipun sudah menikah. Pun degan sang kakak. Rama melakukan hal yang sama dengan Hardi. Jadi untuk masalah uang, Dewi sama sekali tidak bingung.
Hanya saja, hidup sendiri seperti ini memang belum pernah dialami oleh Dewi.
"Kuat ya nak, kita harus kuat."
TBC
Hallo, i'm come back hehhe. Kali ini mau angkat kisah adik Rama ya. Mbak Dewi si bungsu.
Kalau suka sila di baca kalau tidak suka sila di skip, oh iya kalau yang ga suka jangan kasih bintang 1/2 ya. Duuh nyesek kali Othor rasanya. Semoga teman-teman suka. Jangan lupa kasih rate, masukin favorit dan juga bacanya yang rutin ya biar lancar othor nulisnya.
Kalau ada yanga tanya siapa Dewi, dia adik Rama kisah Rama ada di judul "Anak Jenius Mom Sita."
Selamat membaca
"Bu, Ibu ... Alhamdulillah Bu akhirnya aku diterima. Aku diterima buat ambil koas di RSMH. Kita bisa pulang ke rumah eyang. Aku juga bisa ketemu sama Abang, Kakak, Mas dan Mbak."
Aisya Janya Falisha, gadis berusia 23 tahun itu sangat senang. Dia berlari dan berteriak saat masuk ke rumah. Sampai lupa mengucapkan salam.
Ketika lulus dari kuliah kedokterannya, Aisya langsung mencari progam koas di Jakarta. Dia mendapatkan itu di Universitas Nusantara yang juga sejalur dengan RS Mitra Harapan. Hal tersebut sungguh memudahkan untuknya menempuh progam profesi dokter.
Meskipun tidak mudah tapi akhirnya dengan usahanya, Aisya mampu mendapatkannya.
Sesuai janji Dewi, jika Aisya bisa mendapatkan progam koas nya di RSMH maka mereka bisa kembali ke Jakarta. Aisya pun berusaha dengan sungguh-sungguh, hidupnya di kota ini jauh dari siapapun. Dan dia memiliki harapan bisa kembali berada di dekat keluarga besarnya.
"Iya, alhamdulillah. Ibu ikut seneng."
Aisyah memeluk Dewi dengan erat. Rasanya begitu senang bisa berkumpul lagi dengan keluarga. Gadis itu masih ingat, saat usianya 7 tahun, Dewi pertama kalinya mengajaknya pulang. Isak tangis mewarnai keluarga besarnya saat itu.
Betapa tidak, sejak menikah Dewi tidak pulang sama sekali. Dia hanya sesekali mengirim kabar dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Dewi juga berbohong tentang pernikahannya.
Dewi berkata kepada keluarganya bahwa ia dan Hendra baik-baik saja. Namun ketika pulang semuanya terungkap. Terlebih saat Aisya mengatakan kepada kakak-kakak sepupunya bahwa ia iri melihat mereka memiliki ayah.
"Abang enak punya Ayah, aku tidak punya Ayah. Ayah ku tidak pernah pulang."
Dan ketika itu semua terungkap. Hardi juga Rama sangat marah, mereka marah kepada Dewi mengapa tidak jujur dan yang kedua mereka berdua marah kepada Hendra mengapa bisa berbuat demikian.
"Jadi dia pun ndak tahu kalau kalian punya anak?"
"3 bulan setelah menikah, dia minta cerai. Dan saat itu aku hamil. Aku sama sekali tidak memberi tahu tentang kehamilanku. Buat apa, dia sudah kukuh minta pisah dengan alasan yang tak masuk akal. Tapi aku terlalu malu untu pulang dan bicara kepada Romo, Ibu dan Mas. Aku ingat betul, dulu aku yang kukuh ingin menikah dengannya. Maka dari itu aku, aku sungguh malu."
Memang benar, dulu Rama berusaha untuk membuat Dewi kembali berpikir ulang mengenai pernikahannya. Tapi Dewi meyakinkan bahwa Hendra adalah orang yang baik dan dia sangat yakin dengan pria itu. Jadi mereka pun pasrah.
Maka dari itu Dewi sungguh malu saat pernikahannya bahkan usianya tak seumur jagung.
"Tapi Bu, kalau kita balik ke Jakarta, terus kerjaan Ibu bagaimana?"
Kembali ke masa ini, Aisya menanyakan rencana tentang kehidupan pekerjaan Dewi di kota ini.
Ehmmm
Dewi terdiam sejenak. Selama di sini, di pulau Sumatra tepatnya di kota Pekanbaru dia bekerja menjadi seorang guru tari. Dia juga memiliki sebuah sanggar kecil tempat anak-anak muridnya belajar.
Jika memang memutuskan untuk pindah, sebenarnya Dewi tinggal pindah saja karena tidak memiliki ikatan dengan dinas manapun. Hanya saja mungkin dia harus menyelesaikan latihan anak muridnya. Terlebih anak-anak yang berlatih dalam rangka mengikuti sebuah lomba.
Selain melatih Tari, Dewi juga merupakan pekerja freelance. Dia seorang penerjemah, jadi jika sedang tidak mengajar maka dia akan menerima pekerjaan penerjemah.
"Mungkin kamu nanti akan berangkat lebih dulu, Ais. Ibu akan menyusul setelah menyelesaikan pekerjaan Ibu. Sebelumnya Ibu sudah bilang ke anak murid Ibu kalau mungkin saja Ibu akan pindah. Ibu juga sudah menolak beberapa yang ingin belajar. Hanya saja masih ada dua anak yang kukuh karena mau mengikuti lomba."
"Oh gitu, jadi Aku duluan?"
"Iya, Ibu nyusul. Nanti Ibu bilang ke Pakde dan Bude kalau kamu pulang lebih dulu."
Aisya mengangguk mengerti. Jika bisa sebenarnya dia ingin ibunya pulang bersama. Dia tahu ibunya pasti akan kesepian. Tapi alasan yang dikemukakan Dewi tentu tidak bisa dibantah.
Dewi begitu menyukai anak-anak yang belajar tari dengannya. Itu salah satu penghiburan Dewi.
Aisya sendiri tidak lagi menanyakan soal sang ayah. Dia sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa mereka ditinggalkan.
Dulu saat masih kecil dia masih selalu bertanya tentang dimana keberadaaan ayahnya. Namun setelah menginjak remaja, dia tak lagi bertanya. Dan ada satu waktu Aisya mendesak, sehingga pada akhirnya Dewi pun menceritakan langsung kepada putrinya itu.
Dewi merasa bahwa Aisya sudah waktunya tahu juga. Meksipun sedikit terkejut, tapi Aisya bisa menerima.
"Dari awal aku sudah tidak punya Ayah. Jadi ya sudah tidak masalah. Dan aku yakin dia adalah orang yang merugi karena meninggalkan ibu ku yang cantik, baik dan pintar ini."
Hanya seperti itu tanggapan Aisya. Namun ketika di belakang Dewi, anak itu menangis tergugu. Bukan menangis karena tidak memiliki sosok ayah tapi dia menangis mengapa ibunya yang begitu baik ini ditinggalkan begitu saja.
Lagi pula dari awal pun dia tidak terlalu mencari sosok ayahnya. Semua itu karena dia punya pakde dan juga para sepupu yang menyayanginya.
"Assalamualaikum Mas. Mas, nanti Aisya akan pulang lebih dulu. Baru aku nyusul. Alhamdulillah progam koas nya di RSMH di acc."
"Alhamdulillah, iya gampang. Nanti biar di jemput sama anak-anak. Kabarin saja mau berangkat kapan. Kamu sehat kan nduk?"
"Alhamdulillah aku sehat Mas. Ya sudah kalau gitu. Iya nanti dikabari."
Pembicaraan singkat itu selesai juga. Dewi dan Aisya melempar saling melempar senyum. Terlihat sekali Aisya sangat bahagia.
"Nah sekarang kita keluar yuk Bu. Kita jalan-jalan nyari makan."
"Okeee, hayuuk."
Hari ini Dewi tidak ada jadwal mengajar tari. Jadi dia setuju saja dengan ide dari Aisya untuk keluar.
Keduanya sangat cepat bersiap. Aisya yang tadi baru pulang tidak perlu lagi berganti pakaian. Dan Dewi juga hanya tinggal mengganti bajunya cepat.
Aisya memesan taksi online, tak lama pun taksi itu datang. Dengan wajah yang riang mereka berdua siap untuk pergi jalan-jalan meskipun hanya sekedar di pusat perbelanjaan saja.
Meskipun tak jauh tapi mereka berdua sering melakukannya karena itu merupakan sebuah quality time antara ibu dan anak.
Ketika sampai di tempat yang dituju, sambil berjalan Aisya menggamit lengan Dewi. Dia menggelayut manja.
"Kamu ini udah gadis lho, malah bentar lagi bisa aja Ibu mantu. Tapi masih aja manja begini."
"Tidaaaak! Nda Bu, Ais ndak mau buru-buru menikah. Kalau bisa Ais bakalan selambat-lambatnya menikah. Ais pengen sama Ibu lebih lama."
Dewi mengusap kepala putrinya dengan lembut. tak salah dia punya pemikiran itu. Aisya tahu ibu nya hidup sendiri, dan rasanya sulit jika suatu hari harus meninggalkan ibunya sendirian.
Tap!
Tiba-tiba Dewi menghentikan langkahnya. Tubuhnya terpaku seolah rasanya sangat kaku.
"Bu, kenapa?" tanya Aisya bingung. Ia bisa merasakan tubuh Dewi yang bergetar.
"Ibu sakit?"
Dewi menggeleng pelan. Aisya yang masih kebingungan melihat raut wajah sang ibu yang pucat. Gadis itu sedikit takut jika ibunya kenapa-napa. Terlebih saat itu mata Dewi nampak berembun lalu bulir bening itu meluncur di pipi.
Aisya tidak bertanya lagi, dia lalu melihat ke arah mata Dewi menatap. Ia mengerutkan alisnya saat melihat ada sebuah keluarga yang nampak bahagia dan harmonis sedang tertawa di depan sana.
"Ibu, ibu kenapa? Ibu kenal sama orang-orang itu."
"Nak, kita pulang ya. Maaf, ibu ndak bisa jalan-jalan sekarang."
Meskipun masih sangat bingung, Aisya mengangguk paham. Dia kemudian membawa kembali ibunya pulang ke rumah.
"Siapa mereka, mengapa Ibu kelihatan syok sekali?" tanya Aisya dalam hatinya.
TBC
"Buk, Ibu ndak apa-apa. Sebentar, aku ambilkan minum ya?"
Dewi hanya menganggukkan kepala. Jantungnya berdegup sangat kencang. Nafasnya terasa sesak, dan tanpa ia sadari kristal bening dari pelupuk matanya itu mengalir membasahi pipinya.
"Buk, Ibu kenapa? Ada apa Bu. Cerita sama Aisya? Sebenarnya apa yang ibu lihat tadi? Siapa mereka? Apa Ibu kenal?"
Aisya yang baru kembali dari dapur dan membawa air minum itu terkejut ketika melihat sang ibu menangis bahkan sampai terisak. Yang dia ingat, Dewi sama sekali tidak pernah menangis selama ini.
"Bu?"
"Nduk, orang yang tadi ada di depan kita. Pria yang tengah tertawa dengan keluarganya itu, dia ... dia adalah ayah kamu."
Jegleeerrrr
Aisya terpaku. Dia kembali mengingat tentang orang-orang yang ada di depannya tadi saat di pusat perbelanjaan. Meskipun selintas, Aisya bisa mengingat wajah pria paruh baya yang tengah mencium dan memeluk putrinya dengan sayang.
"Ayahku? Dia adalah ayahku? Apa benar demikian?"
Dewi mengangguk. Sudah puluhan tahun berlalu, namun Dewi tidak mungkin lupa wajah Hendra sang mantan suami.
"Tapi Bu, wanita yang dia peluk itu seperti seumuran dengan ku. Tidak mungkin kan dia istri mudanya. Gesture pria itu juga bukannya yang seperti pasangan. Apa jangan-jangan itu anaknya. Lalu jika anak itu seumuran denganku apa mungkin ... ."
Otak Aisya memang cerdas. Dia langsung membuat kesimpulan waktu itu juga. Dan dia menggantungkan kalimatnya karena tahu bahwa mungkin jika diteruskan sang ibu akan merasa sakit hati.
"Dia menceraikan Ibu mungkin karena memiliki wanita lain"tukas Dewi datar. Ya, itu adalah kemungkinan yang besar terjadi.
Permintaan cerai yang tiba-tiba itu tidak mungkin tidak ada sebab dan alasan. Perjuangan Hendra untuk mendapat kan posisi yang bagus di JD Coal juga bukanlah main-main. Namun dengan mudahnya Hendra melepaskan itu semua. Dan alasan berpisah yang tak masuk akal itu merujuk ke semua yang dilihat oleh Dewi tadi di pusat perbelanjaan.
"Dasar sialan! Aku harus mendatanginya. Aku harus mendapat penjelasan darinya."
"Tidak sayang, tidak perlu. Dia pergi maka biarkan lah dia pergi. Biarlah dia hidup dengan keluarganya."
"Tapi Bu, aku tidak bisa diam begini. Dan aku harus tahu apa yang dia lakukan puluhan tahun yang lalu ketika meninggalkan Ibu. Aku ingin tahu mengapa dia melakukan itu." Aisya nampak marah, meskipun dia sudah mendengar cerita dari Dewi, tapi itu jelas tidak lengkap karena Dewi pun tak mengerti secara gamblang alasan dirinya ditinggalkan. Inilah yang ingin Aisya ketahui.
Dewi menggelengkan kepalanya. Rasa sakit ditinggalkan sudah cukup buatnya. Dia enggan jika harus kembali tertoreh sakit dengan sebuah fakta lain. Meksipun itu masih hanya sekedar asumsi namun Dewi merasa asumsinya itu 90% benar.
"Sudahlah Ais, kamu tidak perlu memikirkan hal itu. Yang penting kamu sekarang fokus dengan cita-cita mu. Kamu juga harus menyiapkan kepindahan mu kan, Ibu juga sama. Ayo kita mulai beberes."
Mendengar Dewi bicara demikian, Aisya pun pasrah. Namun bukan berarti dia diam saja. Bagaimanapun dia adalah anak perempuan. Suatu hari membutuhkan pria yang disebut ayah itu jika ingin menikah.
Ya, Aisya bukannya ingin mengemis kasih dan sayang. Aisya hanya ingin pria itu mengetahui bahwa dia memiliki anak yang selama ini tidak diketahuinya.
Di sisi lain, keluarga yang baru saja dilihat oleh Dewi itu yang diyakininya adalah Hendra sedang menikmati makan siang mereka di sebuah restoran. Mereka nampak bahagia. Makan sambil berbincang tentang progam pasca sarjana yang akan ditempuh oleh putri tunggal mereka.
"Jadi bagaimana apa udah jelas bisa masuk?"
"Iya Pa, pasti. Aku kan pintar hehehe. Bagaimanapun caranya aku harus masuk sana. Universitas Nusantara adalah Universitas bergengsi dan favorit. Banyak lulusan yang memiliki pekerjaan bagus. Jadi aku harus bisa masuk ke sana. Dan itu juga deket dengan rumah kita yang ada Bogor. Jadi aku tidak perlu kos kan?"
Semua mengangguk setuju. Rumah mereka memang di Bogor, saat ini kedatangan mereka ke Pekanbaru adalah untuk menghadiri pesta pernikahan saudara mereka.
"Pa, Ma, aku mau ke toilet bentar ya."
"Ya pergilah. Apa mau Papa temani?"
"Ish Papa ini, memangnya aku anak kecil apa. Udah, Papa sama Mama saja berdua di sini. Aku bisa sendiri."
Hendra tersenyum ke arah Alifa. Meskipun usia Alifa sudah 23 tahun namun wanita muda itu masih tetap saja manja kepada sang ayah dan bagi Hendra itu tidak jadi soal. Dia memang menyukai anak perempuan, jadi Hendra tidak masalah dengan sikap Alifa yang manja.
"Jadi bagaimana Mas?"
"Sudah jangan di bahas di sini. Nanti kedengaran Alifa. Kita bicarakan ini saat kita kembali ke rumah. Bersikaplah tenang seolah semua biasa saja. Akan ada waktu mu nanti, tenang saja."
Delia Aryanti hanya berdecak lirih. Wanita berusia 45 tahun itu ingin bicara sesuatu tapi oleh Hendra seperti tidak diperbolehkan. Entah apa yang terjadi dengan sepasang suami istri itu. Yang pasti ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh mereka berdua terhadap sang putri.
"I'm back ... Cie lagi bisik-bisik apa nih. Ikutan dooong."
"Kamu ini lho Fa, senang sekali kalau godain Mama dan Papa."
"Bukannya begitu Ma. Alifa tuh senang lihat Mama dan Papa. Dari dulu sampai sekarang tetap harmonis. Alifa hanya ingin ketika besok Alifa sudah bertemu dengan pria yang sesuai, maka Alifa ingin seperti Mama dan Papa. Harmonis hingga tua."
Degh!
Hendra dan Delia merasakan sensasi yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar ucapan anak tunggal mereka. Jika itu beberapa tahun yang lalu diucapkan, mungkin iya, mereka akan senang mendengarnya. Tapi sekarang, ucapan Alifa itu seolah tidak ingin mereka dengar.
"Ya sudah, kita kembali ke hotel yuk. Besok kita sudah harus ke bandara. Kita harus siap-siap," ajak Hendra. Dia seperti mengalihkan pembicaraan.
"Iya benar, kita harus siap-siap untuk kembali ke Jawa. Ayo sayang."
"Waaah ini berdua kompak sekali euy. Masih malu-malu bagaimana gitu. Heheheh tapi Alifa suka. Alifa berharap kita seperti ini selamanya ya. Sampai nanti Alifa menikah dan punya anak, Mama Papa masih seperti ini."
Hendra hanya menanggapi ucapan Alifa dengan senyum. Pun dengan Delia. Mereka tidak mengaminkan sama sekali. Entah apa yang terjadi antara dua orang tua itu. Tapi yang pasti ada yang tidak beres antara Hendra dan Delia yang tidak diketahui oleh Alifa.
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!