Siang hari di tengah teriknya matahari, Aryani Faizah yang biasa dipanggil Faiz berjalan kaki sambil memegang perutnya yang besar. Daster batik bahan katun rumahan yang adem telah melekat di badan. Namun, keringat masih juga bercucuran karena sedang hamil sembilan bulan.
"Permisi" Faiz masuk ke salah satu penjual nasi rames membeli lauk untuk sang suami lantaran tidak mau makan masakan yang ia buat.
"Mau beli apa, Mbak?" Tanya penjual, menatap iba wajah Faiz yang merah karena tersengat sinar matahari.
"Rendang daging satu potong saja, Bu" Faiz tidak memikirkan dirinya yang penting sang suami tidak marah lagi. Setelah mendapat yang dia cari, Faiz berjalan tertatih-tatih kembali pulang.
Sambil berjalan, Faizah sedih memikirkan sang suami yang selalu memerintah dengan seenaknya. Dalam keadaan panas begini pun dipaksa membeli lauk yang enak. Tempe, tahu, dan cah kangkung yang ia masak membuat Ahsan suaminya itu marah. Bayangkan piring dan gelas yang dibanting Ahsan ke lantai baru saja, membuat dada Faiz sesak.
Brak!
"Aaagghhh..." Faizah padahal berjalan di pinggir, tetapi sebuah mobil menghantam tubuhnya dari belakang. Mobil yang sengaja menabrak itu pun kabur meninggalkan Faiz yang sudah tergeletak di jalan aspal. Darah mengalir dari organ bawah membuat Faiz tidak sadarkan diri.
"Euughh..." Faiz melenguh setelah tiga jam kemudian baru sadar dari pingsan, merasakan perih bagian lengan, kaki, dan perut. Dia membuka mata samar-samar menangkap dua wanita berpakaian putih-putih.
"Di mana aku?" Lirih Faiz ketika wajah dua wanita tersebut terlihat lebih jelas.
"Kamu sekarang di rumah sakit, warga membawa kamu kesini. Menurut mereka, kamu korban tabrak lari." Papar dokter Jihan yang menangani Faiz.
Faizah mengingat kejadian yang menimpa dirinya, lalu meraba perut khawatir terjadi sesuatu dengan bayi yang ia kandung. Namun, betapa terkejutnya dia ketika perutnya sudah rata, dan tidak merasa melahirkan.
"Anak saya mana, Dok?" Faiz menatap dokter Jihan berkaca-kaca ingin segera melihat bayinya.
Dokter Jihan menarik napas panjang, terasa berat untuk menceritakan yang terjadi dengan bayi Faizah.
"Dok, bayi saya mana?" Faizah merasa ada yang disembunyikan oleh dokter Jihan.
"Maaf, bayi kamu tidak bisa kami selamatkan." dokter Jihan menceritakan dengan hati-hati, terpaksa mengeluarkan bayi Jihan karena sudah meninggal di dalam perut melaui operasi caesar.
"Tidaaakk... Bayi saya tidak mungkin meninggal Dok, tidak mungkin..." Faiz syok lalu berteriak kencang, menangis sejadi-jadinya. Dia tidak mau kehilangan anak pertamanya yang sudah dia nantikan selama kurang lebih tujuh tahun. Genap usianya yang ke 30 tahun Faizah diberi kepercayaan untuk mengandung, tetapi tidak ada hasil.
"Faiz, tenang kan hatimu" dokter Jihan menatap Faiz yang nampak terguncang karena kehilangan anaknya, tidak tega.
"Saya tidak kuat, Dok" jawab Faizah membiarkan air matanya terus mengalir jatuh ke baju daster.
Bertahan selama tujuh tahun dengan pria macam Ahsan bukan perjuangan yang ringan bagi Faizah. Karena tidak juga hamil, Faiz kerap kali menerima ancaman akan diceraikan Ahsan bila tidak segera mempunyai anak. Faiz berharap kelahiran anaknya mampu membuat hati Ahsan membaik dan menyayangi dirinya. Namun, harapannya kini tidak terwujud.
"Biar aku mati saja Dok, aku mau menyusul anakku." Faizah putus asa, hidup pun merasa percuma.
"Faiz, yang sabar, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi Allah mempunyai rencana lain." dokter Jihan menahan tangan Faiz yang memukul-mukul perutnya sendiri, untung saja bukan bagian yang dicaesar yang Faiz pukul.
"Faiz, ingat Allah, tidak baik mempunyai niat mau mengakhiri hidup." dokter Jihan yang sudah usia paruh waktu itu menasehati Jihan.
Hingga beberapa menit kemudian, Faizah Istigfar lalu menatap dokter Jihan. "Saya bisa minta tolong Dokter atau Suster untuk menghubungi suami saya?"
"Baiklah, berapa nomernya?" Suster mengeluarkan hape dari saku celana panjang.
Faizah menyebut nomor handphone suaminya dengan gamblang, baik buruknya sikap Ahsan nanti akan ia hadapi. Toh, setiap hari sudah merasakan pahit getirnya berumah tangga dengan Ahsan.
"Di mana jenazah anak saya, Dok?" Faizah tentu ingin melihat putrinya dan akan minta Ahsan menguburkan dengan semestinya.
"Sebentar ya Mbak" suster memasukan handphone kembali lalu meninggalkan Faizah, tidak lama kemudian kembali menggendong bayi memperlihatkan kepada Faiz.
"Anakku..." Faizah menggendong putrinya yang cantik itu, tangisnya kembali pecah. Andai saja anaknya betah di dunia ini, alangkah bahagianya. "Maafkan Ibu yang tidak hati-hati sayang..." Faiz mencium pipi putrinya dengan duka yang mendalam.
"Sudah ya Mbak" suster ambil alih bayi Faizah mengembalikan ke kamar yang berbeda. Setelah kembali, suster melanjutkan menghubungi nomor Ahsan, mengabarkan kepadanya bahwa Faiz mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Setelah Faiz agak tenang, dokter bersama suster meninggalkan ruangan. "Jika ada sesuatu tekan tombol ya" pesan dokter Jihan.
Faizah hanya mengangguk lalu merenung dalam sepinya ruangan itu, bayangan wajah putrinya terus melintas di kelopak mata.
Ceklak.
Seseorang tengah membuka pintu tanpa bersuara, hanya terdengar langkah kakinya yang cepat hingga berdiri di samping Faiz.
"Abang..." Faiz tidak mampu berkata-kata hanya tangis yang menyambut sang suami, tapi Ahsan hanya menatap Faizah datar.
"Mana bayi di perut kamu, Faiz?" Ahsan melotot tajam ketika menyibak kain yang menutup perut Faizah.
Faizah menunduk sedih, Ahsan bukan menanyakan keadaannya setelah kecelakaan, tetapi justru meradang.
"Jawab Faizah!" Tandas Ahsan, mencengkeram rambut Faiz yang tertutup kerudung hingga terlepas, kemudian membuang kerudung berwarna putih itu ke lantai.
"Bayi kita meninggal, Bang," Faizah terisak-isak.
"Dasar istri tidak berguna!" Ahsan menatap Faiz tajam, tapi yang ditatap masih menunduk. Bahunya bergetar tidak bisa membendung aliran air mata. Membuat Ihsan semakin murka lalu mengangkat dagu Faiz hingga ketakutan.
"Sekarang juga kamu saya talak, Faiz" Ahsan melepas dagu Faizah kasar.
Faizah kaget lalu mendongak menatap Ahsan sendu. "Bang, jangan ceraikan aku Bang." Faizah menahan tangan Ahsan. Namun, Ahsan menghempas kasar lalu pergi meninggalkan Faizah.
Hancur sudah hati Faiz, Ahsan membuktikan ucapanya menceraikan disaat kondisinya seperti sekarang.
.
Seminggu berlalu setelah kecelakaan itu, Faizah sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Namun, Faiz kebingungan, jangankan untuk membayar rumah sakit, untuk ongkos pulang pun ia tidak punya uang sama sekali.
Faizah memaksakan berjalan ke ruang administrasi. "Maaf Mbak, saya belum bisa membayar biaya rumah sakit sekarang." Faizah mengatakan akan mencari pinjaman dulu, besok atau lusa akan kembali.
"Bagaimana ya Mbak, kami hanya menjalankan tugas." pria dan wanita penjaga loket itu tidak punya wewenang untuk menerima permintaan Faiz.
Faizah hanya termangu tidak bisa lagi memberi alasan. Saat sedang kebingungan, datang pria tampan kira-kira 35 tahun mendekati Faizah.
"Boleh saya bicara sama kamu sebentar?" Tanya pria rahang tegas berwibawa itu.
"Anda siapa?" Faizah balik bertanya, karena tidak merasa mengenal si pria.
"Ikut saya" si pria meninggalkan Faizah.
Faizah hanya memandangi pria itu dari belakang, bingung memutuskan, ikut atau tidak.
...~Bersambung~...
NB: "Semoga kalian suka dan betah ya, jangan lupa tinggalkan jejak. Like, komentar, vote dan juga kopi, supaya buna bersemangat. ❤❤❤
Faizah bingung memutuskan ketika pria tidak dikenal mengajaknya bicara entah ada keperluan apa. Ia menatap pria berpostur tinggi dan besar itu dari belakang. Faizah kaget ketika si pria menoleh ke arahnya menggerakkan tangan sebagai isyarat agar mengikuti.
Faizah pun akhirnya berjalan lambat mengikuti si pria dengan jarak yang agak jauh, hingga si pria duduk di ruang tunggu.
"Sebelumnya kenalkan dulu, nama saya, Barra." Barra mengenalkan diri.
"Saya Faizah." lirih Faizah. "Mau bicara apa Tuan mengajak saya kemari?" Faizah sudah tidak sabar.
"Kamu kan habis melahirkan, apakah asi kamu keluar banyak?" Tanya Barra tanpa sungkan menatap daster Faiz bagian dada yang basah.
Faizah terperangah, tanganya menurunkan kerudung yang menyingkap ke atas hingga nampak kedua gunungnya yang membesar karena menyimpan air asi. Faizah kaget dan bingung dari mana pria itu tahu jika ia baru melahirkan. "Banyak" jawabnya malu-malu.
"Bagaimana kalau kita kerja sama?" Tanya Barra seperti berbicara dengan calon mitra bisnisnya.
"Kerja sama? Kerja sama apa." Faizah memotong, tidak mengerti apa maksud pria berjenggot sedikit itu.
"Saya akan melunasi tagihan rumah sakit, dan menggaji kamu setiap bulan, asalkan kamu memberikan asi kamu untuk bayi saya selama 6 bulan."
Faizah tidak langsung menjawab, merasakan kedua buah dadanya yang terasa nyeri karena penuh asi, bahkan tumpah, sayang sekali jika tidak dimanfaatkan.
"Jangan lama-lama berpikir, jika kamu tidak mau punya hutang pada rumah sakit" Barra melirik Azizah yang berpikir terlalu lama, sedikit menggertak.
Faizah mengangkat kepala cepat. "Baiklah" Azizah akhirnya bersemangat. Dengan menyusui bayi tuan bara, tentu bisa mengobati rasa kehilangan terhadap putrinya, tidak lagi memikirkan biaya rumah sakit, dan mendapat gaji setiap bulan.
"Sekarang ikut saya." Barra berdiri cepat, berjalan lebih dulu diikuti Faizah.
Ruangan besar hanya orang-orang berduit yang bisa membayar, Faiz masuk ke ruang itu. Tangis bayi yang terdengar nyaring membuat dada Faiz sesak seketika ingat putrinya yang telah pergi.
Terdapat dua box di tempat itu, Faizah mendekati Barra yang tengah mengangkat satu bayi. Namun, Faiz terkejut ketika box yang satu lagi pun masih ada bayi yang menangis.
Ia meninggalkan Barra mendekati box bayi laki-laki tampan tengah menjerit-jerit. "Kembar..." ujar Faizah mengangkat bayi, walaupun sudah diayun tidak juga diam. Tentu saja bayi itu ingin menyusu.
"Cup cup sayang..." Faiz menyingkir dari Barra, membuka kancing baju daster kemudian menyusui, seketika bayi tampan itu diam. Ia menutup asetnya dengan kerudung, ketika Barra membawa bayinya yang masih menjerit-jerit ke arahnya.
"Letakkan di pangkuan saya Tuan" Faizah meletakkan tangan kanan di atas lutut sebelah kanan, Barra yang sudah tanggap meletakkan bayinya di pangkuan Faiz, bagian kepala di tangan kanan.
"Tolong Tuan Barra pergi dulu." Faizah tentu tidak mau Barra melihat aurat nya. Sebab, pria itu masih berdiri memandangi kedua putranya. Ia tidak percaya dengan kemampuan Faizah menyusui dua bayi sekaligus.
"Maaf Tuan" Faizah minta Barra cepat minggir, karena satu bayi justru mengencangkan tangis.
Barra pun menjauh tidak berkata-kata, hanya dalam hitungan detik, ruangan menjadi sunyi. Karena si kembar sudah diam. Barra tersenyum sendiri karena menemukan wanita tepat untuk menyusui si kembar.
"Selamat siang Tuan, saya membawa susu formula yang paling mahal, siapa tahu si kembar cocok dengan susu merk ini" masuk suster membawa susu formula merk berbeda yang sebelumnya, karena si kembar alergi dengan susu formula.
"Tidak usah." jawab Bara singkat lalu menoleh ke arah Faizah.
Suster mengikuti arah di mana Barra menoleh, menatap wanita berjilbab yang duduk di sofa, hanya nampak kepalanya saja. Suster pun akhirnya mendekat.
"Saya bantu Mbak." ujar suster ketika tiba di hadapan Faiz, Faizah nampak kesulitan ketika hendak menggendong si kembar yang sudah tidur pulas itu sekaligus.
"Terima kasih Sus" Faiz membiarkan suster menggendong satu bayi menidurkan di box, sementara ia menidurkan yang satu lagi.
"Sus, botol Dedek mana?" Faizah ingin menampung asi. Ia ingin pulang sebentar mengambil pakaian.
"Ada Mbak" Suster memberikan dua botol kepada Faizah. Faiz kembali duduk di tempat semula memeras asi. Setelah dua botol penuh, ia letakkan di box masing-masing.
Faizah lalu mendekati Barra yang tengah sibuk dengan handphone. "Tuan, Dedek sudah bobo, saya izin pulang mengambil pakaian sebentar." Izin Faizah ragu-ragu khawatir tidak diperbolehkan.
"Pulang?" Barra berpaling dari hape, menatap Faiz. Jelas dari raut wajahnya tidak membolehkan Faizah pergi walau sebentar, karena tidak ingin anaknya menangis jika terlambat minum asi.
"Jangan khawatir Tuan, saya sudah siapkan asi ke dalam botol." Faizah tahu apa yang Barra pikirkan.
"Jangan lama-lama." tegas Barra, lalu kembali menatap handphone.
Setelah diperbolehkan, gantian Faizah yang diam di tempat, karena berpikir sesuatu.
"Cepat berangkat" Barra tidak ingin Faizah terlambat, karena nanti sore waktunya pulang dari rumah sakit ini.
"Anu Tuan" Faizah menggaruk kepalanya, ia tersenyum untuk yang pertama kali, setelah seminggu ini selalu menangis.
"Anu apa?" Bara mengerutkan kening.
"Saya pinjam uang 50 puluh ribu boleh tidak, Tuan" Faizah sebenarnya malu, tapi dia butuh uang untuk transport.
Barra membuka dompet menarik uang berwarna merah memberikan kepada Faiz.
"Lima puluh ribu saja Tuan"
"Tidak ada receh."
"Terima kasih Tuan." Faizah hendak membuka pintu, tetapi menarik tangannya kembali lalu balik badan hendak menemui suster yang menunggu bayi di pinggir box.
"Mau kemana kamu? Keburu sore nanti." Barra lama-lama kesal juga.
"Saya mau pesan ojek tapi tidak bawa hape Tuan" Faiz bermaksud minta tolong suster untuk memesan ojek online.
Barra pun akhirnya mengetik handphone memesan ojek. "Sudah" ucapnya tanpa menatap wajah Faiz. Faizah mengucap terimakasih untuk sekali lagi, kali ini ia pergi. Tiba di depan rumah sakit, ojek sudah menunggu.
.
Tiba di rumah, Faizah mengetuk pintu tidak lama kemudian muncul wanita yang lebih muda darinya. "Siapa kamu?" Faizah kaget bukan kepalang, bercerai baru seminggu Ahsan sudah membawa wanita ke rumah.
"Saya istri Mas Ahsan " jawabnya ketus.
"Mau apa kamu datang kesini?!" Tandas Ahsan, yang baru muncul tanpa baju, hanya mengenakan celana kolor.
"Tidak ada salahnya saya datang kesini, toh separuh dari rumah ini milik saya." Faizah meyakini masih punya hak gono gini, karena rumah ini mereka bangun setelah menikah.
"Hahaha... separuh rumah ini milik kamu? Rumah ini dibangun dengan uang saya, karena saya yang mencari duit." Tukas Ahsan, lalu memeluk wanita yang katanya istri itu.
Faizah kecewa, marah, dan benci dengan pria yang pernah dia cintai itu. "Sekarang saya tahu Bang, alasan kamu menceraikan saya bukan karena saya terlambat punya anak bukan, tapi karena wanita lain."
...~Bersambung~...
Faizah berusaha untuk tidak menangis di depan Ahsan dan wanita barunya. Bohong, jika Faiz tidak merasa cemburu, karena selama tujuh tahun selalu tinggal satu atap, walaupun diperlakukan tidak baik.
Faizah tidak mau ribut yang hanya akan membuang waktu, karena harus cepat kembali ke rumah sakit. Kakinya berjalan cepat hendak ambil pakaian ke kamar yang seminggu lalu masih dia tiduri.
Namun, sebelum membuka lemari, Faiz membuka laci di mana sertifikat tanah ia simpan beberapa waktu yang lalu. Matanya menoleh ke belakang tidak ada siapapun, kemudian memasukkan sertifikat ke dalam daster. Bukannya apa-apa, tapi Faiz khawatir jika Ahsan menjual rumah itu lalu kabur, Faizah tidak akan mendapat apa-apa.
"Heh, mau apa kamu masuk ke kamar kami?" Ahsan akhirnya tiba di kamar, bersama istri barunya.
Namun, Faizah tidak menjawab, dia membuka lemari pakaian, tapi dadanya sesak ketika isi lemarinya sudah diganti dengan pakaian milik orang lain.
"Mana baju saya?!" Tandas Faizah, kali ini matanya mengembun karena Ahsan sudah keterlaluan.
"Sudah saya buang ke tempat sampah, jika kamu mau, korek-korek saja tempat sampah di luar sana." Ahsan lagi-lagi tertawa diikuti istri barunya.
"Keterlaluan kamu Bang, jika suatu saat nanti saya punya uang, akan mengambil jatah gono gini saya" Faizah benar-benar sudah hilang kesabaran.
"Hahaha... wanita pengangguran sepertimu dari mana mau dapat uang untuk menyewa pengacara." Ahsan tertawa meremehkan. "Sudahlah Faiz, kamu itu cocoknya menjadi gelandangan di luar sana." Lanjut Ahsan tidak punya perasaan.
Faizah tidak lagi menjawab, ia hendak keluar kamar, tapi langkahnya berhenti ketika tatapan matanya tertuju ke tangan wanita di sebelah Ahsan. Istri Ahsan rupanya menggunakan hape miliknya. Faiz tidak mau pulang tanpa sesuatu, lalu merebut handphone tersebut dengan mudah.
"Mas, hape aku..." istri Ahsan merengek manja.
Ahsan pun mengejar Faizah hendak merebut handphone, tapi secepatnya Faizah menarik kunci pintu depan dan menguncinya dari luar.
"Selamat bersenang-senang" ujar Faizah dari luar. Dia bawa kunci pintu, tidak peduli bagaimana caranya dua orang di dalam sana keluar. Sekarang sudah saatnya ia berontak, karena sudah terlalu sakit hati selama ini.
Faizah berhenti ketika melewati tempat sampah, kemudian memperhatikan apa benar kata-kata Ahsan jika pakaiannya dibuang.
"Astagfirullah..." Faizah tidak bisa untuk tidak menangis ketika melihat pakaiannya yang sudah campur dengan sampah busuk. Ia sedih, entah bagaimana nanti dia ganti pakaian, karena hanya daster yang melekat di badan yang ia punya. Itupun entah siapa yang mengganti ketika kecelakaan seminggu yang lalu.
"Hati-hati kamu Ahsan, Allah tidak tidur" Faizah menarik napas panjang. Ia memeriksa handphone hendak memesan ojek, bagusnya pasword belum diganti oleh istri Ahsan.
Setelah memesan ojek, Faiz menunggu dengan perasaan khawatir, jika Ahsan bisa keluar lalu berbuat ulah.
Allah melindungi Faizah, tidak lama kemudian ojek pun tiba.
"Mbak Aryani Faizah, bukan?" Tanya ojek yang sudah membuka helm.
"Benar Bang" Faiz menggunakan helm yang di sodorkan ojek, selanjutnya ojek berangkat hingga tiba di tempat yang dituju.
"Tidak ada kembalinya Mbak." kata ojek ketika Faizah menyerahkan uang 100 ribu.
"Yaah... terus..." Faiz tentu tidak akan memberikan uang itu semua, sebab sisanya untuk membeli keperluan lain. Faizah minta ojek untuk menunggu, lalu ke warung sebelah rumah sakit membeli perlengkapan mandi, tidak lama kembali membawa kantong plastik, selanjutnya membayar ojek yang seharusnya delapan belas ribu, ia bayar dua puluh.
Ketika berjalan ke ruangan si kembar, bekas Caesar terasa nyeri. Sebab, saat di rumahnya sampai lupa jika habis Caesar, berjalan terburu-buru menghindari kejaran Ahsan.
"Lama sekali Faiz" Barra menatap Faiz yang datang tidak membawa apapun menjadi curiga.
"Maaf Tuan" hanya itu jawaban Faizah, ia membungkuk ketika lewat di depan Bara karena khawatir si kembar menangis. Setelah melihat kembar masih tidur, Faiz mencuci tangan ke kamar mandi, sebelum si kembar bangun tangannya sudah bersih.
Faizah mengecek botol susu sudah kosong, sudah bisa dipastikan jika si kembar tadi bangun.
"Mana barang yang kamu ambil?" Barra tidak puas dengan kata 'maaf' lalu mendekat ke sebelah Faiz, tangannya menekan box.
"Baju-baju saya ternyata ada yang membuang Tuan." jawab Faiz memelas, ia sedih ketika ingatanya kembali ke tong sampah.
Barra tidak menjawab penuturan Faizah, ketika menatap mata Faiz sembab, lalu pergi begitu saja.
Faizah menatap kepergian Barra perasaannya seketika takut dan khawatir. "Kok malah pergi, jangan-jangan Tuan Barra marah." gumamnya, karena sudah diberi pekerjaan, tapi justru mengecewakan.
Faizah duduk di kursi mengecek bekas Caesar yang terasa nyeri, lalu minum obat. Siang ini sampai lupa.
"Oeeekk... Oeeek..."
Baru selesai terdengar bayi menangis, Faiz berdiri mendekati box. Kali ini hanya satu bayi yang bangun. "Sayang..." Faiz angkat bayi ke kursi mengajak bicara lalu menyusui sembari mengusap-usap kepala si bayi.
Faizah segera menutup aset dengan jilbab ketika pintu masuk ada yang membuka. Ia memandangi ke arah pintu Barra datang membawa banyak bawaan.
"Ini buat kamu Faiz" Barra meletakkan bawaan di atas meja.
"Apa itu Tuan? Kok banyak sekali." Faizah hanya bisa menatap barang dari jauh karena sedang menyusui.
"Baju buat kamu, nanti terus ganti ya. Baju kamu sampai kucel begitu" kata Barra perhatian lalu duduk tidak jauh dari Faiz.
Faizah memandangi lengan daster memang kucel. Namun begitu tidak bau, karena ketika menggunakan baju yang disediakan rumah sakit, Faiz menguceknya di kamar mandi.
Faizah melepas asetnya dari mulut bayi yang sudah bobo lalu menidurkan di box, kemudian kembali mengecek banyak paper bag.
"Terima kasih Tuan" Faizah kaget ketika mengecek paper bag, isinya pakaian berbeda model, dan muslim semua. Anehnya Barra sudah paham bagaimana seharusnya membeli pakaian untuk wanita yang menyusui. Kancing dan resleting bagian depan semua.
"Sudah, kamu ganti dulu sebelum Arrohman Arrohim bangun" titahnya. Ternyata si kembar diberi nama tersebut.
Faizah memilih salah satu baju, kali ini bukan daster lalu ke kamar mandi. Belum selesai ganti pakaian terdengar bayi menangis, Faiz cepat-cepat menyelesaikan kemudian ke luar.
"Biar saya beri asi Tuan" Faizah ambil alih Arrohman dari tangan Barra, setelah ambil tempat tersembunyi dia menyusui.
Waktu berganti sore, Faizah menggendong Arrohman, sementara Arrohim digendong Barra pulang ke rumah mewah.
Supir membuka kaca menekan remote pagar, setelah terbuka mobil mewah pun masuk ke halaman.
Kali ini gantian Bara yang menekan bel rumah, wanita muda membuka pintu lalu membungkuk menyilakan tuanya yang diikuti Faiz masuk.
"Sudah pulang?" Tanya wanita yang muncul dari kamar.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!