NovelToon NovelToon

METEOR

1. Namanya Laura

Vote dan Comment sangat berarti bagiku untuk semangat update lebih cepat.

🍁🍁🍁

Laura masih enggan berangkat ke sekolah, meskipun ia sudah rapi dengan seragamnya.

Cica masih berselisih dengan Brian, suara bantingan piring dan gelas memekakan telingan Laura.

Teriakan Brian membentak Cica terdengar hingga ke kamarnya.

"Masih bersyukur kamu aku kasih uang. Segitu gak cukup huh?"bentak Brian arogan, istrinya ini tak menerima pemberian uang senilai 300 ribu.

Sekuat tenaga Cica menahan air matanya. Inilah pernikahannya dengan Brian, ia kira Brian itu sama dengan Antariksa yang perhatian, penyayang, dan penurut.

Cica menggeleng. "Gak cukup! Seharusnya kamu bekerja lebih keras lagi! Mau di kasih makan apa huh? Aku dan Laura?"

Brian tertawa. "Apa kamu sendiri yang menghabiskan uang itu untuk belanja?"tanya Brian menusuk, Cica pandai ber-drama dengannya.

Cica gelagapan. Brian tidak boleh tau kedoknya. "Kamu nuduh aku? Uang segitu, Laura yang menghabiskannya! Belanja sama temen-temennya ke mall,"Cica mengalihkan tuduhan. 'Enak aja aku yang di salahin. Cuman belanja sekali doang gak pernah. Yaudah uangnya aku pake,' kata Cica dalam hati. Iri dengan para tetangganya yang memiliki perhiasan, mobil, dan rumah yang bagus. Sedangkan dirinya rumah bercorak zaman dahulu, tua, pintunya rusak, aliran air sering bermasalah, genteng bocor, cat belum di ganti hingga mengelupas dan ada beberapa lumut dan jamur yang mulai tumbuh.

Di kamarnya, Laura menggeleng lemah. Cica menuduhnya.

"Bukan Laura bu. Bahkan uang jajan aja ibu gak ngasih," Laura teduduk, bersandar pada pintu. Sampai kapan hingga kedua orang tuanya selesai bertengkar, dirinya ingin berangkat ke sekolah. Laura, tak ingin terlambat dan menabung poin di buku hijau.

Laura menyeka air matanya. "Laura harus berangkat, iya. Daripada nanti di marahin bu Setyaningrum,"ia melangkah menuju jendela yang sudah terbuka, dirinya bersiap kabur.

Setelah keluar, Laura bergegas lari. Membuka gerbang yang sebatas dada itu perlahan agar tidak menimbulkan bunyi.

Laura berlari, mencari angkot. Hanya uang tiga ribu satu-satunya agar bisa cepat sampai ke sekolah.

Sebuah angkot datang dari arah timur. Laura melambaikan tangannya. Angkot itu berhenti.

Saat masuk, Laura harus rela berjubel dengan para penumpang mulai dari yang membawa ayam jantan, keranjang belanja dari pasar, hingga tiga kardus mie instan yang semakin mempersempit ruangnya. Laura gerah.

'Ya ampun, semoga gak macet,' Laura terus berdoa agar angkot ini tidak terus-terusan berhenti mencari penumpang baru. Laura menatap jam tangannya, limabelas menit lagi bel masuk.

"Pak, cepetan dong!"protes Laura tak sabaran.

"Sabar neng. Ini juga ngebut," ujar sang supir, bahkan angkotnya sudah penuh.

Kernet berdiri menagih uang. "Ayo-ayo duitnya di siapin. Yang mau sampai juga, jangan sampai gak bayar,"

Laura menyodorkan uang tiga ribunya. "Ini mas,"

Sang kernet mengernyit heran. "Cuman tiga ribu? Mana cukup ini!"suaranya naik satu oktaf, marah. Pembayaran harus sesuai dengan jarak yang di tempuh, tidak bisa bernegoisasi.

Laura berdecak kesal, inilah yang ia tak suka saat naik angkot. "Gak ada lagi mas. Cuman uang itu yang saya punya,"ucapnya sendu agar mendapat rasa iba dari sang kernet.

"Yaudah, deh. Tapi lain kali jangan bayar segini ya. Bisa di turunin di jalan kamu," nasehatnya, tak tega. Mungkin sedang ada kendala dalam segi ekonominya.

Angkot berhenti di depan SMA Permata. Laura menghela nafasnya kecewa saat gerbang sudah di tutup dan bu Setyaningrum berjaga di depan gerbang dengan buku besarnya yang berisi catatan siswa yang melanggar peraturan dan tata tertib sekolah.

Laura berjalan dengan hati yang ia siapkan, mendapatkan poin 2 karena terlambat. Meskipun sedikit jika di total dalam satu bulan poin akan melebihi 40 dan di keluarkan dari sekolah.

Bu Setyaningrum menatap Laura si murid teladan baru kali ini datang terlambat.

"Laura? Kenapa terlambat?"tanya bu Setyaningrum curiga, rata-rata alasan semua murid itu macet, mogok di tengah jalan, dan tidak di beri uang saku.

Laura gugup. "S-saya tadi nyari angkot dulu bu," jawabnya takut-takut. Bohong, padahal aslinya tertunda karena pertengkaran kedua orang tuanya di pagi hari.

Bu Setyaningrum tidak akan percaya semudah itu Ferguso. "Tulis nama kamu, kelas. Dan tanda tangan," bu Setyaningrum memberikan buku besarnya pada Laura.

Dengan tangan bergetar Laura menuliskan nama dan kelasnya. Poin ini akan tampil dalam rapot bulanan atau pun pada saat naik kelas, karena ter-akumulasi hingga sampai kelas 12.

"Sudah bu. Apa saya boleh masuk?"tanya Laura dengan polosnya.

Bu Setyaningrum tertawa renyah. "Masuk?"tanyanya tegas. Tak ada perbedaan bagi murid manapun jika terlambat, bolos atau tertangkap basah ingin kabur dari sekolah, maka di haruskan berdiri di depan sang saka merah putih dengan hormat hingga bel pulang berbunyi. Agar para murid jera dan tidak mengulanginya lagi.

"Berdiri di sebelah saya dengan kaki kanan di angkat dan kedua tangan menyilang memegang telinga. Laura, apa kamu paham?"tanya bu Setyaningrum membuyarkan lamunan Laura.

Laura tersadar. "Paham bu,"

Datanglah satu OSIS yang membawa kamera bersiap memotret murid yang kurang disiplin itu untuk di terbitkan dalam majalah sekolah setiap 6 bulan sekali.

Laura di potret, cewek itu menunduk menyembunyikan wajahnya.

"Percuma Laura, karena kamu tidak memakai topi. Poin kamu menjadi enam," bu Setya mencatat nama Laura di buku besarnya beserta jumlah poinnya.

'Astaga, kok sampai lupa sih?'batin Laura cemas, poinnya sudah enam. Seandainya ada mesin waktunya Doraemon, sudah di pastikan Laura ingin mengecek atribut kelengkapan seragamnya mulai dari dasi, topi, dan sepatu berwarna hitam di hari Senin sampai Kamis, Jumat dan Sabtu bebas berwarna.

"Ehem, permisi. Cowok ganteng datang nih," ujar Juna. Terlambat karena mampir ke pasar membeli lauk pauk, titah dari sang ibunya, Rinai Pelangi.

Bu Setyaningrum beralih menatap Juna. "Terlambat lagi?"ia jengah melihat wajah Juna pertama kalinya di pagi hari jika karena terlambat, kalau bukan karena itu pasti alasan nyeleneh lainnya.

"Iya bu. Tadi baru ke pasar beliin sayuran sama ikan, di suruh ibu.  Bangun subuh lagi, jadi setengahnya saya tidur bentar," jawab Juna dengan entengnya.

"Laura! Kamu boleh masuk, ulangan kali ini semuanya wajib hadir," suara bu Rika membuat Laura girang setengah mati, akhirnya selamat dari jeratan bu Setyaningrum.

Pak Satpam pun membukakan gerbang untuknya.

Juna mencoba untuk masuk namun bu Setyaningrum menahannya.

"Eits, khusus kamu tetep disini sampai bel istirahat,"ia mencatat nama Arjuna Zander Alzelvin ke dalam buku besarnya, jika murid bandelnya ini yang menulis yang ada rumus matematika di jadikan gombalan.

Juna menatap kepergian Laura. "Enak bener yang di bolehin masuk. Wah, gak bisa di biarin nih,"Juna merampas buku besar yang tadinya di pegang oleh bu Setyaningrum.

Juna mencari nama Laura. "Laura Rastanty, kelas 11 Ips 1,"Juna akan notice Laura, karena cewek itu dirinya tak bisa masuk. Dewi Fortuna tidak adil hingga memihak pada Laura.

"Saya juga lagi ulangan dadakan bu. Kalau disini terus, yang ada pak Madun nanti marahin saya. Nilainya jadi telur dengan senyuman dong bu,"Juna mencari-cari alasan.

Bu Setyaningrum menggeleng tak percaya. "Alasan klasik itu. Nanti saya tanyakan ke pak Madun, kamu bohong kan?"

Juna jengah, sampai kapan dirinya berpikir keras mencari alasan lainnya kalau bu Setyaningrum terus mewawancarainya?

🍁🍁🍁

2. Berurusan dengan Juna

Saat jabatan menjadikan seseorang berkuasa tanpa pandang bulu. -Laura

🍁🍁🍁

Saat bel istirahat, Juna gunakan waktu 15 menit ini sebaik mungkin agar Laura sama-sama merasakan derita hukuman bagi para murid yang terlamabat.

Juna memasuki kelas 11 Ips 1. Seluruh penghuni kelas itu tak jadi keluar karena kehadiran Juna yang tiba-tiba.

"Disini yang namanya Laura, maju di hadapan saya," ucap Juna tegas dan menusuk. Semuanya terdiam, tatapan mereka tertuju pada Lauea yang tengah ketakutan.

Laura di dorong maju, hingga ia terjatuh. Tak siap untuk melangkah. "Ini kak, Lauranya," kata sang ketua kelas, Bram.

Laura berusaha berdiri. Kakinya sakit, terkilir.

Juna membantu Laura berdiri. "Ikut saya," ia menyeret Laura meskipun cewek itu terseok jalannya. Namun, hukuman terlambat tetaplah berlaku.

Laura berusaha melepaskan jeratan tangan Juna sekuat, namun gagal.

"Mau kabur? Gak bisa, Laura. Bu Setyaningrum menunggu di depan gerbang sekolah," desis Juna tajam. Sebagai ketua OSIS, seluruh murid harus merasakan hukuman apapun dari sekolah se-adil mungkin.

"Tapi kan, tadi aku di panggil bu Rika," sanggah Laura, memangnya hukuman itu bisa di lanjutkan kembali?

Saat sampai di depan gerbang sekolah dan para murid yang berkeliaran mulai dari membeli jajan, antri, duduk lesehan dan ada yang camping dadakan dengan membawa bekal berukuran besar.

Bu Setyaningrum tersenyum. Juna memang tak pernah main-main. "Kamu berdiri disini sampai bel istirahat selesai,"

Juna melongo, tak terima. "Gak bisa gitu bu. Harusnya sampai pulang sekolah," tegas Juna menyuarakan pendapatnya, Laura tidak perlu di kasihani.

Juna menatap Laura. "Liat aja bu, pura-pura sedih dan polos biar di belas kasihan semua orang," Juna menunjuk Laura, semua siswa SMA Permata itu berani memikul tanggung jawab atas kesalahan yang sudah di perbuat selama masa jabatan osisnya, meskipun 6 bulanlagi ia lengser.

"Sudah-sudah. Laura, seperti yang ibu katakan tadi pagi, angkat satu kakimu dan tangan menyilang pegang telinga," kata bu Setyaningrum lembut, bukan berarti pilih kasih, Laura adalah murid spesial bagi semua guru SMA Permata atas prestasi, ketekunan, dan saling menolong.

"Baik bu," Laura melakukannya. Juna, ia tau kalau cowok itu ketos yang paling tegas, pemarah, cuek, dan sadia akan ucapannya. Juna sekaligus ketua geng terbesar di Jakarta, Meteor.

Juna tersenyum. "Awasin dia bu," ia tak ingin Laura di berikan keringanan seperti ke UKS alasan pusing, dan pingsan karena lupa sarapan.

Juna berlalu, menuju kantin. Keenam temannya duduk melingkar di pojok sambil berdendang, nyanyi, dan duet yang di lakukan oleh Sam dan Alvaro.

"Sesange sori jilelo I Love You. Neol saranghandago. Nae jaga dweyo dailego. Nun busyo always you're my star. Naega neol jikyeo jutke," nyanyi keduanya kompak, suara pas-pasan. Namun Radir dan Adit tetap meringi keduanya debgan meja sebagai gendangnya.

Jaka dan Satya tak berminat, keduanya berekspresi seakan bosan hidup dengan tingkah Sam dan Alvaro tiada tandingnya dengan banci kelang.

Saat Juna duduk, Sam, Alvaro, Radit dan Adit menghentikan aksi konsernya. Suasana kantin yang tadinya ramai bak pasar menjadi sunyi sepi seperti kuburan. Aura mencekam dari Juna membua siapapun akan mati kutu, ketakutan, gemetar dan lari terbirit-birit.

"Eh, bos Juna. Pagi," sapa Sam nyengir, malu jika Juna mendengarkan nyanyiannya yang sumbang tadi.

"Bu Yam! Mie ayamnya satu!"teriak juna, bu Yam mengangguk. Stan mie ayam berada di sebelah kanan tepat lokasinya duduk saat ini.

Juna menatap keenamnya dengan wajah tegang, tengil untuk Sam dan Alvaro. "Kenapa? Kalian menyembunyikan sesuatu dari saya?"baku, mungkin karena ia menjabat ketos sekaligus ketua geng Meteor.

"Tadi bos nyeret Laura?" Sam mendengar desas-desus ini, seantero sekolah langsung heboh saat Juna pertama kalinya berurusan dengan seorang cewek, fenomena alam yang langka sekali.

"Iya," jawab Juna dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Alvaro terkejut memegangi dadanya, sesak, sakit tak berdarah. "Oh my godness, lo seriusan Jun? Kasihan, bukan kambing loh," Alvaro memegangi kedua pipinya, syok dengan aksi Juna.

"Al, awakmu persis karo makku lek ndelok sinetron," Jaka akhirnya bersuara setelah sekian lamanya. (Al, lo mirip dengan makku kalau liat sinetron)

Alvaro cemberut, mak Suketi teriak heboh, tak sabaran. "Ya gak sama lah Jak. Wajah gue sama mak lo beda, gak ada mirip-miripnya," Alvaro melencengkan pembahasan, harus ekstra sabar jika berhadapan dengannya.

Jaka terdiam seribu bahasa, Alvaro belum kembali ke Bumi rupanya. 'Untung lo temen gue Al, yang lucu di antara keempat kutub es,'

Bu Yam membawakan mie ayam pesanan Arjuna ke tempat cowok itu duduk. "Dua tiga makan tomyam. Silahkan makan mie ayam," pantun bu Yam, siapapun bisa belajar dengannya, gratis tanpa di pungut biaya apapun.

Sam tertawa, Juna tidak suka pantun. Sensi. "Bu Yam, ekspresi Juna langsung kayak keset welcome tuh," tunjuk Sam dengan dagunya.

"Punya anak namanya Asraf. Eh, saya minta maaf," bu Yam berpantun lagi.

Alvaro bertepuk tangan. "Bu Yam, pantunnya semoga go internasional ya," Alvaro mendoakan.

"Aaamiin. Oh baginda ambilkan selasih. Saya ucapkan terima kasih," bu Yam semakin jago dalam pantunnya.

Juna tak peduli, lebih baik fokus makan. Dalam lubuk hatinya, Juna merasa bersalah saat membawa Laura secara paksa ke bu Setyaningrum demi hukuman lanjutan. Apakah ini berlebihan?

Juna menggeleng, menepis rasa iba yang datang tiba-tiba. 'Gak-gak, Laura memang seharusnya di hukum. Gue sendiri juga berdiri sampai bel istirahat,'

Sam menatap Juna heran. "Pusing pala barbie Jun?"

"Pusing pala barbie. Pala barbie. Ooow. Pusing pala bar-" nyanyian Alvaro terputus saat Satya menyumbat mulutnya dengan tisu. "Emm," Alvaro teriak tak jelas.

Bu Yam terhibur dengan tingkah Sam dan Alvaro, memberikan warna bagi keempat kanebo kering SMA Permata yang selalu monoton tanpa gurauan. "Dua tiga punya cucu. Kalian mah lucu," bu yam ingin mengangkut Sam dan Alvaro ke rumahnya agar ramai.

Sam tertawa, Jaka tersenyum tipis, yang lain senyum pepsodent. Kata siapa geng Meteor yang berjumlah tujuh manusia itu galak? Tidak, jika tertawa itu bebas, maka geng Meteor akan tersenyum ala pepsodent.

Seisi kantin terutama kaum hawa menahan pekik, memotret sunggingan senyum indah dari geng Meteor.

"Seriusan mereka senyum?"

"Gak papa deh. Kalau gak ketawa, asal senyum pepsodentnnya ituloh bikin hati neng meleleh,"

Juna beralih menatap kelima temannya. "Kalian sudah makan?"meskipun Juna itu singa dan buaya, tapi perhatiannya itu tulus dari lubuk hati yang terdalam.

"Sudah bos," jawab mereka kompak, Sam dan Alvaro kembali serius.

Sedangkan Laura berjalan menuju ke kantin, ia lapar. Bu Setyaningrum memberikan wejangan serta keringanan hukuman, hanya 10 menit berdiri.

Laura menuju stan mak Ton yang menjual berbagai camilan dari ciki hingga roti. Tentunya melewati tempat singgahsana geng Meteor. Namun Laura sebisa mungkin tak melirik Juna.

"Bu, rotinya berapa?" Laura mengambil satu buah sari roti, maklum ia tak pernah merasakan rasanya.

Mak Ton menoleh. "Empat ribu lima ratus neng. Mau beli?"

Laura menghela nafasnya kecewa, uangnya tak cukup. Hanya tersisa dua ribu itulah satu-satunya uang jajan dari celengan ayamnya.

Laura menggeleng. "Gak jadi bu,"

Mak Ton mengernyit. "Loh kenapa? Mahal ya?" ia melirik Laura yang menatap uang duaribu itu sendu.

"Iya mak," Laura sungkan jika hutang pada mak Ton hanya karena sebuah roti.

Uang goceng di letakkan di atas toples permen. Sebuah tangan kekar itu membuat Laura menoleh ke belakang takut-takut jika itu Juna.

"Saya beli mak," tukas Juna seenaknya, padahal roti itu tersisa satu saja.

Laura tak bisa membantahnya, tadinya ia ingin menyicil pembayarannya pada mak Ton. 'Bisa gak sih gak usah main ambil giu aja? Gak tau apa kalau lagi lapar banget,' batin Laura protes, sekarang ia tau sifat aslinya Juna, semena-mena.

"Iya mas. Silahkan," mak Ton mengambil uang goceng itu.

Juna berlalu, tanpa melirik Laura.

Laura meringis memegangi perut bagian kirinya, posisi lambung. "Aww, apa asam lambungnya naik ya?" mengenai tadi pagi ia tak sarapan.

🍁🍁🍁

Feelnya dapet?

Maaf ini cerita klasik, beberapa darinya kisah saya dengan bumbu imajinasinya.

3.Ancaman Juna

Mengklaim seseorang tanpa jawaban itu membuat siapapun kesal. -Laura

🍁🍁🍁

Setelah bel istirahat usai, semua murid SMA Permata memasuki kelasnya masing-masing, bu Setyaningrum mulai beroperasi mengelilingi seluruh sudut sekolah baik yang nampak dan tersembunyi seperti rooftop dan markas, jangan lupakan warung nongkrong andalan geng Meteor itu.

Juna, Radit, Adit, Jaka dan Satya berjalan beriringan. Sam dan Alvaro? Nongkrong di warmac warung marconi.

Bu Setyaningrum tersenyum puas saat geng Meteor itu, tunggu. Sepertinya kekurangan dua personilnya.

Kelima cowok itu menggentikan langkahnya.

"Sam dan Alvaro kemana?"tanya bu Setyaningrum curiga, sebuah penggaris dan buku besar di kedua tangannya.

"Menghitung lumut bu," jawab Jaka ngawur, memang kedua temannya suka lumut, jamur, spora, klorofil, dan akar untuk penelitian pribadinya.

"Ke toilet sambil foto di kaca yang lagi nge-hits di Instagram itu bu," celetuk Radit, selain meneliti kedua temannya ini menyukai photography aestetic nuansa golden hour.

Bu Setyaningrum semakin pusing mendengar alasan nyeleneh dari mereka. "Satya, apa kamu tau?"tanya bu Setyaningrum, beralih menatap Satya.

"Warung bu," jawab Satya terlalu jujur, habislah Sam dan Alvaro.

"Ckck, tega lo Sat," ucap Jaka menggelengkan kepala.

Satya menatap Jaka tajam. "Jangan panggil Sat," ujarnya kesal, jangan Jaka yang menirukan sang adiknya, Nafisa.

Jaka menyengir. "Iya deh. Maaf,"

Satya mudah tersinggung. Entah dalam kata atau perbuatan.

"Terima kasih Satya. Kamu memang teman terbaik," ucap bu Setyaningrum bangga.

"Kok bangga bu?" tanya Jaka terheran-heran.

"Karena Satya ingin yang terbaik bagi mereka," setelahnya, bu Setyaningrum berlalu.

Jaka menyenggol bahu Satya. "Lo sih Sat, gak kasihan apa sama mereka?" nanti Sam dan Alvaro akan menjalani hukuman yakni membersihkan kaca seluruh kelas. Toilet? Sudah klasik, tak ada yang jera malahan.

"Biarin," kata Satya datar.

🍁🍁🍁

Bu Aisofa tengah menjelaskan tentang peta. Hanya sekitar 0.01% dari 99% mereka memilih pura-pura baca buku yang aslinya novel, bersembunyi di balik tubuh gendut demi mencari aman untuk tidur lebih tenang.

"Baiklah sampai disini penjelasannnya. Laura, silahkan ambil peta di meja saja ya," bu Asiofa lebih mempercayai Laura, seusai ke kantor langsung ke kelas, bukan mampir ke kantin membeli jajanan dan air minum.

Laura mengangguk. "Baik bu,"

Saat Laura melangkah dalam perjalanan menuju kantor guru, Juna yang tengah fokus bermain ponselnya pun menabrak Laura.

Ponsel Juna terlempar.

Laura ketakutan. "M-maaf, tadi aku gak sengaja," bahkan dirinya tak berani menyalahkan Juna.

"Gak sengaja? Enak banget kalau ngomong!" sentak Juna emosi, ia mengambil ponselnya. Memeriksa apakah masih bernyawa, namun mati.

"Ponsel gue mati! Gara-gara lo!" Juna menunjukkan ponselnya yang tak bernyawa lagi.

Perasaan Laura di serang rasa bersalah. "M-maaf, sini aku benerin," Laura menengadahkan tangannya. Namun Juna tak meresponnya.

"Ganti," tukas Juna dingin, tak mau tau. Meminta uang pada ayahnya yang ada bambu runcing sebagai ancaman, menabung dalam 6 bulan dari uang sakunya itu tak mudah.

Laura melongo, ganti? Ponsel Juna saja seperti keluara terbaru, warnanya mengkilat. "Tapi, aku kan gak punya uang," ujar Laura takut-takut.

"Gak usah alesan deh. Pokoknya ganti rugi," bantah Juna tak mau tau. Yang bersekolah di SMA Permata kalangan berada, hanya sebagian sedikit saja karena bantuan beasiswa.

"Terus, aku dapat uangnya darimana?" tanya Laura dengan polosnya.

Juna menghela nafasnya, gregetan dengan kepolosan seorang Laura. "Ya kerjalah!atau gak hutang ke siapa kek," jawab Juna ngegas.

"T-tapi kalau gantiin uangnya itu susah kak. Aku gak mau tiap hari di labrak depkolektor," ujar Laura dengan suara bergetar, ia ingin menangis.

Mendengar Laura akan memangis, perasaan Juna sedikit bersalah. Apakah ia berlebihan?

"Yaudah, lo penuhin syarat gue aja," tukas Juna memutuskan, sebuah ide cemerlang dengan keuntungan terlintas dk benaknya.

'Semoga syaratnya gak aneh-aneh,' batin Laura berdoa dalam hati. Mengenai Juna adalah ketua geng Meteor yang kemungkinan akan menjadikannya tawanan atau taruhan bukan?

"Jadi pacar gue sekaligus pembantu pribadi. Gimana?" ya, Juna ingin mencoba yang namanya asmara di masa-masa SMA, hanya bermain-main.

"P-pacar? Tapi kan orang tuaku gak ngebolehin," Laura berlasan lagi, karena ayahnya tak suka jika dirinya di sakiti, khianati oleh cowok siapapun.

"Gue bisa yakinin orang tua lo," ucap Juna tegas, lagipula pacaran ala dirinya tidaklah menye-menye seperti biasanya, Laura hanya membantu saja. Tidak yang lebih seperti perasaan cinta yang tiba-tiba hadir.

"Mau gak?" sentak Juna tak sabaran, sudah baik ia berikan keringanan.

"I-iya kak, mau," Laura harus menyiapkan mental, fisik, hati, jantung, jasmani dan rohani ketika sudah memasuki lingkaran hitam dari seorang Arjuna Zander Alzelvin.

"Aku permisi dulu ya kak," Laura berlalu, berlari kecil menghindari Juna. Pasti bu Aisofa sudah menggu lama, semua ini karena Juna yang terlalu fokus pada ponselnya.

Juna menatap kepergian Laura hingga hilang berbelok di ujung koridor.

Juna tersenyum miring. "Laura, target saya dalam permainan cinta," gumam Juna, jika kepada siswa yang bukan anggota geng Meteor Juna memanggil 'lo-gue,' kata 'aku-kamu,' tunggu saja hingga semut beranak gajah, tak akan pernah dan tidak sama sekali Juna ucapkan.

🍁🍁🍁

Bel pulang sekolah berbunyi, sorakan, teriakan heboh, hingga tak sabaran keluar dari kelas hingga pintu yang tak seluas daun kelor itu pun menjadi rebutan para siswa.

"Weits, sabaran dong. Gue hampir jatuh nih," keluh Bram, sang ketua kelas yang terhimpit.

Laura memilih menunggu hingga siswa berjumlah 34 ekor itu keluar.

Setelah semuanya keluar, Laura melangkah keluar kelas, pulang hari ini ia jalan kaki. Uangnya habis, terakhir dua ribu itu ia belikan jajan ciki daripada roti yang harganya mahal.

Saat melewati parkiran sekolah, langkahnya terhenti karena Juna menghadangnya.

"Kali ini, lo pulang sama gue," keputusan Juna yang seolah sambaran petir di siang bolong pun menjadi daya tarik beberapa siswa yang belum beranjak keluar, entah menunggu guru ekstrakulikuler dan duduk manis sambil makan.

"Gak usah kak, aku bisa pulang sendiri," tolak Laura, tak enak hati. Nanti sang ayah akan me-wawancarainya habis-habisan jika pulang di antar seorang cowok.

"Lo nolak penawaran gue?" tanya Juna tersulut emosi.

"B-bukan itu kak, nanti ayahku marah kalau di anterin cowok," Laura ingin segara kabur daripada Juna terus-terusan memaksa. Pendirian cowok itu tidak bisa di bantah.

Sam, Alvaro, Radit, Adit, Jaka dan Satya hanya menonton. Baru kali ini Juna berurusan dengan seorang cewek, dan itu Laura. Cewek terpilih dari seribu delapan puluh siswa SMA Permata.

"Laura berani banget ya nolak tawaran bos Juna?" tanya Sam mengunyah permen karet.

Alvaro mengedikkan bahunya. "Tau tuh, lagian jarang-jarang bos Juna se-baik ini sampai nawarin nganter pulang," apakah Juna telah melamun di pohon mangga? Dan di sapa mbak kunti? Semuanya masih abu-abu.

Juna menarik tangan Laura menuju motor ninjanya.

Laura meronta. "Kak, lepasin! Aku bisa pulang sendiri" teriak Laura histeris, menarik perhatian orang.

"Aku bawa sepeda kak!" bantah Laura, meskipun tadi pagi ia naik angkot. Sepedanya ia titipkan di rumah bu Yam, jika di rumah sudah di jual, cukup lumayan meskipun 500 ribu.

Juna menghentikan langkahnya. "Sepeda? Mana?" Juna menelisik parkiran sekolah, rata-rata mobil alphard, dan motor ninja bagi beberapa siswa.

"Gak ada tuh, jangan cari alesan ya! Pulang bareng gue kenapa ribet banget sih?" Juna geram, Laura tak tau terima kasih dengannya.

"Pokoknya aku gak mau!" Laura melepaskan cengkraman Juna kasar, ia berlari mencari ojekan.

Juna yang hendak mengejar Laura, di tahan oleh Satya.

"Udahlah bos, kalau dia gak mau jangan di paksain," ujar Satya lembut, Juna selalu emosi.

Juna menghela nafasnya, tenaga dalamnya serta kekuatan marahnya seperti angry bird terkuras habis.

"Yuk, ke warmac," ajak Juna menghilangkan kegabutan, kemarahan, kegregetan dengan gorengan bu Marconi yang selalu hangat, pedas, dan maknyus.

"Let's go besties," sorak Sam dan Alvaro kompak.

"Heh! Kita cowok, bukan girl," bantah Jaka kesal, Sam dan Alvaro kebanyakan nontom DIY miniatur.

"Iya-iya, gitu aja marah Jak," ujar Alvaro datar, alasan ia dan Sam lucu itu agar menyingkirkan kehidupan monoton kelima kutub es geng Meteor

🍁🍁🍁

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!