NovelToon NovelToon

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Amanah Terakhir

Udara pagi di kawasan desa di Jawa Timur, terasa sejuk namun menyimpan kepedihan. Di teras rumah keluarga Haji Ibrahim, Azam duduk dengan wajah gelisah. Lelaki tampan berusia dua puluh sembilan tahun itu dikenal sebagai sosok cerdas, tegas, dan lembut pada orang tua. Tapi hari ini, wajahnya menyimpan keraguan.

“Abi sungguh ingin aku menikahinya?” tanyanya pelan, menatap ayahnya dengan mata penuh tanya.

Haji Ibrahim mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Sebelum meninggal, sahabat Abi menitipkan putrinya. Namanya, Nayla Azahra. Abi tahu hidupnya berantakan, tapi amanah harus ditunaikan, Zam.”

Azam terdiam. Ia belum mengenal Nayla selain dari namanya. Tapi sebagai anak sulung, ia tak pernah menolak titah ayahnya, apalagi jika itu berkaitan dengan amanah.

Nayla datang dengan gaun putih, wajahnya cantik namun menyimpan sorot kosong. Hatinya terbelah, antara terpaksa dan bingung harus ke mana lagi. Hidup bebas telah membuatnya lelah. Tapi dinikahi pria sebaik Azam?rasanya tak pantas, dan ia tahu itu.

Malam pertama mereka bukan malam penuh cinta, tapi keheningan. Azam terlalu sopan untuk menyentuhnya, tapi cukup tajam untuk tahu: ada banyak luka yang dibawa Nayla.

Malam pertama mereka hanya diisi percakapan ringan. Azam memilih tidur di kursi panjang dekat jendela, dan Nayla hanya menatap punggungnya dalam diam. Ia tahu, kehadirannya terlalu mengejutkan untuk Azam.

Pagi itu, mentari menyapa pelan dari balik jendela kamar mereka yang sederhana. Suara burung bersahutan di halaman, dan aroma kopi yang diseduh Azam memenuhi ruangan. Ia duduk di meja makan dengan senyum ringan, menatap Nayla yang masih kikuk mengenakan mukena setelah salat subuh.

“Nay...” panggilnya lembut.

Gadis itu menoleh, ragu. Sudah dua bulan mereka menikah, tapi ia masih belum terbiasa dengan kelembutan Azam. Terlalu kontras dengan kehidupan yang pernah ia jalani. Terlalu tulus untuk seseorang sepertinya.

“Ayo sarapan. Aku buatkan roti bakar, tapi kalau rasanya aneh, jangan salahkan suamimu,” ujarnya berseloroh ringan.

Azam tertawa kecil. “Kalau enak, baru aku puji istriku?”

Nayla hanya tersenyum malu. Senyuman yang perlahan menghapus kegugupan, meski tidak sepenuhnya.

Hari-hari mereka berjalan damai. Azam selalu bersikap lembut, tak pernah marah, apalagi meninggikan suara. Ia memperlakukan Nayla dengan penuh hormat, seakan masa lalu gadis itu tak pernah ada. Malam-malam mereka diisi obrolan ringan tentang langit, buku, dan kadang… tentang Allah.

Namun ada satu hal yang selalu dijaga Azam: ia tak pernah menyentuh Nayla.

Bukan karena tak menginginkannya, tapi karena ia tahu Nayla belum siap. Ia tahu dari sorot mata Nayla—ada trauma, ada luka, ada ketakutan yang belum pulih.

“Azam…” suatu malam Nayla bertanya lirih, “Kenapa kamu tidak pernah menuntut apa pun dariku? Maksudku… sebagai suami…”

Azam menoleh, lalu tersenyum tenang. “Nayla, aku menikahimu bukan untuk memaksa. Tapi untuk menemani prosesmu. Kalau belum siap, aku tak akan menyentuhmu. Cinta yang dipaksa hanya akan melahirkan luka baru.”

Kata-kata itu membuat dada Nayla sesak. Bukan karena sakit, tapi karena haru. Di saat ia merasa paling kotor, seorang pria sebaik Azam justru memperlakukannya seolah ia berharga.

Hari-hari itu adalah hari-hari yang penuh ketenangan. Dua bulan yang tenang. Dua bulan yang hampir membuat Nayla percaya, mungkin ia masih pantas dicintai.

Malam itu hujan turun pelan di atap rumah mereka. Di ruang tengah, Azam duduk dengan buku tafsir di pangkuan. Seperti biasa, setelah Isya ia mengisi waktu dengan membaca atau menulis catatan kecil. Tapi malam ini berbeda. Nayla datang mendekat, membawa secangkir teh hangat dan hati yang bergetar.

“Azam...” panggilnya pelan.

Lelaki itu menoleh, meletakkan bukunya, menatap Nayla penuh perhatian. “Iya?”

“Aku...” Nayla menunduk. Tangannya gemetar sedikit saat menyodorkan teh. “Aku ingin berubah. Tapi aku gak tahu caranya. Bolehkah... kamu ajari aku jadi istri yang baik? Seperti yang diajarkan Rasulullah?”

Azam tak langsung menjawab. Ia memandang perempuan di hadapannya dengan hati yang diam-diam terharu. Ia tahu, itu bukan pertanyaan ringan. Itu permintaan dari jiwa yang ingin pulang.

“Boleh,” jawabnya akhirnya, lembut. “Tapi ini bukan proses instan, Nay. Butuh waktu, butuh sabar.”

“Aku siap. Asal kamu bimbing aku.”

Azam mengangguk pelan. Ia membuka buku kecilnya dan mengambil Al-Qur’an yang ada di rak.

“Rasulullah pernah bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suaminya ketika dipandang, taat ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suami dalam hal yang tidak disukainya. (HR. An-Nasa’i). Tapi kamu harus tahu, Islam tidak menuntutmu jadi sempurna. Yang Allah lihat adalah prosesmu menuju-Nya.”

Nayla menyimak dengan penuh perhatian.

“Kamu tahu, Allah berfirman dalam QS An-Nisa ayat 34:

‘Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...’

Azam menatap Nayla dalam-dalam.

“Dari sini kita belajar, bahwa istri adalah amanah, dan suami punya tanggung jawab membimbing. Tapi istri juga punya peran besar. Ketaatan, kesetiaan, menjaga kehormatan saat suami tidak ada, dan merawat rumah tangga adalah bagian dari ibadah.”

Nayla menunduk. Ada butiran hangat di ujung matanya.

“Jadi aku harus mulai dari mana?”

Azam tersenyum. “Dari hal yang paling sederhana. Shalat tepat waktu, belajar membaca Al-Qur’an, menjaga lisan, dan niatkan setiap pekerjaanmu sebagai ibadah. Aku akan temani kamu.”

“Terima kasih, Zam…” suaranya nyaris berbisik. “Kamu terlalu baik untukku.”

Azam menggeleng pelan. “Belum tentu. Tapi semoga Allah ridha pada perjalanan kita.”

Malam itu, untuk pertama kalinya Nayla merasa... ia punya harapan. Bahwa meskipun ia datang dari kelamnya masa lalu, cahaya selalu bisa ditemukan—asal ada yang mau menuntun.

Pagi harinya, rumah kecil mereka diselimuti ketenangan. Usai salat Dhuha, Azam membawa mushaf dan duduk di ruang tengah. Ia menunggu Nayla yang sudah berjanji ingin belajar Al-Qur’an pagi ini.

Tak lama, Nayla datang dengan mukena putih yang sederhana, wajahnya polos tanpa riasan, tapi matanya memancarkan semangat yang baru. Azam menepuk lantai di sampingnya, mempersilakan.

“Mulai dari surat apa?” tanyanya lembut.

“Al-Mulk,” jawab Nayla pelan.

Azam mengangguk. “Silakan.”

Nayla membuka mushaf, menarik napas pelan, lalu melafazkan:

Tabārakalladzi biyadihil-mulku wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr.

Azam terdiam.

Nayla melanjutkan ayat demi ayat, suaranya lembut, merdu, tajwidnya nyaris sempurna, makhraj hurufnya keluar dengan tepat. Seolah-olah bukan kali pertama ia membaca ayat itu. Bukan bacaan seorang pemula.

Saat Nayla mengakhiri ayat ke-5, Azam menatapnya, tak menyembunyikan keterkejutannya.

“Kamu bilang... mau belajar dari awal,” katanya pelan.

Nayla menunduk, tersenyum kecil. “Iya. Aku ingin belajar lagi. Tapi bukan berarti aku benar-benar lupa semuanya.”

“Bacaan kamu bagus sekali. Marātilnya rapi, suara kamu... indah. Seperti koriah.”

Nayla tersenyum samar. “Dulu aku pernah mondok waktu MTS, di Pesantren Al-Ma’arif, dekat Kediri. Tapi... setelah lulus, semuanya berubah.”

Azam menyimak, tak memotong.

“Ayah sama Ibu meninggal karena kecelakaan waktu aku baru lulus. Karena aku anak tunggal dan gak punya saudara dekat, aku akhirnya ikut Bibi di Jakarta—adik dari almarhumah Ibu. Awalnya baik-baik saja... sampai aku mulai kenal dunia luar yang... kelam.”

Nayla menunduk, suaranya gemetar.

“Aku mulai ikut teman-teman ke tempat yang bukan-bukan. Awalnya cuma penasaran, tapi lama-lama aku tenggelam. Sampai aku lupa siapa aku, lupa dulu aku pernah hafal Juz Amma, pernah jadi santri, pernah bangun malam buat tahajud... semuanya hilang karena aku lebih pilih dunia.”

Azam tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Nayla dengan sorot mata yang lembut—bukan menghakimi, tapi penuh iba dan pengertian.

“Aku malu, Zam,” Nayla melanjutkan, “Sebenarnya aku gak pantas baca ayat-ayat itu lagi. Mulutku kotor, hatiku penuh dosa. Tapi aku ingin kembali. Kalau Allah masih mau menerimaku.”

Azam menarik napas panjang. “Nayla, kamu tidak kehilangan Allah. Kamu hanya menjauh sebentar. Tapi sekarang kamu datang lagi—dan itu yang paling penting.”

Nayla terisak pelan. Azam mengulurkan tisu tanpa berkata apa pun.

Malam itu, mereka tak hanya membuka mushaf, tapi juga membuka lembaran hati. Lembaran masa lalu yang tak lagi untuk dikhawatirkan, tapi dijadikan pijakan menuju masa depan.

Isak yang Ditelan Dinding

Nayla menatap bayangan dirinya di cermin. Sudah lebih dari tiga bulan sejak ia menikah dengan Azam. Tiga bulan penuh liku—tapi juga penuh harapan. Azam memperlakukannya dengan lembut, membimbingnya dengan sabar, mengajarinya kembali mengenal Allah. Hari demi hari, Nayla mulai percaya… bahwa mungkin, dirinya masih bisa dicintai.

Dan malam itu, Nayla merasa siap.

Ia tahu ia tak sempurna. Tapi ia ingin belajar menjadi istri seutuhnya—jasmani dan rohani. Ia ingin memberikan dirinya, bukan sebagai penebus masa lalu, tapi sebagai tanda kepercayaan.

Ketika Azam masuk ke kamar, Nayla menunduk malu. Ia tak mengucap kata. Ia hanya memeluk lelaki itu pelan. Dalam diam, Azam membalas. Tak ada kalimat cinta, hanya tarikan napas yang saling mencari kehangatan.

Malam itu, tubuh mereka mulai saling mendekat. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan, Azam membuka sekat yang selama ini ia jaga. Dan Nayla pun pasrah, berusaha menjadi istri yang utuh.

Tapi semuanya berubah dalam sekejap.

Di tengah proses yang seharusnya sakral dan mengikat batin, Azam tiba-tiba berhenti. Ia menarik diri seolah disentuh oleh sesuatu yang menjijikkan.

Hening. Nafas keduanya tercekat.

Azam bangkit, duduk di tepi ranjang, punggungnya menegang, wajahnya tak berani menatap. Ia tidak bicara sepatah kata pun.

Dan Nayla tahu.

Ia tahu… bukan karena Azam lelah. Bukan karena ia tak ingin. Tapi karena Azam baru saja menyentuh masa lalunya—secara fisik, dan menyadari satu hal: Nayla bukan lagi perempuan suci.

Nayla menarik selimut, memeluk tubuhnya sendiri. Rasa malu menelanjanginya lebih dalam dari apa pun.

Azam masih diam, menunduk dalam kekacauan pikirannya sendiri.

“Maaf,” Nayla berkata lirih. “Aku tahu... kamu jijik.”

Azam menoleh pelan, ada luka yang sulit didefinisikan di matanya.

“Kenapa kamu gak bilang dari awal?” suaranya hampir tidak terdengar.

Nayla menahan tangis. “Aku... cuma ingin tahu, sampai sejauh apa kamu bisa menerimaku. Aku takut kamu gak akan pernah menyentuhku kalau kamu tahu dari awal. Tapi malam ini, kamu membuktikan... aku benar.”

Azam tak menjawab.

“Bahkan tanpa kamu berkata apa pun,” lanjut Nayla, “aku tahu jawabannya dari caramu menarik diri.”

Malam itu, dua hati yang sempat mendekat kembali menjauh. Bukan karena kurang cinta, tapi karena luka yang belum selesai. Luka yang muncul bukan dari permukaan tubuh, tapi dari dalam jiwa yang masih berperang antara menerima dan menolak.

Dan bagi Nayla, tak ada hal yang lebih menyakitkan… daripada menyadari bahwa ia masih tidak cukup bersih—bahkan untuk disentuh oleh suaminya sendiri.

Hari-hari di rumah itu berubah. Jika dulu ada canda kecil di sela sarapan, kini yang terdengar hanyalah suara sendok bertemu piring, atau langkah kaki Azam yang terburu-buru keluar rumah.

Azam semakin dingin. Terlalu dingin.

Ia tak lagi menatap Nayla seperti dulu. Tak lagi menanyakan kabar, apalagi menyentuh tangan atau mengajak bicara tanpa sebab. Yang ada hanyalah diam. Kaku. Jauh.

Namun Nayla tetap bertahan. Ia mengisi kesepian itu dengan kesungguhan.

Setiap pagi, ia bangun sebelum subuh, menyiapkan sarapan, menyetrika kemeja kerja Azam, merapikan tas dosennya, hingga menyelipkan botol minum dan roti dalam tas kerja Azam. Meski tak pernah disentuh, Nayla tetap melakukannya.

Azam hanya akan keluar kamar setelah wudhu, mengambil sarapan dalam diam, lalu pergi tanpa menoleh. Kadang mengucap, “Assalamu’alaikum.” Kadang tidak.

Pernah suatu malam, hujan turun deras. Jarum jam sudah melewati pukul sebelas malam, tapi Azam belum juga pulang. Ponselnya aktif, tapi tidak diangkat.

Saat akhirnya pintu terbuka, tubuh Azam basah kuyup. Nayla berlari kecil, mengambil handuk, menyodorkannya.

“Kamu kehujanan,” ucapnya pelan.

Azam menerima handuk itu tanpa menatap. “Aku habis dari kampus. Ada diskusi sama tim penelitian.”

Itu saja. Lalu ia masuk kamar, menutup pintu. Nayla berdiri di depan pintu itu beberapa detik, menatap gagang pintu seperti menanti jawaban yang tak kunjung datang.

Malam demi malam berlalu. Seisi rumah seperti museum—bersih, tertata, rapi, tapi mati. Tak ada kehangatan, tak ada cerita, tak ada pelukan atau sapaan hangat. Hanya rutinitas yang dijalankan Nayla tanpa keluh.

Ia tidak menuntut. Tidak memaksa. Tapi ia berharap.

Namun setiap kali Azam pulang larut, atau memilih tidur di ruang kerja, harapan itu seperti ranting kecil yang patah oleh angin sepi.

Nayla tahu, Azam belum bisa menerima dirinya. Mungkin tidak akan pernah. Tapi ia juga tahu, selama masih menjadi istri, tugasnya adalah memberi, bukan meminta.

Dan ia akan terus bertahan… sampai Allah sendiri yang menunjukkan arah jalan pulang bagi hatinya.

Malam itu rumah hening seperti biasa. Hanya suara hujan tipis mengetuk genteng. Azam baru pulang dari kampus, jam menunjukkan pukul 10 malam lebih. Ia membuka pintu rumah dengan pelan, meletakkan payung dan tas kerjanya di meja samping pintu.

Aroma masakan yang hangat menyambutnya—semangkuk sup ayam yang ditutup rapi di meja makan, dan sepiring nasi putih dengan tulisan kecil di secarik kertas: “Hangatkan kalau dingin, aku tunggu di kamar.”

Azam membaca tulisan itu sebentar, lalu meletakkannya tanpa ekspresi. Ia tidak lapar. Atau mungkin, ia menolak merasa lapar.

Langkahnya hendak langsung ke kamar kerja, tapi suara pelan dari arah dapur menghentikannya.

Ia berjalan pelan ke sana.

Cahaya lampu dari ruang tengah cukup terang untuk melihat sosok Nayla duduk di lantai dapur, punggungnya bersandar pada lemari es. Mukena masih melekat di tubuhnya, tangannya memeluk lutut, wajahnya tenggelam dalam isak tertahan.

Azam berdiri dalam bayang temaram pintu. Ia melihat semuanya.

Nayla menangis.

Tak meraung, tak meledak—hanya air mata yang jatuh diam-diam, dengan napas terisak lirih, seolah menangis pun harus ia sembunyikan.

Azam ingin melangkah. Ingin menyapa. Tapi kakinya berat. Entah oleh apa—marah, kecewa, atau egonya sendiri.

Ia memilih berbalik, kembali ke kamarnya. Pintu ditutup pelan.

Di dalam kamar, Azam duduk di tepi ranjang. Pandangannya kosong, tapi pikirannya penuh. Gambaran wajah Nayla yang menangis tak mau lepas dari benaknya. Tapi ia tetap diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Malam itu, dua hati kembali tertidur dalam jarak yang tidak terukur. Dan bagi Nayla, malam itu menjadi titik kesadaran bahwa luka yang tak diobati… hanya akan membuat keduanya perlahan mati dari dalam.

Pagi itu langit tampak sendu, seperti menyimpan tangis yang belum sempat turun. Nayla tengah menyapu teras ketika Bu Rahmah—tetangga depan rumah yang sudah seperti ibu sendiri—datang membawa semangkuk sayur bening.

“Ini buat kamu, Nak,” ucap Bu Rahmah sambil tersenyum ramah.

Nayla menyambutnya dengan senyum kecil, walau matanya masih tampak bengkak. “Terima kasih, Bu… repot-repot banget.”

“Bukan repot. Ibu cuma pengin kamu tetap makan yang hangat. Badanmu kelihatan makin kurus.”

Nayla tertawa kecil, getir. Ia menunduk, menyembunyikan genangan air di matanya. Tapi Bu Rahmah sudah terlalu peka.

“Kamu habis nangis lagi, ya?”

Nayla diam.

“Mau cerita sama Ibu?”

Butuh beberapa detik bagi Nayla untuk menjawab. Ia menarik napas, lalu duduk di bangku teras, memeluk lutut seperti anak kecil yang sedang bingung.

“Bu… aku tuh, dulu bukan perempuan baik. Banyak hal yang... aku sesali. Tapi aku nggak bisa balik ke masa lalu. Dan sekarang, suamiku… kayak nggak bisa nerima aku apa adanya.”

Bu Rahmah duduk di samping Nayla, menepuk pelan bahunya. “Nak, dengar ya… Allah itu Maha Menerima taubat. Siapa kita sampai tak mau memberi kesempatan, kalau Allah saja membuka pintu-Nya selebar langit dan bumi?”

Nayla menggigit bibirnya. “Tapi Bu, aku ngerasa… kotor. Gimana caranya aku jadi istri yang baik kalau suamiku sendiri jijik sama aku?”

“Ibu gak bilang prosesnya gampang, Nak. Tapi jalan pulang itu selalu ada. Bahkan saat kamu terjatuh, Allah tetap tunggu kamu. Bukan untuk menghukum, tapi untuk membimbing.”

“Lalu harus dari mana aku mulai?”

Bu Rahmah tersenyum. “Mulai dari niat. Kalau kamu memang mau berubah karena Allah, bukan karena ingin diterima manusia, insyaAllah jalan itu akan terbuka. Mungkin sekarang waktunya kamu bukan berharap dicintai suamimu, tapi dicintai Tuhanmu.”

Nayla terdiam. Kata-kata itu menembus ke dalam hatinya seperti tetesan embun yang menyejukkan luka.

Mungkin selama ini ia terlalu sibuk berharap dicintai Azam, sampai lupa mencari kembali cinta yang lebih abadi—cinta Allah.

Dan pagi itu, Nayla akhirnya memantapkan hati. Jika rumah ini terlalu sempit untuk menampung proses perubahannya, maka ia akan pergi. Bukan untuk kabur, tapi untuk memperbaiki diri. Untuk kembali ke jalan yang pernah ia tinggalkan.

Sunyi yang Menampar

Pagi itu, matahari baru naik setengah ketika aroma nasi uduk dan ayam goreng memenuhi dapur rumah kecil mereka di Sidoarjo. Nayla bergerak lincah—menyiapkan sarapan seperti biasa, mengiris timun, meracik sambal, lalu menyusun semuanya di atas meja makan.

Azam keluar dari kamar, rapi dengan kemeja putih dan dasi gelap. Ia duduk tanpa banyak kata.

“Pagi, Mas,” ucap Nayla pelan, menyodorkan teh hangat.

“Pagi,” jawab Azam singkat, pandangannya tetap pada ponsel.

Mereka makan dalam diam. Nayla beberapa kali mencuri pandang ke wajah suaminya. Hatinya bergetar—ingin bicara, tapi takut. Ingin jujur, tapi tak yakin didengar. Maka ia memilih diam, menyimpan semua kata dalam dada.

Setelah sarapan selesai, Nayla memberanikan diri.

“Mas Azam... hati-hati di jalan,”

Azam hanya mengangguk. “Iya.” Lalu ia pergi.

Dan itulah terakhir kalinya Azam melihat Nayla hari itu.

Pukul sepuluh malam.

Azam pulang seperti biasa—lelah, tubuhnya terasa berat. Ia membuka pintu rumah dengan pelan. Tapi yang menyambutnya bukan aroma masakan hangat atau langkah lembut Nayla.

Rumah itu gelap. Sepi. Sunyi.

“Nay...?” panggil Azam, meletakkan tas kerja. Tak ada sahutan.

Ia menyalakan lampu ruang tengah. Ruangan itu rapi, bersih, seperti biasa. Tapi terasa hampa.

Lalu matanya tertuju pada meja makan. Di sana, satu piring nasi putih yang sudah dingin dan lauk lengkap masih tertutup tudung saji. Dan di sampingnya—sepucuk surat putih.

Azam perlahan menghampiri.

Ia duduk. Membuka tudung saji. Ada semur ayam, tumis buncis, dan sup bening. Makan malam yang sempurna. Tapi entah kenapa, rasanya dingin bahkan sebelum disentuh.

Dengan tangan bergetar, Azam membuka surat itu.

Mas Azam...

Terima kasih karena pagi tadi masih mau duduk bersamaku di meja makan, meski hanya dalam diam.

Maafkan aku, karena tidak cukup kuat terus berharap. Aku lelah jadi bayangan dalam rumah ini. Aku tak ingin pergi dengan marah, karena hatiku penuh cinta untukmu. Tapi aku juga tak ingin memaksa diriku terus bertahan di tempat yang tak menerimaku.

Maaf jika caraku pergi tidak benar di matamu. Tapi izinkan aku pergi… bukan untuk kabur dari kamu, tapi untuk pulang kepada diriku yang dulu pernah hilang.

Aku ingin belajar menjadi wanita yang Allah cintai. Bukan hanya istri yang kamu harapkan.

Selama ini aku terlalu sibuk berharap bisa menyembuhkan luka hatimu, sampai aku lupa luka dalam diriku sendiri belum pernah aku rawat.

Aku ingin belajar agama lagi, belajar mengenal Allah yang sabar mendengarkan tangisku di malam-malam panjang. Aku tahu kamu kecewa padaku. Mungkin aku memang bukan wanita yang pantas untukmu. Tapi aku ingin pantas… setidaknya di hadapan Allah.

Doakan aku, Mas Azam.

maaf izin panggil kamu Mas.

Jangan khawatir, aku tak akan membebanimu. Aku hanya ingin menjadi lebih baik, meski mungkin bukan lagi untukmu.

Terima kasih karena pernah bersedia menerimaku di hari pertama. Aku tidak akan lupa.

Aku titip kenangan kita yang singkat. Dan aku titip diriku… dalam doa-doamu, jika kau masih sudi menyebut namaku di hadapan Tuhanmu.

Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku, walau hanya sebentar.

Nayla Azahra.

Azam menggenggam surat itu lama. Dadanya sesak oleh rasa yang sulit ia kenali—perih, bingung, marah, sekaligus kosong. Ia memejamkan mata, mengembuskan napas dalam.

Azam diam. Matanya menatap surat itu lama. Jemarinya meremas kertas yang kini terasa lebih berat dari buku-buku tebal yang biasa ia baca di ruang dosen.

Rumah ini kini benar-benar gelap. Bukan karena lampu… tapi karena seseorang yang diam-diam telah menjadi cahaya itu… telah pergi.

Azam masih duduk di kursi meja makan. Surat dari Nayla ada di tangannya, tak berubah posisi sejak setengah jam lalu. Piring berisi makan malam itu tak tersentuh, uapnya sudah menghilang. Dingin. Seperti rumah ini. Seperti hatinya.

Ia menghela napas. Berat. Hampa.

Kepalanya menunduk, menatap nasi yang Nayla siapkan dengan cinta untuk terakhir kalinya. Tangan Nayla yang halus, yang setiap pagi dengan sabar menyetrika bajunya, kini entah di mana. Suara lembutnya yang setiap pagi mengucap, "Hati-hati, Mas," kini tinggal gema di dinding rumah.

Azam menutup matanya. Tapi yang muncul justru bayangan Nayla yang diam-diam menangis di dapur, punggungnya menghadap, bahunya bergetar halus. Ia melihat itu… beberapa malam lalu. Tapi berpura-pura tak tahu.

Dan kini ia menyesal.

“Bodoh…” gumamnya pelan, penuh sesal. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. “Kenapa aku diam aja waktu itu…”

Ia berdiri, melangkah ke kamar mereka. Kasur masih rapi, tapi bantal di sisi Nayla terlihat basah. Air matanya… mungkin baru tadi pagi.

Azam terduduk di sisi ranjang, meremas seprai. Dadanya panas. Matanya mulai memerah.

Ia bukan lelaki cengeng. Tapi malam ini... air matanya jatuh. Bukan karena kehilangan semata, tapi karena ia sadar, dirinya sendiri yang mendorong Nayla pergi.

Ia terlalu sibuk menjaga lukanya, sampai lupa bahwa di hadapannya adalah perempuan yang ingin sembuh, bukan perempuan yang ingin dihukum.

Azam mengambil mukena Nayla yang masih tergantung di balik pintu, lalu memeluknya. Wangi lembut sabun dan jejak air mata Nayla masih tertinggal di sana.

“Maafin aku, Nayla…” bisiknya pelan, patah, pecah.

Di luar, hujan turun perlahan. Seakan langit tahu, rumah itu sedang menangis.

Tiga hari berlalu sejak Nayla pergi.

Tiga pagi tanpa suara sendok yang berdenting. Tanpa wangi teh hangat. Tanpa langkah lembut yang menyapu lantai. Tanpa senyum ragu Nayla saat berkata, “Sarapan, Mas...”

Azam kini bangun pagi hanya karena alarm. Makan seadanya, tak jarang hanya secangkir kopi yang tak habis diminum. Rumah itu bersih… tapi terasa seperti museum. Mati. Dingin. Tanpa jiwa.

Hari ketiga, Azam memberanikan diri membuka lemari Nayla. Sebagian baju masih tertata rapi. Hanya beberapa yang hilang—mukena, gamis sederhana, dan buku catatan kecil yang dulu Nayla bawa saat mengaji.

Azam mendesah. Kali ini lebih panjang. Lebih berat.

Sore harinya, ia duduk di beranda. Pandangannya kosong menatap hujan yang turun tipis.

“Pak Azam...”

Sebuah suara lembut memanggilnya dari balik pagar. Bu Rini, tetangga sebelah yang selama ini dekat dengan Nayla, berdiri dengan senyum ramah.

Azam berdiri, menghampiri. “Iya, Bu?”

“Saya... cuma mau titip pesan dari Nayla.”

Azam menegang. “Dia sempat ke rumah Ibu?”

Bu Rini mengangguk pelan. “Pagi itu, setelah Mas Azam berangkat kerja. Dia sempat mampir. Bawa tas besar. Nangis, tapi senyum. Dia bilang mau pergi belajar lagi. Mau pulang... bukan ke tempat yang dulu, tapi ke Allah.”

Azam tercekat.

“Dia minta maaf, katanya selama ini Ibu udah banyak bantu. Saya tanya dia mau ke mana, dia cuma jawab... ‘ke tempat yang bisa bikin hati saya sembuh, Bu.’”

Azam menggenggam pagar. Matanya mulai panas lagi. Tapi ia tahan.

Bu Rini menepuk lengannya pelan. “Kalau Mas Azam sayang dia, cari dia. Tapi kalau belum siap, doakan saja. Karena perempuan seperti Nayla… tak lari untuk kabur, tapi untuk tumbuh.”

Azam mengangguk. Lirih. Tak ada kata-kata yang cukup mewakili gejolak di dadanya.

Malam itu, Azam membuka mushaf yang lama tak disentuh. Lalu duduk di ruang tamu. Membaca… meski terbata. Ia mulai menyadari sesuatu: mungkin, sebelum mencari Nayla, ia harus lebih dulu menemukan dirinya sendiri. Dan itu dimulai dari sini—dari tempat yang dulu ia tinggalkan: Allah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!