NovelToon NovelToon

The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

Kata Pengantar

Halo, pembaca.

Sebelum kamu menyelami dunia The Vault, izinkan aku memberikan sedikit pengantar.

Novel ini adalah spin-off dari dua novel sebelumnya, yaitu The Closer dan Vanguard. Cerita dalam The Vault berdiri sendiri, namun masih berada dalam semesta yang sama. Beberapa karakter, peristiwa, dan latar organisasi—terutama The Vault—memiliki akar yang dalam di dua novel tersebut.

Jika kamu baru pertama kali masuk ke dunia ini dan ingin memahami lebih jauh tentang asal-usul The Vault, siapa The Closer, apa yang terjadi di bumi dan luar angkasa, serta bagaimana konflik besar sebelumnya terbentuk—aku sangat menyarankan untuk membaca The Closer terlebih dahulu, lalu Vanguard.

Namun jika kamu ingin langsung terjun ke dalam kisah baru ini, jangan khawatir. The Vault dirancang agar bisa dinikmati sebagai petualangan tersendiri, dengan tokoh-tokoh baru, musuh baru, dan misteri yang belum pernah terungkap sebelumnya.

Selamat membaca, dan selamat datang kembali ke semesta ini.

The Vault adalah organisasi rahasia yang didirikan untuk melindungi Indonesia dari ancaman supernatural, teknologi asing, dan kekuatan yang tak bisa dijelaskan oleh logika biasa. Mereka bekerja dalam bayang-bayang, menangani kasus yang tak tersentuh oleh militer, pemerintah, ataupun lembaga lain.

Awalnya dipimpin oleh The Closer, seorang tokoh legendaris yang menjadi tulang punggung perlawanan terhadap kekuatan luar dan dalam negeri yang mengancam. Namun, setelah The Closer dan Vanguard pergi ke luar angkasa untuk menghadapi ancaman Paramesha (lihat novel Vanguard), kepemimpinan The Vault jatuh ke tangan dua sahabatnya: Dira dan Bagas.

Kini, Dira—yang tajam dalam strategi dan mantan analis utama The Vault—dan Bagas—sang teknisi dan penghubung lapangan ke jaringan lama The Closer—harus menjaga nyala api perjuangan. Di tengah dunia yang tak lagi sama, mereka berjuang memimpin generasi baru menghadapi musuh yang bahkan sejarah pun berusaha melupakannya.

Saepudin Nurahim

Prolog

Api membakar langit di atas lereng Gunung Lawu. Bukan api biasa—ini warna ungu tua, menyala tanpa asap, membentuk lingkaran-lingkaran simbol yang bahkan tentara Jepang pun tak bisa pahami.

“Waktu kita habis,” ucap Joyo Mataram, menatap langit dari balik helm besinya yang penuh retakan.

Ia berdiri di antara pohon-pohon pinus yang seharusnya sunyi. Tapi malam ini, hutan bergetar. Gemuruh langkah kaki, desisan senjata gaib, dan pekikan makhluk dari dunia lain memenuhi udara.

Dari balik kabut, muncul siluet—tinggi, angkuh, dengan jubah kulit dan topi kolonial yang masih utuh sejak abad ke-17. Matanya memancarkan cahaya emas, bukan pantulan, tapi sinar dari dalam tengkoraknya.

“Van Rijk van Oostermeer…” gumam Joyo. “Masih saja kau tak mau mati.”

“Dan kau, selalu berpikir tanah ini milikmu,” balas Van Rijk dalam bahasa Jawa yang terlalu fasih untuk seorang Belanda. “Padahal kami datang lebih dulu ke pusat kekuatan ini. Kami mengerti rahasia bumi ini… jauh sebelum kalian menyadarinya.”

Joyo menggenggam kerisnya. Bukan keris biasa—keris itu tembus pandang, seolah terdiri dari bayangan dan cahaya sekaligus. Dulu, itu milik Panembahan Senopati. Sekarang, dia yang memegangnya sebagai penjaga terakhir garis darah gaib Mataram.

Di belakangnya, berdiri empat sosok. Mereka bukan tentara. Bukan juga sekutu Jepang atau Belanda. Mereka adalah yang disebut rakyat sebagai “para penjaga batas”—pahlawan yang namanya tidak tercetak di buku sejarah.

Rasmi, sang bidan dari Sumatera Barat, kini berwujud raksasa kabut. Di tangannya, tongkat kayu warisan Minangkabau bersinar merah.

Pak Wiryo, guru ngaji dari Banyuwangi, dengan jubah putih yang melayang dan sorot mata yang bisa membakar racun.

Surapati, entitas gaib dari darah pemberontak masa lalu, memegang dua tombak dan bersiul dalam bahasa roh.

Dan Larasati, penari istana dari masa Majapahit terakhir yang kini jadi pemanggil roh leluhur melalui gerak tubuh.

“Kita tak butuh pengakuan dunia. Kita hanya perlu satu hal: merdeka,” kata Joyo, kemudian menancapkan kerisnya ke tanah.

Tanah bergetar.

Ritual dimulai.

Tapi Zwarte Sol tak akan membiarkan itu terjadi begitu saja.

Di puncak Lawu, Van Rijk mengangkat tangannya. Dari balik kabut, muncullah Kapten Draak—sosok setinggi dua meter, setengah manusia, setengah mesin, tubuhnya terbuat dari logam kolonial yang dihantui mantra. Di dadanya, simbol matahari hitam bersinar.

“Serang,” perintah Van Rijk, dan malam berubah jadi kiamat kecil.

Draak menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang memecah pepohonan. Larasati menari, memanggil roh roh keraton lama untuk menahan langkah monster baja itu.

Rasmi berubah wujud menjadi kabut, membungkus tubuh Cornelis—ilmuwan gila Zwarte Sol—yang muncul sambil mengendalikan suara masa lalu: pidato penjajahan, lagu-lagu propaganda, bahkan suara orang-orang yang sudah mati. Semua untuk membingungkan lawan.

Di tengah pertempuran itu, Joyo dan Van Rijk saling mendekat. Tak ada lagi kata-kata.

Cuma tebasan keris dan cambukan cahaya.

Mereka bertarung seperti dua raksasa kecil di tengah perang gaib yang lebih besar. Langit mendesis. Hujan mulai turun, tapi hujan darah. Bukan dari luka mereka—dari makhluk yang dipanggil Zwarte Sol: entitas entitas kegelapan hasil kawin silang ilmu Jawa dan okultisme Belanda.

Pak Wiryo membuka Al-Qur'an tua dari kulit rusa, membacakan ayat yang sudah jarang didengar. Suaranya menggetarkan langit. Satu per satu entitas itu menjerit lalu meledak jadi pasir emas.

“Tak bisa terus begini,” teriak Larasati. “Kita harus segel mereka! Sekarang!”

Joyo tahu. Ini bukan soal menang. Ini soal menghentikan mereka… untuk satu generasi ke depan. Mungkin dua.

Ia menusukkan keris ke dada sendiri.

Darahnya bercampur dengan tanah.

Tanah itu bergetar lagi. Tapi kali ini bukan karena serangan. Melainkan karena segel—segel kuno yang hanya bisa diaktifkan oleh pengorbanan darah keturunan Mataram.

Simbol hitam di dada Van Rijk mulai memudar.

“Tidak!” pekik Van Rijk. “Kami—kami belum selesai! Kami belum—”

BOOM.

Ledakan putih meledak dari bawah Gunung Lawu, menyebar ke seluruh negeri. Suara makhluk makhluk gelap menghilang. Tubuh Kapten Draak meledak jadi logam karatan. Cornelis menjerit lalu terserap ke dalam tanah. Nyai Hageman, yang tak terlihat sejak awal, mencair jadi air hitam dan tersapu hujan.

Van Rijk?

Tak ditemukan.

Cuma topi kolonialnya yang tertinggal. Terbakar setengah.

Dan langit… akhirnya sunyi.

Joyo Mataram jatuh ke tanah.

Tapi sebelum matanya menutup, ia menatap ke langit dan berbisik, “Mereka akan kembali. Tapi tidak hari ini.”

Jakarta, Delapan Dekade Kemudian

“Tanpa The Closer… kita ini siapa, Gas?”

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Dira. Lirih. Nyaris tenggelam oleh suara hujan yang menghantam atap markas. Ia berdiri di tengah ruang utama, menatap logo The Vault yang baru terukir di dinding granit. Masih bersih, terlalu bersih, seperti belum pernah digunakan.

Bagas tidak langsung menjawab. Ia tahu, bukan jawaban yang Dira butuh—tapi bukti. Tapi malam ini, bahkan ia pun ragu bisa memberikannya.

“Kita... tetap The Vault,” ujarnya akhirnya. “Dengan atau tanpa dia.”

Dira menoleh. Matanya sayu, bukan karena lelah, tapi kosong. “Itu kata-kata keren, Gas. Tapi coba lihat.” Ia mengangkat tangan, menunjuk ke meja koordinasi digital yang mengitari ruangan. Hanya setengah dari modul aktif.

“Intan lagi di ruang medis. Rendi belum sembuh total dari insiden Baluran. Noval malah baru bisa ngendaliin armor-nya dua hari lalu. Rivani… masih trauma habis gagal misi penyelamatan di Kalimantan.”

Ia menarik napas. “Dan Liana? Satu-satunya field commander yang kita punya, sekarang udah ikut Vanguard ke luar angkasa. Tinggal kita berdua di sini. Kayak sisa-sisa.”

Bagas memandang satu per satu meja kosong itu.

Dulu, meja-meja itu penuh suara. Penuh debat, tawa, dan kadang, tangis. Dulu, mereka semua percaya kalau dunia ini bisa diselamatkan. Karena The Closer ada. Karena tim lengkap. Karena markas berdiri megah.

Tapi sekarang, hanya bayangan yang tersisa.

“Kita nggak boleh mati sebelum lawan datang,” kata Bagas pelan. “Mereka pasti balik. Dan kita satu-satunya pagar terakhir.”

Dira terdiam.

Ia tahu Bagas benar. Tapi apa cukup?

Bagas menatapnya lagi. “Dengerin, Dir. Kalau The Vault itu benteng, maka kita fondasinya. Kalau kita retak, semua runtuh. Jadi ayo… kita bangun ini lagi. Dari dasar. Nggak perlu hebat. Cukup... bangkit dulu.”

Dira tidak menjawab. Tapi matanya berubah. Ada sedikit sinar di sana—lelah, tapi menyala. Ia mengangguk kecil.

Lalu ia melangkah pergi. Sendirian.

Hujan belum reda saat Dira membuka pintu ruang arsip. Lampunya menyala otomatis, menyoroti rak-rak berisi ratusan naskah, dokumen, dan tablet sejarah versi semesta NBU—semesta baru yang tercipta setelah The Closer menghancurkan Paramesha.

Dira tak tahu kenapa ia datang ke sini.

Mungkin karena ia butuh jawaban. Atau pelarian.

Tangannya menyusuri punggung-punggung buku, lalu berhenti pada satu naskah digital yang terlihat usang. Judulnya: “Versi Terlupakan: Lapis Ketiga Sejarah Kemerdekaan”.

Ia sentuh layar.

Halaman pertama menyala. Kata-kata muncul, bukan dari buku, tapi dari suara. Narasi tua. Pelan. Dalam bahasa Indonesia yang seperti pernah didengar di mimpi.

“Indonesia tidak hanya dijajah secara fisik, tapi juga secara spiritual. Ada perang yang tak pernah masuk buku sejarah. Perang antara cahaya dan bayangan. Antara para penjaga negeri... dan penjajah yang datang bukan cuma membawa senjata, tapi sihir.”

Dira terpaku. Nafasnya tercekat. Ia belum pernah membaca bab ini.

Halaman berganti otomatis.

Tahun 1945. Satu organisasi bayangan, sisa dari kekuatan kolonial, disebut Zwarte Sol—Matahari Hitam—masih bertahan di balik kekacauan perang dunia. Mereka percaya Indonesia adalah pusat energi dunia. Mereka ingin merebutnya kembali. Tapi satu kelompok pahlawan, tak tercatat di naskah resmi, berdiri menghadang. Mereka menyegel kekuatan itu... di Gunung Lawu.

Dira menelan ludah.

Namanya: Zwarte Sol.

Ia belum pernah dengar.

Belum pernah—bahkan dalam semua briefing, database, atau pertemuan bersama The Closer.

Dan itu membuatnya ngeri.

Ia mencabut tablet, berlari keluar ruang arsip, turun ke lantai bawah tempat Arka biasa berada.

Cahaya biru menyelimuti ruangan. Arka—entitas AI berbentuk semi-manusia holografik—berdiri menghadap layar, seperti biasa. Tapi hari ini, wajahnya tampak lebih… gelisah.

“Arka,” seru Dira, melempar tablet ke atas meja. “Bisa cek ini?”

Arka menyentuh layar. Data masuk. Diproses. Tapi… hasilnya nihil.

Data tentang Zwarte Sol: tidak ditemukan.

Foto, nama, organisasi, jejak metafisik, sidik sejarah digital… kosong.

Dira menatap layar itu seolah menatap jurang.

“Cuma mitos, ya?” gumamnya. “Atau... terlalu nyata sampai disembunyikan semua?”

Langkah kaki Bagas terdengar mendekat. Ia masuk bersama Intan dan Rivani yang baru kembali dari latihan. Wajah mereka sama tegangnya.

“Arka?” tanya Bagas.

AI itu menoleh. “Tak satu bit pun. Seolah-olah mereka tak pernah ada.”

Dira menunjuk layar. “Tapi sejarah mereka muncul di satu arsip. Satu sumber. Dan kita bahkan nggak pernah dengar soal mereka?”

“Kalau begitu,” gumam Bagas sambil menatap peta holografik Indonesia yang perlahan menampilkan titik-titik energi abnormal dari berbagai daerah. “Mereka sudah mulai bangkit lagi. Dan kita buta arah.”

Tiba-tiba layar Arka berkedip.

Satu nama muncul.

Van Rijk van Oostermeer

Status: Tidak Dikenal

Lokasi terakhir terdeteksi: Gunung Lawu, 1945.

Suasana ruangan mendadak membeku.

Dira membisik. “Sejarah... sedang mengulang dirinya.”

Lalu—

WHEEEEOOOOO!!!

Alarm markas melolong keras. Merah. Penuh.

Semua mata menoleh ke layar utama.

Sumber ancaman: Candi Borobudur

Energi tak dikenal: Kelas Merah

Kemungkinan keterkaitan: Zwarte Sol

Dan di layar kecil pojok kiri atas—satu simbol muncul untuk pertama kalinya dalam 80 tahun.

Matahari Hitam.

Dira menatap semua orang. “Kita nggak bisa tunggu The Closer balik. Kita harus hadapi ini... sekarang.”

Bagas mengangguk. “Kita buktikan. The Vault berdiri bukan karena satu orang. Tapi karena tanah ini butuh penjaga.”

Intan menyiapkan senjata. Rivani menarik napas dalam. Noval—meski masih belum pulih total—memasuki mode armor.

“Tim siap?” tanya Dira.

“Siap, Kapten,” jawab mereka serempak.

Untuk pertama kalinya sejak kehancuran markas lama, tim The Vault bergerak sebagai satu tubuh.

Tanpa Closer.

Tanpa Liana.

Tanpa nama besar.

Cuma satu tujuan:

Menghentikan kebangkitan penjajahan gaib... sebelum matahari hitam terbit lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!