NovelToon NovelToon

Pernikahan Yang Ketiga

1. Hanya Ibu Tiri

"Kenapa kau ke sini lagi?" hardik Amora dari balik pintu yang baru saja terbuka. Tangannya terlipat di dada, tatapannya tajam, dan wajahnya menegang. Ia, anak kandung dari mendiang suami Ratna, kini telah berkeluarga dan tinggal di rumah peninggalan ayahnya.

Ratna tersenyum kecil, berusaha menenangkan hatinya yang mendadak gelisah. "Mama hanya ingin melihat cucu Mama, Nak. Warung kopi kan belum buka, jadi Mama pikir tak mengapa lah Mama mampir sebentar melihat keadaan kalian.”

"Dia bukan cucumu!" potong Amora lantang, suaranya menggema hingga membuat Ratna sedikit tersentak. "Dia anakku. Dan kau tak perlu sering-sering datang kemari!"

Sekilas, mata Ratna berkaca. Sorot matanya sayu, dengan keriput di sudut-sudutnya yang tampak lebih dalam saat ia mencoba menahan tangis. “Amora ... kenapa kamu berkata seperti itu? Bukankah kalau dia anakmu, artinya juga cucu Mama?”

"Jangan sok perhatian begitu!" Amora membuang muka dan diam sejenak.

"Kau bukan ibu kandungku! Kau hanya perempuan yang dinikahi papaku, itu pun pasti hanya karena harta! Dan setelah Papa meninggal, kau bertahan di rumah ini seolah-olah semuanya adalah milikmu. Kau pikir aku tidak tahu?"

Tubuh Ratna sedikit bergetar. Napasnya terlihat naik turun. Namun, ia tetap berusaha berdiri tegak setelah meletusnya ucapan yang lebih tajam dari bilah pisau.

Ia sungguh tak menyangka, Amora, anak suami yang ia rawat semenjak meninggal sepuluh tahun lalu, bisa mengatakan hal sekeji itu terhadapnya.

“Jika Mama memang hanya datang untuk kekayaan papamu, takkan mungkin Mama bertahan sendiri menjalankan usaha warung kecil untuk menghidupi kita."

"Mama hanya ingin tetap menjadi Ibu di dalam hidupmu, meski hanya menjadi sosok bayangan yang kamu benci. Setidaknya, Mama bisa merawat anak dari suami Mama, meskipun bukan anak yang lahir dari rahim Mama."

"Hentikan!" Amora berseru dengan mata memerah membara. "Hubungan kita telah selesai di saat aku menikah dengan Mas Dirli. Dan kau, bukan siapa-siapa lagi, bagiku."

Ratna memejamkan mata, menahan bulir bening yang nyaris luruh. “Mama memang bukan ibu kandungmu, Amora. Tapi Mama mencintaimu seperti anak Mama sendiri. Mama tidak pernah membedakanmu … bahkan ketika anak kandung Mama sendiri memilih untuk menjauh.”

Amora terdiam. Bibirnya mengatup rapat, tetapi tatapannya semakin tajam.

"Kau hanya mencari pelarian dari anakmu yang tak mau lagi menemuimu, bukan? Hanza sudah dewasa, dan dia pun pasti tahu siapa ibunya yang sebenarnya. Kau datang padaku karena tak ada lagi tempat untuk kau tuju.”

"Sudah lah! Jangan usik hidupku lagi! Pergi lah! Urus saja warung kopimu itu!"

Bibir Ratna terkatup. Akhirnya ia mengangguk pelan. Namun, terlintas satu hal yang ingin diberikan kepada bayi kecil berusia enam bulan itu. Ia mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu.

"Mama tak sempat membelikan cucu Mama, mainan. Namun, kamu bisa membelikannya dengan uang ini," ucap Ratna menyerahkan uang ke hadapan Amora.

Amora menerima uang itu tanpa kata. Ia tidak menoleh, namun jemarinya menggenggam erat lembaran itu. Mulutnya tak bersuara, tapi sudut bibirnya melengkung samar. Kali ini, Ia merasa menang menghadapi sang ibu tiri.

'Mayan, buat beli skincare, biar tetap cantik meski udah memiliki anak,' batinnya. Tangannya mengayun pelan, isyarat bagi Ratna agar segera pergi.

Ratna menunduk dan mengangguk pelan. Ia melangkah mundur, membalikkan badan dengan sisa harga diri yang ia genggam erat. Air mata tak lagi tertahan. Ia menyeka pelupuk matanya sambil melangkah menjauh, membawa perih yang tak mampu ia ucapkan.

Saat berjalan menyusuri trotoar menuju warung kopi, langkah Ratna terhenti. Di kejauhan, seorang anak berseragam putih-merah tampak sempoyongan, tangan kecilnya memegangi perut.

“Nak, kamu kenapa?” Ratna spontan melangkah cepat mendekatinya.

Belum sempat sang bocah menjawab, tubuh mungil itu ambruk—jatuh tepat ke pelukannya.

“Nak...? Nak?” Ratna memanggil panik, menepuk-nepuk pipi si bocah dengan lembut. Tidak ada reaksi.

Matanya celingukan, panik. Kiri—kosong. Kanan—sepi. Tapi di seberang jalan, ia melihat seorang pria tua dengan jaket ojek daring tengah duduk di atas motornya, menunggu orderan.

Ratna melambaikan tangan. “Pak! Tolong!”

Pria itu menunjuk dirinya, agak ragu. Ratna mengangguk keras. “Iya, Bapak! Tolong!”

Dengan wajah cemas dan penasaran, sang pengemudi menyalakan motornya, menyeberangi jalan.

“Kenapa, Bu? Anaknya kenapa?” tanyanya.

“Dia bukan anak saya ... Tapi dia butuh pertolongan,” jawab Ratna dengan suara bergetar. “Tolong bantu saya bawa dia ke rumah sakit. Saya mohon.”

Mata pria itu menatap anak yang pingsan dalam pelukan Ratna. Sesaat hening seolah menimbang atau mungkin menilai. Lalu ia mengangguk.

“Ayo Bu, naik. Kita antar sekarang.”

Ratna masih memeluk erat tubuh bocah yang lemas di dekapannya. Pria tua dengan jaket ojek daring telah turun dari motornya mencoba membantu untuk menaikkan bocah itu.

Dengan susah payah, mereka mengatur posisi agar Ratna dan anak itu sama-sama nyaman di bangku penumpang.

Dalam perjalanan, pria itu melirik Ratna lewat spion. “Anak siapa itu, Bu?”

Ratna menggeleng pelan. “Saya tidak tahu, Pak. Saya bahkan tidak tahu siapa namanya. Tapi, saya tak tega melihat dia pingsan begini. Mungkin dia belum sempat sarapan atau mungkin memang sedang kurang sehat.”

Pria itu diam sejenak. Lalu bertanya lagi, suaranya agak pelan, menimbang takut menyinggung perasaan.

“Suami Ibu tidak keberatan jika Ibu menolong anak yang tak dikenal seperti ini?”

Ratna terdiam. Rautnya pun berubah drastis. “Suami saya sudah meninggal... sepuluh tahun lalu. Kalau pun masih hidup, mungkin akan tetap sama perlakuannya sepertiku."

“Oh...” Suara pria itu turun satu nada.

“Maafkan saya, Bu.”

Ratna tersenyum kecil, walau matanya masih sembab. “Tak apa. Saya terbiasa sendiri, Pak. Lagipula, hidup itu bukan soal ikatan darah, tapi siapa yang memiliki hati.”

Pria itu melirik spion lagi, lebih lama. Ada sorot kagum di matanya yang sebelumnya tersembunyi di balik helm dan jaket lusuh.

Sesampainya di rumah sakit, ia langsung melompat turun, membantu Ratna, dan mengurus administrasi seolah ia sudah terbiasa melakukannya. Bahkan, saat petugas menanyakan jaminan biaya, ia langsung mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartu platinum dengan inisial timbul R.H. di sudutnya.

Petugas menatap kartu itu, lalu beralih heran menatap pria berpakaian ojek daring itu.

“Pak, Anda ini...?”

Pria itu hanya menaruh telunjuk di bibir, memberi kode agar petugas diam.

Petugas itu menatap nama di kartu, lalu menatap pria itu sekali lagi. Namun, pria tua itu sudah berbalik, melangkah tenang seperti angin.

Ratna yang sedang mengelus kepala anak kecil itu tak menyadari apa pun. Tapi diam-diam, pria itu terus memperhatikannya.

Sesaat setelah anak itu dibawa ke ruang perawatan, Ratna terduduk di kursi tunggu. Ia merasa cukup khawatir dan tak sengaja melihat tukang ojek tua yang tadi mengantarnya.

Pria tua itu membuka helm denga perlahan, menatap Ratna dari samping. Rambutnya sudah memutih, tapi wajahnya tampak bersih dan rapi.

“Kalau boleh tahu, Ibu tinggal di mana?” tanyanya hati-hati.

“Tak jauh dari sini, saya punya warung kopi kecil,” jawab Ratna. “Saya hanya tinggal sendiri.”

“Suaminya sudah lama meninggal, ya?”

Ratna mengangguk. “Ya, begitu lah. Saya memiliki satu anak tiri dan satu putri kandung. Hanya saja, tak ada yang menganggap keberadaan saya karena masa lalu saya begitu kelam."

2. Tukang Ojek Misterius

Pria itu diam sejenak. Lalu, entah mengapa, ia berkata, “Saya juga sendiri, Bu. Sudah sangat lama saya sendiri. Bahkan, saya tak pernah merasakan bagaimana itu hidup memiliki keluarga. Bagi saya, menikah hanyalah sesuatu yang merepotkan."

Ratna menoleh, agak kaget. “Oh, benar kah? Saya pikir Bapak ngojol begini untuk membiayai kebutuhan keluarga."

“Bukan. Ya, saya ngojek gini hanya untuk melawan sepi saja. Siapa tau dapat penumpang yang unik kan?" Ia melirik Ratna sejenak. "Seperti Ibu ini."

Pria itu bersandar pada kursi susun yang berbahan besi itu. Sejenak ia mengusap paha beberapa kali, lalu terulas senyum tipis di bibirnya.

"Dulu saya berpikir, perempuan hanya akan menghambat hidup saya. Hanya bisa menghabiskan uang. Membuat drama bermacam setiap harinya.” Lalu dia terkekeh menatap mata Ratna.

"Saya baru sadar, ternyata semua yang saya pikir kan itu salah, setelah rambut mulai memutih ini. Di saat semua orang menganggap saya tak menarik lagi."

"Hari ini, saya bertemu dengan Ibu. Seorang wanita tangguh, meskipun usia bisa dibilang sudah tak muda lagi. Bahkan begitu terbuka menolong orang yang tak ibu kena."

Ratna mengerjap setelah itu ia menunduk karena ada rasa canggung ditatap oleh pria beruban itu.

“Nama saya Robin,” ujarnya lagi, menyodorkan tangan.

“Ratna,” jawabnya pelan, sedikit gelagapan menerima uluran tangan itu.

"Ibu ..." Perawat menghampiri Ratna.

"Bagaimana keadaan anak tadi, Sus?"

"Sekarang, dia sudah mulai sadar. Kami telah memberikan beberap suntikan. Kami akan memberikan resep obat. Jadi, kami harap segera ditebus ke apotek yang berada di sana." Perawat menunjuk lokasi dan menyerahkan resep obat yang harus diambil.

Ratna sedikit tertegun melihat kertas yang berisi rangkaian obat bagi siswa yang diselamatkannya tadi. Sesaat ia baru sadar, uang tunai yang dimiliki telah diberikan semua ke Amora.

Meski gugup, ia akhirnya menerima resep tersebut dan segera membuka dompet lusuh yang ia pegang. "Aaahh ...." Hanya helaan napas panjang yang keluar tanpa sengaja. Di sana, tukang ojek bernama Robin itu seakan membaca sesuatu, yang tak terucap oleh bibir Ratna.

Robin bangkit dan menarik secarik kertas yang membawa beban di pikiran Ratna. "Ini, biar saya yang urus," ucapnya berjalan cepat menuju apotek.

"Kamu urus saja anak tadi. Setelah selesai, saya akan mengantar kalian pulang."

Beberapa waktu kemudian, Ratna telah berada di rumah siswa SD tadi ke langsung menyerahkan kepada orang tua nya. Lalu ia merogoh kembali dompet usangnya. Di sana, Ratna hanya menemukan satu lembar uang nominal sepuluh ribu.

"Pak, ongkos saya tadi berapa?" tanya Ratna sedikit sungkan.

Sejenak, pria itu menoleh ke atas. "Murah kok, Bu."

"Berapa, Pak?"

"Satu juta saja," ucapnya dengan santai.

"Apa? Jangan bercanda, Pak! Itu namanya, Bapak sedang memeras saya."

Lalu meledak lah tawa Robin.

...

Ratna membuka rolling door warung kopinya dengan napas yang masih terasa berat. Hari itu matahari bersinar agak malas, seperti hatinya. Ia menyalakan kompor, merebus air, dan mulai menyusun stoples kue kering sisa kemarin.

Namun mata dan pikirannya, tak lepas dari pria yang duduk semenjak tadi yang tiada henti mengeluarkan cengiran, bersandar santai di salah satu kursi, di antara meja dekat jendela.

Laki-laki yang bernama Robin itu menyilang kaki memerhatikan Ratna yang langsung sibuk di dapurnya. Setelah itu, ia memperhatikan desain warung sederhana ini dengan seksama.

Tentu saja warung ini jauh dari kesan premium. Akan tetapi tempat ini menjadi tempat yang nyaman bagi kaum mendang mending, yang tetap ingin mencicipi nikmatnya kopi dengan aroma yang menenangkan ini.

Ratna menuang air panas ke dalam teko, aroma kopi langsung menyebar memenuhi udara. Ia melirik ke arah Robin sekilas, lalu kembali fokus menggiling beberapa biji kopi di penggiling manualnya. Tangannya bekerja, tapi pikirannya justru dipenuhi tanda tanya atas rasa heran pada orang yang baru ditemuinya ini.

“Warung ini udah lama ya, Bu?” tanya Robin, memecah keheningan.

“Lumayan. Saya membangunnya semenjak suami meninggal, sekitar sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ratna, menyajikan secangkir kopi hitam di hadapannya.

“Dulu saya hanya ibu rumah tangga. Tapi setelah suami saya meninggal, saya putuskan membuka warung ini. Lokasinya tak jauh dari rumah mendiang suami. Jadi, ya ... untuk memenuhi kebutuhan kami saat itu."

Robin mengangguk pelan. Ia meniup kopi panas itu sebelum menyeruputnya perlahan. “Pahitnya pas. Kayak hidup ya.”

Ratna tertawa kecil. “Kalau pahit doang, berarti belum ditambah gula.”

Robin masih duduk di kursi dekat jendela, menatap cangkir kopi yang kini tinggal separuh. Jemarinya mengetuk-ngetuk pelan meja kayu. Ratna tak banyak bicara. Ia sibuk membereskan stoples, tapi sesekali matanya mencuri pandang ke arah pria itu.

“Kopi ini…” ujar Robin tiba-tiba, suaranya datar, “...kayak yang saya cari dari dulu.”

Ratna tak menanggapi. Ia hanya menoleh singkat, lalu kembali menyusun kue kering yang hampir habis.

Robin berdiri perlahan, mengambil helm yang tadi ia taruh di bawah kursi. Tapi sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi ke arah Ratna.

“Kalau saya datang lagi, Ibu bakal ingat saya nggak?”

Ratna berhenti bergerak. “Kalau Bapak bawa helm yang sama, mungkin saya akan langsung ingat.”

Robin tersenyum tipis. Di saat Ratna sibuk kembali, ia menaruh selembar uang.

"Ini sudah saya bayar," ucapnya mulai melangkah membuka pintu.

"Tak usah bayar, Pak. Buat ganti ongkos dan hutang hari ini," soraknya mengejar.

Namun, Robin telah beranjak melangkah ringan menuju motornya, lalu melesat pergi tanpa menoleh lagi.

Lalu, Ratna menuju bangku Robin tadi. Di sana terdapat satu lembar uang berangka 100, bukan rupiah, tetapi euro.

**

Beberapa menit kemudian, motor itu berhenti di depan sebuah gedung tinggi, berlapis kaca, megah berdiri di tengah kota.

Plang besar bertuliskan:

R.H. Group

Robin melepas helmnya perlahan. Rambutnya yang mulai memutih berkilau diterpa cahaya sore. Ia menatap gedung itu, lalu melangkah masuk dengan langkah tegas. Penuh arah. Seperti seseorang yang menyimpan banyak hal di balik diamnya.

"Aduh, Bapak? Masih belum bosan jadi tukang ojeknya?" tanya Wirya, asisten pribadi Robin.

"Sekarang, tolong siapkan sebuah rumah kecil dan sederhana. Sepertinya sebentar lagi saya akan menikah."

"Wah, benar kah? Serius Bapak Robin Hadinata si bujangan legendaris, akan melepas masa lajangnya? Tapi, kenapa hanya dikasih rumah kecil, Pak?"

3. Pelukan dalam Jaket Hijau

"Saya hanya ingin meyakinkan diri bahwa saya tak salah memilih wanita yang akan menjadi pendamping hidup saya," ucapnya singkat melepas jaket bewarna hijau, berganti jas mewah yang diserahkan Wirya.

"Padahal, kalau dia tahu Bapak kayak raya, dari tadi dia akan pingsan dalam pelukan Bapak, loh?" canda Wirya, menggoda sang pimpinan.

Mendengar banyolan sang asisten, Robin hanya tertawa kecil menggelengkan kepala.

Tak lama, Wirya menelengkan kepala. "Masih muda, Pak? Atau udah berpengalaman?"

Robin sedikit tersentak. Ia mencoba mengingat kembali visual Ratna yang kini menari di kepalanya. Ratna memiliki senyum yang tenang, cara bicaranya sangat bijak, dan tubuh ramping yang masih tegap meski rambutnya tak lagi terikat dengan rapi. Ratna pernah bilang, dia punya satu anak kandung dan satu anak tiri. Anak tirinya, sudah berkeluarga.

"Mungkin sekitar 45-an," simpulnya.

Mulut Wirya membulat dan ia mengangguk cepat. "Berarti ia sudah matang tuh, Pak. Jadi akan aman dari drama-drama rumah tangga yang Bapak takutkan semenjak dulu."

"Tepat sekali!" ucapnya lagi.

....

Keesokan pagi, Ratna telah berada di warungnya. Ia memiliki agenda untuk membersihkan warungnya agar lebih mengkilap.

"Permisi ..." ucap seseorang dari luar. Tapi, suaranya terdengar serak dan berat. Ia berjalan sempoyongan dengan mata merah menyala.

Sejenak, Ratna menyadari ada hal yang aneh pada tamu yang baru datang itu. Untuk menutupi rasa canggungnya, ia bersandar pada dinding, menggenggam sudut lemari yang ada di dekatnya.

"Maaf, warungnya belum buka. Bukanya sore hari seperti biasa," ucap Ratna dengan sedikit takut.

Namun, seorang yang baru saja masuk itu, menurunkan pintu rolling yang tadi dibuka oleh Ratna.

"A-apa yang kamu lakukan? Ke-keluar!"

Ratna mencoba mundur, tapi dinding di belakangnya membuat tubuhnya terhenti. Tak ada celah. Tak ada jalan keluar. Tubuhnya menegang, dan suara langkah si tamu justru makin mendekat.

"Ratna, akhirnya aku memiliki kesempatan ini." Saat ini, ia telah menempelkan tubuhnya menekan posisi Ratna.

Ratna, mencoba mendorong pria itu, tetapi ternyata tak mampu menggesernya sedikit pun. Aroma napasnya jelas menyiratkan sedang dipengaruhi alkohol. Tangannya mulai liar menyentuh Ratna.

"PERGI! ENYAH KAU!" teriak Ratna sekuat tenaga. Suaranya memecah udara, bercampur antara marah dan takut.

...

Robin turun dari motor dengan hati yang ringan. Jaket hijau ojol masih melekat di tubuhnya, helm hitam ia lepas dan sandarkan di jok. Pagi ini, ia sengaja tidak menerima orderan apa pun—hanya ingin mampir sejenak. Mungkin bisa melihat Ratna menyapu atau menuang kopi. Ia membayangkan senyum hangat Ratna dan sapaan lembut yang membuat jantungnya selalu sedikit lebih cepat berdetak.

Namun, harapan itu runtuh begitu ia melihat pintu rolling warung masih tertutup. Tidak seperti biasanya.

Robin menghela napas pendek.

"Masih tutup? Bukannya biasanya jam segini udah mulai nyiapin?"

Ia mendekat. Warung itu tampak sepi. Terlalu sepi.

Ia menoleh ke arah jalan yang lengang. Tak ada pejalan kaki, tak ada suara kendaraan. Hanya sunyi pagi dan degup jantungnya sendiri.

Ia sudah hendak kembali menaiki motornya ketika—

PRANG!

Suara kaca pecah dari dalam warung. Disusul suara benda logam jatuh—dan... jeritan.

"PERGI! ENYAH KAU!"

Robin langsung menoleh. Nafasnya tercekat. Itu suara Ratna. Tak salah lagi.

Ia berlari kembali ke depan warung dan mencoba mengangkat rolling door. '

'Terkunci? Ternyata tidak.'

Ia mencengkeram gagangnya dan menarik kuat. Rolling door itu terangkat perlahan, menimbulkan gesekan kasar logam yang menyayat telinga.

"Ratna!" serunya. Tak peduli lagi dengan suara atau siapa yang mendengarnya.

Matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat darahnya mendidih.

Ratna terjepit di sudut, tubuhnya ditekan pria dengan mata merah, tangan liar menyentuh tubuh Ratna yang gemetar.

BUK!

Tanpa sepatah kata pun, tinju Robin mendarat telak di rahang pria itu. Suara benturan daging dan tulang memecah udara.

Pria itu terhuyung dan jatuh menghantam lantai, kepala membentur kaki meja. Belum sempat bangkit, Robin kembali maju dan mendaratkan satu pukulan lagi ke perutnya.

BUK!

"Sentuh dia lagi, gue habisin lo!" desis Robin, matanya merah oleh amarah.

Pria itu meringkuk, mengerang, tangannya mencoba menutupi wajah.

Robin menoleh ke arah Ratna yang terduduk di lantai. Nafasnya tersengal. Tangan menggenggam kerah baju yang sempat ditarik kasar. Mata mereka bertemu. Robin menahan nafas.

Robin mendekat perlahan, lututnya bertekuk, dan ia berjongkok di hadapan Ratna. Suaranya pelan namun tegas, seolah mencoba menstabilkan dunia yang baru saja kacau karena kehadiran pria tadi.

"Kamu tidak apa-apa?"

Tak ada jawaban. Hanya isakan tertahan. Lalu, tiba-tiba Ratna menjatuhkan diri dalam pelukannya. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tak teratur, seperti baru muncul ke permukaan setelah tenggelam terlalu lama.

Robin membiarkan dirinya dipeluk. Tangannya memeluk balik dengan ragu, lalu menguat saat ia merasakan betapa rapuhnya perempuan itu saat ini. Napas Robin ikut sesak.

"Sudah ... sudah, sekarang kamu sudah aman. Aku ada di sini." Suaranya bergetar, antara marah, cemas, dan lega.

Ratna mencengkeram bagian dada jaket ojol Robin. Tak peduli siapa dia. Tak peduli seragamnya bau bensin dan debu jalanan. Saat ini, Robin adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari kegelapan.

Air mata Ratna jatuh membasahi jaket Robin, tapi pria itu tak bergeming. Ia hanya menunduk, memejamkan mata, mencoba memindahkan seluruh kekuatan miliknya ke pelukan itu.

"Aku nggak menyangka ... dia ... dia masuk begitu saja ..." suara Ratna lirih, tercekat.

Robin mengangguk, menahan amarah yang belum benar-benar padam.

"Dia nggak akan ganggu kamu lagi. Aku janji."

Beberapa waktu kemudian, pria jahat itu digelandang pihak kepolisian. Suasana warung yang tadinya sepi, kini mendadak ramai karena kehadiran polisi di sana.

Amora yang kebetulan lewat, merasa ikut penasaran ingin tahu ada kejadian apa di sini, di tempat sang ibu tiri mengais rezeki. Ia pun menepi menghentikan kendaraan dan segera turun menerobos keramaian.

Di sana, ia melihat Ratna, sang ibu tiri terlihat lemah, duduk di hadapan pria tua yang memakai jaket ojek daring.

Bukannya kasihan, bibir Amora malah mengeluarkan senyum sinis.

"Nah, gitu dong. Kalau begitu kan kalian cocok. Wanita tua yang miskin harusnya cari pria tua miskin juga. Entah dosa apa, mendiang papa menikahimu dulu?"

Robin sempat mengernyitkan dahinya. "Benar kah?" Ia mengeluarkan sesuatu dari jaketnya, lalu mengeluarkan sebuah benda dari dalam kantong kecil.

Robin memasukkan ke dalam jemari Ratna. "Sekarang juga kita ke KUA yuk?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!