NovelToon NovelToon

Sekretaris Idaman Bos Perfeksionis

Bab 1 Insiden kecil

Sinar matahari pagi menyelinap masuk ke kamar kos kecil berukuran 3x3 yang dihuni oleh seorang gadis sederhana bernama Laras Sagita. Meski sempit, kamar itu tampak rapi dan asri.

Di sudut ruangan berdiri rak kayu mungil berisi tanaman-tanaman hias dalam pot lucu. Aroma lavender dari pengharum ruangan menenangkan hati siapa pun yang masuk.

Laras menatap bayangannya di cermin, mengenakan kemeja putih bersih dan rok hitam selutut. Rambut hitamnya diikat kuda, bibirnya mengembang dalam senyum gugup.

"Hari ini, masa depanmu ditentukan, Laras. Jangan lupa senyum... tapi jangan kayak orang gila juga," gumamnya sambil memberi kode semangat di depan cermin.

Dengan map biru di tangan dan tas selempang murahan di bahu, Laras turun ke halaman kos. Motor matic pinjaman milik Mbak Iis tetangga kamarnya sudah menunggu. Ia memakainya karena belum cukup modal untuk beli sendiri.

Baru saja menyalakan mesin, ia menghela napas dalam-dalam. “Bismillah. Semoga hari ini nggak ada yang aneh-aneh.”

Tapi nasib kadang suka bercanda.

---

Jalanan kota yang mulai padat membuat Laras harus menyalip sana-sini. Sesekali ia melihat jam tangan dan makin gelisah. Wawancara dijadwalkan pukul 09.00, dan jam sudah menunjukkan 08.41.

Ketika melewati lampu merah yang baru berubah hijau, sebuah mobil mewah di depannya tiba-tiba ngerem mendadak.

“Eh buset!” pekiknya.

BRAAAK!!

Motor Laras menghantam bagian belakang mobil itu dengan cukup keras hingga dia sedikit oleng, nyaris jatuh. Ia segera menepikan motor dan turun dengan wajah panik.

Dari mobil itu keluar seorang pria tinggi, mengenakan jas abu-abu dan sepatu hitam mengilap. Wajahnya tampan, tapi auranya dingin seperti freezer minimarket. Tatapannya menusuk.

“Lihat nggak, Mbak? Saya ngerem karena anak kecil nyebrang. Kalau ngebut terus begini bisa celaka,” katanya dengan suara tenang tapi tegas.

Laras mendekat dan memeriksa bagian belakang mobil. “Loh, cuma lecet dikit, Mas. Mobil segede gini mestinya tahan banting dong. Masa kalah sama motor pinjaman?”

Pria itu memijat pelipisnya. “Tetap saja. Ini mobil mahal. Lecet sedikit pun nilainya jatuh.”

Laras mendengus. “Ya ampun... mobilnya doang yang mahal, remnya kenapa nggak dikalibrasi? Tiba-tiba ngerem di jalanan rame. Saya kira truk tronton lagi berhenti, Mas.”

Pria itu memelototi Laras. “Mbak, tolong jaga sikap.”

“Oh iya, maaf ya... Tapi saya buru-buru, saya ada interview kerja. Masa saya ditahan gara-gara mobil Mas lecet? Motor saya mah kalau jatuh lecetnya nambah karakter. Mobil Mas, lecet dikit langsung baper.” ujar larang

Pria itu akhirnya menghela napas. “Sudahlah. Pergi sana, sebelum saya berubah pikiran.”

“Alhamdulillah. Terima kasih, Bang Mobil Baper!” ucap Laras sambil buru-buru kembali ke motornya.

---

Laras tiba di sebuah gedung tinggi menjulang. Di bagian lobi tertulis nama perusahaan besar: PT Revana Global Internusa. Ia memasuki ruangan dengan lutut agak gemetar.

Setelah mengisi buku tamu dan menyerahkan CV ke meja resepsionis, ia duduk di ruang tunggu bersama tiga orang kandidat lainnya.

Seorang mbak HRD datang dan tersenyum. “Laras?”

Laras berdiri cepat-cepat. “Saya, Mbak!”

“Silakan ke ruang wawancara lantai 5. Pak Revan yang akan wawancara langsung.”

“Oke!” jawab Laras semangat, meski dalam hati deg-degan.

---

Ruang wawancara di lantai lima tampak minimalis dan elegan. Laras duduk sambil mengatur napas. Ia menatap map di tangannya, berusaha tenang.

Pintu terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah tegap.

Laras mendongak, dan detik itu juga, napasnya tercekat.

“EH?” seru Laras spontan. “ABANG MOBIL BAPER?!”

Revan berhenti sejenak, ekspresinya tak berubah. “Kita bertemu lagi, rupanya.”

Laras menutup mulutnya dengan tangan. “Eh, maaf, maaf! Maksud saya... Bapak yang tadi pagi, ya?”

Revan duduk dengan raut datar. “Silakan duduk. Mari kita mulai.”

Laras duduk dengan postur kaku, tapi mulutnya tak bisa dikunci.

“Saya nggak nyangka Bapak... eh, Mas... Pak... Ehh... Anda...” ujar Laras antusias

“Cukup. Mulai saja.”

Revan memotong dengan gaya CEO sejuta deadline lalu Revan menghela napas.

“Kita anggap tidak ada insiden pagi tadi. Fokus pada wawancara.” ujar Revan tegas

“Siap, Pak!” Laras menegakkan badan.

“Saya siap secara fisik, mental, dan spiritual!” jawab Laras sungguh sungguh

---

Wawancara berlangsung dengan nuansa tidak biasa.

Revan: “Apa motivasi Anda melamar posisi sekretaris?”

Laras duduk tegak. Mulutnya mulai jalan, seperti biasa, tanpa filter.

Laras: “Pertama, karena saya pengin kerja yang bisa duduk di ruangan dingin, Pak. Di kampung, panas banget. Kedua, jadi sekretaris tuh kayak di drama Korea, bisa ngetik cepat, pake rok span, saya pengin kerja dekat sama bos biar bisa nyari jodoh sekalian—eh, maksudnya... biar bisa belajar langsung dari yang berpengalaman.”

Revan menatap tanpa ekspresi dan menghela napas panjang, lalu menulis sesuatu di catatannya.

Laras melirik. Apakah itu tulisan “tolak dengan halus”? Pikir Laras

Revan: “Apa keahlian Anda?”

Laras: “Ngomong cepat, mikir kilat, bikin kopi enak, dan saya bisa menebak mood orang dari nada napas.”

Revan menaikkan alis.

Revan: “Nada... napas?”

Laras: “Iya. Misalnya nih, Bapak napasnya berat... pasti lagi kesel. Tapi diem-diem penasaran. Tapi gengsi.”

Revan menutup berkas lamaran, memijat pelipis.

Dalam hati: Kenapa dari sekian banyak pelamar, yang datang malah stand-up comedian dadakan?

Setelah menenangkan diri Revan mulai bertanya lagi

Revan: “Pengalaman Anda sebelumnya?”

Laras: “Belum pernah kerja kantoran, Pak. Tapi saya pernah jadi sekretaris RT di kampung. Nulis laporan, datain warga, ngatur rapat, dan nyediain kopi. Multitalenta, pokoknya.”

Revan: “Apa Anda bisa kerja di bawah tekanan?”

Laras: “Bisa banget. Di kampung, listrik sering mati pas lagi masak nasi. Saya bisa masak sambil ngipasin nasi manual. Jadi, soal tekanan, saya sudah terlatih, Pak.”

Revan: “Anda tahu siapa pemilik perusahaan ini?”

Laras mengangguk mantap.

Laras: “Tahu dong! Katanya CEO-nya muda, tajir, pinter, tapi judes. Tapi saya belum pernah lihat orangnya sih.”

Revan tersenyum miring.

Revan: “Selamat. Sekarang kamu sudah lihat.”

Laras sangat shock saat mengetahui itu semua.

Revan akhirnya tersenyum tipis—sangat tipis. Seperti bibirnya sendiri kaget kenapa bisa bergerak ke atas.

---

Wawancara selesai, Revan memejamkan mata sejenak. Laras berdiri dan mengulurkan tangan.

“Makasih ya, Pak Revan. Semoga saya keterima. Tapi kalaupun enggak, saya udah bahagia bisa wawancara sama korban saya tadi pagi.” ujar Laras berani dan tidak lupa senyum tengilnya

Revan membuka mata. “Saya belum memutuskan hasilnya.”

Laras tersenyum lebar. “Gak apa-apa, Pak. Kalau saya gak diterima, mungkin saya jodohnya bukan sama perusahaan, tapi sama bosnya.”

Revan menatap Laras lama. “Kamu ini...”

“Unik? Gokil? Aneh? Gak apa-apa, Pak. Saya udah sering dibilang begitu,” sahut Laras enteng

Revan bersandar di kursinya, menatap langit-langit. “Ya Tuhan... gadis itu... lucu banget, tapi kenapa bikin aku pusing?” batin Revan

Bersambung

Bab 2 Hasil

"Pak kok melamun, jadi apa jawabannya, di terima enggak ni, saya mau pulang" tanya Laras

"Nanti di hubungi" jawab Revan

"Sekarang saja pak apa bedanya nanti sama sekarang, apa lagi bapak bosnya jadi tidak perlu pendapat orang lain bukan, jadi ayo jawab sekarang saja" ujar Laras tidak sabar.

"Saya masih punya dua kandidat lagi jadi nanti di hubungi lagi" jawab Revan datar

"Oh gitu baiklah pak, tapi saya yakin hanya saya yang cocok jadi sekretaris bapak yang cekatan dan juga penuh semangat" ujar Laras dengan senyum yang tidak pernah luntur.

Setelah itu Laras pamit dan pergi dari perusahaan menuju kosanya.

Sedangkan Revan hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Laras yang tidak ada duanya.

--

Di posisi Laras saat ini, ia baru saja sampai dirumah kosanya, saat baru masuk rumah terdengar suara dering telepon masuk.

Laras: "Halo... Assalamualaikum dengan Laras Sagita disini"📱

penelpon: " Halo selamat siang kami dari PT Revana Global Internusa Ingin memberi tau jika anda nona Laras Sagita mulai besok sudah bisa bekerja di perusahaan kami dengn posisi sebagai sekretaris. Di mohon kedatangan nya besok untuk mulai bekerja besok" 📱

Laras:" Beneran ini saya di terima, terima kasih saya Besok pasti datang, tapi kenapa gak dari tadi coba. Padahal saya tadi sudah bilang dengan pak Revan langsung saja tapi ya sudahlah, terima kasih Bu"

Penelpon: "Baiklah jika begitu, terima kasih di tunggu kedatangannya besok.📱

Sambungan telpon pun terputus,

"Alhamdulillah akhirnya kerja kantor juga, semangat Laras." ujar Laras menyemangati dirinya sendiri.

Keesokan harinya

Matahari baru terbit, tapi Laras sudah duduk manis di halte bus dengan sepatu hak tinggi yang baru dia beli semalam. Harganya diskon, tapi ternyata... kaku banget.

“Demi terlihat profesional, aku rela betisku tremor,” desahnya sambil menahan keseimbangan.

Setibanya di gedung kantor, Laras menatap bangunan tinggi itu seperti melihat gunung es di Titanic.

“Oke. Naik lift, kerja, pulang. Gampang.”

Tapi begitu masuk lift, dia panik.

“Loh, kok nggak turun-turun?”

Dia pencet tombol berkali-kali.

Ada suara dari belakang, “Itu karena kamu belum tekan tombol lantainya.”

Laras menoleh cepat.

Dug!

Dia nyaris mental saking kaget—Revan berdiri di belakangnya, ekspresi seperti biasa, flat dan penuh penilaian.

“Aduh, Pak Bos! Maaf! Saya kira ini lift otomatis, kayak di drama Korea.”

Revan mendesah.

“Lift aja bisa jalan. Masa otaknya enggak?” ujar Revan

“Wah, itu tadi sindiran ya, Pak? Saya catat, lho.”tanya Laras dengan menyipitkan matanya

Revan tidak menjawab. Tapi mulut Laras terus berbicara.

“Bapak tau nggak? Sepatu saya ini siksaan. Kaki saya kayak dijepit setrikaan mini. Tapi demi terlihat kece, saya tahan.” jelas Laras tanpa di tanya

Revan melirik.“Saya tidak peduli.”

“Bilang aja peduli tapi gengsi,” sahut Laras sambil nyengir.

Revan mendengus pelan.

“Saya mulai meragukan keputusan saya kemarin.”

Laras nyengir.

“Mungkin karena saya membawa energi baru, Pak.” jawab Laras

“Yang saya takutkan, kamu bawa kiamat kecil.” ujar Revan

Begitu pintu lift terbuka, Revan lalu keluar entah kemana tanpa menunggu Laras

Laras sangat kagum. Saat melihat Lantai 20 sangat berbeda—lebih sunyi, lebih mewah, dan... mencekam.

Seorang pria gagah dan elegan serta ramah, ia adalah Arga asisten pribadi Revan.

“Kamu Laras, ya? Ayo, aku antar ke mejamu.” ujar Arga ramah.

Meja Laras terletak tepat di depan ruangan Revan, bersebelahan dengan meja Arga.

“Kamu akan jadi orang pertama yang dilihat siapa pun sebelum ketemu Pak Revan. Jadi... jangan melamun di meja ya,” bisik Arga sambil tertawa kecil.

“Baik, pak. Saya cuma melamun kalau stres berat, kok.” jawab Laras

 

Tugas Pertama

Laras disuruh mengetik laporan jadwal Revan. Tapi—

dia salah kirim.

Yang seharusnya dikirim ke HRD, malah dia broadcast ke seluruh grup kantor dengan caption:

“Bos kita padat banget jadwalnya. Nggak ada waktu pacaran, kayaknya.”

Seketika, grup kantor meledak dengan emoji ketawa.

Satu orang kirim:

“Kak Laras, kamu berani juga.”

Lainnya:

“Wah, akhirnya ada hiburan di kantor ini.”

Revan yang saat itu di ruangannya hanya mengetik satu kata:

“RUANGAN SAYA. SEKARANG.”

 

Di Ruangan Revan

Laras masuk dengan langkah mantap dan muka setengah takut.

“Pak, maaf... Saya datang dengan niat damai, Saya pikir itu grup iseng. Tapi kalau Bapak mau klarifikasi status pacarannya, saya bantu juga bisa—”

Revan menatap tajam.

“Kamu tahu ini perusahaan besar, kan?”

“Tahu banget. Tapi kayaknya Tuhan tahu saya dikirim ke sini biar kantor ini nggak kaku-kaku amat.” jawab Laras cepat

Revan terdiam. Lalu mengembuskan napas panjang.

Revan menatapnya lama.

“Kamu tahu, kantor ini bukan panggung stand-up comedy.”

“Tapi kadang-kadang, Pak, tawa itu bisa menyelamatkan hari.” jawab Laras cepat

“Kamu pikir hari saya terselamatkan?” tanya Revan

“Hmm… belum. Tapi saya usahakan tiap jamnya.” jawab Laras

Revan memijat pelipis.

“Laras, kamu seperti... notifikasi grup WhatsApp. Ramai, tidak penting, tapi tidak bisa dihapus.”

Laras nyengir, duduk tanpa diundang.

“Tapi saya kan bikin semua orang senang, Pak. Termasuk HRD tuh, sampe ketawa katanya.”jawab Laras

“Kamu tahu gak... saya udah pernah pecat tiga sekretaris sebelumnya?”tanya Revan

“Tahu, Pak. Tapi saya nggak akan kena. Saya punya jurus...” jawab Laras

“Apa?” tanya Revan penasaran

“Doa ibu dan pesona kampung.” jawab Laras

“Kamu ini... bikin kepala saya migrain. Tapi entah kenapa... saya pengin tahu apa lagi yang akan kamu rusak besok.” ujar Revan kesal

Laras tersenyum lebar. “Berarti saya resmi Jadi sekretaris andalan, ya?”

Revan hanya memejamkan mata sebentar.

“Keluar sebelum saya ubah keputusan itu.” ujar Revan kesal

Laras dengan cepat keluar dari ruangan sambil menari kecil.

“Yes! Hari pertama sukses... walau nyaris dipecat!”

...----------------...

Menjelang pulang,

Revan mendapati Laras duduk sendirian di pantry, makan bekalnya: nasi goreng teri dan kerupuk udang.

“Kamu nggak pulang?” tanya Revan heran

“Ngirit, Pak. Makan malamnya disini aja biar hemat ongkos warteg.” jawab Laras sekenanya.

Revan menatapnya lama.

“Teri dan kerupuk?”

“Ini makanan para pejuang, Pak. Sederhana tapi mengenyangkan. Dan... nggak meledak kayak microwave tadi.” jawab Laras

Revan nyaris tertawa, tapi cepat-cepat menahan diri.

“Besok... jangan broadcast apapun ke grup.” perintah Revan

“Siap, Pak. Tapi kalau saya nemu meme lucu, boleh share ke Arga aja ya?” tanya Laras

“Laras…”Seru Revan pelan

“Iya, iya. Pulang sekarang. Tapi boleh saya bilang satu hal?” tanya Laras

“Cepat.” jawab Revan kesal

“Hari pertama saya... menyenangkan banget. Terima kasih sudah nggak langsung pecat saya.” jelas Laras dengan senyumnya

Revan menatapnya.

Dan untuk pertama kalinya...

...senyum tipis muncul di wajah sang bos galak itu.

Bersambung

Bab 3 Adaptasi

Satu bulan kerja. Laras sudah mulai terbiasa dengan ritme pagi-paginya, bangun pukul lima, menyiapkan bekal makan siang, lalu naik angkot dilanjut ojek online menuju kantor megah itu—gedung setinggi awan, tempat bos-bos berkumpul lengkap dengan tatapan tajam mereka.

Tapi berbeda dari hari biasanya pagi ini, Laras berjalan menuju lift dengan langkah yang jauh lebih tenang. Dia sudah tahu letak pantry, ruang fotokopi, dan toilet terdekat. Bahkan, tadi pagi dia sempat menyapa petugas keamanan dengan senyum lebar, dan dijawab dengan anggukan ramah.

Sampai di lantai paling atas, dia langsung menuju mejanya. Di sana, Arga, asisten Pak Revan, sudah duduk rapi di ruang kaca kecil sebelah ruangan bos. Ia sedang mengetik sesuatu dengan fokus tinggi.

"Pagi, Kak Arga," sapa Laras sopan.

Arga menoleh dan tersenyum kecil. "Pagi, Laras. Sudah mulai terbiasa, ya?"

"Alhamdulillah, mulai ngerti ritmenya. Cuma... suka gugup kalau Pak Revan manggil tiba-tiba."jawab Laras

Arga terkekeh ringan. "Santai aja. Beliau memang tipe yang serius dan to the point. Tapi dia adil. Selama kamu kerja sesuai, dia bakal dukung kamu."

Laras mengangguk, merasa sedikit lebih tenang.

---

Kesibukan Kantor

Jam kerja belum genap pukul sembilan saat Laras mendapat tugas baru, mengatur jadwal meeting bulanan antar-divisi. Ia harus mencocokkan waktu seluruh kepala departemen dan itu bukan hal mudah. Beberapa kepala divisi bahkan terkenal susah dihubungi karena sibuk di lapangan.

Namun Laras berusaha dengan cermat. Dia mencatat satu per satu hasil pembicaraan telepon, menyusun jadwal di Excel, lalu membuat draft surat undangan digital. Satu jam kemudian, dia menyodorkannya ke Arga untuk ditinjau sebelum masuk ke Pak Revan.

"Kamu cepat juga, ya," komentar Arga, matanya menyusuri isi tabel. "Layout-nya rapi. Pak Revan pasti suka."

Laras tersipu. "Saya pakai template dari laptop pribadi, Kak. Biar nggak kelihatan amatiran."

"Pinter. Simpan semua template itu baik-baik. Kamu bakal sering pakai." jawab Arga

Sepanjang siang, Laras semakin tenggelam dalam pekerjaan. Meski meja kerja yang sempit kadang membuat punggung pegal, dia menikmatinya. Terutama ketika menerima beberapa email balasan dari kepala divisi dengan nada positif.

---

Waktu Pulang

Pukul lima sore, Laras bergegas pulang. Ia turun ke halte bus terdekat, lalu berjalan kaki ke rumah kosnya yang berada di gang kecil penuh tanaman gantung.

Begitu sampai, dia langsung ganti baju daster biru dan menggelar sajadah. Usai salat, ia duduk di kasur kecilnya sambil video call keluarga di kampung.

Ibu : “Laras, kelihatan makin segar. Gimana kerjaan hari ini?”

Laras: “Seru, Ma. Aku pegang jadwal meeting antar-departemen. Nggak nyangka bisa, padahal semalam sempat mimpi salah kirim email ke bos.”

Ayah: “Berarti kamu mulai dipercaya. Bagus. Jaga kepercayaan itu.”

Adiknya, Lila: “Kak Laras kayak orang kantoran beneran, ya. Keren deh!”

Laras tertawa. "Ya emang orang kantoran, Neng. Tapi masih suka bingung cari lift, kok."

Setelah obrolan hangat itu, Laras menanak nasi di rice cooker kecil dan menghangatkan sayur asem yang dibelinya di warung tadi pagi. Sambil makan, dia menyalakan YouTube di ponsel dan menonton video lucu tentang kucing jatuh dari meja.

Hidup sederhana, tapi hatinya penuh. Ada letih yang menyenangkan, ada perjuangan yang pelan-pelan mulai terasa hasilnya.

---

Malam Hari

Pukul sembilan malam, Laras mengecek ulang email kantor lewat laptop. Ada satu balasan dari Pak Revan:

“Good job. Jadwal rapat sudah sesuai. Besok bantu siapkan ruangan dan proyektor pukul 9.30.”

Laras tersenyum. Ini pertama kalinya bosnya mengirim email langsung tanpa lewat Arga. Rasanya seperti dapat nilai bagus di ujian susah.

Dia langsung membalas sopan:

“Baik, Pak. Akan saya siapkan dengan rapi.”

Setelah itu, dia menutup laptop, menarik selimut, dan berkata pelan pada dirinya sendiri:

"Laras, kamu bisa. Hari demi hari. Pelan-pelan, tapi pasti." ujar Laras menyemangati dirinya sendiri. Lalu tidur.

Keesokan harinya

Pagi itu, Laras datang lebih awal dari biasanya. Jam masih menunjukkan pukul 07.15, tapi dia sudah berdiri di depan pantry kantor. Di tangannya, termos besar warna biru langit yang tampak seperti kapsul luar angkasa. Dia mencoba membukanya, tapi gagal.

"Lho, ini bukanya gimana ya? Diputer kok malah bunyi tek-tek-tek kayak gigi ompong nabrak sendok..." gumamnya pelan, alis berkerut.

Arga, asisten Revan yang baru tiba, langsung menahan tawa saat melihat Laras yang sedang bergulat dengan termos itu.

"Itu ditekan dulu baru diputar, Laras. Nggak usah dilawan, dia bukan musuh bebuyutan kamu." Jelas Arga

Laras melongo sejenak lalu mencoba saran Arga. Begitu berhasil dibuka, matanya berbinar.

"Wah, iya! Makasih Mas Arga! Aku kira harus dikirim ke NASA dulu buat dibuka." jawab Laras senang

Arga ngakak kecil. "Tenang aja, belum sampe level buka ruang server."

Dengan bangga, Laras menyeduh kopi sachet yang dibawanya dari rumah. Wangi kopi bercampur aroma cereal yang tumpah dari tasnya membuat pantry pagi itu terasa seperti warung kecil di kampung.

---

Sampai di meja kerjanya yang berada di lantai tertinggi tepat di luar ruang Revan, Laras membuka laptop kantor dengan senyum semangat. Ia menghela napas panjang.

"Bismillah. Hari ini nggak boleh salah kirim file kayak kemarin. Masa jadwal bos hampir kukirim ke grup alumni SMA. Nanti mereka nyangka Pak Revan mau reuni." ujar Laras pada dirinya sendiri

Baru lima menit bekerja, notifikasi muncul:

Revan: " keruangan saya sekarang"

Laras meneguk kopinya cepat-cepat, lalu berdiri dan merapikan rambut.

"Astaga, semoga kali ini bukan teguran lagi... atau minimal bukan marah sambil pegang stapler." doa Laras

---

Di Ruangan Revan

Revan tampak seperti biasa—tenang, datar, tapi ada aura yang bikin orang mau duduk pun mikir dua kali. Dia menatap layar komputernya tanpa menoleh saat Laras mengetuk pintu.

"Tok..... Tok.... Tok.... " Suara ketukan pintu terdengar

"Masuk." jawab Revan tanpa menoleh

"Selamat pagi, Pak. Saya dipanggil? Kalau ada yang salah, saya minta maaf duluan biar hemat waktu." ujar Laras cepat

Revan mengangkat alis tipis.lalu mengutarakan maksudnya tanpa menjawab ucapan Laras.

"Bisa tolong cek ulang file jadwal rapat? Ada yang tertukar. Meeting dengan Pak Marwan itu hari Kamis, bukan Rabu." ujar Revan

Laras langsung memencet tombol di kepalanya.

"Aduh! Maaf, Pak! Saya ingatnya Rabu karena saya lahir hari Rabu kliwon. Jadi kayaknya itu hari keberuntungan." jawab Laras

Revan menghela napas. "Tolong, jangan bawa ilmu primbon ke dalam jadwal perusahaan."

"Siap, Pak. Nggak akan saya ulangi, kecuali nanti hari Jumat Legi. Itu... agak spesial." Laras menyengir.

Revan tak membalas, hanya memberikan selembar kertas sambil menggeleng kecil. Tapi dari balik kacamatanya, matanya tampak sedikit berbinar.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!