Malam melaju dengan anggun, menyisakan jejak cahaya di balik tirai langit. Di sudut rumah sederhana itu, Rendi Arjuna Langit tengah menyiapkan kejutan kecil, namun penuh cinta, untuk sang istri .
muachhh ....
“Selamat ulang tahun, istriku…” seru Rendi, dan pelukan hangat untuk Alisya
“Makasih suami ku , " gumam Alisya dengan tatapan syukur yang tak terucap.
“Ayo, Sayang tiup lilinnya,” pinta Rendi ceria.
“Jangan lupa berdoa, ya, Bun,” sambung Rendi dengan senyum yang menyala di wajahnya.
Rasa Syukur tak mampu terucap perbincangan hangat menemani malam indah mereka .
“Besok Mas kerja, kan? Sudah malam…” gumam Alisya lirih, menggandeng tangan suaminya menuju peraduan.
Malam itu, di tengah cahaya lilin dan tawa sederhana, cinta bersemi dalam hening yang mendalam.
sebelas tahun telah mereka jalani. Rumah tangga yang semula dibangun dengan sabar, kini berakar kuat oleh saling pengertian dan kasih sayang. Cinta yang hangat itu mereka rawat dan titipkan penuh untuk putra semata wayang, Rasya Putra Langit.
Fajar menyingsing. Seperti biasa, Alisya bangun lebih awal, membangunkan dua cinta hatinya. Meski ekonomi telah stabil, Alisya tetap memilih menjadi tangan pertama bagi rumah tangganya, kecuali saat tubuhnya tak lagi sekuat biasanya.
“Bangunlah, cintaku… suamiku…” bisik Alisya suaranya bagai embun pagi yang membelai daun. Rendi pura-pura terlelap, menikmatinya, tenggelam dalam belaian dan kecupan lembut sang istri.
“Uuhhh…” gumamnya, memeluk Alisya lebih erat, menahan pagi agar tak terlalu cepat datang.
“Mas ini, ya…” ujar Alisya sambil tersenyum dan membalas pelukan hangat Rendi .
Dua pasang mata saling menatap dalam diam, menyulam ulang kenangan, dan merayakan kebersamaan yang tak sebentar.
“Bunda...”
Teriakan kecil itu memecah pagi,
membelah pelukan hangat dua insan yang tengah larut dalam cinta,
disambut tawa bening yang bergema di sudut kamar.
Keriiitt...
Pintu kamar terbuka perlahan,
menyingkap wajah kecil yang cemberut,
menatap Ayah dan Bunda yang tengah berpelukan.
“Aku juga mau dipeluk...”ucapnya lirih,sebelum kaki mungil itu berlari,menyusup ke dalam pelukan yang lebih luas dari dunia.
Ayah dan Bunda pun tertawa, menyambut anak lelaki delapan tahun itu, yang selalu tahu cara menyempurnakan pagi.
Langit pagi menyapu lembut tirai jendela,
mengusir sisa-sisa malam yang masih bersembunyi di ujung ranjang.Di antara tawa dan pelukan yang menyatu,
ada rasa syukur yang mengalir tanpa suara.
Rasya, bocah kecil yang menjadi poros semesta bagi Ayah dan Bunda,tersenyum bangga telah merebut ruang di antara mereka,dalam pelukan yang kini tak lagi milik dua hati,melainkan tiga jiwa yang terikat erat oleh kasih.
Bunda membelai rambut Rasya,
“Ayah dan Bunda sayang sekali sama kamu,” bisiknya lembut.
Rasya menatap wajah mereka bergantian,
seakan ingin menyimpan setiap gurat cinta itu dalam ingatan yang kekal.
Tak lama, aroma roti panggang dan wangi teh melayang dari dapur, membawa pagi menuju kehangatan yang lebih dalam.Mereka bertiga duduk bersama di meja makan,tanpa kata-kata yang rumit,hanya senyum, tatapan, dan tawa kecil yang mengisi ruang.
Karena kadang,cinta tak perlu dijelaskan.Ia cukup dirasakan dalam detak yang sama,dalam pelukan yang tak terbagi,dalam pagi yang sederhana,namun sempurna.
...****************...
Pagi itu, suara klakson mobil penjemput sekolah terdengar nyaring di depan rumah, memecah keheningan yang masih enggan pergi. Dua anak sekolah dasar berlari kecil keluar dari pintu, mengenakan seragam rapi dan tas yang hampir sebesar tubuh mereka. Di wajah mereka tergambar semangat dan sedikit gugup akan hari yang menanti.
Bus sekolah telah menunggu, penuh tawa dan obrolan riang teman-teman sebaya. Sebelum menaiki anak tangga bus, mereka menoleh ke belakang, pada sosok ayah dan ibu yang berdiri di ambang pintu, menatap penuh harap dan kasih.
"Hati-hati, sayangku," ucap sang ibu pelan, suaranya hampir tenggelam oleh deru mesin. Sang ayah hanya mengangguk, namun sorot matanya berkata lebih banyak dari ribuan kata.
Hari yang panjang akan segera dimulai. Rendi, seorang karyawan di salah satu perusahaan milik keluarganya, memulai pagi seperti biasa. Meski berasal dari keluarga terpandang, tak ada perlakuan istimewa untuknya.
"Sayang, mau bawa bekal? Atau nanti aku antarkan saja makanannya?" tanya Alisya lembut, sambil merapikan baju kerja Rendi dengan penuh kasih.
Rendi hanya memandangi istrinya yang cantik, terlalu terpesona untuk segera menjawab. Dalam diamnya, ia meresapi betapa dalam rasa cintanya pada wanita itu. Tanpa berkata sepatah pun, ia menarik Alisya ke dalam pelukan hangat.
"Sayang, hari ini aku tidak usah bawa bekal. Aku ada tugas ke Bandung, survei lokasi untuk pembukaan restoran makanan Sunda," bisik Rendi di belakang pelukan, suaranya rendah namun jelas.
Alisya mendongak, menatap wajah suaminya dengan lembut. "Kata Ayah?" tanyanya pelan, memastikan apa yang baru saja ia dengar.
Rendi mengangguk ringan, menyentuh kening istrinya dengan bibirnya—jawaban yang tak membutuhkan kata, namun penuh makna
Rendi membalikkan badan Alisya, menatapnya dengan sorot mata penuh semangat, lalu berkata,
"Sayang, kata Ayah, jika proyekku di Bandung berhasil, aku akan dilantik jadi Direktur Perencanaan di perusahaan!"
Nada suaranya mengandung antusiasme yang sulit disembunyikan. Wajah Rendi tampak berseri saat menyampaikan kabar itu kepada istrinya. Ia tak mampu menahan rasa bahagia yang membuncah di dadanya.
"Aaaah!" pekik Alisya seraya melompat kegirangan, "Serius, Rendi?"
Ia langsung memeluk suaminya dengan erat, seperti ingin menyalurkan kebahagiaannya lewat pelukan itu.
Hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan bagi Rendi. Perjuangan panjangnya mulai menampakkan hasil. Ia ingin membuktikan, kepada siapa pun dan terutama pada dirinya sendiri, bahwa semua impian bisa diraih lewat kerja keras.
Di sampingnya, Alisya tak pernah berhenti mendampingi setiap langkah proses itu. Ia menyaksikan jatuh bangun Rendi, dan kini mulai melihat puncak dari perjuangannya. Bagi Alisya, keberhasilan suaminya bukanlah keberuntungan semata, melainkan bukti nyata bahwa tekad dan ketekunan bisa mengalahkan segalanya.
Rendi perlahan membuktikan, bahwa namanya tak semata besar karena warisan—melainkan karena ia sendiri yang mendakinya, dengan keringat dan keyakinan
Alisya melepaskan pelukannya, memandang Rendi dengan tatapan yang penuh makna. "Rendi," katanya lembut, "aku tahu betapa keras kamu bekerja untuk sampai ke titik ini. Tapi, yang paling penting bukan hanya pencapaian itu, kan? Ini tentang kita, tentang keluarga kita."
Rendi terdiam, matanya menatap Alisya dengan penuh keharuan. "Apa maksudmu?" tanyanya, suara terdengar serak, seperti mencoba mencerna kata-kata istrinya.
Alisya menghela napas panjang, menggenggam tangan Rendi dengan erat. "Aku ingin kamu tahu, tak peduli apapun yang terjadi, aku selalu ada untukmu. Keberhasilanmu itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani perjalanan ini bersama, saling mendukung dan mencintai."
Rendi tersenyum, hatinya penuh rasa syukur. Alisya selalu tahu apa yang tepat untuk dikatakan, untuk menenangkan dan mengingatkan tentang apa yang benar-benar berarti.
Alisya, satu-satunya putri dari seorang ibu yang berpendidikan menempuh pendidikan hingga lulus dari jurusan Manajemen. Namun, di tengah pilihan karier yang terbuka lebar, ia memilih jalan yang berbeda. Ia memutuskan menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga sepenuh waktu—sebuah pilihan yang mungkin tak semua orang pahami, tetapi ia jalani dengan tulus.
Pagi itu, setelah suami dan anak semata wayangnya, Rasya, berangkat, Alisya mulai membereskan meja makan yang masih menyisakan jejak sarapan tergesa. Piring-piring kotor dikumpulkan ke bak cuci, sementara beberapa baju kotor di ruang tamu segera ia masukkan ke dalam mesin cuci. Rumah mungil mereka yang sempat riuh mulai kembali hening, menyisakan suara mesin dan sesekali angin yang menyusup dari jendela.
Tak ada keluhan dari bibir Alisya. Baginya, ini adalah bentuk cinta yang bisa ia berikan—menjaga rumah tetap hangat dan teratur.
Menjelang siang, ia bersiap menjemput Rasya dari sekolah. Ia mengenakan gamis sederhana dan hijab berwarna lembut, wajahnya dirias tipis. Meski tak banyak bertemu orang setiap hari, Alisya percaya bahwa merawat diri adalah bagian rasa hormat terhadap kehidupan yang ia jalani
Setelah menjemput Rasya, mereka mampir sebentar ke pusat perbelanjaan. Rasya ingin membeli alat tulis bar , sambil menggandeng tangan kecil anak nya , Alisya mengarah ke Toko alat tulis di lorong dekat eskalator ia mendengar seseorang memanggil .
"Alisya? Wah, kamu masih cantik banget!" sapa Maya sambil memeluknya hangat.
Rina menambahkan, "Kita kira kamu kerja di kantor juga. Nggak pernah nongol di LinkedIn."
Alisya tersenyum. "Aku di rumah. Ngurus Rasya, rumah, dan... suami."
Citra mengangkat alis. "Hebat ya, pilih jalur yang jarang dipilih. Kita juga Udah nikah anak juga Ada masih sibuk kejar target, kadang lupa sarapan. Tapi kamu... kelihatan damai banget."
Alisya tertawa kecil. Ada nada getir yang samar, namun ia tetap tenang. "Setiap pilihan ada konsekuensinya. Kalian hebat di jalur kalian, aku juga berusaha jadi hebat di jalurku."
Mereka sempat mengobrol sebentar dan berbagi kontak satu sama lain sebelum berpamitan. Rasya sudah mulai terlihat gelisah, ingin pulang dan membuka alat tulis barunya.
Di perjalanan pulang, Alisya sempat termenung. Ada bagian dari dirinya yang rindu dunia kerja—rapat pagi, deadline, pencapaian. Tapi ia tahu, setiap hari ia sedang menanam sesuatu. Mungkin tak berbentuk angka atau grafik, tapi ia sedang menanam kasih, kesabaran, dan nilai dalam kehidupan anaknya.
Sementara itu, di Bandung...
Udara Bandung menjelang sore terasa sejuk, sedikit berkabut, dengan aroma tanah basah usai gerimis singkat. Rendi berdiri di teras sebuah kafe semi-outdoor, memandang salah satu properti yang sedang ia pertimbangkan untuk dijadikan bagian dari lini bisnis restorannya. Ia mencatat sesuatu di ponsel, lalu masuk ke dalam melihat interior. Waktu kerjanya padat, namun semua ia jalani demi impian keluarga kecilnya.
Setelah mengunjungi dua venue lagi, ponselnya berdering. Nama “Ayah” tertera di layar. Rendi menghela napas sebentar sebelum mengangkat.
“Iya, Yah?”
“Kamu di Bandung, kan? Sempatkan ke vila. Ada yang ingin Ayah bicarakan,” suara ayahnya terdengar tegas, seperti biasa.
Tanpa banyak bertanya, Rendi menurut. Sore itu juga ia mengemudi menuju vila keluarga yang terletak di dataran tinggi, sedikit tersembunyi di antara rimbun pohon pinus. Rumah tua bergaya kolonial itu masih tampak megah, dengan aura yang seolah menyimpan cerita lama.
Setibanya di sana, Ayahnya sudah menunggu di ruang tamu, duduk berdampingan dengan seorang wanita muda yang belum pernah Rendi lihat sebelumnya.
“Rendi,” sapa sang ayah. “Kenalkan, ini Bunga. Anak teman lama Ayah waktu masih aktif di dunia bisnis.”
Bunga berdiri, tersenyum ramah. Kulitnya cerah terawat, rambut panjang tergerai rapi di balik blazer krem yang menonjolkan kesan profesional. Wajahnya manis, dengan riasan tipis yang membuatnya tampak dewasa, meski jelas masih jauh lebih muda dari Rendi. Posturnya tegap, percaya diri, dan ada aura menawan yang seolah membuat ruangan sedikit lebih terang.
“Senang bisa bertemu langsung, Mas Rendi,” ucapnya sambil menjulurkan tangan. “Selama ini saya hanya dengar cerita tentang Bapak dan bisnis keluarga kalian.”
Rendi menjabat tangan itu sebentar, lalu menatap ke arah ayahnya.
“Ayah langsung saja,” lanjut sang pria tua. “Mulai Hari ini, Bunga akan jadi sekretaris pribadimu. Banyak urusan bisnis yang butuh tangan kanan yang bisa Ayah percaya.”
“Aku sudah punya tim sendiri,” ujar Rendi perlahan. “Sekretaris, admin, semuanya—”
“Ayah bilang ini soal kepercayaan. Mau tidak mau, kamu harus mau. Dia bukan cuma pintar, dia tahu cara kerja orang-orang kita. Ini bukan soal kinerja, ini soal kesinambungan.”
Bunga masih tersenyum, sopan, tanpa sedikit pun terganggu dengan ketegangan yang mulai mengendap di ruangan .
Rendi masih belum memberikan jawaban atas pernyataan ayahnya. Matanya menatap Bunga—diam-diam mencoba membaca maksud tersembunyi di balik wajah ramah gadis itu. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Nama Alisya tertera di layar. Video call.
Ia meminta izin sejenak, berdiri sedikit menjauh dari ruang tamu. Sementara ayahnya hanya mengangguk, dan Bunga tetap duduk tenang, memainkan cincin kecil di jarinya.
Layar ponsel menyala, memperlihatkan wajah Alisya yang polos tanpa riasan, hijabnya sedikit berantakan seperti habis bermain dengan Rasya. Dan di sampingnya, kepala kecil Rasya menyembul, matanya berbinar.
“Ayah di mana?” tanya Rasya langsung, polos.
“Kapan pulang?” sambungnya cepat, tanpa memberi jeda.
Rendi tersenyum, menahan letih yang mengendap sejak pagi. “Ayah pulangnya malam, sayang. Mau dibawain apa?”
Rasya berpaling, menatap bundanya, lalu berbisik kecil, malu-malu. Ia tak menjawab, malah berlari ke depan televisi, pura-pura sibuk mencari remote.
Alisya tertawa kecil melihat tingkah anak mereka, lalu menatap kembali ke layar. Wajahnya tanpa makeup, tapi tetap memiliki pesona yang selalu berhasil membuat dada Rendi terasa hangat. Ada sesuatu yang sederhana dan tulus dalam sorot mata istrinya—yang tak bisa digantikan.
“Sayang, aku pulang malam ya,” ucap Rendi pelan, matanya tak lepas dari layar.
Alisya mengangguk. “Iya, hati-hati ya. Tadi Rasya makan banyak, terus dia gambar kamu pegang robot. Nanti aku kirim fotonya.”
Rendi tersenyum kecil, namun hatinya terasa berat. Ia memindahkan panggilan menjadi panggilan suara. Suaranya menjadi lebih dalam, lebih serius.
“Lis, Ayah minta aku kerja bareng seseorang di sini. Anaknya teman lama... cewek, namanya Bunga. Katanya harus jadi sekretarisku.”
Di ujung telepon, suara Alisya terdiam sejenak. Lalu terdengar pelan, “Kamu setuju?”
“Aku belum jawab. Makanya... aku cerita ke kamu dulu.”
Ada jeda. Sebuah kesunyian yang meluruh perlahan lewat sinyal telepon. Lalu suara Alisya terdengar lagi, lembut, tak menyalahkan.
“Kamu yang tahu mana baiknya. Tapi aku percaya... kamu tahu batas dan pulangnya ke mana.”
Kalimat itu sederhana, tapi masuk tepat ke dada Rendi. Ia memejamkan mata sejenak, menenangkan suara-suara yang mulai berbisik di kepalanya.
“Terima kasih,” ucapnya pelan.
Di belakangnya, sang ayah memanggil lagi. Waktu untuk mengambil keputusan tinggal sebentar.
Rendi menggaruk-garuk kepalanya dengan gelisah, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Matanya melirik ke arah Bunga dan ayahnya yang sedang duduk tak jauh dari sana. Keduanya tampak larut dalam tawa dan obrolan hangat, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Sementara itu, Rendi berdiri kikuk, tak tahu harus berbuat apa—bagai tamu yang tak diundang dalam cerita yang bukan miliknya.
Malam telah tiba. Di perjalanan pulang, Rendi membawa pulang sate kambing kesukaan Alisya—menu favorit mereka saat ingin merayakan hal-hal kecil. Di tangannya yang lain, sebuah mobil remot keluaran terbaru, hadiah untuk putra mereka, Rasya.
Hatinya cemas, tapi tekadnya bulat. Semua ini demi masa depan keluarganya. Demi kepercayaan yang telah Ayahnya titipkan.
Ini adalah kali pertama Rendi bekerja bersama seorang perempuan yang cukup dekat, kenalan ayahnya, katanya. Walau begitu, ia tak ingin menumbuhkan sedikit pun rasa curiga di hati Alisya. Ia tahu, Alisya bukan tipe perempuan yang mudah terpengaruh oleh prasangka. Tapi tetap saja, kehati-hatian selalu jadi bagian dari rasa sayangnya.
Suara klakson mobil membelah sunyi malam.
Alisya belum terlelap. Seperti biasa, ia menunggu. Dengan setelan baju tidur kesayangannya, ia bergegas ke pintu, menyambut suami tercintanya. Meski dasi Rendi sudah lepas kendali, kusut tak karuan, di mata Alisya, Rendi tetap lelaki paling tampan di dunia.
Senyumnya mengembang saat membuka pintu. Kebetulan rumah mereka tak berpagar, berada di kompleks yang dijaga satpam.
Rendi, yang melihat Alisya menyembul dari balik daun pintu, langsung tersenyum. Di tangannya, oleh-oleh yang ia bawa tampak mengayun pelan.
"Muachhh…" Alisya mengecup tangan suaminya dengan hangat. Rendi membalas dengan mencium keningnya. Mereka saling berpelukan, melepaskan lelah yang mengendap sejak pagi.
“Sayang…” bisik Rendi lirih, tangannya mengusap lembut punggung Alisya yang bersandar di dadanya.
Alisya hanya tersenyum, lalu berlari kecil ke dapur. “Tunggu ya, aku ambil air hangat dulu buat kamu,” ucapnya.
Tak lama, suara tegukan air terdengar.
Glek. Glek. Glek.
“Maaf ya telat… Rasya udah tidur?” tanya Rendi sambil berjalan pelan menuju kamar anaknya.
Alisya cepat-cepat menutup pintu kamar dan berbisik, “Udah. Tadi habis minum susu, langsung ngantuk.”
Rendi mengangguk pelan.
“Sekarang kamu mau makan dulu atau mandi dulu?” tanya Alisya lembut, tangannya memeluk pinggang suaminya.
“Mandi dulu, ya. Tapi aku bawa sate buat kamu. Tolong angetin dulu, aku mau makan bareng kamu,” kata Rendi, memeluk Alisya erat.
Alisya tersenyum hangat, lalu mengangguk. Hatinya tenang, rumahnya kembali lengkap—malam itu, cinta sederhana mereka kembali utuh dalam pelukan dan obrolan hangat di meja makan .
...****************...
DI atas tempat tidur, dalam remang lampu kamar yang hangat, Rendi dan Alisya saling berpelukan. Malam itu mereka berbagi cerita, mengulas kembali hari-hari yang telah mereka lewati. Rendi tampak menikmati setiap kalimat yang mengalir dari bibir Alisya—perempuan yang tak hanya cantik dari luar, tapi jauh lebih memesona ketika bersamanya, menjadi istri, teman, dan pendengar yang selalu ia rindukan.
“Sayang…” desah lembut Alisya, suaranya manja, menyadari bahwa Rendi lebih banyak terdiam, hanya memperhatikan wajah dan tutur katanya.
“Hehehe…” Rendi terkekeh kecil, lalu mencium bibir Alisya sejenak, sebuah ciuman ringan yang berubah jadi ajakan untuk duduk berdua.
“Aku mau ngobrol serius dikit, tentang Bandung,” ucapnya, kini duduk bersandar pada sandaran tempat tidur.
Alisya ikut mendekat, menatap suaminya penuh perhatian.
“Aku nanti bakal punya sekretaris pribadi yang baru,” ujar Rendi, nadanya tegas namun lembut. Tangan kirinya menggenggam tangan Alisya erat-erat.
“Kamu terima tawaran Ayah?” tanya Alisya pelan, tak terdengar curiga, hanya ingin memastikan.
Rendi mengangguk kecil, matanya menunduk sejenak.
Alisya tersenyum, lalu menepuk pelan tangan suaminya. “Nggak apa-apa, Sayang. Aku tahu ini buat kebaikan kamu juga. Nanti kerjaan kamu makin banyak, pasti butuh bantuan.”
Rendi menarik napas panjang, lalu berkata pelan namun jelas, “Perempuan, Sayang…”
“Iya nggak apa-apa,” jawab Alisya sambil tersenyum santai, “kalau ini yang terbaik. Emang cantik?” godanya sambil menarik Rendi untuk rebahan kembali.
Rendi memeluknya dari samping, membisik, “Yang cantik ya kamu, Sayang…”
Alisya tertawa kecil, “Berarti cantik, ya?” tanyanya dengan nada bercanda, tangan kanannya membelai pipi suaminya.
“Namanya Bunga,” jawab Rendi singkat.
“Nanti aku ajak ke sini ya, biar kamu juga kenal,” lanjutnya sambil tetap memeluk Alisya erat.
Alisya hanya mengangguk pelan, membenamkan wajahnya ke dada Rendi, meresapi detak jantung yang kini berpadu dengan hangatnya pelukan malam itu—sebuah malam yang sederhana, tapi penuh kepercayaan
...****************...
Pagi datang tanpa suara. Matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar mereka, membias cahaya ke dinding yang masih hangat oleh pelukan semalam. Burung-burung kecil berkicau pelan, seperti mengingatkan bahwa waktu tak bisa dihentikan, meski hati ingin terus berdiam dalam tenang.
Rendi membuka mata lebih dulu. Ia menatap wajah Alisya yang masih terlelap di sampingnya, rambutnya yang sedikit kusut justru membuatnya tampak lebih alami. Tanpa suara, Rendi mengecup kening istrinya, lalu perlahan bangkit dari tempat tidur.
Ia menuju dapur. Menyalakan air untuk membuat teh hangat, lalu membuka bungkusan sate yang semalam belum habis mereka santap. Di sudut meja, mobil remot yang ia beli untuk Rasya sudah tidak ada. Rendi tersenyum, membayangkan wajah antusias putranya pagi-pagi sudah bermain.
Tak lama, Alisya muncul dari balik pintu kamar dengan daster dan rambut yang digelung asal-asalan. Wajahnya masih sembab oleh tidur, tapi senyumnya tetap sama seperti pagi-pagi sebelumnya.
“Udah bangun, Sayang?” tanyanya lembut sambil berjalan ke arah Rendi.
“Udah, tadi kamu tidur nyenyak banget,” jawab Rendi, menuangkan teh ke dua cangkir.
Alisya duduk, menggeliat sebentar. “Rasya udah bangun?”
“Kayaknya udah, tadi mobil remotnya udah nggak ada di meja.”
Alisya tertawa pelan. “Pasti dibawa ke kamar mandi juga tuh.”
Mereka tertawa bersama, seperti pasangan muda yang baru saja menikah. Tidak ada yang berubah dari kebersamaan mereka—meski usia, pekerjaan, dan tanggung jawab terus bertambah.
“Sayang,” ucap Rendi sambil duduk di sebelah Alisya. “Aku hari ini mau ke Bandung. Rapat sama Ayah, sekalian kerja langsung sama Bunga.”
Alisya mengangguk. “Pulangnya kapan?”
“Kalau nggak macet, malam ini juga. Aku nggak mau nginep.”
Alisya menggenggam tangan suaminya. “Nggak usah khawatir, aku percaya sama kamu.”
Rendi memandang mata istrinya dalam-dalam. “Makasih ya… kamu tuh selalu bikin aku kuat.”
“Karena kamu juga selalu berusaha jujur dan terbuka. Itu yang bikin aku tenang,” jawab Alisya, menatap lembut.
Mereka terdiam sesaat. Tidak canggung, hanya saling memeluk dengan mata. Diam yang penuh makna.
Dari arah kamar terdengar suara langkah kecil berlarian. “Ayah!!” pekik Rasya, menghampiri ayahnya dengan mobil remot di tangan.
“Wah, jagoan Ayah udah bangun!” seru Rendi, lalu mengangkat Rasya ke pangkuannya. “Mainnya seru nggak?”
“Seru banget! Nih bisa mundur juga!” Rasya memencet tombol dan mobil kecil itu meluncur mundur di lantai dapur.
Alisya tertawa. “Wah, anak kita makin pinter ya…”
Hari itu dimulai dengan sederhana—tapi justru di situlah letak kekuatannya. Cinta bukan hanya tentang pelukan malam atau ciuman hangat, tapi juga tentang pagi yang dijalani bersama, penuh rasa percaya, dan doa-doa diam yang terus dipanjatkan dalam hati.
Dan Rendi tahu, seberapa jauh pun ia pergi hari ini, rumah akan selalu ada di sini—di senyum Alisya, di tawa Rasya, dan di hangatnya pagi seperti ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!