NovelToon NovelToon

THANZI, Bukan Penjahat Biasa

Transmigrasi

Thanzi adalah sebuah anomali langka di tengah beton dan besi yang disebut kota. Di mana-mana orang berlomba, bersaing, dan sering kali abai. Tapi Thanzi? Dia adalah semacam suar kebaikan yang hidup, bukan pahlawan super berkostum atau orang suci, melainkan hanya pemuda biasa dengan hati yang terlalu besar untuk dadanya. Kemanusiaan adalah hobinya, dan membantu sesama adalah makanan jiwanya.

Setiap hari adalah misi kecil baginya. Pagi hari mungkin ia menghabiskan waktu menyeberangkan nenek tua yang membawa belanjaan segunung, memastikan langkah rapuh mereka aman dari ganasnya klakson taksi.

"Terima kasih anak baik," ucap si nenek, dengan Thanzi yang dengan sabar membawa belanjaan hingga ke depan rumahnya.

"Sama-sama, Nek," balas Thanzi, tersenyum tulus. Setelah meletakkan barang-barang, ia berpamitan. Orang-orang di desa ini juga sangat ramah padanya ketika berjalan di jalan, sebab Thanzi selalu menolong dan ramah pada siapa pun.

Siang hari, ia bisa saja terlihat mengejar dompet yang dijambret, napasnya tersengal namun matanya fokus mengejar si pelaku hingga dompet kembali ke tangan pemiliknya yang gemetar.

"Hah... hah... ini, Bu. Lain kali Ibu harus lebih hati-hati," ucap Thanzi sambil menyerahkan dompet.

"Ini buat kamu, Thanzi," kata si Ibu, menyodorkan beberapa lembar uang merah. Thanzi menolaknya dengan halus. Merasa tidak enak, si ibu mengambil sekotak makanan yang baru ia beli.

"Kalau begitu saya terima," ujarnya, senyum mengembang di bibir Thanzi. Ia tidak pernah bisa menolak makanan.

Sore harinya? Jangan kaget jika Thanzi ditemukan sedang berjongkok di selokan, membujuk anak kucing kurus yang tersangkut atau mengulurkan tangan pada tunawisma yang kedinginan di bawah jembatan layang. Ia adalah "Si Penolong" sejati, tanpa pamrih, tanpa mencari pujian. Senyum tulus di wajah orang yang ia bantu sudah lebih dari cukup sebagai imbalan.

Hidupnya mungkin sederhana—gubuk kontrakan di gang sempit dan pekerjaan paruh waktu di minimarket—tapi Thanzi menemukan kebahagiaan sejati dalam setiap kebaikan yang ia taburkan. Baginya, kebaikan adalah satu-satunya mata uang yang benar-benar berharga.

Sore itu, terik matahari masih memanggang aspal jalanan kota Majalengka, hari Kamis, sekitar pukul empat sore. Thanzi baru saja pulang dari shift sore di minimarket. Langkahnya ringan walau tubuhnya sedikit pegal. Ia bersenandung pelan, memikirkan novel fantasi terbarunya yang belum sempat ia sentuh. Novel itu adalah pelariannya, dunia lain di mana ia bisa melupakan kekacauan realita dan menyelam dalam intrik sihir dan petualangan epik.

Namun, sering kali ia harus menahan kekesalan karena alur ceritanya yang terlalu mudah ditebak dan pahlawan yang terlalu overpowered. Dalam benaknya, kekuatan tanpa batas para tokoh utama itu lebih mirip ancaman daripada berkah.

Tiba-tiba, suara kepanikan memecah ketenangan. "AWAS! KAMBING LEPAS!"

Thanzi tersentak. Di tengah jalan raya yang ramai, melesatlah seekor kambing dewasa berwarna putih kecoklatan. Binatang itu panik, matanya melotot, dan tanduknya bergerak acak, nyaris menyundul seorang anak kecil yang sedang asyik bermain kelereng di pinggir jalan. Ibu si anak menjerit histeris, tapi kakinya terpaku.

"Tidak...," desis Thanzi.

Instingnya langsung mengambil alih, lebih cepat dari kesadaran berpikirnya. Ini bukan lagi soal dompet yang dicopet atau kucing yang tersesat. Ini soal nyawa. Tanpa ragu, ia melesat ke tengah jalan, menerobos kerumunan yang menghindar.

"Hoi, hati-hati! Kambing!" teriak Thanzi, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, mencoba menghadang laju kambing panik itu. Ia berharap bisa mengarahkan kambing itu menjauh dari anak kecil, mungkin ke arah parit atau lapangan kosong.

Namun, nasib, atau mungkin alam semesta, punya rencana yang teramat konyol untuk Thanzi. Bukannya berhenti atau berbelok, kambing itu malah semakin kalap. Dengan kecepatan yang tak terduga, ia menundukkan kepala dan, dengan sekuat tenaga, menyeruduk tepat ke arah dada Thanzi.

BUGH!

Thanzi terhuyung ke belakang, rasa sakit luar biasa menghantam dadanya. Napasnya tercekat. Pandangannya berputar, langit berputar seperti gasing. Ia merasa tubuhnya melayang sesaat, lalu gravitasi menariknya dengan kejam. Detik berikutnya, sebuah rasa sakit menusuk yang jauh lebih parah menghantam bagian belakang kepalanya. Bukan aspal, bukan semen. Itu adalah batu, sebuah batu kerikil yang entah bagaimana bisa ada di sana.

"Apakah... semuanya akan baik-baik saja?" bisiknya dalam hati, lalu semuanya menjadi gelap. Segalanya menjadi hitam, sehitam malam tanpa bintang.

Sshhh...

Ketika kesadaran perlahan merangkak kembali, Thanzi merasakan sesuatu yang fundamental berbeda. Bukan bau knalpot atau suara klakson. Yang ada hanyalah aroma lembap tanah yang basah, bisikan dedaunan, dan kicauan burung dengan melodi asing yang tak pernah ia dengar.

Perlahan, kelopak matanya yang berat terbuka. Di atas kepalanya, bukan langit-langit kamarnya yang kusam, melainkan kanopi hutan yang menjulang tinggi, dahan-dahan raksasa saling bertautan. Di sekelilingnya, pohon-pohon besar dengan batang berlumut menjulang gagah, seolah pilar-pilar sebuah katedral alam.

"Aku... mati?" gumam Thanzi, suaranya parau. Ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa aneh—lebih ringan, seolah berat badannya berkurang setengah, namun juga terasa lebih lemah.

Ia gagal fokus ketika tidak sengaja menatap pakaiannya. Bukan kaus lusuh dan celana jeans lamanya, melainkan kain kasar berwarna cokelat dan sepatu bot kulit yang terasa kebesaran. Otaknya, yang masih berdengung akibat benturan, berusaha memproses realitas baru ini.

"Apa yang terjadi...?" batin Thanzi, tatapannya campur aduk.

Rasa sakit di kepala bagian belakangnya masih terasa, namun kini disertai sensasi yang lebih aneh: ingatan-ingatan baru yang bukan miliknya membanjiri benaknya seperti gelombang pasang. Sebuah nama: Thanzi. Sebuah keluarga. Sebuah latar belakang... yang sangat, sangat tidak menyenangkan. Sebuah dunia. Sebuah novel.

The Chronicles of Aeridor.

Matanya membelalak. "Ini mustahil...," gumamnya, tidak bisa memercayai apa yang ia duga.

Nama novel itu mengulang di benaknya, menggema seperti lonceng. Novel fantasi yang ia benci karena alurnya yang terlalu mudah ditebak dan para pahlawan yang terlalu overpowered.

Namun, Thanzi kini menyadari alasan di balik kebenciannya. Ingatan-ingatan baru yang mengalir ini bukan hanya tentang novel itu, tetapi tentang konsekuensi mengerikan dari kekuatan tanpa batas para tokoh utamanya. Kehebatan mereka yang tak tertandingi telah merusak keseimbangan fundamental dunia Aeridor.

Setiap monster yang dimusnahkan, setiap kekuatan besar yang dilemparkan, setiap keputusan impulsif, telah menciptakan keretakan demi keretakan. Bencana besar yang akan datang—gempa bumi abnormal, wabah penyakit, kekeringan yang mematikan—semuanya bukan takdir, melainkan hasil kumulatif dari ke-overpowered-an para pahlawan itu sendiri.

Mereka tidak pernah menghadapi tantangan sejati, sehingga tidak pernah menyadari dampak destruktif dari kekuatan tak terkendali mereka.

"Tidak... tidak mungkin..."

Plakk!

Dia menampar pipinya keras. Rasa sakit menjalar di wajahnya. Ini bukan mimpi.

Thanzi menghela napas, napas yang terasa sesak oleh realitas baru yang gila ini. Ia tidak mati. Ia hanya... transmigrasi. Dan yang paling mengerikan, ia tidak terlempar sebagai pahlawan gagah atau penjahat karismatik, melainkan... figuran antagonis yang tidak berguna, yang bahkan namanya pun hampir tak pernah disebut di novel aslinya selain sebagai batu sandungan kecil yang diinjak pahlawan.

Sebuah senyum kecut terukir di wajah Thanzi. Dari "Si Penolong" yang mati konyol diseruduk kambing, kini ia menjadi figuran antagonis yang ditakdirkan untuk menjadi santapan monster atau tumbal intrik konyol, di dunia yang sedang menuju kehancuran.

Tapi kemudian, sesuatu dalam diri Thanzi bergolak. Frustrasi lamanya pada plot novel ini kini bercampur dengan kemarahannya pada nasibnya sendiri, dan yang lebih penting, dengan rasa tanggung jawab yang tiba-tiba muncul. Jika alam semesta memberinya kesempatan kedua di dunia yang tidak adil ini, Thanzi akan memastikan ada perubahan.

"Baiklah, Aeridor," gumam Thanzi, menatap ke kanopi hutan seolah berbicara pada sang penulis takdir.

"Jika kalian mau aku ada di sini, maka bersiaplah. Karena aku, Thanzi, akan mengubah alurmu. Aku akan memastikan para pahlawanmu merasakan perjuangan sesungguhnya, agar mereka tidak lagi menjadi penyebab bencana. Ini Thanzi. Dan aku bukan penjahat biasa."

Bayangan yang terbuang

Rasa sakit berdenyut di belakang kepala Thanzi, namun kini bukan lagi rasa sakit fisik yang mendominasi. Gelombang memori, asing namun begitu jelas, membanjiri kesadarannya.

​"Arghhh... ada apa ini?" Thanzi memegangi kepalanya, seolah otaknya akan meledak. Itu bukan ingatannya, melainkan kenangan dari jiwa yang entah ke mana, dari tubuh yang kini ia tempati. Kilasan demi kilasan membentuk gambaran hidup yang suram, sepotong demi sepotong merangkai kisah pedih tentang Thanzi, sang figuran antagonis.

​Pemilik tubuh ini, seorang pemuda yang juga bernama Thanzi, adalah anak sulung dari Marquess Aerion, seorang bangsawan berpengaruh di Kekaisaran Eldoria. Nama yang besar, keluarga yang terhormat, dengan kekayaan melimpah ruah. Seharusnya, Thanzi yang asli hidup dalam kemewahan dan kasih sayang, menjadi pewaris yang dielu-elukan. Namun, realitasnya jauh lebih kejam.

​Sejak kelahirannya, Thanzi tak pernah merasakan kehangatan yang layak diterima seorang anak. Ia memang anak pertama, tapi kedatangannya tak disambut sukacita, hanya formalitas dan harapan akan pewaris yang kuat. Ayahnya, Marquess Aerion, adalah pria dingin dan pragmatis yang lebih peduli pada kekuasaan. Ibunya, Lady Elara, adalah wanita cantik yang rapuh dan cenderung mengikuti keinginan suaminya karena sangat mencintai sang suami. Mereka adalah orang tua yang ada secara fisik, namun absen secara emosional.

​Semua berubah drastis saat adik laki-lakinya, Michael, lahir. Kelahiran Michael adalah sebuah perayaan akbar yang mengguncang seluruh Eldoria. Michael adalah segalanya. Lahir dengan rambut keemasan berkilau seperti matahari dan mata hijau zamrud yang memesona, Michael langsung menarik perhatian setiap orang yang melihatnya. Seolah itu belum cukup, Michael diberkahi dengan bakat sihir yang luar biasa sejak usia dini, sebuah anugerah langka yang bahkan para penyihir terhebat pun hanya bisa memimpikannya. Cahaya sihir selalu menyelimuti Michael, bahkan dalam tidurnya.

​Marquess Aerion dan Lady Elara menumpahkan seluruh kasih sayang dan perhatian mereka kepada Michael, memujanya seolah dia adalah dewa kecil. Pesta demi pesta diadakan untuk merayakan setiap pencapaian kecilnya.

Guru-guru terbaik disewa untuk melatih bakat sihirnya. Setiap helaan napas Michael adalah sebuah anugerah, setiap senyumnya adalah kebahagiaan bagi mereka.

​Dan Thanzi? Dia perlahan tapi pasti menjadi bayangan yang terlupakan. Rumah megah Marquess yang dulu terasa hampa, kini terasa semakin dingin dan asing baginya. Kamarnya yang luas terasa seperti sangkar. Para pelayan yang dulunya setidaknya menunjukkan rasa hormat dasar, kini terang-terangan mengabaikannya.

Mereka akan berbisik-bisik di belakang punggungnya tentang "anak sulung yang tak berguna" atau "kakak yang iri dan tak berbakat".

​Cemoohan itu menusuk, melukai hati Thanzi yang rapuh. Ia mendengar bisikan-bisikan itu, merasakan tatapan meremehkan, tapi tak ada satu pun yang peduli. Orang tuanya terlalu sibuk memuja Michael untuk menyadari keberadaan Thanzi, apalagi luka yang menganga di hatinya.

Bagi mereka, Michael adalah kebanggaan dan masa depan keluarga, simbol status dan kekuatan mereka, sementara Thanzi hanyalah beban, sebuah kegagalan yang harus disembunyikan.

​Kecemburuan adalah racun yang merayap perlahan, menggerogoti setiap sisa kebaikan dalam diri Thanzi yang asli. Diabaikan, dihina, dan tanpa kasih sayang sedikit pun, hati Thanzi yang dulu bersih mulai dipenuhi kegelapan.

Ia mencoba menarik perhatian orang tuanya dengan cara apa pun, seperti belajar keras, mencari masalah, bahkan mencoba menjadi "nakal" agar mereka memarahinya, agar setidaknya ia mendapat perhatian. Namun, setiap usahanya hanya berakhir dengan tatapan dingin atau teguran singkat, atau lebih parah, seolah ia mengganggu ketenteraman Michael.

​Kebenciannya pada Michael tumbuh subur, seperti gulma yang menjerat taman. Ia tidak menginginkan kekuatan Michael atau bakat sihirnya yang cemerlang. Yang ia inginkan hanyalah secuil perhatian, sehelai kasih sayang yang selalu diberikan kepada adiknya.

"Jika Michael tidak ada," pikirnya dalam keputusasaan, "atau setidaknya tidak sesempurna itu, mungkin Ayah dan Ibu akan kembali melihatku."

​Pikiran-pikiran gelap ini berujung pada satu niat, menyakiti Michael. Bukan untuk membunuh, awalnya. Tidak, Thanzi yang asli terlalu pengecut untuk itu. Ia hanya ingin Michael tidak sekuat atau sesempurna itu. Ia mulai mempelajari racun-racun sederhana, ramuan tidur, atau merencanakan kecelakaan kecil.

​Namun, seperti yang Thanzi dari Bumi ketahui dari novelnya, Thanzi yang asli adalah figuran antagonis yang bodoh dan tidak berguna, dengan rencana yang selalu berakhir konyol. Setiap usahanya selalu terbongkar sebelum berhasil, atau malah gagal total, kadang-kadang malah merugikan dirinya sendiri.

​Usaha terakhirnya yang ceroboh untuk mencelakai Michael terbongkar dengan mudah. Michael, yang berhati murni dan peka terhadap energi, selalu bisa merasakan niat jahat Thanzi atau mendeteksi ramuan aneh. Kali ini, ia hanya tersenyum sedih dan melaporkan semuanya kepada orang tua mereka.

​Itu adalah puncaknya. Marquess Aerion dan Lady Elara akhirnya menunjukkan perhatian yang Thanzi inginkan selama ini. Tapi bukan perhatian yang baik. Yang ada hanyalah kemarahan membara, tatapan jijik, dan kekecewaan yang sangat mendalam. Raut wajah mereka menyiratkan, 'Kau adalah aib bagi keluarga ini.' Mereka sudah muak. Muak dengan tingkah laku Thanzi yang selalu mengganggu Michael, muak dengan kehadirannya yang dianggap merusak citra keluarga.

​Tanpa banyak bicara, dengan hati yang sedingin es, mereka memutuskan untuk menyingkirkan Thanzi. Bukan dibunuh, tapi diasingkan.

Dijebloskan ke sebuah hutan terpencil milik keluarga untuk menghukum penjahat, jauh dari ibukota, jauh dari pandangan masyarakat dan khususnya Michael.

Tempat itu lebih mirip penjara pribadi daripada rumah, karena memang tidak ada bangunan apapun untuk dirinya bernaung, yang ada hanyalah pepohonan besar yang menjulang tinggi.

Thanzi yang asli, dengan hati yang hancur, dipenuhi kebencian dan rasa tidak berharga, akhirnya membusuk di sana, menunggu akhir yang menyedihkan sebagai salah satu korban sampingan dari kehebatan para tokoh utama.

Kisah hidupnya berakhir dengan kematian yang memalukan di tangan monster yang ia pancing secara ceroboh, menjadi salah satu filler cerita yang cepat dilupakan.

​"Bodoh sekali..." gumam Thanzi.

​Kilas balik itu berakhir. Thanzi dari Bumi menghela napas, merasakan beratnya takdir yang kini menempel pada tubuhnya. Ia bukan lagi "Si Penolong" yang mati konyol diseruduk kambing.

Ia kini adalah Thanzi, anak Marquess yang dibuang, dengan dendam dan kepahitan yang mengakar dari pemilik tubuh aslinya. Sebuah ironi yang kejam: ia yang selalu membantu kini terjerat dalam hidup yang penuh kebencian dan pengabaian. Ia yang selalu melihat kebaikan, kini berada di tubuh yang hanya tahu rasa sakit dan iri hati.

​Namun, Thanzi dari Bumi bukanlah jiwa yang pasrah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan dirinya membusuk dan mati di hutan ini seperti yang dilakukan Thanzi yang asli. Pengetahuan tentang plot novel memberinya keunggulan. Ia tahu persis di mana ia berada: di ujung Hutan Kegelapan, wilayah berbahaya yang menjadi tempat 'pembuangan' para penjahat minor. Ia juga tahu bahwa Thanzi yang asli akan tetap di sini, bersembunyi ketakutan, hingga akhirnya mati mengenaskan diserang monster yang tak sengaja ia pancing.

​"Tidak akan," gumam Thanzi, suaranya mantap, memecah keheningan hutan. Ia mendorong dirinya untuk berdiri. Otot-ototnya terasa pegal, namun semangatnya berapi-api. Tubuhnya mungkin lemah, tapi otaknya tidak.

"Aku tidak akan menunggu mati di sini."

​Meskipun ia tahu sedikit tentang geografi Aeridor dari novel yang ia baca, Thanzi sama sekali tidak memiliki pengalaman bertahan hidup di alam liar.

Di Bumi, petualangan terliarnya adalah dikejar anjing atau orang gila di tengah kota. Hutan yang sesungguhnya? Suara serangga yang tak dikenal, bau tanah dan dedaunan busuk, serta bayangan pepohonan raksasa yang tampak menelan cahaya, semuanya terasa asing dan mengancam. Ia tidak tahu cara mencari makan, bersembunyi dari predator, atau bahkan arah mata angin.

​"Bagaimana, ya?" Thanzi mulai berpikir, jantungnya berdetak kencang. Setiap ranting patah atau bisikan angin membuat bulu kuduknya berdiri. Itu pasti suara monster.

​Namun, pikiran tentang kematian konyol yang menanti Thanzi yang asli, ditambah tekadnya untuk mengubah takdir yang tidak adil dan plot yang overpowered, memberinya kekuatan yang aneh. Thanzi yang asli mungkin pengecut, tapi Thanzi dari Bumi adalah seorang "penolong" yang berani menghadapi copet dan kambing kalap.

​Dengan pandangan mata yang lebih tajam dari sebelumnya, Thanzi mulai melangkah. "Lebih baik mencoba, daripada mati dengan sia-sia."

​Ia tidak berjalan acak, melainkan mencoba mengingat deskripsi hutan dalam novel. Ia berusaha mencari tanda-tanda yang bisa membawanya keluar. Setiap langkah adalah perjuangan. Duri-duri menggores kulitnya, lumpur menjebak sepatu botnya, dan napasnya memburu.

​Ia mendengar auman samar di kejauhan. "Apa itu...?" batin Thanzi waswas.

​Ia terus bergerak. Ia bertekad. Ia tidak akan mati di sini, tidak sebagai figuran yang menyedihkan. Ia akan keluar dari hutan ini, mencari jalan untuk mendekati peradaban, dan dari sana, ia akan memulai misinya.

Misi untuk menyeimbangkan dunia yang kacau ini, dan mungkin, hanya mungkin, menemukan semacam penebusan bagi jiwa Thanzi yang asli. Ini adalah awal dari perjalanannya, bukan sebagai pahlawan, bukan sebagai penjahat, melainkan sebagai pengatur takdir yang tidak terduga.

ibu kota kekaisaran

Krskkk, krskkk...

Thanzi terus melangkah, menembus belantara Hutan Kegelapan. Setiap derap kakinya di atas dedaunan kering terasa seperti genderang perang dalam keheningan hutan. Ia tahu ini gila. Ia tahu ia tidak punya pengalaman apa pun.

Thanzi dari Bumi adalah pemuda kota yang akrab dengan layar ponsel dan gemerlap lampu neon, bukan bisikan angin di antara pepohonan kuno atau suara-suara misterius dari kegelapan. Tetapi tekadnya untuk tidak berakhir konyol seperti pemilik tubuhnya yang asli, ditambah pengetahuan akan bencana yang akan datang, memberinya keberanian yang aneh.

Matahari mulai condong, memancarkan semburat jingga di antara celah-celah kanopi hutan yang rimbun. "Ya ampun, lelah sekali," gumam Thanzi, mengusap keringat di dahinya.

"Sudah mau malam. Aku harus segera pergi dari hutan ini, kalau tidak, semuanya akan berakhir sampai di sini." Thanzi melangkah lebih cepat, meski tubuhnya sudah terasa sangat lelah dan napasnya memburu.

Kelembapan udara semakin pekat, dan suara-suara malam mulai terdengar.

Krukkk...

Perutnya berbunyi dan terasa melilit karena kelaparan. Sejak terbangun, ia belum makan apa pun. Ia merasa lelah, dan tubuhnya yang lemah dari pemilik asli terasa memberontak.

Srkkkk...

Tiba-tiba, suara gemerisik berat menghentikan langkah Thanzi. Semua suara hutan seolah membeku, digantikan oleh keheningan mencekam. Thanzi menahan napas, jantungnya berpacu seperti drum.

Dari balik semak belukar yang lebat, muncul sesosok makhluk mengerikan. Tingginya hampir dua kali lipat Thanzi, dengan kulit abu-abu bersisik kasar, cakar tajam yang berkilau di bawah sisa cahaya senja, dan mata merah menyala yang menatap Thanzi dengan tatapan lapar yang tak salah lagi.

Ini adalah Grungle, monster tingkat rendah yang mematikan, yang dikenal agresif. Thanzi dari Bumi tahu persis monster ini dari novel. Grungle adalah yang membunuh Thanzi yang asli.

'Tamat sudah. Sepertinya kisah hidupku di dunia ini hanya sampai di sini,' batin Thanzi. Keringat dingin membasahi punggungnya. Kakinya terpaku di tempat, ketakutan murni menyelimuti dirinya.

Grrrr...

Monster itu mengeluarkan geraman rendah, seperti guntur yang terpendam, dan mulai bergerak, perlahan, seolah menikmati ketakutan mangsanya. Thanzi tahu ia harus lari, tapi tubuhnya menolak. Otaknya berteriak panik, namun tidak ada jalan keluar. Ia akan mati, sekali lagi, dengan cara yang memalukan.

"Sialan..." Dia menutup mata.

Dalam keputusasaan ekstrem, sesuatu terjadi. Thanzi, tanpa sadar, mulai bersenandung. Itu adalah lagu anak-anak dari dunianya dulu, melodi sederhana yang selalu ia gumamkan saat merasa cemas. Suara itu awalnya hanya bisikan, upaya putus asa untuk menenangkan diri di ambang kematian.

Namun, saat Thanzi terus bersenandung, sesuatu yang luar biasa terjadi. Cahaya samar, keperakan, mulai terpancar dari tubuhnya, menyelimuti dirinya dengan aura lembut. Dan Grungle itu? Monster mengerikan yang tadinya akan menerkam, tiba-tiba berhenti.

Matanya yang merah menyala membelalak ketakutan. Ia mengeluarkan erangan aneh, bukan auman marah, melainkan ringkikan panik. Kemudian, dengan kecepatan yang mengejutkan, Grungle itu berbalik dan lari terbirit-birit, menghilang di balik semak belukar, meninggalkan Thanzi sendirian dalam keheningan yang kembali.

"Hah...😦😦😦" Thanzi terdiam, napasnya tersengal. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ia baru saja mengeluarkan kekuatan aneh. Ia hanya tahu monster itu sudah pergi.

Ia bingung, benar-benar tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Lagu anak-anak? Cahaya perak? Monster ketakutan? Otaknya yang rasional mencoba memproses, tapi tidak menemukan jawaban.

"Apa yang terjadi?" gumamnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung.

Tidak lama setelah itu, suara derap langkah dan gemerincing zirah terdengar dari kejauhan.

Thanzi menoleh, dan melihat sebuah pasukan berzirah besi dan berkuda bergerak ke arahnya.

Mereka adalah rombongan prajurit Kekaisaran Eldoria, ditandai dengan bendera besar yang berkibar. Pakaian zirah mereka mengilat diterpa sisa cahaya senja. Di tengah rombongan itu, sosok jangkung dengan zirah gelap yang tampak kokoh memimpin.

Itu adalah Jenderal Gareth, panglima perang kekaisaran yang terkenal dengan kehebatannya di medan perang dan sikapnya yang dingin membeku—sosok penting yang Thanzi kenal dari novel.

Jenderal Gareth, yang melihat seorang anak laki-laki sendirian di tengah Hutan Kegelapan yang berbahaya, langsung membuat pasukannya bergerak. Mereka mengepung Thanzi, pedang-pedang terhunus, siap menghadapi ancaman. Jenderal Gareth turun dari kudanya, tatapan tajamnya menyapu Thanzi. Matanya, yang berwarna abu-abu seperti baja, tidak menunjukkan emosi apa pun.

"Siapa kau? Mengapa kau sendirian di tempat berbahaya ini?" Suara Gareth dalam, tanpa intonasi. Di hutan yang penuh bahaya, ia harus waspada, karena siapa tahu sosok anak kecil itu adalah musuh yang bisa mengubah bentuk.

Thanzi, yang masih sedikit linglung akibat kejadian dengan monster, hanya bisa berkedip. "Aku... aku tersesat," jawabnya jujur, tidak tahu harus menjelaskan apa.

Salah satu prajurit, seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tebal dan senyum ramah, segera menghampiri. "Kawan kecil, hutan ini bukan tempat main-main. Kau beruntung kami lewat. Ayo, ikut kami." Ia menuntun Thanzi dengan sambutan hangat menuju kudanya.

"Halo, Dek," sapa prajurit lainnya.

Para prajurit ini jauh lebih ramah daripada jenderal mereka. Sepanjang perjalanan, mereka tertawa, bercanda, dan menceritakan kisah-kisah lucu dari medan perang pada Thanzi. Mereka bertanya-tanya mengapa Thanzi ada di hutan, dan Thanzi hanya menjawab ia tersesat dari desa terdekat.

Sikap hangat mereka membuat Thanzi langsung merasa nyaman. Ia, si "penolong" yang selalu bergaul dengan orang biasa, menemukan kecocokan dengan para prajurit rendahan ini. Mereka bahkan membagikan jatah makanan mereka, roti keras dan daging kering yang terasa seperti makanan dewa bagi Thanzi yang kelaparan.

Sementara itu, Jenderal Gareth hanya mendengus melihatnya dan tetap diam sepanjang perjalanan, hanya sesekali memberikan instruksi singkat dengan suara monotonnya. Ia seperti patung baja yang bergerak, misterius dan mengintimidasi.

"Jenderal kami memang begitu, Nak," bisik salah satu prajurit, seorang pria paruh baya bernama Borin, saat mereka beristirahat. Ia melihat Thanzi terus memperhatikan Jenderal Gareth yang terus bersikap dingin.

"Dingin seperti es, tapi hatinya emas. Dia tidak akan pernah meninggalkan prajuritnya, atau bahkan anak kecil sendirian di tempat berbahaya." lanjutnya.

Thanzi mengangguk. Ia mengerti. 'Jenderal Gareth adalah salah satu tokoh overpowered dalam novel, terkenal karena kecerdasan strategisnya dan kekuatan bela dirinya yang luar biasa. Dia adalah pahlawan yang tidak bisa dikalahkan, dan kini, aku berutang nyawa kepadanya.' Ironi takdir memang kejam.

Setelah berjam-jam berjalan, saat bintang-bintang mulai memenuhi langit, mereka akhirnya keluar dari hutan. Di kejauhan, Thanzi melihatnya, cahaya ribuan lentera dan menara-menara megah yang menjulang tinggi di bawah cahaya bulan.

Ibukota Kekaisaran Eldoria. Peradaban baru, yang selama ini hanya ia baca di halaman novel, terbentang di hadapannya.

Saat rombongan prajurit akan mengarahkannya ke permukiman terdekat di luar kota, Thanzi membuat sebuah permintaan.

"Bisakah aku... diturunkan di sini?" tanyanya, suaranya sedikit ragu. Ia tahu ibu kota adalah pusat plot utama novel ini, tempat para pahlawan akan berkumpul.

Para prajurit saling pandang, lalu Borin tersenyum. "Tentu saja, kawan kecil! Kau bisa melaporkan dirimu di pos penjaga dan mencari tempat tinggal sementara. Mungkin kau bisa bekerja di penginapan."

Jenderal Gareth hanya menoleh sekilas, tatapannya tidak terbaca, tapi ia tidak menolak. Itu sudah cukup bagi Thanzi.

Sesampainya di gerbang ibukota yang megah, Thanzi berpisah dari rombongan prajurit. Ia menatap mereka satu per satu, mengukir wajah ramah mereka dalam benaknya. Ini adalah orang-orang baik yang telah menolongnya, orang-orang yang mungkin saja akan berada dalam bahaya di masa depan karena 'ke-overpowered-an' para pahlawan.

"Terima kasih," ucap Thanzi tulus, membungkuk dalam-dalam.

"Terima kasih banyak atas kebaikan kalian semua. Aku... aku berjanji, suatu saat nanti, aku akan membalas budi kalian. Aku tidak akan melupakan ini."

Pandangannya beralih ke Jenderal Gareth yang masih berdiri tegak di samping kudanya. Jenderal itu tidak menjawab, hanya mengangguk samar, hampir tidak terlihat. Namun, bagi Thanzi, itu sudah cukup.

Dengan langkah mantap, Thanzi memasuki gerbang ibukota, menuju peradaban baru yang penuh intrik dan bahaya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!