NovelToon NovelToon

Celestial Chef's Rebirth

Bab 1: Panci Perubahan

Bab 1: Panci Perubahan

Huang Yu, sang “Master Dapur Aurum”, menatap panci perak yang berkilau lembut di hadapannya. Malam itu, cahaya lampu kristal di Restoran Langit Tertinggi menari bak konstelasi kelap-kelip di angkasa. Ia meracik bumbu rahasia yang hanya diketahui oleh ayahnya, seorang koki legendaris di alam atas—resep “Sup Semburat Fajar”. Saat suapan pertama menyentuh lidah para tamu bangsawan, sensasi elemen cahaya dan aroma bunga embun seolah menebus kelelahan jiwa.

Namun pada detik berikutnya, panci itu meledak. Ledakan dahsyat menggetarkan fondasi restoran, meluluhlantakkan seluruh ruang makan elit. Potongan daging, rempah, dan serpihan panci beterbangan di udara, menari dalam kobaran bara. Sorak terkejut tamu berganti teriakan panik. Dan di tengah kobaran api, tubuh Huang Yu terpelanting, menumbuk lantai marmer retak, lalu terkapar tanpa tanda kehidupan.

Ketika ia membuka mata, dunia tampak redup, aroma tanah basah dan kayu bakar menyergap indra penciumannya. Pandangannya kabur, namun sekelebat bayangan hijau segar memenuhi pandangannya: daun-daun bergoyang di atas kepalanya. Tubuhnya terasa ringan, kulitnya hangat oleh sinar mentari pagi.

“Huh… ini… di mana aku?” gumamnya dalam hati. Kesadarannya berjalan lambat, seakan meraba satu per satu kenangan terakhir: restoran mewah, ledakan panci, gemuruh api. Namun di benaknya muncul wacana mentah: *aku kembali… sebagai siapa?*

Saat ia duduk perlahan, terdengar suara wanita paruh baya memanggil, “Nian! Bangun, bocah! Kau akan terlambat membantu ibumu!”

Huang Yu—yang kini menjadi Nian—mengangkat kepala dan menatap wajah lelah seorang perempuan yang sedang menyiangi sayuran. Rambutnya terurai kusut, pipinya merekah oleh dingin udara pagi. Nian merasakan denyut aneh di pergelangan tangannya: tali terikat kaku, menandakan ia bukan tamu istimewa, melainkan seorang anak petani miskin.

“Anak… Nian?” ucapnya lirih. Ia mencoba menggerakkan lidahnya, tetapi suara yang keluar bukan suara anggun sang koki elit, melainkan suara tipis penuh kecemasan.

Di dalam dapur sederhana gubuk petani di kaki Gunung Rasa Kayu, Nian diajak ibunya menyiapkan makan pagi. Panci tanah liat dipanaskan di atas tungku berbatu, air dituangkan, irisan jagung, kentang, dan akar tanda diaduk perlahan. Ibunya sibuk menambahkan garam kasar dan sedikit bunga edelweis kering.

Nian mencongkel sekantong kecil bubuk rempah berwarna hijau pudar—ramuan yang dibelinya dari pedagang keliling. Ia mencampurkan rempah itu ke dalam kuah. Sekonyong-konyong, aroma segar kayu muda dan dedaunan menebar—harum yang mengingatkan pada hutan hujan selepas hujan. Tubuh Nian menggetar: rasa rempah itu menyentuh “syaraf rasa”nya, memunculkan sensasi sejuk lalu hangat.

“Ma… mau pakai ramuan ini?” tanya sang ibu waspada. “Kita kan cuma keluarga miskin…”

Nian mendongak, menahan gemetar tak wajar. “Coba dulu, Bu. Aku rasa ini… spesial.”

Ia mengaduk perlahan, merasai getaran Qi kecil di ujung jari. Bayangan memori memasak ribuan hidangan arwahnya terlintas, dan ia tahu: ini bukan ramuan biasa. Saat sendok sayur menyendok sup ke dalam mangkuk tanah liat, kilatan lembut kehijauan menari di permukaan kuah.

Satu suap pertama menjejak lidah Nian sendiri—disebutnya “Rasa Kayu Muda”—lalu merambat hangat menyusup ke pusat perut. Di benaknya, muncul diagram mental lima rasa-elemen: asin/kayu, manis/air, pedas/api, asam/bumi, pahit/logam. Meski ia baru menyentuh salah satunya, ia merasakan struktur sistem Culinary Qi terpatri dalam ingatannya.

Tak lama setelah itu, beberapa sesepuh Sekte Langit Suci datang berombongan, terheran-heran merasakan aura Qi yang menebar jauh di ladang sekitar. Nian kebingungan melihat kerumunan orang berpakaian jubah serba putih itu menatap mangkuk supnya bak artefak langka.

Ketika salah seorang sesepuh mengernyit, Nian menarik napas panjang dan berpikir keras seperti sedang mengajar murid:

“Setiap rasa mewakili satu elemen. Garam mewakili kayu karena pertumbuhan dan kesegaran; gula air karena kelembutan dan kesinambungan; cabai api karena panas dan transformasi; asam bumi karena stabilitas, dan rempah pahit logam karena penebasan dan ketajaman. Dalam memasak, pengendalian Qi rasa menghasilkan manifestasi elemen: dari naga api mini hingga pohon kayu yang tumbuh di atas piring.”

Dalam benaknya, muncul visualisasi alokasi Qi: jumlah bubuk rempah, suhu tungku, durasi pengadukan, semuanya berhubungan matematis. Ia menjelaskan konsep “Resonansi Rasa”: bila Qi rasa dan Qi tubuh juru masak seirama, maka efek elemen akan terpancar.

Para sesepuh saling berpandangan, beberapa mengangguk dalam decak kagum. Sebagian lagi menahan keraguan—anak petani miskin menguasai teori seperti itu?!

Kepala Sekte Langit Suci, berkumis putih panjang, melangkah maju. Sorot matanya tajam menatap Nian, seakan menelusuri kedalaman jiwanya. Ia menepuk tangan sekali, dan dentang gong batu sungguh terdengar:

“Tuan Nian, esok pagi di Altar Rasa, kau diundang mempresentasikan ‘Sup Rasa Pertama’ di hadapan seluruh murid. Jangan coba-coba membawa ‘bahan terlarang’ atau meniru resep kaum luar. Bila gagal—atau menyembunyikan sesuatu—Sekte akan memberi hukuman setimpal.”

Nian menelan ludah. Detak jantungnya bergema di telinga. Ia menatap panci tanah liat dan pabrik kenangan memasaknya berdenyut dalam pikirannya. Satu kepercayaan tumbuh: " aku harus menang."

Di sudut gubuk, api tungku berderu, bayangan panci memanjang di dinding. Esok, di bawah sinar fajar dunia kuliner surgawi, tak hanya supnya yang akan diuji—namanya dan masa depannya akan dipertaruhkan.

Bab 2: Bisikan Rempah

Mentari pagi baru menyentuh puncak Gunung Rasa Kayu ketika gong batu Sekte Langit Suci bergema, memanggil seluruh murid ke lapangan terbuka di hadapan Altar Rasa—sebuah pelataran bundar berdiameter sepuluh depa, di tengahnya terhampar altar marmer berukir lima simbol elemen. Nian melangkah gemetar bersama puluhan murid lain, jubah putih mereka berkibar tertiup embusan angin pegunungan. Suara bergumam memenuhi udara: ada yang mengagumi keberanian Nian, ada pula yang mencibir, menudingnya cuma bocah petani beruntung.

Kepala Sekte, berkumis perak, berdiri di podium tinggi, menatap para murid dengan wajah arif. “Hari ini,” suaranya menggelegar, “kita akan menyaksikan penetapan Qi rasa sejati. Setiap murid harus mempresentasikan satu hidangan sederhana yang memperlihatkan penguasaan elemen rasa.” Ia menggerakkan tangan, dan sesajian bahan terhampar di meja panjang—sayuran segar, rempah kasar, air suci, tandan cabai merah, dan buah metalik misterius.

Nian menelan ludah, hatinya berdebar. Ia hanya membawa sup sederhana dalam panci tanah liat kecil—karena itulah yang diminta Kepala Sekte: “Hidangan sederhana, fokus pada Qi rasa.” Ia maju, membawa mangkuk sup Rasa Kayu Muda yang semalam ia siapkan ulang dengan dosis bubuk rempah lebih akurat. Suasana hening ketika ia menaruh mangkuk di atas altar kecil, lalu menarik napas panjang.

Para sesepuh memeriksa aroma. Tiba-tiba, dari mangkuk itu terpancar kilau hijau pucat, menjulur hingga ke ujung altar. Sehelai daun kayu tampak tumbuh di udara, menari pelan, lalu gugur di hadapan Kepala Sekte. Para murid terbelalak, bisik-bisik meruncing: “Qi kayu! Bocah petani itu…!”

Nian menunduk, mengerahkan seluruh keberanian. Ia memperagakan gerakan tangan halus, meniru teknik “Pembentukan Rasa” yang pernah ia kenal dulu di dapur elit: ujung jari menyapu permukaan kuah, lalu membentuk gelombang Qi. Ia menjelaskan, suaranya bergetar namun tegas, “Sup ini memadukan esensi kayu dan kehijauan—Qi yang memupuk hidup. Suhu tungku diatur 89 derajat, pengadukan setiap 13 detik, dan bubuk rempah direndam lima menit.”

Seorang sesepuh menyeringai, “Angka-angka itu… terlalu presisi untuk orang biasa.” Kepala Sekte mengangguk pelan, menandai poin Nian. Namun suara rivalnya terdengar, menuduh, “Itu pasti resep curian!”

Belum sempat Nian menanggapi, langit di atas altar memekik riuh. Sebuah kereta berlapis kain ungu kolosal menggantung di udara, diapit dua naga porselen ungu. Dari kereta itu turun empat sosok berpakaian ungu kehitaman—wakil Klan Rempah, yang menguasai distribusi rempah di seluruh Alam Bawah.

Pemimpin mereka, pria berkepala plontos dengan tato rempah di wajah, melangkah maju. Sorot matanya tajam pada mangkuk sup Nian. “Kanonnya setiap bubuk rempah di Sekte Langit Suci dibeli melalui lelang kami,” suaranya bergema. “Bubuk Kayu Muda yang kau gunakan—apakah sudah melewati verifikasi Klan Rempah?”

Sekte terhenyak. Kepala Sekte menyilang tangan, wajahnya menegang. Nian merasakan kepanikan dingin menyusup ke tulang punggungnya. Ia mencoba menjawab, “Ini… aku beli sendiri dari pedagang keliling—”

Tato-tato di wajah pemimpin Klan Rempah menyala samar. “Pedagang keliling? Kau kira kami tidak tahu harga pasaran bubuk rempah? Ini jelas barang selundupan—atau barang hasil syarat hitam.” Ia menatap Kepala Sekte, “Jika tidak ada bukti pemegang izin Klan Rempah, hidangan ini melanggar aturan.”

Desakan politik tercium pekat. Isu kekuasaan dan monopoli rempah bergulir. Seorang wakil Sekte membela Nian, “Bubuk itu autentik, hanya diproses tangan petani, bukan Klan!” Namun wakil Klan Rempah menyela, “Cek verifikasi!»—dan beberapa penjaga merogoh peti besi, menyiapkan gulungan sertifikat resmi.

Tiba-tiba, suara ketukan gong menghentikan semua. Kepala Sekte berseru, “Cukup! Hari ini bukan hari pertikaian izin, tapi penetapan Qi rasa. Klan Rempah, kami menghargai monopoli kalian, namun Ka’Nian harus menyelesaikan ujian. Selanjutnya, jika terbukti bahan ilegal, kami yang akan bersikap.” Dengan itu, ia membunyikan gong sekali—tanda duel rasa akan dimulai.

Para murid dibagi berpasangan. Nian dipanggil menghadapi Luo Xin, murid terpandang, cucu sekaligus pewaris klan pedas. Ruang di sebelah altar berubah menjadi arena kecil: dua tungku, dua meja rempah, dan dua panci tanah liat.

Luo Xin tersenyum dingin, matanya berwarna merah tusam. “Bocah petani, kau yakin bisa melawan keturunan pedas?” Sindirnya gamblang. Nian membalas singkat, “Mari tunjukkan Qi rasa kita.”

Waktu duel dimulai: lima menit untuk menyiapkan hidangan sederhana yang menonjolkan satu elemen rasa. Luo Xin memilih “Cuplikan Api”—sup cabai merah kental berasap. Ia memulai dengan gerakan tangan cepat, menaburkan cabai, memercikkan minyak panas, lalu menyulut api hingga kobaran jingga. Aroma pedas semerbak seketika, memacu restlessness murid di sekitarnya.

Nian menenangkan diri, mengatur pernapasan. Ia tahu duel ini kuncinya bukan kecepatan, melainkan pengendalian Qi rasa. Dengan gerakan perlahan, ia menuang sup kayu muda, menambahkan titik-titik cairan asam tipis dari air jeruk kering, lalu memercikkan minyak rempah dingin untuk menjaga keseimbangan. Tiupan napasnya, lembut namun terukur, mengalirkan Qi kayu di seluruh permukaan sup.

Ketika waktu habis, antrean juri maju mencicipi. Kilatan hijau pucat di mangkuk Nian memancarkan kesan kesegaran abadi; sedangkan mangkuk Luo Xin memancarkan api jingga pekat yang hampir terasa panas di tangan.

Semua murid terdiam menunggu penilaian. Seorang sesepuh mencicipi sup Nian, lalu meneguk perlahan, wajahnya berubah takjub: “Segar… seakan pohon baru tumbuh dalam rongga dada!” Itu pujian tertinggi untuk Kayu.

Lalu seorang sesepuh lain mencicipi sup Luo Xin, mengerutkan alis: “Pedasnya menggelegak… tapi Qi api terlalu liar, hampir membuat lidah tertusuk.” Ia memberi nilai tinggi pada keberanian, tapi mengkritik pengendalian.

Pada papan skor, Nian unggul tipis. Luo Xin menatapnya murka, bibirnya terselip bisikan, “Ini belum berakhir.”

Usai duel, kerumunan murid membubarkan diri, namun bisik-bisik tak henti: “Bocah petani mengalahkan pewaris pedas!” “Qi rasa anak itu… janggal tapi kuat.” Kepala Sekte menarik Nian ke samping, memandanginya dengan pandangan campur aduk.

“Ka’Nian,” suaranya lembut, “kau telah menampilkan potensi luar biasa. Namun ingat—dunia kuliner surgawi penuh intrik. Klan Rempah sudah mencatat namamu. Jika kau terus tampil, semua mata akan tertuju padamu.”

Nian membungkuk hormat. “Guru, aku tidak berniat membuat onar. Aku hanya ingin memasak.”

Kepala Sekte menghela napas, lalu menepuk pundak Nian. “Memasak itu sederhana, tapi menuntut keberanian. Jagalah hatimu tetap bersih, walau rempah busuk berusaha masuk.”

Di kejauhan, pria berkerudung ungu—salah satu petugas Klan Rempah—mengamatinya sambil mencatat sesuatu di gulungan. Senyum tipis terpancar di balik kerudungnya. “Rasa bocah ini pantas diuji lebih dalam,” gumamnya pelan.

Ketika sorot mata kembali ke altar, terdengar letupan halus—lama tapi memekakkan. Semua murid menoleh, mencari sumber suara. Di meja Luo Xin, panci tanah liatnya retak, dan uap gelap pekat mengepul keluar: serpihan Qi pahit logam yang bocor, menimbulkan aura dingin membeku.

Luo Xin terkejut, ketakutan, seraya menatap Nian dengan kebencian memuncak. “Ini… sabotase?” gumamnya. Nian menahan diri, hatinya berdebar kencang. Ia tahu—ini bukan kelakuannya. Siapa yang mengotori duel ini?

Di tengah kegaduhan, suara lantang Kepala Sekte memotong, “Semua diam!” Ia menatap dua panci itu, lalu menepuk meja. “Kita akan menyelidiki sabota­se Qi pahit ini. Esok… murid yang memunculkan Qi gelap akan diadili.”

Mata murid berseliwer—ada yang menuduh Nian, ada yang membela. Di udara pucat pagi itu, bisikan rempah pahit mulai merasuk ke jiwa Sekte. Dan di balik kerudung ungu, senyuman lebih melebar: rencana besar baru saja dimulai.

Bab 3: Jejak Patina Pahit

Matahari sore menukik rendah di balik gawang Gunung Rasa Kayu ketika gong ulangan menggema, memanggil semua murid Sekte Langit Suci ke Aula Tengah. Aroma dupa kayu berjajar di sepanjang koridor, menciptakan suasana hening penuh rasa waspada. Kepala Sekte berdiri megah di depan podium berhiaskan lima artefak elemen, menatap murid-murid yang masih dibayang-bayangi insiden duel kemarin. Suara seribu bisik terekam di udara—siapa yang berani memasukkan Qi pahit ilegal itu?

Ketika semua murid duduk, Kashimira, sesepuh berkerudung ungu, melangkah maju sambil membawa sebuah kotak kayu hitam. “Semalam,” suaranya tenang namun menusuk, “terdapat penyusupan Qi pahit di arena duel. Bahan itu kami anggap berbahaya karena dapat mempengaruhi moral murid—membuat mereka agresif, haus darah, dan tak terkendali.” Ia membuka kotak, memperlihatkan serpihan padat berkilau kelabu. “Inilah jejak patina pahit yang bocor.”

Seketika, banyak murid menepi mundur, menahan bau getir yang samar tercium. Nian berupaya menahan napas, matanya tertuju pada serpihan. “Qi pahit,” gumamnya di dalam hati, “sangat jarang digunakan, hanya dihasilkan oleh logam neraka tertua.” Ia masih ingat sekilas diagram alkimia ayahnya dulu—kombinasi logam hitam dan asam bumi yang disuling dalam perapian unsur gelap. Ia tak pernah menduga akan melihat manifestasinya di Sekte.

Kepala Sekte mengangkat tangan, memanggil Nian. “Ka Nian, kau yang menonjol dengan Qi kayu, membantu kami menyelidiki asal usul patina ini.” Semua murid menoleh, terkejut. “Kenapa dia?” bisik mereka. “Bukankah ia korban duel kemarin?”

Nian mengangguk, meski dadanya berdegup kencang. “Saya… akan melakukan yang terbaik, Guru.” Ia dipersilakan maju mendekati altar. Sesepuh lain menyebar peta rempah dan alkimia di depan Nian—diagram gudang rempah, riwayat pasokan Klan Rempah, serta catatan pembelian bubuk logam di pasar pekerja bayangan.

Dengan ketelitian layaknya seorang koki andal, Nian menyentuh potongan-pemotongan ramuan di peta, membaui udara seolah mencium rasa. “Patina ini… teksturnya lebih kasar daripada bubuk logam standar,” bisiknya, “dan getarannya dibungkus lapisan asam. Ini bukan hasil penyulingan Sekte atau Klan Rempah, tetapi… barang selundupan, mungkin dari perdagangan gelap Alam Bawah.”

Sesepuh Kashimira memegang dagu. “Bagus. Kau sudah menemukan hal pertama. Sekarang kami mau kau jejak lebih jauh—ke gudang tua di Loteng Logam.” Ia menunjuk peta: lokasi gudang rempah terbengkalai, dulunya tempat pengawetan bubuk logam senior. “Pergi malam ini. Jangan ajak siapapun. Kami tidak ingin pemberontakan massa.”

Nian menunduk, kemudian bergegas mempersiapkan diri. Di benaknya, sensasi Qi kayu masih menyisakan rasa sejuk—sebaliknya Qi pahit memunculkan dingin yang menusuk tulang.

Gelap malam menyelimuti lereng Gunung Rasa Kayu ketika Nian menyelinap menuju Loteng Logam. Hanya diterangi lentera kecil, ia meniti anak tangga batu yang retak, menyusup melalui pintu kayu lapuk. Bau rempah tertinggal bercampur korosi logam menyesak rongga hidungnya.

Di dalam gudang, rak-rak kayu kosong menggantung lapuk. Hanya ada tumpukan peti usang bertuliskan simbol kuno: “Rempah Logam Senior”. Nian menggunakan Qi kayu-nya untuk menganalisis permukaan peti—getaran halus mengindikasikan sisa energi. Ia membuka satu peti, menelusuri serbuk metalik cokelat tua, lalu mencicipi secuil. Lidahnya terbakar sensasi asam-logam: sah, ini bukan patina pahit yang dia cari, melainkan bahan pengikat rempah logam biasa.

Ketika ia hendak menutup peti, suara langkah ringan terdengar di belakangnya. Nian membalik cepat, dan di kegelapan muncul sosok berkerudung ungu—sosok yang sama ia lihat menulis gulungan di arena kemarin. Sebelum sempat menyalakan lentera, sosok itu mengangkat tangan—kulitnya memancarkan aura perak redup.

“Ka Nian,” suara lembut namun dingin. “Aku menunggumu.”

Nian menahan napas. “Petugas… petugas Klan Rempah?” suaranya bergetar. “Mengapa—”

Sosok itu menurunkan kap, menyingkap setengah wajahnya—mata kanan berwarna perak cair, bekas luka tipis menoreh di pipinya. “Aku bukan musuhmu,” katanya, “tapi aku yang menitipkan sabota­se Qi pahit itu.”

Nian terkejut. “Kenapa kau lakukan itu? Siapa yang—”

Petugas menatap peta di tangan Nian. “Sekte terlalu stabil… terlalu nyaman. Ada kekuatan di balik layar ingin merusak keseimbangan ini. Aku perlu tahu siapa yang sanggup menanam Qi pahit di arena terbuka.” Ia melirik serpihan berkilau di pangkuannya. “Untuk itu, aku butuh seorang detektif rasa—dan aku percaya kau mampu menemukan dalangnya.”

Nian meneguk ludah, gelisah. “Lebih bahaya terdengar seperti jebakan.”

Petugas tersenyum getir. “Kau punya dua pilihan: terlibat atau dikorbankan. Pilihanku sederhana—aku butuhmu.” Ia meletakkan sebuah rempah kuno di hadapan Nian: bentuknya seperti kristal hitam kecil, bertabur serat merah. “Ini ‘Biji Neraka’, inti Qi pahit. Telusuri asal varietasnya, dan kau akan menemukan pembuat kerusakan ini.”

Sebelum Nian sempat bertanya lebih jauh, petugas itu menghilang dalam aura ungu samar, meninggalkan Nian sendirian di antara peti lapuk. Detak jantungnya tak menentu—apakah ia bisa mempercayai orang ini?

Kembali ke gubuknya, Nian menyalakan lima pot lilin elemen, menyiapkan meja kecil. Ia menempatkan ‘Biji Neraka’ kristal di tengah, membelai permukaannya dengan jari-jari gemetar. Ia tahu harus menguji Qi pahit ini dengan Culinary Qi-nya sendiri—tapi juga takut efek gelapnya.

Malam itu, ia menyiapkan panci kecil: air murni, sejumput rempah kayu, serta beberapa helai bunga asam bumi. Ia menambahkan setetes Qi pahit dari kristal, lalu menyalakan api kecil. Aroma menusuk udara—denyut pedih dan getir.

Dengan napas terukur, Nian menyalurkan Qi kayu ke jari-jari, membentuk cincin perlindungan. Ia mengaduk sup perlahan, menciptakan pusaran Qi di permukaan. Tiba-tiba, mata panci memancarkan kilatan ungu—ekuasi antara rasa kayu dan pahit menimbulkan energi tak stabil.

“Qi… Qi Pahit?” gumam Nian, namun detik berikutnya, dari dalam sup muncul wujud samar: naga api mini berwarna kelabu-naga. Macam manifestasi pedang gelap, sisiknya retak memancarkan bara, dan tatapannya menusuk.

Nian terkejut, melompat mundur. Tubuhnya gemetar, tapi ia tahu harus mengendalikan makhluk ini. Ia mengangkat sendok pengaduk, mengarahkan Qi kayu padanya, meredam aura gelap. “Aku… aku ini detektif rasa, bukan pembantai,” bisiknya.

Pertarungan mental dan rasa terjadi: naga mini menyerang dengan semburan api hitam, Nian menangkis gelombang dengan Qi kayu, gelombang hijau dan hitam beradu, memercikkan nyala di gelap gubuk. Dengan satu gerakan, Nian memfokuskan Qi kayu di ujung sendok, lalu menusukkan pada tubuh naga—makhluk itu meraung, kemudian meleleh menjadi uap perak yang terserap kembali ke kristal di meja.

Nian terengah, menepuk sekujur tubuhnya. “Aku berhasil…” desahnya, suaranya nyaris patah. Ia menatap sisa uap di udara—bukankah patina ini awalnya justru bocor? Namun malam itu, ia membuktikan bahwa kuliner bisa menjadi senjata penjinak sekaligus detektor bahaya.

Keesokan paginya, Nian dipanggil Kepala Sekte ke ruang pendalaman arcana rasa—ruangan bundar dipenuhi gulungan kuno dan organ rumusan rempah. Ada Master Cang, mentor rahasianya, menunggu. “Ka Nian,” sapanya lembut, “kau telah menunjukkan keberanian besar. Kini saatnya memperluas indra rasa. Aku akan membawamu ke Pasar Surgawi.”

“Pasar Surgawi?” tanya Nian terkejut. Master Cang mengangguk. “Tempat perdagangan rempah langka, tersembunyi di celah antara Alam Bawah dan Alam Atas. Hanya segelintir orang yang tahu jalurnya—dan kau sekarang termasuk di antaranya.”

Mereka berdua melangkah masuk ke gerbang bercahaya di balik osilasi Qi. Sekejap, lorong rempah berkilau terbentang—deretan kios menampilkan butiran kristal esam, bubuk logam berpendar, biji bunga surgawi. Suara tawar-menawar bergema, pedagang berbicara dalam beragam bahasa—dari wicara naga hingga ratapan roh bawah tanah.

Master Cang menunjuk satu kios kecil berornamen ukiran neraka. “Di sinilah kau bisa menelusuri varian ‘Biji Neraka’. Penjualnya adalah Mak Nyan, pedagang bayangan. Tapi hati-hati—ia tak menjual dengan kata manis.”

Nian mengangguk, menahan gemetar. Aroma rempah di udara seolah mengundang dan mengancam bersamaan. Ia melangkah maju, menyambut tantangan baru dalam petualangan rasa.

Di tengah kerumunan, di balik kerudung keperakan, sosok petugas Klan Rempah menatap Nian penuh waspada. Di tangannya tergenggam gulungan peta perdagangan gelap. “Rekam jejakmu akan mencatat setiap langkah,” bisiknya pelan. “Pasar Surgawi hanyalah permulaan; dalang sebenarnya bersembunyi di balik kabut neraka perut.”

Tatapan Nian beradu dengan mata perak petugas. Di antara tumpukan rempah yang memikat, ia merasakan denyut misi baru—membongkar konspirasi berbahaya sebelum Qi pahit menyeret Sekte dan dunia kuliner ke jurang kegelapan.

Dan di lorong rempah itu, bayangan sang dalang menampakkan sosok samar, tertawa lembut: “Selamat datang, Ka Nian. Waktunya memasak nasib dunia…”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!