NovelToon NovelToon

Wanita Yang Dicintai Suamiku

PERNIKAHAN

Sahhh…..

Koor dari para saksi itu membuat sudut mata seorang gadis berusia 20 tahun itu jatuh membasahi pipinya, air mata haru karna kini dia sudah resmi melepas masa lajangnya dan telah berstatus sebagai seorang istri.

Gadis itu adalah Betari Ayu atau yang akrab dipanggil Tari, gadis cantik dan manis yang masih menempuh pendidikan S1nya disalah satu perguruan tinggi negeri dikotanya, dia dipersunting oleh Budiono, seorang guru yang mengajar disalah satu sekolah dasar negeri, Budi panggilannya yang kini mengabdi sebagai abdi negara atau PNS, dan percayalah, meskipun PNS bukanlah profesi yang membuat seseorang bisa kaya, tapi untuk orang-orang desa, berpangkat PNS menjadi golongan orang yang dihormati, sehingga tidak heran, ibu-ibu yang datang ke acara nikahan Tari selalu mengatakan betapa beruntungnya Tari menikah dengan Budi.

Dan memang, Tari merasa beruntung, tapi dengan alasan yang berbeda, bukan karna laki-laki yang kini telah resmi berstatus sebagai suaminya itu PNS, tapi lebih karna karakter Budi yang menurut Tari adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, apalagi setahunya, Budi adalah laki-laki yang selalu menjaga pandangannya terhadap perempuan, ditambah lagi, setahu Tari, Budi sama sekali belum pernah terdengar punya pacar, alias jomblo dari lahir sampai pada akhirnya laki-laki itu memilih menikahi Tari, Tari tahu semua tentang Budi karna mereka kebetulan tinggal didesa yang sama, selain itu, Tari mengenal Budi sejak dia masih kecil.

Tari dan Budi menikah karna dijodohkan,

sebalum tahu calonnya, Tari menolak permintaan orang tuanya dengan alasan ingin fokus kuliah, tapi begitu tahu calon yang dipilihkan oleh orang tuanya, dia menarik penolakannya dan mau menerima perjodohan tersebut, karna memang selama ini juga, Tari diam-diam menyukai Budi, dan dia bahagia saat mengatahui kalau laki-laki yang dia sukai merupakan laki-laki yang dijodohkan dengannya.

Tari meraih tangan suaminya, tangan Tari gemetar saat tangannya menyentuh tangan besar milik suaminya itu, tangan yang menelan tangan mungilnya, Tari merasakan sensasi berbeda saat kulit halusnya bersentuhan dengan kulit tangan Budi yang agak kasar, maklum, ini untuk pertamakalinya Tari bersentuhan dengan laki-laki selain abah dan abangnya.

Tari mencium tangan itu, perasaannya campur aduk dan tidak bisa dideskripsikan, dia tidak pernah menyangka akan menjadi seorang istri diusia yang masih sangat muda.

Tari merasakan belakang kepalanya ditarik pelan kedepan, disusul Tari merasakan sesuatu yang lembut menyentuh keningnya, sebuah ciuman yang diberikan oleh Budi.

Tari memejamkan matanya, baginya, ini suatu hal yang romantis, dulu dia hanya bisa melihat adegan-adegan seperti ini difilm-film, tapi kini dia sendiri merasakannya.

Tari sedikit mendongak, matanya beradu dengan manik tajam milik suaminya yang kebetulan juga menatapnya tanpa ekpresi, entah apa yang ada dibenak laki-laki itu, tapi yang jelas, Tari tidak kuat, matanya tidak kuat bertatapan dengan mata itu, itu membuat Tari buru-buru menunduk dengan jantungnya yang hampir melompat keluar.

“Ya ampunn, apa yang harus aku lakukan nanti kalau kami berada dalam satu kamar, bisa-bisa aku mati lemas karna harus berduaan dengannya.” batinnya tidak tenang mengingat akan apa yang bakalan terjadi nanti malam.

“Malam pertama.” batinnya mengucap dua kalimat sakral itu.

Ada rasa tidak siap, tapi biar bagaimanapun, dia harus siap melayani suaminya sebagai salah satu tanda baktinya.

*******

Dikamar tidur yang sekaligus menjadi kamar pengantin itu menjadi saksi betapa gugupnya Tari, dia meremas-remas tangannya yang berkeringat, baju tipis tembus pandang membungkus tubuh indahnya, meskipun khawatir dan gugup, tapi Tari siap melayani suaminya di malam pertama mereka.

“Oke Tari, jangan gugup, rileks.” Tari berusaha menenangkan dirinya, dia beberapakali menarik nafas dan membuangnya, tapi hasilnya, rasa gugup itu terus hinggap dibenaknya.

Tari menurunkan pandangannya ke bawah, menatap tubuhnya yang terbungkus pakain tembus pandang, "Haruskah aku menggunakan pakaian ini." ragunya, "Apakah aku tidak terkesan murahan, karna menggoda mas Budi."

Tari berjengit kaget saat mendengar suara pintu terbuka, disana, diambang pintu, berdiri tubuh tinggi dan tegap suaminya, mata tajamnya memandang Tari.

Tari reflek berdiri, dia menelan ludah, “Ma…s Bu…di.” bahkan suaranyapun bergetar.

Laki-laki yang kesehariannya menampakkan wajah datar dan cuek itu tersenyum hangat, matanya tidak lagi menatap tajam tapi penuh dengan kehangatan, dan hal itu membuat Tari meleleh.

Budi mendekati wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu.

Tari makin gugup tatkala tubuh suaminya semakin mengikis jarak diantara mereka.

Budi meraih pinggang Tari dan mendekatkannya ke tubuhnya, laki-laki itu mengecup kening sang istri dengan lembut, Tari reflek memejamkan matanya, kini, rasa gugup itu hilang begitu saja berganti dengan rasanya nyaman.

Budi menjauhkan bibirnya dan kini menatap istrinya dalam.

Tari mendongak, netranya beradu dengan milik suaminya, tatapan yang biasanya tajam yang kini berubah hangat yang bisa membuat tubuh Tari meleleh, untungnya tubuhnya berada dalam dekapan Budi .

“Mas, aku siap.” lirihnya dengan suara pelan, sebagai seorang istri, dia harus melakukan tugasnya.

“Tari.” kata-kata itu tidak ubahnya seperti bisikan, “Bisakah kita tidak melakukannya malam ini, bisakah kita istirahat saja.”

Tari mengangguk pelan, meskipun sedikit kecewa, tapi dia ngerti kalau suaminya itu mungkin kelelahan setelah seharian ini melewati rangkaian acara yang melelahkan.

Sekali lagi, Budi mengecup kening Tari dan menuntun tangan lembut istrinya itu ke tempat tidur.

Dan malam itu, berlalu seperti biasanya, tidak terjadi malam indah seperti yang sering dinantikan oleh pasangan pengantin yang sudah sah menjadi sepasang suami istri.

******

“Mas Budi suka gak ya.” ragu Tari menatap kopi hitam yang dia buatkan untuk suaminya.

Sebagai seorang istri, tentu saja Tari harus berusaha menyenangkan hati suaminya, salah satu caranya yaitu dengan membuatkan kopi untuk suami tercinta karna yang dia tahu dari ibu mertuanya kalau suaminya itu suka sekali minum kopi sebelum beraktifitas.

Tari sieh biasa membuat kopi untuk abahnya dirumah, dan abahnya selalu memuji kopi buatan Tari, tapikan lidah setiap orang berbeda, belum tentu Budi suka dengan kopi buatannya.

“Tariiii, sudah jadi belum kopinya.”

Tari mendengar suara panggilan dari arah ruang tamu.

“Iya mas, tunggu sebentar.” balasnya sedikit berteriak.

Tari meraih tatakan gelas, dan dengan penuh harap berkata, “Semoga mas Budi suka.”

Tari kemudian keluar dengan kopi bikinannya.

Begitu tiba diruang tamu, Tari mengerutkan kening saat melihat suaminya sudah berpakaian rapi dan mengenakan baju dinasnya.

“Mas Budi mau kemana, masa iya dia masuk kerja.” batinnya.

Begitu melihat kedatangan Tari, Budi tersenyum tipis.

Tari meletakkan kopi buatannya dimeja, tidak terfikir lagi apakah suaminya itu suka apa tidak dengan kopi buatannya, karna pertanyaannya dibenaknya lebih penting untuk mendapatkan jawaban.

“Mas mau masuk kerja.”

Budi mengangguk dan menjawab singkat, “Iya.”

“Mas Budi mau masuk kerja, terus aku gimana.” suara hatinya.

“Bukannya mas harusnya mengambil cuti ya.” fikir Tari ya begitu karna mereka pengantin baru, seharusnya mereka menghabiskan waktu berdua.

“Ya seharusnya begitu, tapi mas rasanya gak enak menyerahkan anak-anak pada guru pengganti selama mas gak masuk, apalagi anak-anak sebentar lagi akan menghadapi ujian.” 

Setelah menjelaskan alasannya, Budi meraih cangkir dan menyuruput kopi hitam buatan Tari.

“Enak.”

Tari yang tadinya bete agak terhibur mendengar pujian yang dilontarkan oleh suaminya.

“Mas suka kopi buatan Tari.”

“Tentu saja suka.”

Senyum Tari mengembang, rasa bete itu sepenuhnya sudah menguar sekarang.

“Mas.”

“Hmmmm.” gumam Budi tanpa menolah.

“Kalau mas masuk kerja, aku masuk kuliah saja ya, daripada dirumah gak ada kegiatan.” daripada mati bosan sendirian dirumah karna ditinggalkan kerja, Tari akhirnya memilih untuk masuk kuliah saja, supaya tidak ketinggalan banyak materi.

Lagi-lagi Budi mengangguk, “Aku antar ya.”

Tari mengangguk antusias dengan senyum lebar, dulu dia selalu melihat orang-orang disekitarnya diantar oleh pasangannya, dan kini dia merasakan akan hal itu.

*******

MALAM KEDUA

Tari turun dari motor suaminya begitu motor itu berhenti tepat didepan kampus, dia meraih tangan suaminya dan menciumnya.

"Terimaksih mas Budi."

Budi mengangguk singkat, "Nanti mas jemput jam berapa."

"Nanti Tari kabari ya mas."

Kembali Budi mengangguk dengan senyum manis menghiasi bibirnya, senyum dan wajah suaminya yang teduh membuat hati Tari adem, dia benar-benar beruntung menikah dengan Budi.

"Tari...."

Tari menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya, dia melihat Marni, sahabatnya berjalan dengan langkah lebar menuju ke arahnya, wajah gadis itu terlihat sumringah.

"Pagi mas Budi." sapa Marni begitu sudah didekat sahabatnya.

"Pagi." Budi menjawab singkat dengan senyum super tipis.

Tari kemudian memperkenalkan suaminya dan sahabatnya.

"Mas ini Marni sahabatku, kemarin dia datang ke pernikahan kita, tapi mungkin mas gak ingat."

Budi mengangguk, dan memang dia tidak ingat, sedangkan Marni tersenyum, tidak menyodorkan tangannya untuk dijabat karna bukan muhrim.

"Baiklah Tari, kalau gitu mas pergi dulu." pamit Budi.

"Iya mas, hati-hati."

"Marni, saya pergi dulu, belajar yang rajin ya dengan Tari."

"Iya mas." jawab Marni.

Budi menstater motornya dan menjalankannya.

Dibelakang Tari melambai untuk melepas kepergian sang suami.

"Kok kamu udah masuk aja Tar, bukannya kamu bilang mau izin ya." Marni menanyakan keheranan yang ada dibenaknya saat pertama melihat Tari didepan kampus.

"Ya aku sieh inginnya gitu Mar, tapi mas Budi masuk kerja, katanya gak enak ninggalin anak didiknya lama-lama, takut ketinggalan pelajaran katanya, daripada aku mati bosan sendirian dirumah, ya mending aku masuk kuliah aja." Tari curhat.

"Ohh gitu." Marni mengangguk maklum.

"Resiko sieh Tar nikah dengan abdi negara yang tugasnya mencerdaskan anak-anak bangsa, yang ada difikirannya anak-anak didiknya mulu, coba kamu nikahnya sama pengusaha, mungkin sekarang kamu sudah berada disalah hotel bintang lima di Paris."

"Udah ah jangan bahas hal itu, mending kita masuk aja yuk." ajak Tari menggandeng lengan sahabatnya.

Marni hanya pasrah saat Tari menariknya memasuki kampus.

*******

"Jadi gimana..." Marni membuka percakapan saat mereka kini duduk dikantin saling berhadapan dengan masing-masing semangkuk mi ayam yang masih mengepulkan uap panas dihadapan masing-masing dan segelas es teh.

"Gimana apanya."

"Ya gimana rasanya menjadi seorang istri Tari."

"Ya begitu deh."

"Lahh, kok gitu deh doank, ceritain donk Tar supaya sahabat kamu ini tahu harus ngapain dimalam pertama."

"Aihh, mesum ya."

"Bukan mesum, jadi kamukan udah ada pengalaman gitu, sharing donk sama yang masih jomblo ini."

"Akukan belum ngelakuin sama mas Budi." jawab Tari dalam hati, dia memilih merahasiakannya dan berkata, "Aduhh Mar, itukan rahasia, masak iya aku membagiin kehidupan ranjang aku."

Tanpa peduli dengan ucapan Tari, Marni kembali nyerocos, "Enak ya."

"Apanya." tanya Tari polos.

"Ya malam pertamanyalah Tari."

"Astaga Marni."

"He he, maaf Tar, habisnya aku penasaran."

"Kalau penasaran makanya nikah, agar kamu bisa praktik langsung."

"Kan belum ada calonnya Tar."

"Atau suami kamu ada teman yang belum nikah gak, suruh kenalin ke aku donk, siapa tahu gitu cocok."

"Hmm, ntar aku tanyain." jawab Tari biar cepat, dia janji tidak melakukan itu.

"Aku tunggu ya kabar baiknya."

"Iya." lirih Tari, dia mulai menyantap mie ayamnya dan berharap sahabatnya ini berhenti nyerocos.

******

Fitri : Asslammualaikum mas Budi, mas apa kabarnya, aku dengar dari ibu kalau mas sudah menikah ya, selamat ya mas, tapi aku agak kesal sama mas, kenapa aku gak diundang. Tapi aku ikut bahagia mas, semoga langgeng ya

Budi yang saat ini masih berada diruang kelas membeku saat membaca pesan yang dikirim oleh Fitri, setelah sekian lama merela lost contak, wanita itu pada akhirnya muncul juga.

"Apa kabarmu Fit, kenapa selama ini ngilang." ucapnya pelan, namun dia tidak berniat untuk membalas pesan tersebut, namun matanya masih fokus pada layar ponselnya, layar yang memampangkan pesan dari seorang wanita di masa lalunya.

Sampai ada chat masuk dari Tari yang mengalihkan perhatiannya.

Tari : Mas, Tari udah pulang nieh, jemput Tari ya

Budi : Iya, kamu tunggu ya dek

Tari : Baik mas, oh ya, jangan ngebut-ngebut ya, pelan-pelan saja bawa motornya, Tari gak mau mas kenapa-napa

Budi tersenyum tipis membaca pesan itu dan membalas dengan candaan.

Budi : Kenapa, adek takut jadi janda ya kalau mas kenapa-'napa

Tari : Astagfirullah mas, jangan sembarangan

Budi : Iya dek, mas minta maaf

Tari : Hmm

Budi : Ya udah, mas jemput ya sekarang

******

Malam kedua, Tari berdiri di depan cermin besar yang ada dikamarnya, dia bisa melihat tubuhnya dengan jelas lewat pantulan cermin yang ada didepannya.

Dia kembali mengenakan baju tipis menerawang, dia fikir suaminya akan melakukannya malam ini, tapi sejak usai makan malam dan sampai saat ini, suaminya itu belum juga memasuki kamar tidur.

"Mas Budi kok lama, dia ngapain ya diluar." Tari bertanya pada diri sendiri dan tentu saja dia tidak mendapatkan jawaban.

Tari menunggu, tapi setelah 30 menitan tidak ada tanda-tanda suaminya akan memasuki kamar, Tari sedikit kesal juga.

"Mas Budi ngapain sieh sebenarnya."

Dengan jengkel Tari melepas lingeri itu dari tubuhnya dan meraih pakain tidur yang biasa dia kenakan saat masih belum menikah, dia sudah tidak mood untuk menggoda suaminya.

Dengan bibir manyun Tari keluar kamar guna melihat apa yang sedangkan dilakukan oleh suaminya yang membuat laki-laki itu tidak kunjung masuk kamar juga.

Budi berada diruang tengah, dan dia sepertinya tengah fokus dengan leptopnya.

"Hmmm." Tari mendesah, "Ternyata lagi bercinta dengan leptopnya, pantasan saja aku dianggurin."

Tari mendekat, Tari sengaja menghentak-hentakkan kakinya supaya Budi mendengar langkahnya.

Budi mendongak, namun cuma dua detik karna laki-laki itu kembali fokus dengan apa yang saat ini tengah dia kerjakan dileptopnya, meskipun begitu, bibirnya bertanya, "Belum tidur dek."

"Menurut mas." Tari menjawab sedikit ketus untuk memberitahukan kepada suaminya itu kalau dia ngambek.

Tari duduk di singgle sofa, memperhatikan suaminya, agak greget juga sieh Tari dicuekin begitu.

"Kenapa belum tidur dek."

"Belum ngantuk."

"Oh."

Makin kesellah Tari karna Budi hanya merespon dengan kata ohh yang tidak memiliki makna sama sekali.

"Mas sendiri, kayaknya sibuk amet."

"Yahhh begitulah dek, maklum, bentar lagi anak-anakkan ujian."

"Ohh."

Dalam hati Tari berkata, "Apa dia gak berniat melakukannya juga malam ini, dan sepertinya enggak melihat kesibukannya itu."

"Dekk, mas boleh minta tolong."

"Apa."

"Bisa buatkan mas kopi."

Meskipun kesal, tapi toh Tari tidak bisa menolak permintaan suaminya karna dia harus menjadi istri berbakti.

Tanpa menjawab, Tari langsung bangkit dan menuju dapur.

Lima menit kemudian, Tari keluar membawa pesanan suaminya, tanpa kata Tari meletakkannya didepan Budi.

"Makasih dek."

"Mas gak berniat tidur." kalau udah minta dibuatin kopi ya enggaklah, pakai nanya lagi.

"Iye dek sebentar, tunggu ini selesai dulu." Budi menjawab tanpa menoleh.

"Kalau adek ngantuk, tidur saja dulu."

"Kan tadi udah aku bilang belum ngantuk." suara Tari kembali ketus.

"Ya udah, mending temenin mas saja ya disini."

"Gak ahhh, malas."

"Ya udah tidur saja sana."

"Kan sudah aku bilang belum ngantuk mas." Tari mulai nyari gara-gara.

Budi menghentikan aktifitasnya, kini laki-laki itu memusatkan perhatiannya sama Tari, dia menatap Tari intens, "Adek maunya apa sieh." suaranya pelan tapi berbahaya.

Tari menelan ludah, dia menunduk karna tidak sanggup beradu tatap dengan sang suami.

*******

BERKUNJUNG KE RUMAH MERTUA

Budi menghela berat, sejujurnya dia agak kesal karna ulah Tari, tapi laki-laki itu berhasil mengontrol diri.

Dia bangkit dan mendekati Tari yang masih menunduk, sejujurnya Tari agak menyesal karna telah bersikap kekanak-kanakan.

Budi meraih tangan Tari dan menggenggamnya dengan lembut, "Dek." panggilnya dengan suara pelan.

Panggilan itu membuat Tari mendongak, matanya beradu dengan mata hitam legam milik suaminya, hati Tari bergetar, dia mencintai laki-laki yang kini ada dihadapannya, bahkan sejak dulu, sejak remaja dia mengagumi sosok Budi, tidak pernah terfikir sebelumnya kalau ternyata dia berjodoh dengan Budi.

"Tari minta maaf mas, Tari tidak seharusnya bersikap kekanak-kanakan."

Budi meraih tubuh Tari dalam pelukannya, Tari melingkarkan tangannya ditubuh kokoh suaminya, ini untuk pertamakalinya dia dipeluk oleh laki-laki, dan pelukan suaminya terasa begitu sangat nyaman dan membuat rasa jengkelnya menghilang seketika.

Budi mencium puncak kepala istrinya, "Maafkan mas karna mengabaikanmu dek, saat-saat ini mas lagi sibuk-sibuknya jadi tidak punya banyak waktu untuk adek."

"Tari yang harusnya minta maaf mas, harusnya Tari ngerti kalau mas Budi sibuk, bukannya malah kekanak-kanakan, maafkan Tari karna gak bisa jadi istri yang baik."

Budi menggeleng, "Adek istri yang baik, jangan pernah berkata begitu."

"Hmmm."

"Adek sebaiknya istirahat ya, besokkan ada kuliah pagikan."

Tari mengangguk dibalik pelukan suaminya.

Meskipun malam itu tidak terjadi apa yang diharapkan oleh Tari, tapi dia bahagia, bahagia karna suaminya adalah laki-laki penuh kelembutan dan dewasa.

********

"Dekk, sudah siap belum." Budi bertanya dengan suara sedikit berteriak dari ruang tamu supaya Tari yang masih berada didalam kamar mendengar.

"Iya mas tunggu sebentar."

Rencananya, minggu pagi ini mereka akan pergi ke rumah orang tuanya Budi, gak jauh, cuma 1 km jaraknya.

Rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah yang dibeli oleh Budi, dan dia sengaja membeli rumah dengan jarak agak lumayan dari rumah orang tuanya.

Lima menit kemudian Tari keluar, wanita berusia 20 tahun itu terlihat manis dengan gamis hitamnya yang dipadukan dengan jilbab coklat susu, tas selempang kecil berwarna senada dengan tasnya terselempang dibahunya.

"Sudah siap dek." Budi bangkit saat melihat kedatangan istrinya.

Tari mengangguk, "Kita berangkat sekarang mas."

"Iya dek, ayah dan ibu pasti sudah menunggu."

Dua pasutri itu berjalan keluar rumah, dan dengan menggunakan motor matic milik Budi mereka menuju rumah orang tuanya Budi, tidak ada acara khusus, umi Warsih, ibunya Budi meminta anak dan menantunya datang berkunjung ke rumah, kangen katanya.

********

Hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai, Budi memarkir motornya dipekarangan rumah orang tuanya.

Rumah itu lumayan besar dengan pekarangan yang cukup luas yang ditanami pohon buah-buahan dan bunga-bungaan.

"Asslamualaikum." Tari mengucap salam begitu tiba didepan pintu rumah mertuanya.

"Walaikumussalam." terdengar suara dari dalam disertai dengan langkah terburu-buru.

Begitu pintu terbuka, wajah teduh mirip suaminya menyambut indra penglihatan Tari.

"Umi." Tari meraih tangan ibu mertuanya dan menciumnya.

Umi Warsih mengelus puncak kepala menantunya yang dilapisi hijab.

"Menantu kesayangan umi."

Budi menyusul kemudian, sama seperti Tari, dia juga meraih tangan ibu kandungnya dan menciumnya.

"Oh iya umi, ini Tari bawakan kue untuk umi." Tari menyodorkan kotak kue yang ada ditangannya kepada ibu mertuanya.

"Pakai repot-repot segala kamu Tari, cukup datang kesini saja umi udah seneng, gak perlu bawa apa-apa."

"Gak repot kok umi."

"Itu kue buatan Tari lho umi." lapor Budi.

"Ohh ya." umi Warsih memandang menantunya kagum, "Umi kamu selalu cerita sama umi katanya kamu itu pinter masak dan bikin kue, umi selalu bertanya-tanya kapan bisa mencicipi kue buatan menantu umi, ehh akhirnya kesampain juga, umi yakin, kue buatan kamu pasti enak."

"Pasti enak donk umi, kan istri pak guru Budi yang bikin."

Wajah Tari jadi bersemu karna pujian suaminya, "Mas bisa aja."

"Pantes saja kamu gendutan ya nak, orang istri kamu pinter masak, emang tokcerkan calon pilihan umi dan abah."

"Iya umi."

Sedangkan Tari semakin dibuat malu oleh clotehan ibu mertuanya.

"Lhaa, kok jadi ngobrol diluar kayak gini sieh, ayok sayang kita masuk, abi sudah menunggu didalam."

"Iya umi."

Tari dan Budi mengekor masuk ke dalam rumah.

*******

Kurang lengkap apa coba kebahagian seorang Betari Khaerunisa, menikah dengan laki-laki yang dia kagumi sejak remaja, ditambah lagi, kedua mertuanya juga menyayanginya.

"Cantik sekali ya bi mantu kita, pinter masak lagi, beruntung sekali lho putra kita mendapatkan wanita seperti Tari." lisan umi Warsih saat mereka tengah berkumpul diruang keluarga.

Tari menanggapi dengan malu-malu, "Akhh umi bisa saja."

"Siapa dulu donk, pilihan abi." abi Sholeh membanggakan dirinya karna dialah yang turun tangan untuk mencarikan calon pendamping untuk sang putra bungsunya, dia sudah mengamati putri sahabatnya itu sejak lama, dia tahu Tari gadis baik dan sholehah, sehingga tanpa ragu pada akhirnya dia melamar Tari untuk putranya.

"Iya abi, aku sangat beruntung akan hal itu." balas Budi menggenggam tangan istrinya.

"Mesranya ya bi, jadi iri umi." goda umi Warsih melihat bagaimana putra kesayangannya memperlakukan Tari.

"Kan ada abi mi, umi juga bisa mesra-mesraankan."

"Hussh kamu ini Budi, wong kami ini sudah renta, gak pantas kayak anak muda."

Budi terkekeh, sementara Tari hanya tersenyum menanggapi cletukan ayah mertuanya.

"Gak sabar ya bi ingin segera gendong cucu."

"Doakan ya bi, mi, semoga secepatnya kami bisa memberikan abi dan umi cucu, iyakan dek." Budi menoleh ke arah Tari yang berada disampingnya.

Tari menatap Budi dengan penuh keheranan, seolah tatapannya itu berkata, "Mas, bisa-bisanya mas bilang begitu, sementara selama satu minggu pernikahan kita mas belum pernah menyentuh aku."

Iya, mereka belum melakukannya sama sekali sejak mereka dinyatakan sah menjadi sepasang suami istri, ada saja alasan Budi untuk tidak menyentuh Tari, ya kelelahanlah, sibuklah, atau apalah, dan disini, Tari hanya bisa maklum dan sama sekali wanita yang bergelar istri dan sampai saat ini masih perawan itu tidak pernah berfikir macam-macam tentang suaminya, dia selalu positif thinking dan berusaha untuk mengerti situasi yang dihadapi oleh sang suami.

"Iya abi, umi, doakan kami ya supaya bisa secepatnya memberikan cucu." ujar Tari pada akhirnya.

"Tentu saja sayang, kami selalu mendoakan kalian."

******

Malamnya, Tari membawakan sebuah minuman untuk suaminya, biasanya dia selalu membuatkan coklat panas, tapi kali ini berbeda, dia membawa dua gelas minuman berwarna kuning agak kecoklatan.

"Lho, apa itu dek." Budi bertanya saat melihat apa yang dibawa oleh Tari, "Coklatnya mana."

"Kata umi ini jamu mas, umi meminta Tari untuk membuatkannya untuk mas, tidak hanya untuk mas Budi saja sieh, umi juga meminta Tari untuk minum juga." jawab Tari jujur, "Jadi untuk malam ini, coklat hangatnya alpa dulu ya."

Sebelum pulang, ibu mertuanya sempat memberikannya bungkusan dan katanya itu jamu yang bagus, tidak ada keterangan apa-apa setelah itu, ibu mertuanya itu hanya mengatakan supaya Tari dan Budi meminumnya.

"Ohh." respon Budi acuh tak acuh.

Tari membawa minuman itu ke hadapan suaminya, "Taruh saja dulu dek, mas belum ingin meminumnya."

Tari mengangguk, dia kemudian meletakkan nampan tersebut dinakas samping tempat tidur.

********

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!