"Ayah, bangun, ayah! Ini udah jam setengah 6, ayah, nanti kesiangan loh, berangkatnya!" Suara wanita yang terus berteriak-teriak membuat laki-laki yang bernama Bima Erlangga, terusik dari tidurnya.
Pria itu menggeliat, membuka matanya yang terasa berat, secara perlahan, sepasang matanya mengerjabkan-ngerjab, memandang sosok wanita cantik yang kini berdiri disamping ranjang, sedang menatap kearahnya.
"Hoam!" Bima menutup mulutnya yang menguap, "5 menit lagi, ya, nak, ayah masih ngantuk banget!" Ucap Bima dengan suara khas orang bangun tidur, tangannya meraih bantal disampingnya, dan menutupi mukanya, suara dengkuran halus terdengar.
"Ayah! Jangan tidur terus, nanti kebablasan loh!" Kesal gadis yang bernama Ardelia berkacak pinggang,
"Ayah!" Panggil Ardelia lagi, namun, bima tak menjawabnya, membuat gadis itu jengkel.
"Ayah! Bangun, gak! Cepetan bangun!" Ardelia mengguncang lengan bima kuat-kuat memaksa pria itu untuk segera bangun dari tidurnya.
"Ayah!! Gak usah pura-pura tidur, deh! Jangan ngeselin Napa!" Omel Ardelia menarik bantal yang menutupi muka bima secara paksa. Hingga bantal itu terlepas dari tangan bima.
Bima tersentak, bangun dari tidurnya, dengan muka yang masih mengantuk, ia mengubah posisinya menjadi duduk, kepalanya menunduk. Bima mengumpulkan seluruh nyawanya yang masih nyangkut dialam mimpi,
"Ayah!" Rengek Ardelia.
"Ada apa del?! Hm?!" Tanya bima perlahan mendongak menatap gadis berparas cantik didepannya, dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai.
"Mandi sana yah! Nanti kesiangan loh, kekantornya, apalagi ini hari Senin, jalanan macet banget yah, emangnya ayah gak kekantor, apa?!" Tanya Ardelia duduk disamping ranjangnya.
"Emangnya ini jam berapa?!" Tanya bima balik. Mengerjabkan matanya.
"Jam setengah 6, ayahku!" Gemas Ardelia. Bima mengganguk pelan.
"Kamu gak sekolah?!" Tanya bima suara serak khas bangun tidur.
"Sekolah, yah!"
Bima mengucek-ngucek kedua matanya. "Terus kenapa belum siap-siap?! Hm?!" Tanya bima lembut.
"Gak usah mikirin, adel, yah, Adel mah gampang, bisa nanti, siap-siapnya...... adel pengen bangunin ayah, dulu, biar nggak tidur terus," kata Adel menghela nafas berat.
"Gampang gimana?! Cewek tuh biasanya dandannya lama loh, bisa 1 jam! Beda sama cowok! Sisa mandi 2 menit, udah bisa langsung berangkat!" Bima heran dengan perkataan Adel yang mengampangkan dirinya.
"Hah?! 2 menit?! Mandi apaan itu yah! Itu mandi atau cuci muka!" Pekik Ardelia terkejut.
"Mandi kilat!" Balas bima nyengir. Ardelia mendengus kesal.
"Ishhh, jorok banget sih! Pasti mandinya gak bersih itu! Kotoran masih nempel ditubuh, aku yakin kalo orang mandi cuman segitu, bakalan bau badan! Bau asem!" Ardelia menutup hidung dengan ekspresi jijik.
"Gak juga ah, itu mah tergantung tubuhnya, pola makan juga menentukan bau badan, Adel, rata-rata orang bau badan itu karena, gak menjaga pola makan sehat, mereka banyak mengkonsumsi makanan junk food, itulah yang bikin bau badan, itu sih, setahu ayah!" Ujar bima menggaruk pelipisnya.
"Masa sih, yah?!" Adel mengerutkan keningnya, bima mengganguk-nganggukan kepalanya.
"Buktinya, ayah! Ayah itu sering jaga pola makan, makanya tubuh ayah gak bau!" Kata bima lagi,
"Alah, bisa aja bohongnya, aku yakin tubuh ayah juga bau banget! Bau acem!" Ejek Ardelia menjulurkan lidahnya.
Bima mengendus-endus tubuhnya yang wangi menurutnya, lalu beralih menatap Adel. "Cium aja nih, kalo gak percaya! Sewangi apa tubuh ayah! Biar kamu yakin kalo ayah ini wangi banget" Pinta bima enteng.
"Gak mau yah!" Ardelia menggeleng dengan pipi yang memerah, "aku percaya kok, kalo ayah emang wangi banget! Makanya aku suka wangi tubuh ayah!" Ardelia membuang mukanya kesamping, sontak bima mengerutkan keningnya saat mendengar jawaban Ardelia.
"Kamu suka cium-cium ayah?!" Tanya bima penasaran.
Ardelia menggeleng pelan, tanpa berani menatapnya. "Kok malah bahas gituan sih, yah!" Lirih Adel. Bima masih terdiam mengamati gelagat Adel yang mencurigakan menurutnya, apa ada yang disembunyikan oleh Adel terhadap dirinya.
"Kamu ga-"
"Aku mau mandi dulu, yah!" Potong Adel beranjak dari kasur, bergegas keluar ruangan, langkahnya terhenti.
"Ayah, kalo mau makan nanti, makan aja ya! Kebetulan Adel udah masakin sarapan, buat ayah! Bye, ayahku yang ganteng!" Ucap Adel melenggang pergi meninggalkan bima yang melongo diatas kasur.
"Adel, Adel, ada-ada aja tingkah kamu, itu! Nak!" Bima turun dari ranjangnya, keluar dari kamar, dengan langkah tergesa-gesa ia menuju kamar mandi. Didalam kamar mandi, ia masih tidak mengerti dengan sikap Ardelia yang tampak aneh selama ini.
Ardelia Maharani, atau yang biasa dipanggil dengan Adel itu, panggilan Adel khusus untuk orang-orang terdekat saja seperti bima.... Ardelia Maharani, dia anak adopsi bima atau istilah kasarnya, anak pungut, bima mengadopsi dia sejak masih bayi,
Bima mengadopsi Ardelia saat dirinya baru menginjak umur 16 tahun. saat itu. Sebuah tragedi kecelakaan dialami kedua orangtuanya, dari situlah awal mula kehidupannya hancur dan terpuruk sedalam-dalamnya, semangat yang menggebu-gebu sirna begitu saja, tidak ada artinya lagi hidup sejak kedua orang tuanya meninggal. dimana saat kejadian itu bima mendapatkan informasi dari orang kepercayaan ayahnya, jika kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan tragis. Mobil yang dikendarai kedua orang tuanya masuk kedalam jurang, sampai-sampai mobil itu meledak, hancur tak tersisa.
Bima tentunya masih belum percaya, dia mau mencari bukti terlebih dahulu tentang kecelakaan itu, ia ingin memastikan apakah ucapan orang kepercayaan keluarganya ini benar atau tidak, bima mencari bukti tentang informasi itu dibantu oleh orang kepercayaan yang mengatakan bahwa kedua orang tuanya meninggal, orang kepercayaan keluarga bima waktunitu mengajaknya kelokasi kejadian, sesampainya dilokasi kejadian, banyak orang yang mengerubungi tempat itu, berbincang-bincang dan mengatakan jika ada mobil yang masuk kedalam jurang, ada salah satu mereka yang mengenal pemilik mobil itu, sebelum mobil tersebut hangus. Bahkan ada beberapa orang-orang yang memfoto mobil tersebut saat masuk kedalam jurang yang cukup dalam dibawah sana.
dengan hati yang cukup gelisah, Bimapun menanyakan kebeberapa orang disana dan ada beberapa petugas yang tengah menginvestigasi, ada salah satu dari Meraka yang mengatakan jika pemilik mobil tersebut, yaitu, dengan nama......(Orang tua bima) Tentunya bima agak syok disitu mendengarnya, namun ia masih mengelak dan malah membentak-bentak orang itu, hingga ada beberapa massa disana yang ikut menimbrung dan mengatakan hal yang sama, karena, mereka tahu siapa pemilik mobil berwarna hitam dengan plat nomor...... Bima disitu terhenyak, perasaannya seketika campur aduk.
"I-ini mas, saya ada foto mobilnya!" Kata salah satu laki-laki menunjukkan foto. Sontak bima melihat foto yang dimaksud oleh laki-laki itu,
Seketika Matanya melotot sempurna, wajahnya pucat, jantungnya seolah berhenti berdetak, hatinya tersayat, aliran darah seolah-olah berhenti saat menyaksikan foto tersebut, tanpa sadar air matanya jatuh beruntuhan. Bahkan kakinya terasa tak bertulang, hingga ia bertekuk lutut dijalan.
"Gak, gak mungkin, gak mungkin!" Teriak bima menangis frustasi. Ia merasa hidupnya hancur berantakan, ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.
Bima menangis tersedu-sedu sambil berteriak-teriak, tentunya ia masih belum yakin dengan kenyataan ini, disela-sela menangis, bima memukuli kepalanya, meremas rambutnya frustasi.
Beberapa warga yang melihat bima depresi berat akibat kejadian ini, berusaha membantu menenangkannya, orang kepercayaan keluarga bima pun ikutan menenangkan tuannya yang tengah terpuruk ini,
"Lepas!" Teriak bima saat tangannya ditahan oleh orang kepercayaan.
"Tu-tuan, jangan menyakiti diri anda sendiri!" Katanya tak peduli dengan bima yang meraung-raung dan memberontak, meminta dilepaskan.
"Katanya mamah sama ayah berjanji untuk tetap hidup, demi menjaga bima dan merawat bima, hiks... terus, kenapa sekarang kalian malah ninggalin bima, Kenapa?! Kenapa kalian malah ingkar janji!!" Teriak bima terisak, dadanya terasa sangat sesak, sampai-sampai dirinya sulit untuk menghirup udara.
Bima terus menangis-nangis disitu, ia merasa hidupnya sudah tidak berarti lagi saat kedua orangtuanya meninggal, pikirannya terhimpit oleh beban berat ini, ia masih sulit menerima fakta menyakitkan ini, sangat sulit, bagaimana tidak, baru beberapa jam sebelum kejadian, ia bertemu kedua orangtuanya yang ingin pergi, dan berpamitan kepadanya.
"Mah, pah, kapan pulangnya?! Jangan lama-lama ya! Bima kangen!" Kata bima berharap.
"Nak! Jaga diri kamu baik-baik ya! Mamah sama papah mau pergi dulu! Mungkin mamah sama ayah bakal pergi dalam waktu yang cukup lama! Sayang," tutur ibunya bima waktu itu.
"Lamanya kapan, mah, pah?!" Tanya bima lembut.
"Entah, sayang, mungkin lama banget! Kayaknya mamah, sama papah, gak bakalan pulang kerumah, nak," Kini ayah bima yang menjawab seperti itu. Bima menghela nafas dan mengganguk pasrah,
Sebelum orang tuanya berangkat bima memeluk keduanya sangat erat bak melepaskan rasa rindu yang begitu berat, sebenarnya bima tidak rela ketika orang tuanya pamit pergi, entah mengapa hatinya diliputi kegelisahan. Firasat tidak enak, muncul disela pelukannya, bima yang merasa was-was memohon kembali, agar keduanya tidak pergi, tetapi, yang namanya orang tua selalu menjelaskan jika ini mengenai bisnis dan menyakinkan kembali bahwa mereka akan baik-baik saja sampai tiba dirumah.
Larangan yang cukup membekas diingatannya, antara Kesal, kecewa, sedih dan banyak lagi perasaan-perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Kenapa tidak nurut aja sih? Kenapa harus pergi? Bima masih belum bisa menerima takdir pahit ini.
"Pergilah! Aku butuh waktu sendiri!"
Bima menyuruh bawahannya untuk meninggalkan dirinya seorang diri, ia ingin menenangkan diri terlebih dahulu. namun, bawahannya ragu dan tak yakin dengan permintaan bima, alhasil bawahannya tidak menuruti. Tak menyerah sampai situ, Bima memohon kembali, sampai berjanji-janji kepada bawahannya, jika dia akan baik-baik saja nanti, ia hanya butuh ketenangan dan butuh waktu untuk sendiri kali ini, ayolah. bima terus meyakinkan bahwa dirinya tidak akan melakukan tindakan macam-macam. Sang bawahan pun menuruti permintaannya, kalo bima terus dikekang saat terpuruk begini, bisa-bisa majikannya itu stres berat.
Bima berjalan dengan langkah lunglai, tanpa tahu arah tujuannya, kepalanya terus menunduk menatap aspal jalanan, ia merenungi nasibnya sendiri yang cukup naas, disela-sela renungannya, ucapan kedua orang tuanya sebelum pergi, terus terngiang-ngiang didalam benaknya, membuat bima kembali bersedih. Mengingat itu semua.
"Pantesan, aku merasakan kegelisahan dan firasat buruk! Ternyata, ini penyebabnya ya!" Mata bima berkaca-kaca.
"Lama banget ya, mah, pah, perginya?! Sampe-sampe mamah sama papah pergi meninggalkan bima sendirian disini dalam waktu yang lama banget!" Bima menghela nafas berat. " Bukan lama lagi, kalian pergi dan tidak akan pernah kembali lagi!" Bima meneteskan air mata, dengan cepat ia mengusap airmatanya.
Tak mau lama-lama bersedih, bima terus melangkah melewati beberapa bangunan, jalanan begitu sepi, pepohonan rindang ada dikanan dan kiri, entah dirinya sudah berada dimana kali ini, bahkan jalanan yang tadinya aspal berubah menjadi tanah. Yang dipenuhi bebatuan kerikil.
Pria itu mendongakkan kepalanya, celingak-celinguk kekanan dan kekiri, ingin mengetahui dirinya sudah dimana. Bima tersentak saat melihat pemandangan ini, didepannya banyak ilalang-ilalang yang cukup tinggi, kanan kirinya pepohonan yang menjulang keatas.
"Aku, hampir dihutan!" Gumam bima kaget, matanya terus mengedar mencari sesuatu disana, sorot matanya tak sengaja menangkap sebuah bangunan besar disana, bangunan itu kosong, dinding catnya mengelupas, memperlihatkan lapisan bawah yang kusam dan retak, akar pohon besar mengantung dari atap yang runtuh, bagian kanan dan kiri dibawahnya, dipenuhi akar-akar kecil, bagian sudut-sudutnya dipenuhi bercak lumut, menandakan berapa lama tempat itu ditinggalkan. Jendela-jendela kaca, sebagian besar pecah, bangunan itu tidak memiliki pintu,
Bangunan itu sangat mencekam, bagi siapapun yang melihatnya, namun tidak dengan bima, ia merasa bangunan ini adalah tempat yang cukup baik untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Perlahan ia melangkah menuju bangunan kosong itu, dengan langkah yang cukup hati-hati, karena, didepannya ada beberapa serpihan beling, yang bisa saja menancap dikakinya, walaupun ia memakai sepatu pun, tidak akan mempengaruhi beling itu untuk menancap, menembus kakinya.
Sesampainya didalam bangunan, bima melihat sofa bekas yang dipenuhi debu dan rusak. Ia duduk disana, tak peduli walaupun sofa ini rusak, ia menundukkan kepalanya, pandangannya kosong, hari ini menurutnya, hari yang cukup menyakitkan dan kelam disepanjang hidupnya, ia tidak akan melupakan hari ini, hari kehilangan kedua orang tuanya.
Disela-sela ia merenung, suara bayi menangis memecahkan keheningan, dan membuyarkan lamunannya,
"Suara bayi?!" Gumam bima bangkit dari duduknya, mencari-cari sumber suara. Namun ia tidak menemukan apapun dilantai bawah.
Suara tangisan bayi itu kembali terdengar, perlahan, sedang, kencang, semakin kencang, suara itu terdengar begitu melengking ditelinganya, seketika bima merinding, bulu kuduknya berdiri.
"Jangan-jangan...." Mata bima melotot membayangkan bayi itu makhluk halus. Ia ingin keluar dari sini, namun langkahnya terasa berat, suara bayi itu terus menangis mengusik hatinya.
"To-tolong, jangan bikin saya takut! Saya disini gak ganggu kalian kok! Saya cuma pengen nenangin diri doang!" Panik bima meminta maaf pada penghuni rumah kosong.
Suara bayi yang menangis tadi, terdengar merintih, memilukan hati, suara itu terus terdengar tanpa henti, bima semakin terusik, rasa takutnya kini berganti menjadi rasa penasaran.
Ia memasang telinganya baik-baik, mencoba mendengar dari mana suara bayi itu berasal, pandangannya seketika beralih kelantai atas, bima mengerti sekarang, dengan langkah tergesa-gesa ia menaiki anak tangga menuju keatas. Setibanya diatas, ia berlari kesana-kemari, mencari bayi tersebut, suara bayi kembali terdengar, bima tersentak dan menatap sebuah pintu kayu disampingnya.
"Kayaknya ini deh!" Bima mendekat, tangannya terulur memegang gagang pintu, perlahan ia membuka pintu,
"Bayi siapa ini?!" Matanya terbelalak, mulutnya mengganga saat pandangannya tak sengaja menangkap sosok bayi yang berbaring diatas kain usang. Bima mendekat, menelisik bayi itu, wajah bayi tersebut merah dan matanya sedikit terbuka, isakan tangisnya pecah dalam ruangan ini.
"Kasian sekali nasib dia! Masih kecil udah dibuang sama orang tuanya!" Bima terenyuh melihat kondisi bayi itu, tanpa pikir panjang ia mengambil bayi tersebut, dengan hati-hati, bima mengangkat tubuh mungil itu, seketika bayi itu terdiam, bima menghembuskan nafas lega, ia menelisik bayi itu, wajahnya begitu imut dan lucu, kulitnya putih bersih. Pipinya sedikit berisi. Hatinya mendadak sedih.
"Kasian sekali bayi ini, dia dari kecil sudah dibuang sama orang tuanya! Ditempat seperti ini, sedangkan aku, aku aja tidak pernah dibuang oleh orang tuaku, aku begitu disayangi dan dicintai oleh kedua orang tuaku, beda sekali dengan bayi ini, dia tidak mendapatkan apapun dari kecil...... Seharusnya aku bersyukur karena aku pernah merasakan hidup enak, sedangkan bayi ini, dari kecil...." Bima tak sanggup meneruskan perkataannya, air mata lolos dari sudut matanya. Mengenai kain si bayi.
"A-aku berjanji, aku akan merawat kamu, bayi kecil, seperti orang tua yang merawat anaknya sendiri, dan aku juga berjanji akan berperan sebagai ayahmu sendiri, dan kamu akan aku anggap sebagai anakku! Gimana?! Hm?!" Tanya bima tersenyum manis, tangan bayi itu bergerak, meraih pipi bima. Tangan mungil itu halus sekali saat menyentuh wajahnya,
"Kayaknya jenis kelamin bayi ini perempuan deh!" Gumam bima.
Bima berpikir sejenak untuk memberi nama untuk bayi tersebut,
"Ayah, akan memberi nama buat kamu, Ardelia Maharani, gimana bagus kan?! Nama ini akan menjadi bagian perjalanan hidupmu," bima mengecup pipi bayi itu gemas.
Takdir membawa bima kedalam keterpurukan, setelah kehilangan kedua orang tuanya, akibat kecelakaan tragis dimasa lalu, kejadian itu cukup membekas didalam benaknya dan menyisakan rasa traumanya mendalam. Namun dibalik luka dan trauma yang ia rasakan, disitulah tuhan mempertemukan dirinya dengan bayi kecil— Ardelia Maharani, ini bukan pertemuan biasa, tetapi pertemuan yang sudah digariskan oleh tuhan lewat takdir.
Kehadiran Adel dihidupnya bukan sekedar kebetulan, melainkan sebuah jalan yang dititipkan takdir untuk memberinya alasan baru, tuhan mengirimkan Adel untuknya, pasti ada alasan yang jelas.
Mungkin, kehadiran Adel dalam hidupnya bagai obat yang perlahan menyembuhkan luka, mengisi kekosongan, dan membawa cahaya di tengah kegelapan yang pernah menyelimuti hatinya.
Dibalik takdir pasti ada hikmah yang bisa dipetik, tidaklah tuhan menguji seorang hamba, melainkan sebatas kemampuannya saja.
Tuhan mencabut satu nikmat dalam hidup kita untuk menguji keimanan kita kepadanya, seberapa hebat kita dalam bertahan dan melewati ujiannya. jika kita berhasil melewatinya, tuhan akan mengangkat derajat kita dan menggantinya dengan kenikmatan yang melimpah diujung sana.
Tidaklah tuhan mengambil sesuatu yang berharga dari kita, kecuali menggantikannya dengan yang lebih baik.
Seperti nabi Ayub yang diuji selama 18 tahun, namun karena keteguhan dan kesabarannya dalam melewati ujian tersebut. Akhirnya ia mendapatkan nikmat terbesar dari Allah sebagai hadiah untuk keberhasilannya.
Balik lagi ke bima.
"Astaga, gue mau rawat bayi, terus nyusuinnya gimana? Masa harus....." Ucap bima bingung sendiri saat itu.
Kini bima dan Ardelia berada dimeja makan, seperti biasa keduanya selalu sarapan bersama, sebelum berangkat, suasana hening, hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring,
"Del!" Panggil bima sembari mengunyah.
"HM!" Balas Ardelia dengan pipi mengembung,
Bima menelan makanannya, sebelum bertanya sesuatu yang menarik baginya. "Del, kamu punya temen cewek gak?!" Tanya bima serius.
"Punya yah! Ada 2, bukan temen sih, tapi sahabat aku, Tumben banget ayah nanya-nanya temen aku, emangnya ayah mau ngapain, HM?!" Tanya Adel mengerutkan keningnya, tatapannya memicing.
Bima menggeleng. "Gak papa kok, ayah cuman pengen nanya doang...... Jadi...."
"Jadi apa yah?" Tanya Adel antusias reflek menggebrak meja, membuat bima kaget.
"Sabar del!" Bima mengelus dadanya berulang kali, sembari menghembuskan nafas panjang.
"Jadi apa, yah! Jangan ngalihin pembicaraan!" Desak Adel penasaran.
Bima menggaruk tengkuknya. "Jadi, boleh dong kenalin temen cewek kamu, sama ayah! Sia-"
"Buat apa?! Buat apa aku ngenalin temen aku sama ayah?!" Potong Adel cepat.
"Ya, buat jadi pendamping hidup ayah lah, siapa tau ayah bisa naksir sama temen kamu, atau nggak, siapa tau sahabat kamu, bisa jadi ibu pengganti buat kamu, kan! Bener gak?!" Tanya bima yang menginginkan seorang istri selama ini, namun Adel selalu saja melarangnya, dengan alasan apapun, seperti dia tidak mau memiliki seorang ibu, takutnya ibu sambung bakalan jahat kayak di film-film, padahal mah, tidak semuanya begitu,
"Aku gak mau yah! Aku gak mau punya ibu sambung, lagian, buat apa juga ayah nyari pendamping hidup! Kan, ada aku disini yang selalu menemani ayah! Emangnya aku gak cukup buat ayah?!" Tanya Adel marah, namun terdengar ambigu ditelinga bima,
Kenapa Adel selalu saja marah, dan berubah sifatnya menjadi aneh, ketika bima mengatakan bahwa dirinya butuh pendamping, apakah ada yang salah dengan ucapannya? Lantas kenapa Adel marah?
"Bu-bukan, gitu, sayang, ayah cuman pengen punya temen hidup aja, yang bisa menemani ayah dimasa tua nanti, ngurus ayah dan bisa punya anak dimasa depan kelak, masa ayah nantinya hidup sendirian terus dimasa tua, kalo ayah sakit atau kenapa-kenapa siapa yang mau ngurus? Hm?" Bima memberi pengertian dan bertanya.
Adel menatap bima dengan tatapan yang sulit diartikan, perlahan ia menghembuskan nafasnya, "ada Adel, yah! Adel siap temenin ayah seumur hidup, ngurusin ayah, Adel siap melakukan segalanya demi ayah! Adel gak akan merasa ngerepotin, karena ayah segalanya bagi Adel!" Balas Adel dengan suara yang terkesan tegas, namun sangat aneh bagi bima.
"Yang bener aja, ayah diurusin sama kamu sampe tua! Emangnya kamu gak nikah gitu? Kamu gak mau punya suami atau bisa ngerasain yang namanya punya pasangan nanti?" Tanya bima yang tak setuju dengan perkataan Adel, bagaimana mungkin, ia mau ditemenin Adel sampai dihari tuanya, hidup bersama Adel saja kadang membuatnya kelimpungan dengan sikap anak gadisnya tersebut.
Dirumahnya ini saja, bima hanya tinggal berduaan selama ini, tadinya ada beberapa art yang bekerja, namun Adel selalu berbuat hal-hal aneh yang membuat para art tak betah bekerja disini dan memutuskan untuk risegn, alhasil bima kewalahan, setiap dirinya meminta izin untuk memperkerjakan art, Adel selalu saja tak mengizinkannya, banyak sekali alasan yang Adel berikan agar para art tak bisa bekerja disini dan tak dipekerjakan olehnya. Adel mengatakan jika dirinya bisa memasak, mencuci, bahkan mengurus pekerjaan rumah, memperkerjakan art hanya membuang-buang duit saja. Padahal bima sendiri tidak mempermasalahkan tentang uang, namun Adel saja yang selalu mempermasalahkan itu, hingga bima hanya bisa mengalah, kalau tidak mengalah, pastinya, Adel akan ngambek dan nangis-nangis, entah kenapa Adel selalu begitu, apa yang membuatnya ingin tinggal berduaan terus dengannya, bima sadar, dia hanya laki-laki normal yang mempunyai nafsu jika hidup bersamaan terus dengan Adel,
Apalagi Adel sering banget memakai pakaian yang sangat menggoda imannya, tentu saja bima menahan diri selama ini untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang menjerumuskan ketahap lebih parah. Menahan nafsu itu sangatlah sulit, diumurnya yang segini, bima juga ingin merasakan bagaimana rasanya melakukan hubungan itu, tetapi, ia selalu mengurungkan niatnya, karena ia punya Adel, jika dirinya merusak wanita lain, pasti imbasnya suatu saat nanti akan terkena pada Adel. Hukum tabur tuai itu benar adanya.
Kedua orang itu kini sedang dalam perjalanan mengendarai mobil, seperti biasa bima selalu menyetir, tujuan pria itu mengantar Adel kesekolah terlebih dahulu.
Sesampainya didepan gerbang sekolah, bima menghentikan mobilnya.
"Ayah, lepasin dong!" Rengek Adel manja.
Bima dengan perlahan melepaskan seat belt Adel.
"Kamu, manja sekali sih del! Udah gede juga!" Bima geleng-geleng kepala.
"Emang salah ya, manja sama ayah sendiri?" Tanya Adel mengerucutkan bibirnya.
"Manja tuh, sama pacar, bukan sama ayah!" Omel bima menggulum senyumnya.
Adel beralih menatap bima dengan raut wajah yang sulit diartikan. "A-aku sudah punya pacar yah!"
"Serius? Kamu udah punya pacar? Siapa pacar kamu, kok, ayah gak tau?" Tanya bima membrondong.
"Ada! Pacar aku ganteng banget!"
"Lebih ganteng mana sama ayah?" Tanya bima lembut.
Adel terdiam dengan tatapan yang intens menatap sang ayah.
Bima berdehem kecil menetralisir rasa tegangnya. "Nanti, kapan-kapan kenalin sama ayah ya! Ayah pengen liat laki-laki mana yang bisa ngeluluhin hati kamu!" Pinta bima yang penasaran siapa laki-laki yang memikat hati Adel, tentu saja ia kepo, karena, Adel sangat sulit ditaklukkan, banyak laki-laki yang mengincarnya, namun ia selalu menolaknya dengan berbagai alasan.
"Aku gak bisa yah! Aku gak bisa ngenalin dia sama ayah! Ini rahasia aku, cukup aku aja yang tahu!" Lirih Adel menundukkan kepalanya.
"Loh, loh, kenapa rahasia? Hm? Ayah janji gak bakalan marahin kamu, kok, ayah cuman pengen tahu doang, del!" Bima memberi pengertian.
Adel mengangkat kepalanya dan menggeleng cepat, rambutnya ikut bergoyang-goyang. "Gak mau ayah! A-aku gak bisa ngenalin dia sama ayah!" Mata Adel berkaca-kaca.
Bima mengerutkan keningnya, "kamu, kenapa mau nangis, sayang? Ada apa? Apa permintaan ayah salah? Kalo ayah salah, ayah minta maaf ya!" Bima menangkup kedua pipinya dengan tatapan bersalah.
"Ga-gak, ayah gak salah kok, cuman, akunya aja yang terlalu...." Adel meneteskan air matanya. Dengan cepat bima menyeka air mata sang anak, rasa penyesalan kian menyeruak.
"Maafin, ayah ya, gara-gara ayah yang kepo, kamu jadi nangis, ayah janji gak bakalan minta kamu bawain pacar lagi! Itu hak kamu, itu juga hak privasi kamu! Kamu bebas menentukannya, mau dipublish atau tidak! Maafin ayah ya, del!" Bima meminta maaf dengan sangat tulus. Adel menggangukan kepalanya.
"Aku udah maafin ayah, ayah jangan pernah merasa bersalah gitu, ya." Tangan Adel membelai pipi bima lembut. "Aku berjanji, suatu saat nanti, aku bakal ngenalin dia sama ayah!" Adel tersenyum manis.
Jantung bima berdebar kencang, saat merasakan sentuhan halus dan lembut dari Adel, ada perasaan aneh yang berdesir didalam hatinya. Entah apa maksudnya.
"Ayah!"
Lamunan bima buyar. Pria itu berdehem membalasnya.
"Aku mau Salim, ulurin tangannya!" Pinta Adel, bima menggulurkan tangannya.
Adel mengambil dan menciumnya dengan sangat lembut, begitu lama Adel mencium punggung tangan bima, seakan tidak mau melepaskannya.
"Udah, dong, ciumannya, betah amat kamu del lama-lama cium tangan ayah, del" Canda bima. Adel melepaskannya dan nyengir kuda.
Adel mendekatkan wajahnya, mengikis sedikit jarak dengan bima.
Cup!
Cup!
Adel mengecup pipi bima, bagian kanan dan kiri, lalu mengecup bibir sang ayah dengan sangat lembut, jantung bima berdebar kencang dengan aksi Adel, walaupun Adel sangat sering menciumnya, namun ciuman kali ini terasa sangat berbeda, setiap bima ingin menolaknya, Adel akan ngambek dan menangis-nangis, ujung-ujungnya ia harus membujuknya, kalau tidak dibujuk, Adel akan memusuhinya seharian dan tak akan memasak untuknya. Begitulah Adel, anak gadisnya ini sangatlah manja dan ngambekan, tanpa mau diganggu gugat, apapun kemauannya.
Bima pun tak terlalu mempermasalahkannya, karena, hanya Adel yang ia punya sebagai keluarganya sendiri. Begitupun dengan Adel, gadis itu pernah mengatakan, jika bimalah yang ia punya didunia ini, seluruh dunianya hanya bima dan bima, kalau bima pergi meninggalkannya, Adel tak akan punya semangat untuk hidup lagi, bahkan jika bima meninggalkannya demi seorang wanita lain. Adel akan bertindak tegas dan mengancam untuk mengakhiri hidup. Inilah yang membuat bima tidak menikah-nikah selama ini, disaat dirinya menikah, Adel pasti akan bertindak seperti itu.
Sebagai orang tua, bima tak mau kehilangan Adel, ia sudah menggangap Adel itu anaknya sendiri yang harus ia rawat dan ia jaga sepenuh hati.
"Aku duluan ayah! Bye!" Ucap Adel melambaikan tangannya dengan senyuman manis yang terhias diwajah cantiknya. Entah sejak kapan wanita itu sudah turun dari mobilnya.
"Adel nyium aku?" Bima meraba-raba bibirnya sendiri, bibir Abel masih terasa ketika anak gadisnya mencium bibirnya,
Adegan tadi terus terngiang-ngiang didalam benaknya, benda kenyal itu manis, lembut, dan membuatnya candu, pikiran bima tertuju, pada Adel yang menciumnya lalu bima menahan tengkuk Adel dan berciuman panas didalam mobil.
Bima tersentak dan menggeleng cepat. "Mikir apaan sih Lo bim! Dia anak Lo gak sepantasnya Lo
berpikiran jauh gitu!" Omel bima pada dirinya sendiri, kemudian menginjak gasnya meninggalkan sekolah Adel.
Pagi itu, langit tampak cerah. Matahari bersinar hangat, menyinari halaman sekolah yang mulai dipadati murid-murid. Adel berjalan melewati gerbang sekolah dengan langkah malas. Wajahnya datar, tetapi matanya sesekali melirik ponsel di tangannya, menunggu pesan yang tak kunjung datang.
Adel bukan tipe siswi yang banyak bicara. Dia tidak memiliki banyak teman, dan bukan karena dia tidak menarik atau pintar, tetapi karena dia sendiri yang menjaga jarak. Dia hanya tertarik pada satu orang saja.
Walaupun begitu, Adel ini termasuk wanita yang sangat cantik, memiliki kulit yang putih bersih, dengan rambutnya dibiarkan digerai, selain itu, ia juga mempunyai senyuman yang sangat manis, bisa memikat hati siapapun lewat senyumannya saja. Adel ini salah satu top primadona disekolah, banyak laki-laki yang mengincarnya, namun Adel selalu menolaknya dengan berbagai alasan, walaupun ia menolak laki-laki, tetap ada saja perempuan dari geng lain yang tidak suka dengannya, Mereka menggangap Adel itu saingannya.
Benar saja, saat dirinya sedang melangkah, tiba-tiba ada suara seseorang yang memanggilnya.
"Delia! Delia!" Panggil seseorang laki-laki tampan dari belakang.
Adel menghela nafas berat lalu berbalik. "A-ada apa sih, Rendi! Stop manggil-manggil gue dengan sebutan Delia! Gue gak suka! Lo udah sering gue tolak, tolong jangan berharap banyak sama gue! Karena gue gak akan mencintai Lo!" Tegas Adel menyerocos sebelum Rendi mendekatinya.
"Tapi." Belum selesai Rendi berbicara, Adel langsung melonggos pergi meninggalkannya.
"Ishhh, apaan sih dia itu! Udah tau aku gak suka! Masih aja ngejar-ngejar! Kayak gak ada cewek lain aja, lagian, aku juga cuma suka sama satu orang! Dan itu..." Pipi Adel seketika memerah bak kepiting rebus.
Begitu bel masuk berbunyi, Adel masuk ke kelas tanpa semangat. Pelajaran berlangsung seperti biasa, tetapi pikirannya mengembara. Dia teringat pagi tadi, saat Bima hanya mengucapkan selamat pagi dengan nada datar sebelum pergi ke kantor. Tidak ada perhatian khusus, tidak ada tatapan hangat seperti yang ia harapkan.
Saat istirahat, Adel duduk sendirian di taman belakang sekolah, menggulir ponselnya. Dia membuka pesan terakhirnya dengan Bima semalam.
"Jangan tidur larut." Pesan bima.
Itu saja. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada perhatian lebih. Adel menggigit bibirnya kesal. Baginya, Bima harusnya lebih peduli. Dia ingin mendapatkan perhatian lebih dari pria itu bukan sebagai ayah tiri, entah apa yang dia inginkan.
Tiba-tiba, seorang teman sekelasnya, Sinta, novi datang dan duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa sih, Del? Dari tadi ngelamun terus," tanya Sinta sambil menyedot minuman dinginnya.
"Nggak kenapa-kenapa," jawab Adel singkat.
Sinta mengangkat bahu. "Oh iya, lo tahu nggak? Ada gosip kalau asisten papa Lo itu, om Bastian, katanya deket sama sekretaris barunya."
Adel langsung menoleh. "Hah? Kenapa tiba-tiba ngomongin dia?"
Sinta terkikik. "Soalnya katanya dia tuh pinter banget deketin cewek. Jangan-jangan papa Lo juga bakal dijodohin sama orang di kantornya," goda Sinta.
Adel mencengkeram roknya erat. Dia benci mendengar kemungkinan Bima tertarik pada wanita lain.
"Om bima ganteng banget, sih, gue juga mau kalo modelan kayak dia mah!" Goda Novi angkat suara.
Adel menoleh kearahnya dengan raut wajah kesal, dia tak suka dengan teman-temannya yang menyukai bima.
"CK, jangan pernah suka sama ayah gue! Dia gak akan tertarik sama kalian!" Tegas Adel bangkit dari duduknya meninggalkan mereka berdua yang saling berpandangan.
Di Kantor.
Di sebuah gedung perkantoran yang megah, Bima duduk di belakang meja kerjanya, menatap layar laptop dengan serius. Di depannya, Bastian, asisten pribadinya sekaligus sahabat dekatnya, pria yang biasa dipanggil Yayan tersebut berdiri sambil membawa beberapa dokumen.
"Pak, ini laporan untuk meeting sore nanti," kata Bastian sambil menyerahkan berkas.
Bima menerimanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Baik. Pastikan semuanya siap. Saya tidak mau ada kesalahan." Jawab bima formal, seperti biasa jika dirinya sedang dikantor, harus profesional.
Bastian mengangguk. "Tentu, Pak. Oh iya, ada beberapa staf yang bilang kalau Pak Bima terlalu sibuk akhir-akhir ini. Mereka menyarankan Bapak untuk sedikit lebih santai."
Bima menyandarkan tubuhnya di kursi. "Santai bukan prioritas saya, Bastian. Saya harus memastikan semuanya berjalan dengan baik."
Bastian tersenyum kecil lalu berdehem ketika bima sedang santai. "Bim, Lo mikirin sesuatu gak Atau mungkin ada yang lo pikirin di luar pekerjaan?" tanyanya hati-hati.
Bima meliriknya tajam. "Maksud Lo apaan, yan?"
Bastian mengangkat bahu. "Adel, misalnya? Gue ngerasa ada yang aneh loh sama di-" ucapan Bastian terpotong saat bima berdehem.
Bima terdiam sejenak. Dia jarang membahas masalah keluarga di kantor, tetapi Bastian memang terlalu jeli dalam membaca situasi.
"Adel masih muda. Terkadang dia terlalu… emosional, yan" kata Bima akhirnya.
Bastian tersenyum tipis. "Bim seriusan nih, gua kan pernah melihat cara Adel menatap Lo tuh. Rasanya beda banget, Bim, gue gak bohong, cara dia natap Lo itu lebih dari sekadar seorang anak kepada ayah tirinya."
Bima mendesah pelan. "Itu hanya perasaan anak remaja yang labil. Bastian. Udahlah, jangan kebanyakan teori, gue lagi pusing!"
Bastian tidak menanggapi, tetapi ekspresinya mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya yakin.
Malam harinya, Di Rumah.
Saat Bima tiba di rumah, suasana terasa tenang. Dia melonggarkan dasinya sambil berjalan menuju ruang tengah. Adel sedang duduk di sofa dengan wajah masam.
"Kamu belum tidur?" tanya Bima.
Adel menoleh, ekspresinya terlihat kesal. "Ayah kemana aja sih, bisa pulang telat."
Bima duduk di seberangnya. "Banyak pekerjaan."
Adel menyilangkan tangan di dada. "Ayah lebih peduli sama kantor daripada aku."
Bima menghela napas. "Bukan begitu, Adel. Ayah bekerja juga untuk masa depanmu."
"Tapi aku butuh ayah di sini, bukan cuma buat kerja! Aku kesepian terus yah! Apakah ayah tidak peduli sama aku? Ayah tidak sayang lagi sama aku?" suaranya mulai meninggi.
Bima menatapnya dengan tatapan tegas. "Adel, jangan mulai lagi deh."
Adel berdiri dan berjalan mendekat. "Kenapa sih, ayah selalu menjaga jarak? Aku ini bukan anak kecil lagi," ucapnya pelan tetapi penuh tekanan.
Bima merasakan jarak di antara mereka semakin menipis. Mata Adel menatapnya intens, penuh perasaan yang sulit diartikan.
"Adel, cukup." Bima berdiri dan menjauh, berusaha mengendalikan situasi. "Sudah malam. Tidurlah."
Adel mengepalkan tangannya. "Kenapa sih ayah selalu lari?"
Bima menutup mata sejenak, mengatur napasnya. Dia tahu, jika dia tidak berhati-hati, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi bisa saja lepas kendali.
Tanpa menjawab, Bima berbalik dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Adel yang masih berdiri di ruang tengah dengan tatapan kecewa.
Di balik pintu yang tertutup, Bima menghela napas berat. Ini bukan pertama kalinya. Dan dia tahu, ini bukan yang terakhir.
"Dia kenapa sih selalu aja gitu? Jadi anak manja banget! Minta deket-deketan, minta inilah, itulah! Bikin gue pusing tujuh keliling ngadepin tingkahnya!" Gerutu bima berjalan kekamar mandi, membersihkan dirinya sendiri.
Tak lama bima keluar dengan handuk yang melilit dipinggangnya, tetesan air dari rambutnya mengenai lantai, sorot matanya tertuju pada pintu yang terbuka. Gegas bima berjalan dan menutup pintunya kembali,
"Siapa yang buka pintu ya?" Tanya bima heran.
"A-aku yah, aku yang buka pintu!" Balas seseorang yang sangat ia kenali, reflek bima menoleh kesumber suara, didapati Adel yang tengah menatap tubuhnya tanpa berkedip.
"Heh! Kamu ngapain ngeliatin tubuh ayah!" Tegur bima berkacak pinggang.
"Pe-perfect!" Ucap Adel tanpa sadar, ia menelan ludahnya susah payah, pipinya seketika memanas.
Bima mengerutkan keningnya, tak paham maksud Adel,
"A-adel tutup mata! Jangan gitu ngeliat ayah! Gak sopan!" Tegur bima lagi dengan suara lembut.
"E-eh!" Adel terbelalak. "Maaf ayah!" Gugup Adel menutup kedua matanya, sela jarinya sedikit terbuka ingin terus mencuri-curi pandang menatap roti sobek yang sangat menggodanya.
Bima menghela nafas berat, ia berjalan menuju lemari, mengambil baju dan menyuruh Adel untuk keluar, namun Adel tak mau, bima yang tak ingin ribut-ribut, hanya membiarkan dan menyuruhnya untuk berbalik saja, anak gadis itu menurut, bima memakaikan bajunya, melepas handuknya yang melilit dipinggangnya.
"Arghhhh!" Teriak Adel tiba-tiba membuat bima terkejut.
"Argggghhhh!" Bima ikutan berteriak sambil menutup tongkat sakti miliknya dengan handuknya
"Ka-kamu kenapa lihat-lihat!" Gugup bima dengan wajah memerah menahan malu.
Adel tak menjawab, sorot matanya tertuju pada bima, tatapannya sangat intens, pikirannya terngiang-ngiang pada benda milik bima yang besar dan panjang, pipinya memanas salah tingkah, bagian bawah miliknya tiba-tiba berdenyut dan basah.
"Ka-kamu mikir jorok ya?" Tanya bima dengan suara tinggi yang seakan tahu isi pikiran Adel.
Tanpa sadar Adel mengganguk.
"Kamu nakal del! Siapa yang ngajarin kamu gitu? Hah?" Bima marah sangking malunya kedapatan, baru kali ini benda miliknya terlihat orang lain, padahal selama ini ia selalu menjaganya dari siapapun kecuali dirinya sendiri.
"A-"
"Apa kamu mau bilang gak sengaja gitu?? Apakah dengan ketidak sengajaan itu, ayah akan membiarkan kamu untuk terus mengulangi perbuatan itu? Tidak del! Ayah malu! Ayah malu! Ayah kecewa sama kamu!" Bima mengusap kepalanya frustasi. Harga dirinya serasa diinjak-injak.
"Ma-maaf ayah, aku bener-bener minta maaf, tolong jangan marahin Adel lagi ya, Adel janji gak akan mengulangi kesalahan yang sama!" Adel berdiri dan memeluk bima erat, pria itu tersentak, jantungnya berdebar kencang, saat kedua gundukan yang terbungkus tanktop itu menyentuh dadanya.
"I-iya, iya, ayah mau maafin kamu!" Gugup bima mendadak canggung.
Adel mengurai pelukannya. "Makasih ayah! Adel janji gak akan mengulangi kesalahan yang sama."
"Ayah gak butuh janji, ayah butuh bukti!" Kata bima membuang mukanya kesamping, sedikit menjauhnya.
Adel mendekat, bima mundur ketakutan melihat tatapan Adel yang sangat berbeda. Seolah....
"D-del kamu mau ngapain?" Tanya bima keringat dingin mengucur dipelipisnya.
Adel mendongakkan kepalanya, mencondongkan tubuhnya kedepan, bima memejamkan matanya kuat-kuat menahan diri.
Adel tersenyum penuh arti. "A-ayah, apa yang harus Adel lakuin buat nebusin kesalahan Adel?" Tanya Adel memiringkan kepalanya.
Bima membuka matanya perlahan dan menggeleng.
"Maksudnya?" Tanya Adel menyeringai. Bima deg-degan seraya menahan nafasnya.
"Yah!" Panggil Adel lembut seraya memainkan jemarinya didada ayahnya, bima nervous.
"A-aku sebenarnya suka sama ayah!" Ucap Adel tiba-tiba.
"Hah?" Bima tak mengerti.
"Aku suka sama ayah!" Ucap Adel lagi, bima terkekeh lucu.
"Iya lah! Kamu suka sama ayah! Karena, ayah ini kan ayah kamu del! Sebagai anak perempuan kamu harus menyukai dan mencintai ayah kamu sendiri!" Jawab bima membuat Adel menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Awas, del, ayah mau makan dulu! Ayah juga sayang sama anak ayah sendiri!" Bima menepuk-nepuk kepala Adel dan berlalu meninggalkan Adel yang menatapnya dengan perasaan kecewa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!