Malam itu, Joshua benar-benar tenggelam dalam gairah yang membara bersama seorang wanita yang begitu lincah di atas ranjang.
“Jooos... Aku sampaiii... Ahhhh!” erang wanita itu, napasnya tersengal dan tubuhnya gemetar hebat. Untuk ketiga kalinya malam itu, ia kembali mencapai puncak.
Dengan tatapan penuh cinta, ia menatap Joshua yang masih bergerak stabil dan mantap di atas tubuhnya. “Kamu curang, Joss... Aku sudah tiga kali, tapi kamu belum juga?” ucapnya manja, menggoda dengan bibirnya yang sedikit terbuka.
Joshua hanya tersenyum, lalu membungkuk mendekat ke telinganya. “Sabar, sayang. Aku juga menikmatinya... Aku suka yang seperti kamu.”
Beberapa gerakan kemudian, Joshua pun mencapainya. Desahan terakhirnya disertai desiran napas berat, sebelum ia membaringkan tubuhnya di samping wanita itu.
Keesokan paginya, wanita itu terbangun sendirian. Di meja samping ranjang, tersusun rapi segepok uang dan selembar catatan bertuliskan: “Terima kasih untuk malam yang menyenangkan.”
Tanpa menoleh ke belakang, Joshua meninggalkan hotel dan melajukan Ferrari-nya menuju kantor dengan percaya diri yang tak tergoyahkan.
Sesampainya di kantor, Joshua langsung memasuki ruangannya dan duduk di balik meja kerjanya yang besar dan elegan. Tak lama, pintu terbuka. Sekretaris pribadinya masuk—berpakaian ketat, tubuh ramping, dan parfum mahal yang menggoda indera.
“Hmmm, ada apa, sayang? Apa yang membuatmu masuk ke sini?” tanya Joshua santai sambil tangannya meluncur ringan membelai bokong sekretaris itu.
“Tuan, siang nanti Anda dijadwalkan makan siang bersama klien di Hotel Hip Pix,” lapornya dengan nada lembut dan profesional.
Joshua memiringkan kepala, menatapnya tajam namun penuh godaan. “Apakah ada hal lain?”
“Tidak, Tuan. Hanya itu,” jawabnya sopan.
Joshua tersenyum miring. “Kalau begitu, nanti siang temani saya. Dan malam ini... pastikan kamu kosongkan jadwalmu. Aku ingin mencicipi tubuhmu lagi.”
Sang sekretaris hanya mengangguk kecil, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Saat ia berbalik, Joshua sempat memberikan tepukan ringan di bokongnya, membuat wanita itu menahan senyum.
Meski penuh gairah dan godaan, Joshua tetap profesional di jam kerjanya. Bagi pria seperti dia, bisnis adalah segalanya. Nafsu boleh dinikmati, tapi uang tetap nomor satu.
Tepat pukul 12 siang, Joshua dan sekretarisnya tiba di Hotel Hip Pix, tempat eksklusif penuh kemewahan yang dikenal sebagai surga tersembunyi bagi para pria berduit.
Mata Joshua langsung menangkap pemandangan yang menggoda di lobi—wanita-wanita cantik bertebaran dengan pakaian menggoda.
“Tempat ini benar-benar penuh godaan,” gumamnya sambil mempererat genggaman di pinggang sekretarisnya.
Seorang pria muda menghampiri mereka. “Tuan Joshua, klien Anda sudah menunggu di ruang VIP. Silakan ikuti saya.”
Joshua hanya mengangguk dan mengikuti pria itu. Sesampainya di depan pintu, pria itu membukakannya, dan aroma parfum mahal langsung menyeruak.
Namun yang membuat Joshua bergidik adalah pemandangan di dalam ruangan. Seorang pria tua duduk santai di sofa, sementara kepala seorang wanita berada di pangkuannya, jelas sedang melakukan sesuatu yang tak pantas.
Joshua mencibir dalam hati. "Sudah uzur, masih saja larut dalam dunia seperti ini..."
Melihat Joshua datang, pria tua itu segera menyuruh wanita tersebut pergi.
“Hai, Tuan Joshua! Senang bisa bertemu kembali. Bagaimana kabarmu sekarang?” sapa pria tua itu dengan suara berat. Dia adalah Tuan Jax—pria berpengaruh yang terkenal dengan bisnis kotornya.
Joshua menyambutnya dengan senyum tipis. “Saya baik-baik saja, Tuan Jax. Bagaimana dengan Anda?”
“Luar biasa seperti biasa,” jawab Jax dengan tawa yang menyiratkan kekuasaan dan kebejatan.
Di ruangan itulah, transaksi yang tampak seperti makan siang biasa akan berubah menjadi permainan kuasa dan kesepakatan yang tak selalu dibayar dengan uang—tetapi dengan kesetiaan, tubuh, dan kadang, darah.
“Sepertinya wanita yang bersamamu lumayan juga,” ujar pria tua itu sambil melirik sekretaris Joshua dengan senyum menggoda.
Joshua hanya membalas dengan senyum tipis. Dalam hati, ia mengumpat, "Dasar tua bangka mata keranjang... mati saja kau."
“Dia sekretaris saya,” jawabnya singkat, menahan diri.
Pertemuan bisnis itu pun berakhir setelah makan malam dan pembahasan kerja sama. Joshua kembali ke kantornya, diantar oleh sekretarisnya.
Sesampainya di kantor, sang sekretaris masuk ke ruangannya setelah dipanggil.
“Tuan Joshua, Anda memanggil saya?” tanyanya sopan.
Joshua menatapnya tajam, dingin. “Apakah sudah ada teman tidur untuk saya malam ini?” tanyanya datar, seolah itu hanya rutinitas harian.
Joshua memang seperti itu—dingin, penuh kontrol. Ia tak pernah melewatkan malam tanpa ditemani wanita, namun pilihannya harus sempurna. Wanita yang terlalu ‘terpakai’ tak akan pernah menarik perhatiannya.
“Malam ini masih kosong, Tuan,” jawab sang sekretaris tanpa ekspresi.
Joshua mengangguk pelan. “Baik. Kalau begitu, seperti biasa. Siapkan dirimu,” perintahnya lalu kembali menatap layar laptop.
Di apartemen, Joshua langsung melucuti pakaiannya dan masuk ke kamar mandi untuk berendam. Tubuhnya rileks dalam air hangat, tapi pikirannya terjebak di masa lalu.
Dulu, Joshua adalah pria lembut, setia, penuh cinta. Hingga hari itu—hari yang menghancurkan segalanya.
Sepulang kerja, ia sempatkan membeli buket mawar, hendak memberikan kejutan untuk kekasihnya, Lina. Namun, kejutan itu berbalik menjadi tragedi. Saat membuka pintu apartemen Lina, ia mendapati kekasihnya tengah telanjang bersama pria lain di ranjang mereka.
Joshua berdiri membeku. Tanpa berkata apa-apa, ia menutup pintu keras-keras dan pergi. Hatinya hancur.
"Dasar wanita murahan... Bodohnya aku pernah mencintaimu," gumamnya pedih. "Aku bersumpah, Lina, aku tak akan pernah memaafkanmu!"
Sesampainya di apartemennya, Joshua langsung membuang semua kenangan tentang Lina. Foto, hadiah, semua ia lenyapkan. Sejak saat itu, ia berubah. Di kantor, ia menjadi pria yang dingin dan mudah marah. Untuk meredam kesepiannya, ia mencari pelampiasan pada wanita bayaran—hingga akhirnya, sekretarisnya pun masuk ke dalam daftar itu.
Joshua keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit di pinggang. Ia terkejut saat melihat sekretarisnya sudah duduk di tepi ranjang, menunggunya.
“Sayang, sudah lama menunggu? Maaf, aku tidak tahu kamu sudah di sini,” ucapnya santai, menghampiri.
Sang sekretaris tersenyum menggoda. “Tuan, apa kita bisa mulai sekarang?” bisiknya.
Joshua mengangguk. “Langsung saja.”
Wanita itu pun berlutut, perlahan membuka handuk di pinggang Joshua, lalu mulai menyentuh dan menciumi tubuhnya dengan penuh gairah. Joshua merintih pelan, menikmati sentuhannya.
“Ahhh... Kamu memang yang terbaik,” gumamnya, sembari membelai tubuh sekretarisnya, menikmati setiap inci tubuh yang kini menjadi miliknya malam ini.
Malam yang Berbeda
Keesokan malamnya, Joshua—atau Jhos, begitu ia dikenal di dunia malam—mendatangi bar milik sahabatnya, Brian. Brian sebelumnya menelpon, memberitahu bahwa bar-nya memiliki koleksi minuman baru. Jhos yang penasaran langsung meluncur ke sana, ditemani dua bodyguard setianya.
Saat ia masuk, perhatian pengunjung tertuju padanya. Tapi Jhos tetap tenang, langkahnya dingin. Brian menyambutnya ramah.
“Halo, Jhos. Selamat datang di bar kebanggaanku. Aku sudah siapkan kamar, di dalam ada Farhan dan Zidan,” kata Brian.
Jhos hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar itu. Di dalam, Farhan dan Zidan tengah bersenang-senang dengan dua wanita.
“Wih, bos datang! Apa kabar, Jhos?” sapa mereka sambil bercanda, masih sibuk dengan wanita di pangkuan masing-masing.
“Bisa tidak kalian berhenti? Jijik aku melihatnya,” ucap Jhos dingin sambil duduk di sofa.
“Yaelah, sok suci amat. Seolah kau nggak pernah begitu,” sahut Zidan santai.
Jhos mengabaikan mereka, lalu menuangkan anggur untuk dirinya sendiri.
Di kamar lain, seorang gadis bernama Nisa sedang bersama CEO bernama Jonson. Nisa terpaksa menerima tawaran menemani Jonson demi membayar uang kuliahnya.
“Sayang, sini deh,” panggil Jonson manja.
Dengan ragu, Nisa mendekat. Jonson yang sudah dirasuki nafsu langsung menarik tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan?! Lepas!” teriak Nisa.
“Tenang, aku cuma ingin bersenang-senang,” gumam Jonson sambil menciumi lehernya.
Nisa panik, berusaha kabur. Saat melihat botol anggur, ia menghantam kepala Jonson hingga botol itu pecah. Kesempatan itu digunakannya untuk lari keluar kamar.
“Kejar dia!” teriak Jonson pada anak buahnya.
Nisa berlari, tapi dua pria menghadangnya di lorong. Ia buru-buru masuk ke kamar lain—tanpa tahu bahwa kamar itu adalah kamar Jhos.
“Lepas! Tolong!” teriak Nisa, tapi pria-pria itu menariknya paksa.
Jhos berdiri dari sofa. “Lepaskan.”
Dua pria itu menatapnya. “Jangan ikut campur, Bos. Ini urusan kami.”
Tanpa banyak bicara, Jhos langsung menghajar mereka. Pukulan demi pukulan menghantam wajah dan tubuh mereka. Farhan dan Zidan sampai melongo melihat aksinya.
Nisa langsung memeluk tubuh Jhos sambil menangis. “Terima kasih, Paman… terima kasih…”
Jhos sempat tertegun. Dada Nisa yang menempel membuat tubuhnya panas, namun ia cepat mengendalikan diri.
“Kenapa gadis ini punya tubuh seperti itu? Tapi… kenapa dia sampai ada di tempat seperti ini?” gumamnya dalam hati.
“Kamu sudah aman sekarang. Ayo ikut aku. Aku antar pulang,” ucapnya dingin.
Nisa mengikuti Jhos keluar kamar. Di lorong, Farhan dan Zidan masih bengong.
“Eh, cepat amat pergi, Jhos?” tanya Zidan.
“Ada urusan,” jawab Jhos singkat.
Di luar, Jhos menyuruh Nisa masuk ke mobilnya. Meski sempat ragu, Nisa akhirnya menurut.
“Paman, kita mau ke mana?” tanyanya pelan.
“Temani aku makan dulu. Setelah itu, aku antar kau pulang,” jawab Jhos dengan nada datar.
Nisa pun mengangguk pelan. Entah kenapa, rasa aman bersamanya mulai mengusir ketakutan di hatinya.
Sesampainya di restoran mewah, Jhos turun dari mobilnya bersama Nisa.
"Selamat datang, Tuan," sapa semua pelayan dan petugas di sana, menyambut kedatangan Jhos dengan penuh hormat.
Nisa memperhatikan suasana restoran yang begitu mewah, tetapi ia merasa heran karena tidak melihat satu pun pengunjung di dalamnya. "Kenapa restoran semewah ini pengunjungnya tidak ada satu pun? Pelayannya digaji pakai apa kalau begini?" gumamnya pelan, lalu berjalan dan duduk di kursi di samping Jhos.
"Kenapa kok restoran ini sepi sekali?" tanyanya polos, tanpa tahu bahwa Jhos telah memesan seluruh restoran karena ia tidak suka keramaian saat makan.
"Mungkin semua orang lagi tidak selera makan," jawab Jhos santai sambil tersenyum mendengar kepolosan Nisa.
"Oh begitu ya, Paman? Pantas saja sepi," ucap Nisa sambil mempercayainya. Ia lalu menatap wajah Jhos dengan seksama. Baru sekarang ia menyadari betapa tampannya pria di depannya ini. Wajahnya begitu sempurna, dengan hidung yang mancung, bibir tipis, dan alis yang rapi seperti semut yang berbaris.
"Ya Tuhan, aku baru sadar kalau malaikat penyelamatku begitu tampan sekali. Ini pasti bukan manusia, ini pasti malaikat, kan?" gumamnya dalam hati, sambil terus menatap Jhos dan menopang dagunya dengan tangan.
Jhos yang merasa diperhatikan terus-menerus akhirnya membuka suara. "Kau kenapa memandangiku seperti itu, gadis bodoh?" tanyanya dengan nada heran. Namun, Nisa tampak tidak mendengar dan masih asyik dalam lamunannya.
"Hai! Kamu kesurupan ya, bodoh?" tegur Jhos lagi, kali ini dengan nada yang sedikit lebih tinggi. Tatapan matanya bertemu dengan Nisa, membuat gadis itu terkejut dan tersadar.
"Paman tampan sekali. Apa paman punya kekasih? Pasti banyak, deh?" tanyanya polos, tanpa berpikir panjang.
Jhos menyipitkan matanya, mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum tipis sebelum menjawab, "Kamu baru sadar, ya? Kalau saya bilang saya tidak punya kekasih, apa kamu mau jadi kekasih saya?" godanya sambil tersenyum jahil.
Nisa terdiam sejenak, lalu dengan polosnya menjawab, "Siapa yang berani menolak laki-laki setampan paman?" Namun, begitu ia menyadari apa yang baru saja dikatakannya, wajahnya langsung memerah.
"Eh, maksud aku itu... Paman kan tampan, mana mungkin Paman tidak punya kekasih," ucapnya terbata-bata sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menutupi rasa malunya.
"Aduh, apa yang sudah aku katakan? Memalukan, sungguh memalukan," gumamnya sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Jhos hanya tersenyum melihat tingkah lugu Nisa. "Gadis bodoh, kamu mau makan apa?" tanyanya sambil menatapnya dengan penuh rasa geli."Aku... ee... aku mau makan apa saja yang paman pesan," jawab Nisa sambil masih menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Jhos hanya tersenyum tipis lalu mengangguk dan segera memesan makanan.
"Kenapa tadi kamu dikejar-kejar oleh mereka?" tanyanya dengan nada ramah. Jhos sendiri merasa heran karena biasanya ia tidak banyak berbicara dengan orang lain, tetapi bersama gadis ini, ia jadi lebih terbuka.
Nisa menunduk sebentar, lalu mulai bercerita dengan ragu. "Jadi begini, paman... Aku kan masih kuliah, dan semester ini aku tidak bisa bayar uang kuliah. Aku pun mencoba mencari pekerjaan, lalu ada seseorang bernama Tuan Jonson yang menawariku kerja. Awalnya aku mau saja, tapi ternyata dia malah ingin aku bekerja sebagai teman minumnya di bar dan... menemaninya tidur. Begitu aku tahu maksudnya, aku langsung kabur, paman... Apalagi dia sempat merobek bajuku tadi," jelas Nisa dengan polos.
Jhos menyipitkan matanya saat mendengar cerita Nisa, lalu pandangannya beralih ke pakaian gadis itu yang robek. Baru sekarang ia menyadari bahwa bagian tubuh Nisa terlihat cukup jelas.
Melihat hal tersebut, perasaan aneh tiba-tiba naik dalam dirinya. Ia merasa aneh karena begitu cepat tergoda hanya dengan melihat gadis di depannya.
"Kalau saya yang memintamu bekerja untuk saya, bagaimana? Saya akan menjadikanmu asisten pribadi. Kalau kamu bisa memasak, kamu juga bisa memasakkan untuk saya," tawar Jhos dengan santai sambil melanjutkan makan. Awalnya, Nisa tampak ragu.
"Saya akan memberimu gaji dua juta dolar setiap bulan, bagaimana?" tanya Jhos, yang membuat semangat Nisa langsung terpacu.
"Benarkah, Paman? Aku bisa memasak dan mencuci juga! Kapan saya bisa mulai bekerja, Paman?" ucapnya penuh antusias.
Jhos tersenyum mendengar pengakuan polos gadis lugu di depannya. Sebenarnya, ia tidak perlu Nisa untuk mencuci pakaian, karena selama ini ia selalu membuang baju setelah memakainya. Namun, mendengar perkataan gadis itu, ia mendapatkan ide agar Nisa selalu berada di apartemennya.
"Hmm, baiklah. Kamu bisa mulai bekerja besok, dari jam lima sore sampai jam sepuluh malam," kata Jhos.
Mendengar hal itu, Nisa segera menghitung dengan jarinya. Hanya enam jam sehari! Ia tersenyum gembira, langsung berdiri, berjalan ke arah Jhos, dan memeluknya erat karena terlalu senang.
Jhos terkejut merasakan tubuh lembut gadis itu menempel padanya. Ia sungguh tidak bisa menahan diri jika seperti ini, keinginannya untuk segera melampiaskan hasrat semakin besar. Namun, ia sadar bahwa gadis di depannya tidak boleh dibuat takut, sehingga ia menahannya dengan susah payah.
"Baiklah, ayo saya antar pulang," ucap Jhos, lalu segera membawa Nisa keluar dari restoran.
Saat mereka berjalan keluar, semua pelayan di sana menundukkan kepala memberi hormat kepada Jhos. Pelayan wanita yang melihat Nisa merasa sangat iri, karena mereka melihat gadis miskin itu bisa dengan mudah mendekati Jhos, bahkan sampai menaiki mobilnya.
Setelah mengantar Nisa pulang, Jhos merasa pikirannya kalut. Hasrat yang sejak tadi ia tahan mulai membuatnya gila. Ia ingin segera mendapatkan pelampiasan secepat mungkin.
Dia langsung kembali ke kantornya dan memanggil sekretarisnya yang biasanya tempatnya melampiaskan semuanya.
"Lilis, masuk temui saya di ruangan saya, tunda pekerjaanmu," panggil Jhos melalui telepon. Lilis tahu apa yang diinginkan atasannya. Dia tidak pernah menolak Jhos, karena setiap Jhos memintanya, dia selalu mendapatkan bonus besar.
Sesampainya di ruangan Jhos, Lilis tidak melihat Jhos di mejanya. Lalu dia masuk ke ruang istirahat Jhos dan mendengar Jhos sedang mandi. Akhirnya, dia memutuskan menunggu Jhos di tempat tidur.
Jhos keluar dari kamar mandi dengan tubuh hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya. Tanpa berfikir, Jhos yang melihat sekretarisnya yang sudah menunggunya langsung menghampirinya.
Lilis tanpa buang waktu langsung menunduk di bawah Jhos. Dia selalu melakukan pemanasan seperti itu karena dia tahu Jhos sangat menyukainya.
"Akhh, terus sayang, aku mengakui kemampuanmu ," rintih Jhos sambil mengagumi kemampuan sekretarisnya dalam masalah ini.
Sambil memegang lilis, yang juga sangat menyukai.
Jhos sudah tidak tahan lagi dan langsung memulainya Tanpa ada halangan sedikit pun, semuanya masuk ke dalam.
"Sayang,kamu benar-benar pandai, teruskan saja," perintah Jhos kepada sekretarisnya yang sedang duduk di pangkuannya. Dia sambil memegang tangannya
"Malam ini milikmu, sayang. Nikmati saja, kita akan bermalam bersama di sini," kata Jhos sambil terus menikmatiny
Lilis sangat menikmati momen ini. Dia senang bisa bersama Jhos dan merasa nyaman di sampingnya.
Dulu Lilis adalah seorang model terkenal, namun dia keluar dari pekerjaannya karena atasannya yang genit dan tidak menyenangkan.
Ketika Lilis bertemu dengan Jhos di bandara, Jhos langsung menyapanya. "Bukankah kamu seorang model terkenal? Mengapa kamu sendirian di sini?" tanya Jhos pada Lilis yang sedang berada di dekat toilet.
"Maaf, Tuan. Aku kabur dari pekerjaanku karena atasanku selalu mengajakku tidur, dan aku selalu menolaknya. Aku tidak mau tidur dengan sembarangan pria," jawab Lilis dengan jujur. Jhos melihat kejujuran di wajah Lilis dan mempercayainya, lalu langsung menawarinya pekerjaan.
"Bagaimana kalau kamu bekerja bersamaku? Kebetulan aku sedang membutuhkan seorang sekretaris seperti kamu. Aku melihat ada kejujuran di wajahmu. Jika kamu menerimanya, langsung saja datang ke kantorku," kata Jhos sambil menawarkan pekerjaan sebagai sekretarisnya.
"Baiklah, Tuan. Nanti jika ada waktu, saya akan datang ke sana. Saya permisi dulu," jawab Lilis sambil berbalik hendak pergi, namun Jhos segera memanggilnya kembali.
"Nona, maaf. Saya hanya ingin memberi Anda jas saya. Pakailah ini, jangan biarkan tubuh Anda terlihat oleh orang lain. Kita tidak tahu bagaimana pikiran mereka nanti. Pakailah," ucap Jhos sambil menyerahkan jasnya.
Lilis sangat tersentuh dengan perlakuan Jhos. Itu adalah pertama kalinya ia bertemu dengan seorang pria tampan, berwibawa, dan juga baik seperti Jhos.
"Terima kasih, Tuan. Saya permisi," ucap Lilis sambil mengenakan jas Jhos, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Seminggu kemudian, Lilis akhirnya datang ke kantor Jhos. Sesuai dengan tawaran yang diberikan, ia langsung diterima sebagai sekretaris Jhos. Selama lebih dari sebulan, Lilis menjalankan pekerjaannya dengan baik dan penuh kejujuran. Ia selalu menuruti semua perintah Jhos dengan sepenuh hati.
Hingga suatu hari, Lilis melihat Jhos dalam keadaan sangat frustrasi. Itu adalah pertama kalinya ia melihat Jhos dalam kondisi seperti itu. Jhos terlihat seperti mayat berjalan dan cepat sekali marah.
Jhos yang sebelumnya dingin dan sulit bergaul mulai berubah setelah Lilis membujuk dan menyadarkannya. Lilis melihat potensi dan kualitas yang dimiliki Jhos, serta menasihati agar tidak terlalu terpaku pada wanita yang telah meninggalkannya. Jhos mulai berubah menjadi ramah dan hangat terhadap Lilis.
Suatu hari, Lilis membawa dokumen untuk diserahkan kepada Jhos. Tanpa sengaja, buah baju yang hanya dua biji di depan dada Lilis terbuka dan membuat buah dadanya terlihat. Jhos menyadari hal ini dan bertanya mengapa Lilis tidak memakai pakaian dalam. Lilis menjawab bahwa ia tidak suka itu karena sulit menemukan yang sesuai dengan ukurannya. Jhos menyampaikan bahwa itu tidak baik untuk kesehatannya dan Lilis berjanji akan memperhatikan hal itu.
Ketika Jhos membungkukkan tubuhnya untuk mengambil buah baju Lilis, tanpa sengaja Lilis melihat bahwa Jhos juga terpengaruh.
Tuan saya tahu kondisi tuan sekarang, tuan pasti menginginkannya, dan karena aku tuan semakin bernafsu, aku teringat kalau tuan sekarang tidak punya kekasih untuk melampiaskan semuanya, aku bersiap bertanggung jawab tuan, tuntaskanlah semuanya bersamaku," ucap Lilis sambil menekan tangan Jhos, Jhos yang melihat tangannya itu lalu memperhatikannya.
Tanpa berfikir lagi Jhos langsung menarik tangan Lilis sampai bersentuhan dengan tubuhnya, lalu mencium bibir Lilis. "Apa sekarang ada kesibukan?" tanya Jhos memastikan sambil menciumnya.
"Kebetulan sekali hari ini kosong tuan, mungkin sebagai bonus buat tuan," kata Lilis dan langsung mengarahkan tangannya ke arah tubuh jhos.
Jhos merasakan sensitif itu membuatnya semakin bergairah, dan tidak tahan lagi, dia terus menikmati belaian dari sekretarisnya itu. "Sayang, aku menikmatinya teruskan, malam ini untukmu jangan sia-siakan," geram Jhos tidak tahan.
Wanita itu terus melakukan aksi itu di dalam ruangan itu. "Maafkan aku kalau lancang tuan, tapi aku rasa ini yang terbaik juga untuk tuan dan aku juga menikmatinya tuan," wanita itu berkata seolah-olah dirinya adalah obat bagi Jhos.
"Baiklah kau lanjutkan saja, biarkan kita pemanasan dulu nanti lanjutnya ayo," ucap Jhos sambil menikmati disentuh oleh sekretarisnya. Namun, tangan Jhos mengarah ke arah dokumen di mejanya, dia menandatangani dokumen itu sampai selesai lalu melanjutkan aksi tangannya di tubuh sekretarisnya.
Jhos yang merasa tangan Lilis menyentuh bendanya membuatnya semakin bergairah. Tanpa pikir panjang, Jhos langsung menggendong Lilis ke kamar tempatnya istirahat. Setelah meletakkan tubuh Lilis di tempat tidur, Jhos menindihnya.
"Puaskan aku sekarang, tubuhku milikmu," kata Lilis, mendorong tubuh Jhos, lalu beralih ke selangkangan Jhos. Ia mulai meraih benda Jhos dan memainkannya dengan penuh gairah. Setelah merasa gairahnya mencapai puncak, Jhos membalikkan tubuh Lilis. Namun, saat Jhos mencoba memulainya nya, Lilis teriak kesakitan.
"Apa kamu pernah melakukan ini sebelumnya?" tanya Jhos penasaran.
"Aku tidak pernah, ini pengalaman pertamaku," jawab Lilis jujur. Mendengar ini, Jhos terkejut. "Kamu masih gadis, tidak baik melakukannya. Kita tidak perlu melanjutkan," ucap Jhos, ingin pergi. Namun, Lilis menarik tangannya dan meminta Jhos melanjutkan.
"Aku menginginkannya, lakukanlah. Aku menyerahkan tubuhku padamu," ucap Lilis. Jhos terdiam sejenak, lalu meraih Lilis dan memainkannya pelan. Tangannya bermain di tempat sensitif Lilis, membuatnya tidak tahan. Lilis memohon Jhos untuk melanjutkan hubungan itu.
"Tuan, jangan siksa aku. Mulailah, tuan. Cepat," perintah Lilis sambil menggenggam kedua tangan Jhos.
"Baiklah, kamu tahan ya. Mungkin ini agak sakit, tapi nanti tidak akan lagi," katanya sambil mendorong mulai menembus pertahanan Lilis. Jhos beberapa kali mencobanya, membuat Lilis terus memejamkan matanya karena sangat sakit saat Jhos mendorongnya. Sampai akhirnya, berhasil , dan Lilis sudah tidak bisa menahannya dan langsung menjerit, "tuan, sakit! Pelan sedikit, tuan!" Teriak Lilis terkejut, tapi pada akhirnya kesakitan itu hilang seketika dan digantikan dengan kenikmatan.
Itulah awal hubungan Lilis dengan Jhos sampai sekarang. Dia selalu memberikan Lilis bonus besar setiap bulannya.
***
"Paman, masakannya sudah jadi. Ayo kita makan," panggil Nisa sambil mengetuk pintu kamar Jhos. Tak lama, Jhos keluar dan menghirup aroma makanan yang menggugah selera, lalu segera menuju meja makan.
"Paman, saya mau mencuci baju paman. Apa saya boleh masuk ke kamar paman?" tanya Nisa. Jhos pun mengizinkannya. Nisa masuk ke kamar Jhos dan mulai mencari pakaian kotor, namun ia tidak menemukan satu pun. Yang ada hanyalah tumpukan pakaian bersih yang tersusun rapi di lemari. Bingung, Nisa akhirnya bertanya.
"Tuan, sepertinya pakaian Anda tidak ada yang kotor," ucap Nisa kepada Jhos yang sedang menikmati makanannya.
"Gadis bodoh, saya memang tidak punya pakaian kotor karena saya langsung membuangnya," jawab Jhos singkat. Nisa terkejut mendengar jawaban tersebut.
"Kenapa paman membuangnya?" tanyanya penasaran. Dalam hati, Nisa berpikir, Orang kaya memang suka menghamburkan uang. Apa dia tidak takut kehabisan uang untuk membeli pakaian setiap hari?
"Maaf, saya memang tidak terbiasa menyimpan pakaian kotor, tapi lain kali saya akan menyiapkan beberapa untuk kamu cuci," kata Jhos santai.
"Apa paman tidak takut kehabisan uang untuk membeli baju setiap hari?" tanya Nisa lagi, semakin penasaran. Mendengar pertanyaan polos itu, Jhos tertawa lepas sambil menatap Nisa.
"Hai bodoh, kalau saya menyimpannya, memang siapa yang akan mencucinya? Lebih baik saya buang dan beli yang baru," ucap Jhos dengan santai.
"Tapi kan paman bisa menyuruh pembantu. Kenapa paman tidak mempekerjakan pembantu saja?" kata Nisa penasaran.
"Saya tidak mau ada yang modus," jawab Jhos singkat.
"Udah ya, jangan cerewet lagi. Sekarang temani saya makan, habis itu temani saya ngobrol," perintah Jhos sambil melanjutkan makanannya.
Sementara itu, di tempat lain, Jonson sedang diliputi amarah besar.
"Siapa yang berani mengambil Nisa dari saya?! Cepat selidiki dia! Saya tidak mau tahu, sekarang juga kalian harus menemukan gadis itu dan bawa dia ke hadapan saya!" teriak Jonson kepada semua bawahannya. Ia sangat marah hari ini.
Tanpa menunggu lama, semua bawahannya segera bergerak mencari keberadaan Nisa.
Di sisi lain, Nisa saat ini sedang menemani Jhos berbincang di halaman apartemennya.
Gadis ini, semakin lama aku bersamanya, semakin membuatku tidak nyaman. Kenapa aku selalu dibuat bergairah? gumam Jhos dalam hati.
"Paman, kenapa bengong? Apa paman ada masalah?" tanya Nisa saat melihat Jhos melamun sambil menatapnya.
"Apa saya setua itu sampai kamu memanggil saya paman?" tanya Jhos, merasa tidak suka dipanggil seperti itu, mengingat dirinya masih lajang.
"Tidak, tidak! Paman tidak terlihat tua, tapi paman kan lebih tua dariku, mungkin seumuran dengan dosenku," jawab Nisa polos.
Jhos langsung menyipitkan matanya, merasa semakin kesal karena dibandingkan dengan dosen Nisa.
"Mana yang lebih tampan, saya atau dosenmu?" tanya Jhos dengan nada kesal.
"Ya jelas paman lah! Paman kan tampan. Awalnya aku kira paman seorang artis saat pertama kali bertemu," jawab Nisa tanpa pikir panjang.
Jawaban polos itu membuat Jhos semakin kesal.
"Rupanya gadis ini harus segera dihukum. Semakin lama, semakin membuatku kesal," gumam Jhos dalam hati. Ia langsung berdiri dan pergi meninggalkan Nisa tanpa berkata apa-apa.
"Hai, Paman. Paman mau ke mana?" tanya Nisa penasaran.
"Aku mau berenang," jawab Jhos singkat.
"Semalam ini, Paman?" Nisa terlihat bingung. Masa ada orang yang pergi berenang di malam hari, pikirnya. Dengan rasa penasaran, dia pun mengikuti Jhos. Begitu sampai di kolam renang yang cukup besar di belakang ruangan tempat mereka ngobrol tadi, Jhos langsung membuka bajunya dan melompat ke dalam kolam.
Kolam itu terlihat sangat indah, terletak di lantai dua, dengan pemandangan kota yang bisa dinikmati dari sana.
Nisa yang sedang memperhatikan Jhos tertegun melihat tubuh atletis pria itu. Ia terpana dan nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kira-kira siapa ya perempuan yang beruntung mendapatkan Paman Jhos? Tampan, punya tubuh indah dan mulus seperti itu. Hemm... Aku jadi penasaran, ingin menyentuhnya," gumamnya sambil berjalan di pinggir kolam.
"Hai, bodoh. Mau ikut berenang?" tanya Jhos sambil tersenyum melihat Nisa duduk di tepi kolam.
"Tidak, Paman. Aku tidak bisa berenang," jawabnya polos sambil asyik memainkan kakinya di pinggir kolam.
Ketika Jhos naik kepermukaan, Nisa melihat ke arahnya dan terkejut saat melihat tonjolan yang menonjol di bawah perut Jhos.
"Paman, apa itu? Apa yang menonjol di balik celana paman?" tanya Nisa penasaran.
"Hmm, jika kamu penasaran, kamu bisa memegangnya. Tidak apa-apa," jawab Jhos sambil tersenyum.
Nisa merasa penasaran dan langsung melangkah mendekati Jhos. Dia memegang tonjolan tersebut dan langsung terkejut.
"Paman, itu... itu burung paman," kata Nisa malu sambil menyembunyikan tangannya.
"Kenapa bengong? Sekarang kamu harus bertanggung jawab karena membuatnya semakin berdiri," kata Jhos sambil menarik tangan Nisa dan meletakkannya di pangkal paha kecil yang tadinya tegak, namun sekarang sudah tidak berdiri. Nisa langsung terkejut dan ingin menarik tangannya.
"Paman, apa yang dilakukan paman?" tanya Nisa terkejut.
"Kamu penasaran tadi, sekarang kamu harus bertanggung jawab," jawab Jhos.
"Tanggung jawab bagaimana, paman?" tanya Nisa polos.
"Buatkannya kembali tidur," kata Jhos.
Nisa bingung, namun sebelum dia bisa menyatakan ketidaksetujuannya, Jhos langsung menciumnya.
Mati aku! Kalau Paman benar-benar melakukannya padaku, aku pasti mati saat ini juga. Hemm, gimana ini? Aku belum mau mati. Aku masih muda, masih ingin menikah juga, gumam Nisa sambil menangis. Air matanya mengalir di pipinya tanpa bisa ia tahan.
Jhos yang melihat pipi Nisa basah karena air mata langsung mendorong tubuhnya perlahan dan berbalik arah.
"Maafkan saya. Jangan menangis lagi. Saya tidak sengaja... Maaf," ucap Jhos sebelum pergi meninggalkannya.
Nisa terdiam, kebingungan dengan sikap Jhos yang tiba-tiba pergi dan meminta maaf.
Apa Paman marah? Tapi kenapa? batinnya. Ia pun segera menyusul Jhos masuk ke dalam apartemen.
Saat melihat Jhos masuk ke kamar mandi dan tak kunjung keluar, Nisa mulai gelisah. Ia berpikir mungkin Jhos benar-benar marah padanya.
"Paman, apa Paman marah padaku? Tapi... apa salahku, Paman? Ayolah, jangan marah. Aku minta maaf, Paman," panggil Nisa dari balik pintu kamar mandi.
Sementara di dalam kamar mandi, Jhos tengah berusaha menahan gejolak dalam dirinya.
Sial! Aku tersiksa sekali saat ini. Aku harus bagaimana? Aku tidak tega melihatnya menangis, tapi aku juga tersiksa... Astaga, kenapa aku begitu cepat tidak terkendali di dekat gadis itu? Sial! gumamnya sambil memukul dinding kamar mandi dengan kesal.
"Saya tidak marah. Keluar dan tunggu saya di sofa. Saya mau membersihkan diri dulu," jawab Jhos akhirnya. Ia merasa harus segera mencari pelampiasan, tetapi menahannya hingga nanti setelah mengantar Nisa pulang.
"Paman benar tidak marah, kan?" tanya Nisa polos saat Jhos keluar dari kamar mandi.
"Tidak. Ayo, saya antar kamu pulang. Tadi saya hanya merasa tidak enak melihat kamu menangis. Ayo," kata Jhos sambil mengajaknya keluar dari apartemen.
"Maaf ya, Paman. Tadi aku menangis karena aku takut mati," ucap Nisa polos, membuat Jhos terkejut dan heran.
"Maksud kamu... Saya ini pembunuh, gitu?" tanya Jhos dengan wajah bingung.
"Bukan, Paman. Tadi aku lihat... itu... burung Paman besar sekali. Jadi aku takut nanti mati kalau Paman melakukannya padaku," jawab Nisa dengan polosnya, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Mendengar perkataan Nisa, Jhos langsung tertawa terbahak-bahak. Ia benar-benar tak menyangka kepolosan gadis ini.
"Kenapa Paman malah ketawa? Aku serius, Paman. Aku takut," ucap Nisa dengan wajah serius.
Baiklah, Nisa. Malam ini aku biarkan kamu lepas, tapi besok malam... batin Jhos sambil tersenyum dalam hati.
"Tidak-tidak, aku hanya merasa lucu mendengarmu. Mana mungkin kamu sampai mati," jawab Jhos masih dengan senyuman di wajahnya.
"Beneran, Paman? Tapi itu besar sekali, aku takut," kata Nisa masih dengan kepolosannya.
Kembalinya Jhos, dia langsung menelpon sekretarisnya.
"Halo, apa kamu ada waktu malam ini?" "Kalo tidak ada, nanti aku cari di bar Brian," kata Jhos kepada penerima telpon di seberang sana.
"Aku bisa kok, tuan. Tunggu aku di apartemen Anda 15 menit langsung sampai," jawab Lilis. Dia senang sekali malam ini Jhos menelponnya karena dia juga sangat merindukan tubuh Jhos. Dia langsung siap-siap, memakai parfum dan memakai baju yang sexy tanpa memakai pakaian dalam.
Jhos mendengarkan sekretarisnya akan datang, dia langsung kembali ke apartemennya. Dia benar-benar tidak sabar sampai di apartemen, dia pun memukul dinding karena gairahnya yang ditahan.
Tidak butuh waktu lama, sekretarisnya pun sampai dan mengetuk pintu apartemennya.
"Kamu lama sekali, sekarang puaskan aku dengan segala posisi yang kamu tahu," kata Jhos langsung merobek semua pakaian Lilis.
"Tuan, bisakah kita melakukannya di dalam kamar?" Kata Lilis. Dia sangat mengenal Jhos, bahwa Jhos saat ini sangat bergairah.
"Aku tidak bisa menahannya lagi, sayang. Apalagi sampai ke kamar, di sini saja sudah cocok. Ayo, sambil berjalan juga bisa," jawab Jhos. Sambil menarik tubuh Lilis, Jhos menunjukkan sesuatu yang sudah berdiri tegak, membuat Lilis tersendat.
Setelah itu, tanpa basa-basi, dia membanting tubuh Lilis lalu menarik kaki Lilis melebarkan di depan pinggangnya, dan langsung memulainya.
" tuan, Anda terlalu cepat. Saya belum siap," kata Lilis berteriak karena itu.
"Tidak ada waktu lagi, sayang. Sekarang, ayo g. Keluarkan semua tenagamu, aku menikmatinya," ucap Jhos sambil menghentakkan bokongnya.
Mereka melakukan adegan panas itu dengan banyak cara dan posisi.
Kali ini Lilis tidak menyangka bahwa dia tidak bisa menandingi tenaga Jhos. Seperti biasa, dia sangat terkejut dan bingung dari mana Jhos mendapatkan kekuatan seperti ini sampai-sampai dia tidak sanggup lagi menghadapi Jhos yang tidak henti-hentinya menyerang. Sampai jam 4 pagi, Jhos baru berhenti, sedangkan Lilis sudah pingsan 2 jam yang lalu. Sekarang, mereka berdua sudah berada di ranjang tempat tidur.
***
Keesokan harinya, Nisa berjalan di area kampusnya dengan perasaan gembira. Hari ini, semester pertamanya akhirnya selesai. Ia senang sekali dan ingin segera pulang untuk kembali ke apartemen Jhos, seperti kemarin.
Namun, saat sedang menunggu taksi, tiba-tiba seseorang menyergapnya dari belakang dan membekap mulutnya.
"Lepaskan saya! Kalian siapa?" teriak Nisa panik sambil memberontak di dalam mobil.
"Hahaha, sekarang kamu tidak akan bisa lepas lagi. Bos kami akan memberimu kenikmatan yang tak terlupakan," jawab salah satu penculiknya dengan nada mengejek.
Nisa tersentak. Ia langsung mengenali suara itu—bawahan Jonson.
"Kalian lepaskan aku! Tolong, lepaskan saya!" ucap Nisa memohon, namun sia-sia. Ia tahu, jika mereka membiarkannya pergi, maka mereka sendiri yang akan menjadi korban kemarahan Jonson.
Sesampainya di sebuah hotel, Nisa dibawa ke dalam sebuah kamar. Matanya membelalak saat melihat Jonson berdiri di sana tanpa mengenakan baju, memperlihatkan tubuhnya yang dipenuhi tato naga dan berbagai gambar lainnya.
"Hai, sayang. Kita bertemu lagi," ujar Jonson dengan nada menggoda sambil mengelus wajah Nisa, membuatnya merasa ngeri sekaligus gugup.
"Tuan, tolong lepaskan saya! Apa salah saya hingga Tuan menangkap saya?" tanya Nisa sambil berusaha meronta, meski kedua tangannya terikat di belakang.
Jonson tertawa kecil. "Tidak semudah itu, sayang. Ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membuatmu kesakitan," ujarnya santai sebelum berbalik menuju kamar mandi.
Melihat Jonson masuk ke kamar mandi, Nisa berpikir keras untuk mencari cara melarikan diri. Namun, dengan tangan terikat dan banyaknya penjaga di luar, peluangnya sangat kecil. Dalam keputusasaan, pikirannya tiba-tiba tertuju pada Jhos. Ya, Paman Jhos! Dia pasti bisa membantuku. Semoga saja... gumamnya dalam hati.
Dengan susah payah, Nisa merogoh saku untuk mengambil telepon genggamnya. Setelah berhasil, ia segera menelepon Jhos dengan jantung berdebar kencang.
Di tempat lain, Jhos yang sedang fokus menandatangani dokumen di kantornya, dikejutkan oleh dering ponselnya. Tanpa ragu, ia langsung mengangkatnya.
"Halo?"
"Paman, tolong aku! Aku diculik oleh Tuan Jonson. Sekarang aku ada di kamar hotelnya dengan tangan terikat!" suara Nisa terdengar penuh ketakutan.
Jhos yang awalnya ingin bertanya lebih lanjut, langsung terkejut mendengar pengakuan Nisa. Tanpa berpikir panjang, ia segera beranjak dari ruangannya dan bergegas pergi.
Sementara itu, di dalam kamar hotel, Nisa berusaha menyembunyikan ponselnya di bawah ranjang setelah menutup sambungan telepon, agar Jonson tidak curiga.
Tak lama kemudian, Jonson keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Melihat itu, Nisa semakin panik dan ketakutan.
Jonson melangkah perlahan mendekatinya, lalu mengelus wajah cantik Nisa dengan punggung tangannya...
"Sangat halus aku sangat menyukainya," katanya saat mengelus pipi manis nisa, nisa segera memberontak bahkan sampai menendang-nendang.
Bukkk!
Tiba-tiba suara pintu yang didobrak dari luar mengejutkan Jonson. Ia segera berbalik ke arah suara itu, tetapi sebelum sempat bereaksi, sebuah tendangan keras menghantam wajahnya. Tubuhnya terlempar dari atas tempat tidur dan jatuh ke lantai dengan keras.
"Berani sekali kau menyakiti seorang gadis!" terdengar suara pria dengan nada dingin yang menusuk. Sosok itu melangkah mendekati Jonson, menarik kerah bajunya, lalu melayangkan pukulan bertubi-tubi ke wajahnya hingga berdarah.
"Dasar laki-laki brengsek!" bentak pria tersebut dengan penuh amarah.
Jonson yang menerima pukulan keras merasakan penglihatannya menjadi buram. Setelah beberapa saat, ketika pandangannya mulai pulih, ia terkejut melihat sosok yang berdiri di depannya—Jhos, sepupunya sendiri.
"Apa yang kau lakukan, Jhos?! Kenapa kau menggangguku dan memukuliku? Apa urusanmu denganku? Aku sedang menikmati wanitaku!" seru Jonson dengan nada terkejut dan marah.
Sementara itu, Nisa yang melihat kedatangan Jhos langsung bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya gemetar, ia berlari ke pojok ruangan dan duduk sambil menangis ketakutan. Trauma masih menghantui pikirannya.
Melihat Nisa yang begitu ketakutan, emosi Jhos semakin memuncak. Ia menatap tajam ke arah Jonson dan melangkah mendekatinya dengan penuh amarah.
"Berani sekali kau bertanya seperti itu! Aku katakan sekali lagi padamu, dia adalah wanitaku! Jangan berani-berani menyentuhnya lagi!" teriak Jhos dengan suara menggema, sebelum kembali menendang tubuh Jonson hingga terhuyung.
Jonson yang semakin marah membalas, "Apa maksudmu, Jhos?! Dia adalah wanitaku, bukan urusanmu!" Namun, Jhos tak menggubrisnya. Ia langsung menghampiri Nisa, melepaskan jasnya, lalu menutupi tubuh Nisa dengan lembut sebelum menggendongnya keluar dari kamar hotel.
Jonson hanya bisa menatap dengan penuh kemarahan saat melihat Jhos membawa pergi Nisa di hadapannya. Amarahnya meledak.
"Lihat saja, Jhos! Aku tidak akan menyerah! Aku akan merebut Nisa darimu! Sial... sial... sial!" teriaknya penuh emosi, lalu melampiaskannya dengan memukuli satu per satu bawahannya yang ada di dekatnya.
"Dasar tidak berguna! Kenapa kalian bisa membiarkan dia masuk dan menggangguku?!" bentaknya penuh emosi.
"Tuan, kami sudah berusaha menghalanginya, tapi dia terlalu kuat dan memukul kami!" jawab salah satu bawahannya ketakutan.
Jonson yang tak puas dengan jawaban itu langsung menendang orang tersebut, lalu bergegas kembali ke kamarnya dengan wajah penuh kemarahan.
Apa hubungan Jhos dengan Nisa? Setahuku, dia tidak pernah menunjukkan bahwa dia mengenalnya. Tapi... kenapa dia bisa tiba-tiba datang dan menyelamatkan Nisa? pikir Jonson dalam kebingungan.
Matanya menyipit penuh curiga. Lihat saja, Jhos... Aku tidak akan kalah semudah ini sebelum aku mendapatkan Nisa. Aku akan merebutnya darimu, bagaimanapun caranya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!