NovelToon NovelToon

Istri Kontrak Sang Duda Kaya

1. Pernikahan Tanpa Cinta

Ruang kantor KUA terasa begitu sunyi meski ramai. Rumi duduk dengan tangan gemetar, sementara pria di sampingnya, Radit, hanya menatap lurus ke depan. Dingin. Tanpa ekspresi.

"Setelah ini, jangan harap lebih dari sekadar status," ucap Radit pelan namun tajam, tepat sebelum ijab kabul dilafalkan.

Rumi menelan ludah. Dadanya sesak, tapi ia mengangguk. Ini bukan pernikahan impian—ini sekadar kesepakatan. Demi ayahnya. Demi kehidupan yang tak lagi dihantui tagihan dan tekanan.

"Sah?"

Suara penghulu terdengar mantap di ruangan yang terlalu hening untuk sebuah pernikahan.

Radit mengangguk pelan. "Sah."

Rumi menunduk. Tangannya gemetar di balik gaun putih sederhana yang ia pinjam dari tetangganya. Tak ada pelaminan. Tak ada tawa. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang terasa makin keras.

Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang utang.

Dan, pria di sebelahnya … pria asing yang dingin, tak menatapnya sejak tadi, adalah suaminya sekarang.

Setelah akad, mereka hanya duduk berdua di kursi tamu, minum teh tawar, dan pura-pura nyaman.

"Kita langsung ke rumah."

Suara Radit akhirnya terdengar. Datar. Tanpa emosi.

Rumi mengangguk pelan. "Baik, Mas."

Radit berdiri duluan. Sejenak merapikan kemeja putih yang lipatannya tampak tak rapi.

"Tapi, aku mau izin ke Bapak dulu."

Radit mengangguk, menunggu Rumi yang bergegas menghampiri ayahnya.

Pria yang belum terlalu tua dengan kumis tebal melintang tampak asik menyesap rokok di tangan. Di antara semuanya, dialah yang paling diuntungkan dari pernikahan ini.

"Pak, Rumi dan Mas Radit harus segera pergi."

"Hm, pergilah," jawab Anwar acuh tak acuh. Mau Rumi pulang ke rumah atau tidak, itu bukan urusannya lagi.

Rumi menghela napas. Ia berkorban terlalu banyak untuk ayahnya. Namun, yang ia dapatkan sungguh tidak sepadan.

"Bapak jaga kesehatan. Jangan terus-terusan minum atau bermain judi."

Mendapat teguran dari putri satu-satunya itu, Anwar membalasnya dengan tatapan tajam. "Jangan pernah mengguruiku, Rumi. Aku tau yang terbaik untukku sendiri."

Sejak ibunya meninggal, Anwar bagai kehilangan arah. Hidupnya hancur. Setiap hari hanya dihabiskan di meja judi.

Dan pada akhirnya, Rumi ikut terkena imbasnya juga. Dia tak hanya kehilangan sosok ibu, tapi ayahnya juga. Rumi dipaksa mandiri oleh keadaan. Dan menikah dengan Radit, adalah salah satu bentuk kasih sayangnya kepada Anwar.

...

Rumah Radit seperti dirinya─besar, mewah, dan sepi. Langkah Rumi terdengar sendiri di lantai marmer.

Tak ada yang menyambut kedatangan mereka. Bahkan pihak keluarga dari mempelai pria itu tampak tak ada di sana.

Radit berhenti tiba-tiba, membuat Rumi yang selangkah di belakang menabrak punggungnya yang cukup keras.

Keduanya kini berada dalam sebuah kamar yang besar dan rapi.

"Aduh ..." ringis Rumi sembari mengelus dahinya pelan.

“Kita akan pisah kamar sesuai dengan perjanjian awal. Ini kamarmu dan kamarku ada di sebelahnya,” ucap Radit singkat sambil menatap sebuah cincin yang tersemat di jari manis Rumi. Seketika ia ikutan meringis, tak menyangka jika pernikahan ini benar-benar terlaksana.

Rumi mengangguk, lagi. Ia bahkan belum tahu warna kesukaan pria itu. Tapi sekarang, ia harus tinggal serumah dengannya. Hidup bersama. Tapi, tidak benar-benar bersama.

"Kalau ingin mandi, kamar mandinya ada di sebelah sana. Dan, untuk bajumu, asistenku sudah mempersiapkan beberapa di dalam lemari."

Sebelum masuk ke kamar mandi, Rumi menoleh pelan.

"Terima kasih karena sudah mau menikah denganku."

Radit tidak menjawab. Tapi saat punggung Rumi hilang di balik pintu, pria itu menghela napas panjang.

"Jika bukan karena desakan Mama, mustahil aku menikahinya."

Malam itu, Rumi duduk di atas kasurnya, memeluk bantal. Ia menatap langit-langit, lalu tersenyum kecil.

"Setidaknya … Bapak nggak masuk penjara."

Ia menatap langit-langit dengan mata sendu. Ada rasa gelisah yang perlahan menghampirinya.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, Rumi memilih untuk tidak ke mana-mana. Ia hanya mengurung diri di kamar. Ia bahkan tidak merasa lapar sama sekali.

"Rumi ...."

Panggilan itu berasal dari arah pintu. Rumi bergegas berdiri saat menemukan sosok pria dewasa tinggi dengan kacamata yang membingkai wajahnya.

"Iya, Mas?"

Radit tidak menjawab. Ia mendekat lalu menyerahkan sebuah dokumen bersampul map cokelat.

Tanpa banyak bertanya, Rumi membacanya dengan saksama.

"Ingat poin-poin pentingnya, Rumi. Tidak mencampuri urusan pribadi, tidak jatuh cinta, dan kontrak akan berakhir dalam enam bulan. Jika salah satu dari kita menunjukkan rasa lebih dari sekedar status pernikahan, maka konsekuensinya adalah pembatalan kontrak sepihak."

Rumi terdiam sejenak, berusaha mencerna poin demi poin yang tertera.

"Boleh aku bertanya?"

"Tentu saja."

"Apa ibu Mas Radit tau tentang pernikahan ini?"

"Tidak, mama belum tau."

"Terus ... nanti bagaimana? Em, maksudku, jika mama Mas Radit tiba-tiba ke sini dan melihat aku, aku harus jawab apa?"

"Itu biar jadi urusanku. Dan, satu hal lagi, mamaku nggak perlu tau tentang kontrak kita."

Rumi menghela napas. Ia mengerti.

"Satu lagi, Mas."

Radit yang awalnya ingin beranjak, seketika menghentikan langkahnya.

"Apa aku masih boleh bekerja?"

Radit sendiri belum memikirkan tentang hal itu. Tapi untuk saat ini, lebih baik diiyakan saja. Meminta Rumi untuk selalu di rumah, rasanya juga tidak mungkin.

Senyum cerah terbit di wajah Rumi. Ia bersyukur karena Radit tidak melarangnya sampai ke bagian itu.

Walau hanya menjadi guru TK, Rumi sangat menikmati itu. Ia mencintai pekerjaannya sendiri. Semuanya ia lakukan dengan sepenuh hati.

"Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Kalau butuh sesuatu, temui aku di ruang kerja."

Rumi mengangguk dan mengumbar senyum tipis. Sudut matanya menatap kepergian Radit yang menghilang entah ke mana.

Saat akan beranjak tidur, Rumi baru ingat bahwa dirinya belum makan sejak tadi pagi. Alhasil, ia pun keluar untuk mencari makanan.

Rumi sengaja melambat-lambatkan langkah kakinya. Kemewahan rumah Radit membuatnya terpana.

Ia tak habis pikir, mengapa lelaki sekaya Radit rela menduda hingga tiga tahun lamanya? Padahal Rumi yakin, pasti banyak sekali wanita di luar sana yang mengantri untuk menjadi istrinya.

Rumah ini terasa begitu sepi karena Radit tidak memperbolehkan asisten rumahnya untuk menginap. Mereka hanya akan bekerja dari pagi sampai sore. Sisanya, Radit akan sendirian. Karena pada pernikahan sebelumnya, pria itu tidak memiliki anak.

Rumi melangkah pelan melewati lorong yang dipenuhi lukisan mahal. Tangannya sesekali menyentuh dinding, seolah ingin memastikan semua ini nyata. Saat mencapai dapur, lampunya otomatis menyala, memperlihatkan ruangan bersih dan modern yang entah kenapa terasa dingin.

Ia membuka kulkas dan menemukan beberapa makanan siap saji. Ia memilih sup ayam yang tinggal dipanaskan di microwave. Saat menunggu, pikirannya kembali melayang pada Radit.

Pria itu baik, tenang, dan dingin. Tapi juga tampak menyimpan luka yang dalam.

Rumi bertanya-tanya, apakah Radit pernah benar-benar mencintai istrinya dulu? Dan apa alasan keduanya sampai berpisah? Apa Radit pernah dilukai, sampai-sampai dalam perjanjian kontrak keduanya dilarang untuk saling jatuh cinta?

Denting microwave membuyarkan lamunannya. Ia mengambil mangkuk sup dan duduk di meja makan yang terlalu besar untuk satu orang. Suapan demi suapan ia nikmati dalam diam, sampai suara langkah kaki terdengar dari arah tangga.

Rumi menoleh. Radit berdiri di sana, mengenakan kaus putih dan celana panjang santai. Rambutnya sedikit berantakan, matanya tampak lelah.

"Aku kira kamu sudah tidur," ucapnya pelan.

Rumi tersenyum canggung. "Aku lapar. Tadi lupa makan. Maaf, aku langsung ke dapur tanpa izin Mas Radit."

Radit mengangguk, lalu menarik kursi dan duduk di seberangnya. Hening sejenak.

"Aku juga sering lupa makan," katanya sambil menatap meja. "Terutama sejak sendirian."

Rumi menggenggam sendoknya erat. Ada luka dalam suara Radit yang tak ingin ia ganggu. Tapi ada juga sesuatu yang ingin ia pahami.

"Aku bisa dengarkan, kalau Mas Radit mau cerita," bisiknya.

Rumi berharap dengan obrolan seperti ini, keduanya bisa lebih dekat lagi.

2. Pertemuan yang Tak Direncanakan

Radit terdiam dan menatap Rumi sejenak. Sorot matanya berubah, dari ragu menjadi lembut. Seolah tawaran sederhana itu menyentuh sisi hatinya yang selama ini terkunci rapat.

"Lupakan." Radit tiba-tiba berkata.

Dipaksa bagaimanapun, mulut Radit seolah bungkam. Ia tidak bisa membiarkan perasaan nyaman mendekap dirinya.

Radit sudah pernah kecewa oleh cintanya di masa lalu. Rasa kecewa itu menjadi trauma terbesar untuk dirinya.

"Aku ... mau tidur dulu. Kamu juga jangan lupa istirahat."

Rumi menatap punggung tegap Radit yang perlahan menghilang dalam remang-remang. Bergegas ia menghabiskan makan malamnya dan bersiap untuk tidur juga.

.....

TK Pelangi Kecil, tempat yang sudah jadi rumah kedua bagi Rumi selama hampir tiga tahun. Di sana, semua orang sudah seperti keluarga.

"Kemarin kok nggak masuk, Rum? Kenapa, sih?" Novi mendekat sambil menyunggingkan senyum penuh rasa ingin tahu.

Rumi menoleh, wajahnya agak canggung. "Ah, aku cuma kurang enak badan, Nov. nggak apa-apa, kok."

Novi mengerutkan dahi, matanya tak percaya. "Kurang enak badan kok nggak bilang? Aku kan bisa jenguk kamu, lho. Masa sahabat sendiri nggak diurus?"

Rumi tertawa kecil, tapi dalam hatinya ada rasa bersalah. Ia memilih diam, menyimpan rahasia yang berat.

Tiba-tiba, mata Novi tertuju pada cincin emas yang berkilau di jari manis Rumi. "Eh, itu cincin dari mana, Rum? Sejak kapan kamu pakai?"

Rumi buru-buru menyembunyikan tangannya di balik tubuhnya. "Ah, ini cuma cincin biasa, Nov. Nggak ada apa-apa kok."

Novi maju selangkah, ekspresinya serius. "Bohong! Mana ada cincin biasa yang seindah itu? Lagian tadi aku lihat kamu diantar pakai mobil, biasanya kan motor sendiri."

Rumi menghela napas panjang, akhirnya menyerah. "Iya, Nov. Aku memang baru menikah."

Novi terkejut, matanya melebar. "Serius? Kok kamu nggak bilang-bilang?"

Rumi menunduk, suaranya pelan dan berat. "Ini pernikahan kontrak. Aku nggak mau semua orang tahu."

Novi mendekat, menatap mata Rumi penuh perhatian. "Pernikahan kontrak? Maksudnya gimana? Cerita, dong! Aku di sini buat kamu, Rum."

Rumi menggigit bibir, hatinya bergejolak. "Sebenarnya ... aku nikah sama seseorang yang aku nggak kenal baik. Ini semua karena keadaan."

Novi duduk di samping Rumi, menggenggam tangannya. "Kamu nggak sendirian, ya. Cerita aja sama aku, apapun itu."

Rumi menatap sahabatnya, air mata mulai menggenang. "Aku takut, Nov. Takut nanti orang-orang akan menilai aku. Aku nggak mau kehilangan pekerjaan juga."

Novi mengusap punggung Rumi lembut. "Kamu kuat, Rum. Aku percaya kamu bisa melewati ini. Tapi kamu harus ingat, aku ada di sini. Kita hadapi bareng-bareng."

Suasana jadi hening sejenak, sebelum akhirnya mereka bersiap untuk mulai mengajar. Novi tahu, suatu saat nanti Rumi akan membuka semuanya kepadanya. Dan dia siap menjadi pendengar terbaik.

.....

Ruangan itu terlihat begitu sunyi meski tiga orang dewasa tampak duduk di sana.

Rumi menunduk, menatap jari-jari tangan yang saling bergenggaman.

Di depannya, seorang wanita paruh baya menatap matanya dengan tajam.

"Capek-capek Mama menyekolahkan kamu hingga ke luar negeri, tapi lihat seperti apa pilihan kamu sekarang. Seorang perempuan miskin yang tak jelas asal usulnya."

Rumi semakin dalam menundukkan kepala. Hatinya perih mendengarkan hinaan langsung untuknya. Tapi jangankan menjawab dengan kalimat yang sama pedas, membalas tatapan mertuanya saja ia tidak bisa.

"Perempuan ini istriku, Ma. Namanya Rumi. Aku harap, Mama dapat memanggilnya dengan baik," bela Radit yang duduk tepat di sebelah Rumi.

"Mama pikir, kamu menolak Reva karena kamu punya calon yang lebih baik dari dia. Tapi kenyataannya apa? Bahkan asisten di rumahnya saja, tampak jauh lebih berkelas dari perempuan ini. Mama benar-benar kecewa sama kamu, Radit."

Rumi pikir, di dunia ini hanya bapaknya saja yang mempunyai mulut paling tajam. Ternyata tidak. Widya─berhasil memecahkan rekornya.

Auranya tampak begitu dingin dan mematikan. Gayanya berkelas dengan rambut pendek yang di-stylish rapi. Baju yang ia pakai jelas bernilai jutaan. Sepatunya berkilat. Menampakkan aura old money yang sesungguhnya.

"Ma, tolong hargai pilihanku. Hanya Rumi yang pantas menjadi istriku. Bukan Reva atau lainnya."

"Terserah kamu sajalah. Mama capek."

Widya memandangi Rumi yang sejak tadi hanya menundukkan kepala. Dia bertanya dengan dagu sedikit terangkat, "Lulusan apa kamu?"

"Ma, kenapa harus bertanya begitu? Rumi tidak sedang interview kerja," decak Radit kesal.

"Hah, baiklah. Kalau begitu, kerja apa kamu sekarang? Atau jangan-jangan, kamu seorang pengangguran? Makanya kamu bersedia menikah dengan anak saya agar bisa menguras hartanya."

Radit menyugar rambut dengan pasrah. Ibunya selalu mempunyai seribu satu cara untuk menjatuhkan lawan bicaranya.

"Saya bekerja sebagai seorang guru TK, Ma." Rumi akhirnya menjawab.

"Hanya itu?"

Rumi menganggukkan kepala.

"Hm, beruntunglah kamu karena mendapatkan suami sekaya Radit. Tapi, ingat. Jangan pernah kamu memanfaatkan kekayaan anak saya demi kesenangan kamu semata. Kamu adalah perempuan miskin dan selamanya akan seperti itu."

Tanpa pamitan, Widya bangkit dan berjalan keluar rumah. Meninggalkan Rumi dengan mata berkaca-kaca, juga Radit yang tampak tak tega melihatnya.

"Maaf. Ucapan Mamaku pasti menyakitimu," lirih Radit pelan.

Rumi mengangkat kepala dan tersenyum lemah. "Hm, aku sudah sering menerima hinaan semacam itu. Tapi kadang-kadang, hatiku belum terbiasa."

"Aku tau Mama memang keras. Tapi aku juga tau, kamu nggak layak diperlakukan seperti tadi. Bersabarlah. Setidaknya untuk enam bulan ke depan. Setelah itu, kamu akan bebas."

Rumi mengangguk samar. Matanya mulai basah.

.....

Di kantin sekolah, suasana tampak santai, tapi percakapan antara Rumi dan Novi justru mengandung ketegangan yang tak terlihat di permukaan.

"Jadi gimana, Rum? Apa saja yang kamu dapatkan dari suami kayamu itu?" tanya Novi dengan nada penasaran setelah Rumi menceritakan tentang pernikahan kontraknya.

Rumi menatap sahabatnya, ragu sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, "Aku sudah dapat apa yang aku mau sejak awal. Mas Radit sudah melunasi semua hutang-hutang Bapak. Bapak bahkan nggak jadi dipenjara. Dan aku? Aku hanya menjadi istri supaya mamanya berhenti mencarikan istri lain buat dia."

Novi menatap tajam, tak percaya. "Serius cuma itu? Apa nggak ada yang lebih?"

Rumi mengangkat bahu, "Memangnya harus apa lagi?"

Novi menggeleng, lalu berkata dengan nada kesal, "Bodoh, Rum. Kamu harusnya manfaatin dia! Suamimu itu CEO, perusahaannya besar banget bahkan udah masuk ke daftar top. Menguras hartanya bukan cuma mungkin, tapi harusnya kamu lakukan. Uang sebanyak itu nggak akan bikin dia miskin."

Rumi tertawa kecil, tak habis pikir dengan komentar temannya. "Nggak mau ah, Nov. Ngapain juga kan?"

Novi membalas serius, "Aku serius, Rum. Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali. Jangan sia-siain."

Rumi menghela napas dalam-dalam, matanya menatap jauh ke luar jendela. "Pernikahan ini cuma enam bulan, Nov. Percuma aku nguras dia. Lagipula, aku juga punya gaji sendiri. Kebutuhan aku di sana sudah terpenuhi."

Novi mendekat, suaranya menurun jadi hampir berbisik, "Rum, kadang kita harus pilih jadi licik untuk bertahan. Jangan cuma jadi korban yang pasrah. Kamu bisa lebih dari itu."

Rumi menatap Novi, hatinya bergejolak. "Mungkin kamu benar. Tapi aku juga ingin ini selesai dengan damai. Aku nggak mau jadi bagian dari permainan yang kotor."

Hening sesaat mengisi ruang kecil kantin itu, sebelum keduanya akhirnya tersenyum kecil, sadar bahwa perjalanan Rumi masih panjang dan penuh lika-liku.

.....

Saat menjadi istri Radit, Rumi dilarang mengendarai motor ke sekolah. Pria itu mempekerjakan seorang supir pribadi untuknya. Awalnya Rumi menolak. Namun, Radit bukanlah orang yang suka dibantah.

Sembari menunggu jemputan yang akan membawanya pulang, Rumi membuka ponsel untuk mengecek beberapa notifikasi masuk.

Namun, Anwar mendatanginya dan dengan kasar menarik tangannya.

"Bapak?"

"Aku butuh uang," ucap Anwar tepat ke intinya. Dilihat dari keadaannya, sepertinya Anwar tidak baik-baik saja.

"Uang buat apa, Pak? Bukannya baru semalam ya Rumi transfer?"

"Jangan banyak tanya! Aku butuh uang!"

Anwar langsung menarik tas Rumi dengan paksa dan mengobrak-abrik isinya untuk mencari dompet anaknya.

Rumi berusaha menahan. Namun, Anwar mendorongnya hingga terjatuh.

Kepala Rumi terbentur pembatas jalan. Meninggalkan jejak luka di dahi hingga mengeluarkan darah yang cukup banyak.

"Nah, gini kan enak." Anwar tersenyum lebar kala menemukan sejumlah uang dari Rumi. Tanpa ucapan terima kasih, pria itu melenggang pergi.

Melihat itu, tanpa sadar air mata Rumi menetes. "Ya Allah, sampai kapan Bapak kayak gini terus?"

Larut malam saat semuanya terlelap, Rumi terjaga sendirian. Ia merasa sangat haus.

Sebelum melangkah turun, Rumi melihat ke arah kamar Radit. Tak ada cahaya lampu yang menjalar di bawahnya. Menandakan bahwa pria itu mungkin belum pulang.

Di dapur, Rumi langsung mengisi gelasnya dengan air putih. Ia sempat melamun. Sampai tak sadar jika Radit berada tepat di belakangnya.

"Sedang apa?"

Rumi terperanjat hingga nyaris menjatuhkan gelas. Cepat-cepat ia mengelus dada dengan napas berembus lega.

"Kaget. Kirain siapa tadi," gumam Rumi. "Aku cuma mau minum. Haus banget soalnya. Mas Radit udah makan?"

"Belum. Dahi kamu kenapa?"

Rumi refleks menyentuh dahinya yang ditutupi perban. "Jatuh, Mas."

"Lain kali hati-hati," ucap Radit.

Rumi tersenyum dan mengangguk singkat.

"Aku mau mandi dulu."

Selepas kepergian Radit, Rumi bergegas menyiapkan makan malam. Ia melakukan tugasnya dengan baik. Tugas sebagai seorang istri di atas kertas.

Kesendirian Rumi terusik oleh getaran ponsel dari atas meja. Rupanya Radit tak sengaja meninggalkan benda itu di sana.

Saat Rumi hendak menyusul Radit untuk mengembalikan benda tersebut, sebuah pesan masuk menarik perhatiannya.

Tidur yang nyenyak ya, Sayang. Love you.

"Mas Radit punya pacar?" Rumi bergumam, matanya menatap dalam pada sederet nomor tanpa nama.

"Apa yang sedang kamu lakukan, Rumi? Mengecek ponselku tanpa izin?"

"Mas Radit ...."

Rumi gemetar ketakutan. Ia tertangkap basah walaupun kenyataannya tidak seperti itu.

"Ingat poin pentingnya. Jangan mencampuri urusan pribadi. Kamu sangat tidak sopan," ucap Radit dengan tegas.

3. Semakin Dekat, Semakin Bingung

Keesokan paginya, dapur dipenuhi aroma tumisan bawang putih. Rumi berdiri di depan kompor dan ikut menyiapkan sarapan meski asisten rumah tangga puluhan kali melarang.

Dikarenakan kesalahpahaman semalam, Rumi berakhir tidur dengan tak tenang. Matanya sembab karena sempat menangis. Ia merasa tertuduh dan juga kecewa lantaran Radit memilih untuk tidak mendengarkan penjelasannya.

Matanya yang sembab, berusaha ia tutupi dengan senyum ketika Radit melintas tanpa kata. Pria itu langsung duduk di meja makan dengan wajah dingin.

Tak ada percakapan pagi ini. Tak juga tatapan mata.

Ponsel Radit ada di meja makan, sama seperti semalam. Tapi kini, Rumi tak lagi tertarik untuk menyentuhnya. Ia merasa cukup disentuh oleh luka yang masih terlalu basah.

Dan entah mengapa, pesan tanpa nama itu jauh lebih membekas daripada ucapan pedas sang mertua.

"Mas Radit ...." Rumi memanggil dan perlahan menarik kursi di sebelah Radit. Rasa takutnya sangat kentara. "Aku mau minta maaf soal tadi malam. Aku sama sekali nggak bermaksud melihat pesan itu."

Radit tak menoleh. Tatapannya tertuju ke layar laptop yang menyala di depannya. Tangannya sibuk memotong roti, sementara mulutnya sibuk menguyah.

"Mas Radit ...."

"Sudah, jangan dibahas lagi." Radit menjawab datar.

"Tapi, Mas─"

"Sudah, Rumi! Sudah! Mengerti tidak, sih?"

Rumi menunduk setelah sempat melotot karena tak percaya. Bentakan Radit membuatnya ketakutan sampai-sampai ia harus menggigit bibir untuk menahan tangis.

Beberapa asisten yang semula ada di sana perlahan-lahan mulai menjauh. Memberi ruang yang lapang untuk keduanya menyelesaikan masalah.

Akan tetapi masalah itu tak benar-benar selesai. Radit melenggang pergi, meninggalkan rotinya yang tak habis.

.....

Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Laporan menumpuk, jadwal meeting padat, dan banyak berkas yang harus ia periksa. Tapi Radit duduk di kursinya dengan pandangan kosong menatap layar laptop yang menyala.

Tangannya menggenggam pena, tapi tak ada satu pun baris kalimat yang tercatat.

Wajah Rumi semalam kembali terlintas.

Air matanya. Senyumnya yang dipaksakan. Suaranya yang bergetar saat meminta maaf.

Radit menghela napas. Kenapa hal sekecil itu justru membuat dadanya sesak?

Dia bahkan tidak tahu pasti kenapa bersikap sekeras itu pada Rumi. Padahal ia tahu, perempuan itu tidak sepenuhnya bersalah.

Dan entah kenapa, sejak semalam, bayangan Rumi tak pernah benar-benar pergi dari pikirannya.

"Kenapa, Dit? Habis nikah bukannya seger malah makin kusut. Nggak dapat jatah, ya."

Radit memutar bola mata dengan malas. Yang masuk ke ruangannya sekarang adalah Nauval, sahabat sekaligus asisten pribadinya.

"Mana laporan yang aku mau?" Radit sama sekali tak tertarik untuk membahas tentang pernikahannya lebih lanjut.

Dan Nauval hanya tertawa singkat sambil meletakkan laporan yang Radit maksud.

"Kenapa, sih, Dit? Ada masalah apa sama pernikahan yang baru berumur seminggu ini?"

Radit tak menjawab, berusaha fokus membaca laporan di atas meja.

"Kali aja aku bisa kasih solusinya," timpal Nauval lagi.

"Kamu aja belum pernah nikah. Gimana caranya bisa kasih solusi?"

Nauval berdecak dan akhirnya menyerah.

"Kamu ... beneran nggak ada rencana buat buka hati? Ya walaupun cuma pernikahan kontrak. Siapa tau kan kalau dia ini beneran jodohmu?"

Radit menatap Nauval sejenak dengan napas berembus lelah. "Nggak ada alasan buat aku percaya sama mereka."

"Tapi nggak semua perempuan itu sama, Dit. Mereka berbeda. Dan aku juga bisa lihat kalau istrimu ini juga berbeda. Dia bukan mantan istrimu yang jahat itu, Dit. Dia orang baru yang mungkin akan meruntuhkan es di hatimu itu."

Radit tak membalas, hanya diam dengan pandangan lurus ke depan.

"Nggak ada salahnya mencoba untuk membuka hati. Coba sekarang atau kamu akan menyesal kemudian."

Setelah memberikan petuah padahal dirinya tidak mempunyai pasangan, Nauval berbalik dan berjalan keluar dari ruangan kebesaran.

Radit membuang napas panjang. Memejamkan mata sambil meraup muka.

Sejak pandang pertama pun, Radit sudah menyadari bahwa Rumi bukanlah sosok seperti mantan istrinya dulu. Wanita ini lembut, tapi juga rapuh di saat yang bersamaan. Ia baik dan mungkin juga pengertian.

Tapi, apakah ia bisa mencintai pasangan dengan tulus? Apakah ia setia? Apakah ia akan meninggalkan Radit saat dirinya benar-benar jatuh cinta?

Memikirkannya saja membuat kepala Radit seakan hampir pecah. Lagi-lagi bayangan Rumi memenuhi setiap sudut pikirannya.

Pintu ruangan Radit terbuka tanpa izin. Seorang wanita berpenampilan modis melangkah masuk dengan percaya diri, membawa senyum yang Radit kenal betul.

“Masih dingin seperti biasa, ya, Dit?” sapa Reva sambil duduk tanpa diminta.

Radit mendesah pelan. “Apa yang kamu lakukan di sini, Reva?”

“Rindu,” jawabnya cepat, menggoda. “Masa, sih, pria yang selalu dikejar banyak wanita, sekarang malah menghilang begitu saja? Eh, atau jangan-jangan, kamu udah ada yang nemenin, ya?”

Radit menegakkan badan, sorot matanya tajam. “Kalau kamu ke sini cuma buat main-main, pulang, Reva. Aku sibuk.”

Reva tertawa kecil. “Aih, galak amat. Padahal aku cuma mau ngasih tahu kalau pesanku semalam belum dibalas.”

Radit berdecak. “Ternyata itu nomor barumu, ya?"

“Ya, iyalah. Siapa lagi coba? Aku pikir kamu udah nggak bisa tidur kalau nggak aku ucapin 'love you', haha ...."

Radit berdiri. “Itu terakhir kalinya kamu kirim pesan seperti itu. Aku sudah menikah, Reva.”

Reva mencibir. “Nikah sama perempuan miskin yang bahkan bukan selera mama kamu? Please, Radit. Kamu tahu yang pantas buat kamu itu siapa.”

Radit menahan emosi. Tapi dalam hati, bayangan air mata Rumi muncul kembai. Dan entah kenapa, terasa jauh lebih menyakitkan dari semua yang dikatakan Reva barusan.

"Hentikan omong kosongmu itu. Aku tau siapa yang pantas untukku. Dan itu bukan kamu."

Reva berdiri, berjalan melingkari meja dan berdiri tepat di sebelah Radit. Lengannya yang putih bersih terlihat mengalungi leher Radit dengan mesra.

"Semakin kamu tolak, semakin aku bersemangat untuk memilikimu. Ayolah, Radit. Apa kurangnya aku untukmu? Aku seksi, aku kaya, aku cantik, aku lebih dari segala-galanya."

"Tapi kamu bukan seleraku. Menjauhlah!"

Radit melepaskan tangan Reva dengan kasar. Ia benar-benar muak.

Bertepatan dengan itu, Nauval masuk ke dalam ruangan tersebut. Kehadiran Reva sudah bukan lagi pemandangan baru buatnya.

Hanya ditatap Radit saja, Nauval tahu apa yang harus ia lakukan.

"Jangan main kode-kode, Radit. Aku bisa sendiri. Sampai jumpa nanti kesayanganku."

Reva berjalan dengan anggun. Ketukan sepatu hak tinggi miliknya terdengar berirama.

Reva akhirnya pergi.

Malam itu, rumah terasa sunyi seperti biasanya.

Radit pulang lebih awal, berharap bisa menebus sikapnya semalam. Tapi yang menyambutnya hanya aroma hangat masakan dan rumah yang rapi. Rumi tidak muncul dari dapur seperti biasa.

Ia berjalan pelan ke ruang tengah. Rumi duduk di sudut sofa, menunduk, tangannya sibuk menuliskan sesuatu. Mungkin semacam pekerjaan di sekolah yang harus ia selesaikan di rumah.

“Udah makan?” tanya Radit, mencoba membuka percakapan. Kali ini, Rumi tak lagi terkejut akan kedatangannya yang tiba-tiba.

Rumi hanya mengangguk tanpa menatap. “Sudah. Kalau Mas Radit belum makan, aku akan panaskan makanannya sebentar."

“Nggak usah. Aku bisa ambil sendiri,” balas Radit pelan.

Sunyi lagi. Radit menghela napas. Biasanya Rumi akan bertanya bagaimana harinya. Tapi sekarang, seperti ada tembok tak kasat mata yang semakin tinggi di antara mereka.

“Rumi,” panggil Radit.

Rumi menoleh, tapi cepat-cepat menunduk lagi. “Maaf, aku nggak bermaksud ganggu privasi Mas Radit. Aku akan lebih hati-hati ke depannya.”

“Rumi, bukan itu maksudku.”

Tapi Rumi sudah bangkit, hendak berjalan cepat menuju kamar sebelum Radit memutuskan untuk meraih tangannya.

"Jangan seperti ini, Rumi. Jangan sampai masalah ini merusak hubungan kita. Ingat, kita masih ada kontrak selama beberapa bulan ke depan."

Rumi membuang napas. Matanya terpaku kepada Radit yang masih memegang tangannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!