NovelToon NovelToon

Aku (Tak) Mau Menikah Ummah

Bab 1 Mengikhlaskan

...Tak ada kenangan yang lebih indah dari pada bertemu Bumi. Tak ada rindu yang lebih manis dari pada bertemu Bumi. Semuanya Bumi dan Bumi. Tapi, Bumi hanya akan menjadi kenangan...

...*Harfa*...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Maafkan saya, saya tak bisa lagi memperjuangkan kamu."

Ucap Bumi menunduk, hatinya begitu hancur. Itu bukan keinginan Bumi tapi Bumi harus menentang hatinya sendiri.

"Mari kita akhiri kisah kita sampai di sini."

Harfa, hanya bisa diam terpaku dengan mata memerah. Dadanya begitu sesak. Kenapa sesakit itu. Tapi, Harfa tak bisa untuk sekedar menolak.

Apa kisah mereka harus berakhir seperti itu. Harfa tahu semua salahnya. Untuk itu Harfa hanya bisa diam. Berusaha tetap menggenggam Bumi pun malah semakin sakit.

Akhir dari kisah mereka bukan karena ada penghianatan apalagi tak ada cinta. Mereka saling mencintai, tapi, keadaan membuat mereka harus mengakhiri kisah nya.

Bumi tak bisa lagi menunggu bukan karena tak mampu. Namun, desakan kedua orang tuanya membuat Bumi tak bisa memperjuangkan cintanya lagi.

"Mas .., maafkan aku."

Lilih Harfa tak bisa lagi membendung air matanya.

Dada Bumi terasa sesak. Ingin rasanya Bumi menarik Harfa kedalam pelukannya. Namun, Bumi hanya diam saja. Bumi tahu, jika ia melewati batas, ia takut semakin berat melepas Harfa.

"Jangan menangis. Saya mohon."

Harfa mengangkat kepalanya. Pandangan mereka bertemu. Terlihat jelas pancaran kesakitan di sana. Mereka berdua benar-benar kesakitan. Tapi, mereka sadar jika mereka tak bisa lagi saling menyembuhkan.

"Maaf, jika aku hanya bisa meminta Mas menunggu. Rasanya aku ingin egois, tapi aku sadar jika itu akan membuat mas terbebani. "

Harfa menarik nafas dalam seolah pasokan oksigen sudah habis. Dadanya terasa sesak dan berat untuk melanjutkan ucapannya. Tapi, Harfa berusaha kuat agar ia tak membuat Bumi sedih.

"Aku ikhlas, ikhlas mas menikah dengan wanita lain. Bahagia kan ibu dan ayah. Agar kelak surga merindukan, mas. Ak-aku .., aku ..,"

"Cukup!"

Potong Bumi tak lagi bisa menahan diri. Bolehkah Bumi melewati batasnya lagi. Hanya kali ini, ini yang terakhir.

Bumi memeluk Harfa erat begitu erat. Harfa memberontak namun, Biru semakin mengeratkan ya.

"Saya tak sanggup!"

Harfa berhenti memberontak. Harfa tahu, ini salah sangat salah. Tapi, Harfa juga tak kuasa untuk terus memberontak. Harfa membalas pelukan Bumi. Mungkin ini pelukan terakhir bagi mereka.

Kenapa cinta harus sesakit ini. Kenapa mereka harus berpisah jika mereka saling mencintai.

Begitu lama mereka saling menumpahkan perasaan. Mungkin, ini benar-benar yang terakhir buat mereka. Hingga, suatu saat nanti jika mereka bertemu. Kisah mereka tak lagi sama.

Biarkan lah mereka sejenak bersatu, sampai mereka sadar jika itu akan membuat mereka semakin berat melepas.

Harfa mendorong Bumi pelan. Sadar jika mereka terlalu hanyut dalam kehangatan. Jika di biarkan terus seperti itu, Harfa tak sanggup.

"Pergilah."

Titah Harfa, membalikan tubuh, membelakangi Bumi.

Bibir Bumi ter-katup, gemetar. Tangannya mengepal erat.

"Saya tak kuasa akan diri saya. Tapi .., saya ikhlas jika suatu saat nanti kamu menemukan cinta lain. Jangan jadikan siapapun menjadi pelarian. Jika masih ada cinta, cintailah orang itu dengan baik."

"Walau saya sendiri ragu bisa mencintai perempuan lain selain diri mu. Aku ingin egois, tapi aku tak bisa."

Bumi hanya bisa membatin di akhir kalimatnya.

Bumi sadar jika mereka tak bisa memaksakan kehendak. Mungkin itu adalah jalan yang terbaik untuk mereka.

Sakit rasanya Bumi mengatakan itu. Tapi, Bumi tak ingin Harfa terpaku dalam masa lalu. Bumi ingin yang terbaik juga untuk Harfa.

"Terimakasih sudah menjadikan ku laki-laki beruntung di cintai oleh mu. Andai jika ada kehidupan selanjutnya aku ingin tetap menjadi laki-laki yang kamu cintai tanpa kurang sedikit pun."

Ucap Bumi gemetar. Mengakhiri percakapan mereka. Bumi pergi meninggalkan Harfa sendiri. Meninggalkan cinta nya. Setiap langkah terasa begitu berat dan sesak. Tapi, Bumi harus tetap melangkah. Ingin rasanya berbalik. Bumi tahu, itu akan membuat masalah baru.

Bruk!

Harfa menjatuhkan diri di atas rerumputan. Tangisannya semakin pecah. Harfa meremas dadanya yang terasa sesak seolah ingin mencabut kesesakan itu.

"Aku .., aku tak tahu apa masih bisa jatuh cinta atau tidak, mas."

Isak Harfa, dunianya seolah gelap dalam sekejap mata.

Kisah mereka akhirnya hanya bisa sampai di sana.

Andai keadaan tak memaksa mereka berpisah mungkin tak akan ada yang namanya patah hati.

Langit mulai gelap, rintik-rintik hujan mulai turun. Tapi, tak membuat Harfa pergi. Harfa membiarkan air hujan membasahinya.

Tetes demi tetes membasahi tubuh Harfa. Bibir Harfa gemetar bahkan terlihat pucat. Harfa meraung, menangis membiarkan air hujan menemaninya.

Bohong jika Harfa Ikhlas, nyatanya mengikhlaskan sangat menyakitkan. Cinta mereka berhenti di sana. Semuanya pecah begitu saja. Seolah tak ada lagi lambang cinta di antara mereka.

Kenapa harus seperti itu. Rasanya sangat menyakitkan bagi Harfa.

Mengakhiri dengan cara baik-baik, ternyata lebih menyakitkan dari pada berakhir dari sebuah pertengkaran.

Keikhlasan menguji mereka berdua. Sekuat apa mereka melepaskan cintanya.

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu.

Puisi itu terngiang kembali di ingatan Harfa. Puisi kisah mereka. Puisi yang sering Biru ucapan ketika sebuah rindu menyapa mereka.

Sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang sangat di sukai Bumi.

Kini, hujan itu terasa nyata di alami Harfa. Harfa pikir itu hanya sebuah puisi tanpa makna. Kini Harfa tahu jika tak ada yang lebih tabah dari kata mengikhlaskan. Selain dari pada menahan rindu.

Mungkin, rindu itu tak akan lagi sama menyapa mereka.

Melepaskan seseorang yang kita cintai memang lah tidak mudah. Lebih sulit lagi bertahan, namun hanya luka yang di dapatkan.

Kenangan indah kebersamaan mereka terus berputar. Membayang-bayangi luka Harfa. Kenapa kisah mereka harus seperti itu pada akhirnya. Kenapa begitu sangat menyakitkan.

Harfa pikir, semua akan baik-baik saja. Nyatanya tidak. Kini Harfa harus rela melepas kan cintanya.

Tak ada kenangan yang lebih indah dari pada bertemu Bumi. Tak ada rindu yang lebih manis dari pada bertemu Bumi. Semuanya Bumi dan Bumi.

Tapi, Bumi hanya akan menjadi kenangan Harfa.

Jalan mereka mungkin harus seperti itu. Tidak ada yang bisa mengubah sebuah takdir jika Allah sudah mengaturnya seperti itu.

Lambang ke ikhlas lah yang harus mereka kibarkan. Melepas satu sama lain. Biarlah takdir yang menyembuhkan luka keduanya. Allah maha tahu akan takdir yang akan mereka hadapi ke depannya.

Bersambung ...

Semoga kalian suka dengan cerita Harfa dan Bumi.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya 🙏 🥰 🥰 🥰

Bab 2 Dua do'a

"Astaghfirullôhal! Sayang. Kenapa hujan-hujanan."

Panik ummah Sinta mendapati putri bungsunya pulang dalam keadaan basah kuyup.

Jiwa keibuannya begitu kentara. Berlari mencari handuk lalu menyelimuti tubuh Harfa.

"Kenapa sampai kehujanan begini. Tidak bisakah kamu berteduh dulu. Wajah kamu juga pucat."

Omel ummah Sinta, namun tetap mengeringkan wajah dan tubuh Harfa dengan handuk. Merasa sudah sedikit air yang menetes di baju Harfa Ummah Sinta baru membawa Harfa masuk rumah.

Ummah Sinta tak habis pikir, kenapa putrinya bisa hujan-hujanan. Bahkan, mobil pun tak ada. Ingin bertanya namun urung melihat Harfa yang malah diam.

"Sayang, minum dulu teh nya, agar badan kamu hangat. Baru ke kamar dan bersihkan tubuh dengan air hangat."

Lagi, Harfa hanya diam. Tatapannya begitu kosong membuat ummah Sinta heran. Ada apa dengan putrinya.

Tak biasanya Harfa bersikap seperti ini. Jika begitu, pasti ada hal besar yang terjadi. Ummah Sinta tak tahu harus berbuat apa. Hatinya kembali teriris. Belum juga reda pikirannya tentang Ifa kini harus mendapati putri bungsunya seperti ini.

"Nak."

Harfa tersentak. Merasakan tangan hangat mengelus wajahnya. Harfa menatap ummah Sinta. Tiba-tiba matanya memerah. Cairan bening meluncur begitu saja membuat ummah Sinta terkejut.

Harfa dan kakaknya memang berbeda. Harfa mudah rapuh dan sulit menyembunyikan apapun dari kedua orang tuanya.

"Kamu menangis! Ada apa?"

"M---ma-"

Bibir Harfa gemetar, bahkan tubuhnya pun ikut terguncang. Harfa tak sekuat kakak Ifa dalam menghadapi masalah.

"Sayang,"

Ummah Sinta semakin cemas melihat Harfa semakin kencang menangis. Dengan lembut, ummah Sinta menghapus air mata itu walau terus keluar.

"Mas Bumi menyerah!"

Deg!

Ummah Sinta tertegun, mencoba mencerna ucapan putrinya.

Hati ummah Sinta ikut teriris melihat kesedihan putrinya. Kenapa nasib putrinya tak ada yang beruntung satupun. Ummah Sinta tak tahu. Kesalahan apa di masa lalu hingga membuat nasib putrinya begitu buruk. Kenapa harus seperti itu.

Belum selesai kesedihan Ifa, kini masalah Harfa muncul.

Ummah Sinta bisa merasakan rasa sakit yang di rasakan putrinya.

"Yang sabar, sayang."

Ummah Sinta memeluk Harfa lembut. Tak ada kata yang di ucapkan lagi. Semuanya terasa menyesakan.

Harfa hanya diam saja dengan pikiran kosong. Perasaan nya hancur.

Bukankah Harfa sudah mengikhlaskan, tapi kenapa sekarang begitu. Bukankah mereka sudah sepakat berpisah baik-baik. Agar tak saling menyakiti.

Mereka sadar, jika cinta mereka tak bisa lagi di paksa. Semuanya sudah berusaha sampai mereka di titik itu.

"Mungkin, ini yang terbaik buat kalian. Ikhlaskan sayang."

Harfa mempererat pelukannya. Menenggelamkan wajah di dada ummah Sinta. Harfa benar-benar menangis bak anak kecil. Sampai baju ummah Sinta ikut basah juga.

Abi Farel hanya bisa mematung mendengar semuanya. Hatinya ikut teriris. Kenapa lagi, kisah cinta putrinya tak seberuntung kisah mereka.

"Maaf, ummah. Baju ummah basah."

Ucap Harfa tiba-tiba sambil menyeka air matanya. Kesadaran Harfa seolah tertarik kembali. Harfa sadar jika apa yang ia lakukan salah. Tak seharusnya Harfa menangis begitu sampai membasahi baju ummah Sinta.

Harfa malu, kenapa ia selemah itu. Hanya karena putus cinta membuat Harfa hilang kendali.

Bukankah itu hal wajar, lebih baik ekspresikan dari pada di tahan yang hanya akan menyesakan.

"Aku ke kamar dulu."

Ucap Harfa pergi meninggalkan ummah Sinta.

Di setiap langkah, terasa berat sekali. Namun, Harfa tetap melangkahkan kedua kakinya menuju kamar. Harfa tak pernah membayangkan jika dirinya akan berada di titik ini.

Suara guntur dan petir saling bersahutan. Tapi, tak membuat Harfa tersadar dari tatapan kosongnya.

Kenapa ini sangat menyakitkan, melepaskan Bumi. Namun, Ifa juga tak mungkin menggenggam Bumi terlalu erat. Itu malah akan membuat Harfa semakin terluka.

Harfa sadar, jika dirinya belum sholat. Sehancur apapun hati Harfa, Harfa masih tetap ingat jika dirinya belum sholat.

"Ya Allah, jika ini memang jalan terbaik dari mu. Maka ikhlas kan hati ini. Jangan biarkan rasa sakit ini menghalangi langkah ku ke depannya.

Berikanlah kebahagiaan pada mas Bumi. Buatlah mas Bumi jatuh cinta pada istrinya kelak. Jangan biarkan bayangan ku membayangi masa depannya. Aku tak mau menjadi penghalang kebahagiaan nya.

Hatiku terasa sakit, tapi aku tak mau menjadi jahat. Ikhlas hati ini."

Jerit batin Harfa memohon. Bukan untuk kelapangan hatinya saja. Harfa juga ingin kebahagiaan untuk Bumi. Harfa tahu, Bumi sangat mencintainya. Untuk itu Harfa tak mau egois.

Kisah mereka sudah usai. Kini, Harfa akan mencoba menerima takdirnya. Membiarkan Bumi bersanding dengan wanita pilihan ibu Zahra.

Bukankah cinta tak harus memiliki. Cukup saling doakan satu sama lain. Jangan biarkan hawa nafsu menghantui hati dan pikiran.

....

Di sisi lain, Bumi pun sama. Sedang mengadukan segala gelisah yang ada di hatinya.

Hatinya cukup hancur, harus melepas wanita yang sangat Bumi cintai. Bumi tak bisa lagi mempertahankan. Jika itu akan menyakiti hati ibu Zahra.

Antara ibu dan kasih, tak bisa menjadi pilihan Bumi. Itu sama saja Bumi sedang membuat dirinya berada di ujung jurang.

Ibu Zahra wanita yang sudah melahirkannya. Wanita yang sangat Bumi hormati. Mungkin, ini adalah jalan terbaik bagi Bumi dan Harfa.

"Ya Allah, jika memang ini yang terbaik untuk ku. Maka Ikhlas kan hati ini untuk melepaskan Harfa. Lapangkan hati ini untuk menerima wanita pilihan Ibu. Jangan biarkan rasa cinta ini menyakiti siapapun. Aku tak kuasa akan hati ini. Engkau yang maha membolak-balikkan hati. Jaga hati dan lisan ini agar tak menyakiti istri ku kelak.

Bahagia kan Harfa. Dengan pilihan yang terbaikmu. Jaga lah Harfa, dan buka-kan-lah hatinya untuk menerima siapapun laki-laki yang datang ke kehidupannya. Jangan biarkan nama ku membayangi hatinya. Jangan biarkan aku berada dalam kubang dosa. "

Jerit hati Bumi. Bumi ikhlas jika Harfa bersanding dengan laki-laki lain suatu hari nanti. Namun, Bumi ragu apakah hatinya bisa melupakan Harfa atau tidak.

Antara Harfa dan Bumi, mereka sedang sama-sama belajar melepaskan. Tak mudah, namun itu jalan yang harus mereka ambil.

Kita tak akan pernah tahu, bagaimana jalan takdir Allah. Semua rahasianya. Tak ada yang tahu.

Allah pisahkan Harfa dan Bumi mungkin itu jalan yang terbaik bagi mereka.

Bumi melipat sajadahnya. Membuka peci lalu menaruhnya di tempat biasa. Bumi membuka laci. Melihat sebuah foto dirinya dan Harfa.

Mereka berdua nampak tersenyum cerah. Bumi tersenyum getir, mungkin itu akan menjadi kenangan dirinya dan Harfa. Bumi ingin membuangnya. Agar hatinya tak lagi mengingat Harfa. Namun, sebuah ketukan pintu membuat niat Bumi urung.

Bumi membuka pintu perlahan. Nampak ibu Zahra berada di depan pintu kamar Bumi.

"Ibu kok belum tidur?"

Tanya Bumi membuka pintu lebar-lebar. Ibu Zahra masuk kedalam dengan sigap Bumi mendorongnya.

Bumi berjongkok, memegang tangan Ibu Zahra.

"Ada apa, Bu?"

Tanya Bumi. Bumi yakin, ada sesuatu yang mau di bicarakan ibu nya.

Ibu Zahra menatap sendu Bumi. Di elusnya puncak kepala Bumi. Mata ibu Zahra memerah.

"Maafkan ibu, jika ibu egois."

"Tidak Bu. Ibu tidak usah minta maaf."

Bumi menggelengkan kepala kuat. Bumi tak akan membiarkan ibunya minta maaf. Karena itu menyakiti Bumi.

"Bahagia kan Zahira ya, nak. Jangan sakiti dia. "

"Bumi tak bisa berjanji, Bu. Tapi, Bumi akan berusaha."

"Ya, itu yang ibu harapkan."

Bumi langsung memeluk Ibu Zahra. Bumi tak bisa lagi membendung air matanya.

Bersambung ...

Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih ...

Bab 3 Kuatkan aku Tuhan

Hari ini, Harfa nampak tak semangat menjalani aktivitas nya. Harfa terpaksa berangkat ke rumah sakit naik taxi online.

Mobil Harfa berada di bengkel, akibat mobilnya kena paku.

Mata Harfa masih sembab. Akibat semalaman menangis. Untung, hari ini pasien tidak terlalu padat.

"Pagi bidadari."

Sapa Langit tersenyum cerah. Harfa melengos begitu saja tak menghiraukan sapaan Langit.

Langit melongo, melihat tingkah Harfa.

Langit adalah salah satu rekan kerja Harfa di rumah sakit. Langit juga adalah anak dari dokter Sarah. Sahabat ummah Sinta dulu.

"Ada apa, Lang?"

Tanya dokter Sam, menepuk bahu dokter Langit.

"Dokter Harfa kenapa ya? Kok tumben, judes banget."

"Mungkin, dokter Harfa ada masalah. Sudah jangan di ganggu, cewe kalau ada masalah di ganggu, berabe."

Ucap dokter Sam. Dokter Langit mengangguk setuju.

"Pagi, Cinta?"

"Pagi juga, mas ku."

Balas Zahra mengedipkan sebelah matanya pada dokter Sam. Dokter Langit memutar bola mata malas melihat ke-bucin-an dokter Zahra dan dokter Sam.

Dokter Sam adalah putra dari dokter Bela. Zahra adik kembar Mikail putri dari dokter Cantika.

Entah kebetulan atau apa. Anak-anak sahabat ummah Sinta bekerja di rumah sakit bunda Husna bersama dengan Harfa.

Harfa, dokter Langit, Dokter Sam dan dokter Zahra. Mereka satu generasi.

Dokter Sam dan dokter Zahra sudah lama mereka saling suka. Namun, tak ada ikatan lebih dari mereka selain persahabatan. Namun, tingkah mereka memang seperti itu, selalu suka saling menggoda.

Sedang dokter Langit, dari dulu menyukai Harfa. Namun sayang, Harfa mencintai laki-laki lain. Dokter Langit belum tahu jika Harfa dan Bumi sudah selesai. Andai dokter Langit tahu, dirinya pasti orang pertama yang bahagia.

"Ra, kamu tahu Harfa kenapa?"

"Harfa? Dia sudah datang?"

Dokter Zahra malah balik bertanya membuat dokter Langit mengerucutkan bibirnya kesal.

"Sudah cinta. Tadi pergi ke ruangannya."

"Makasih dok, kalau begitu aku pergi dulu."

Zahra berlari guna menemui Harfa. Ada sesuatu yang mau dokter Zahra ceritakan.

Namun, di ruang dokter Harfa kosong. Entah kemana perginya dokter Harfa.

"Kemana dia? Pasti ke atap."

Monolog Dokter Zahra. Langsung masuk lift menuju lantai atas. Dan benar saja, dokter Harfa ada di sana.

"Harfa."

Dokter Harfa menoleh ketika namanya di panggil.

"Fa, kamu kenapa?"

Dokter Zahra cukup terkejut melihat mata memerah Harfa. Apalagi terlihat jelas jejak air mata di sana.

Harfa tak mengatakan apapun. Harfa hanya memeluk Dokter Zahra saja. Seolah sedang menyalurkan rasa sakit hatinya.

"Kamu kenapa, Fa. Ada masalah?"

Harfa diam saja. Harfa memang orang yang sedikit sulit bercerita walau sikapnya bar-bar.

"Kalau ada masalah, cerita. Jangan di pendam sendiri. Siapa tahu aku bisa bantu. Walaupun tidak, setidaknya itu bisa mengurangi beban hati kamu."

Ucap dokter Zahra mengelus punggung dokter Harfa yang bergetar.

"Mas Bumi mau menikah dengan wanita lain."

"What!"

Pekik dokter Zahra terkejut. Langsung saja melerai pelukannya. Dokter Zahra menatap penuh selidik. Mata dokter Harfa sangat serius. Bahkan matanya semakin memerah.

"Dia menyakiti kamu. Kurang ajar. Berani sekali dia menyakiti kamu. Ini tak bisa di biarkan. Kita harus membalasnya."

"Tidak."

"Kenapa? Kamu masih membela dia. Jelas-jelas dia mau menikah cewe lain. Di saat pernikahan kalian sudah di tentukan."

Nafas dokter Zahra memburu. Dokter Zahra tak terima jika hati sahabatnya di sakiti. Dokter Harfa sudah seperti saudara bagi Dokter Zahra. Apalagi keluarga mereka sangat dekat. Sebelum semuanya renggang gara-gara kakak Ifa menikah dengan orang lain bukan Mikail.

"Aku yang melepaskannya."

Dokter Zahra tertegun. Menatap dokter Harfa tak percaya. Dokter Zahra benar-benar belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Maksud kamu apa? Aku gak ngerti? Kamu jangan membela laki-laki model begitu."

"Aku gak membelanya. Aku yang melepaskannya. Aku gak siap menikah dengan nya. Hingga ibu kecewa dan menyuruh mas Bumi menikah dengan wanita lain."

"Tapi, kenapa hatiku sakit."

Dokter Zahra memeluk dokter Harfa erat. Melihat rasa frustasi dokter Harfa membuat dokter Zahra faham satu hal. Pasti sulit berada di posisi dokter Harfa. Melawan trauma memang lah tak mudah.

Apalagi kejadian yang menimpa kakak Ifa kembali membuka luka lama.

Jika itu permasalahannya. Dokter Zahra sendiri tak bisa berbuat apa-apa.

Dokter Zahra yang tadinya menyalahkan Bumi. Kini diam. Karena paham, permasalahannya bukan dari Bumi tapi dari Harfa sendiri.

"Kita konsultasi lagi sama dokter Yeri, ya. Siapa tahu beliau bisa membantu kamu keluar dari rasa ini."

"Tidak. Aku gak mau."

Dokter Harfa benar-benar berada di titik terendahnya. Jiwanya seolah hilang separuh.

Jika sudah begini, dokter Zahra pun tak bisa melakukan apapun.

Apa yang di alami dokter Harfa, dokter Zahra tahu. Jadi sulit bagi mereka juga untuk keluar dari zona itu. Dan dokter Harfa paling parah akan kasus itu.

Namun, sebagai seorang sahabat. dokter Zahra tak mau melihat dokter Harfa seperti ini. Tapi, apa yang harus dokter Zahra lakukan. Semua di luar kendalinya.

Kenapa kisah cinta sahabatnya begitu rumit. Dokter Zahra saja sudah pusing akan kekokohan hati sang kakak. Kini, harus membantu dokter Harfa terbebas dari bayang-bayang ketakutan itu.

"Aku tak tahu harus berbuat apa. Tapi, aku yakin kok. Kamu bisa melewati ini semua."

"Aku bukan kakak Ifa yang kuat. Bahkan masih bisa tersenyum saat para bajingan itu menyakitinya."

"Aku percaya. Kamu juga mampu. Bahkan mampu melebihi kakak Ifa."

Percaya dokter Zahra.

"Kamu sudah memutuskan dan tak bisa di tarik lagi. Maka kamu harus siap dengan konsentrasi nya. Hadapi jangan lemah. Aku tahu kamu kuat. Saudaraku tak akan lemah akan hal cinta."

Sambung dokter Zahra. Walau dokter Zahra sendiri merasa ragu akan ucapannya sendiri. Mengingat dokter Harfa berada di titik terbaik pun karena Bumi.

Dokter Harfa terdiam. Dokter Harfa tak mau dia terlihat lemah akan masalah cinta. Jika boleh mengulang. Dokter Harfa tak mau jatuh cinta. Dokter Harfa ingin seperti kakak Ifa. Yang tak pernah merasakan patah hati.

Mungkin memang ini jalan yang harus dokter Harfa hadapi. Semua sudah di putuskan dan tak akan pernah bisa sama kembali.

Itu artinya dokter Harfa dan Bumi mungkin tidak berjodoh.

Mereka harus mengikhlaskan satu sama lain. Itu jalan mereka sekarang.

Puas menenangkan hati, Dokter Harfa dan Dokter Zahra kembali. Walau keadaan Dokter Harfa kacau tapi dia tetap profesional menjalani tugasnya.

Dokter Harfa tak ingin masalah pribadinya menghancurkan karir yang sudah ia bangun. Tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya juga. Sudah cukup beban kedua orang tuanya selam ini. Dokter Harfa tak ingin menambah beban kedua orang tuanya.

"Jika memang ini yang terbaik, tolong kuatkan Aku Tuhan."

Bersambung ...

Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!