NovelToon NovelToon

Fate Between

1

Ia adalah iblis

Yang haus akan kematian

***

 

 

Thunder, hanya mendengar nama itu, dunia hitam sudah gempar. Pembunuh berdarah dingin, tak kenal ampun, tak pernah ragu mencabut nyawa lawannya, tak terkalahkan. Ialah yang dikenal dengan malaikat kematian di dunia hitam. Thunder, bukanlah sesuatu yang akan dihadapi dengan senang hati oleh para penjahat jalanan. Thunder, adalah apa yang mereka sebut kematian. Jika mereka berhadapan dengan Thunder, mereka tidak akan lagi punya kesempatan untuk melihat matahari esok hari.

***

"Thunder datang!" Suara panik itu menarik perhatian orang-orang yang sedang bertarung di jalanan.

Kontan, puluhan orang itu berlari kocar-kacir dari lokasi perkelahian. Namun setidaknya, ada empat belas orang yang akhirnya tidak sempat melarikan diri. Mereka gemetar ketika sosok tinggi tegap dengan rambut panjang berwarna cokelat madu yang diikat sembarangan, tampak berantakan, muncul di bawah lampu jalan.

"Bukankah ini daerah kekuasaanku?" Suara itu terdengar lebih dingin dari es.

Belasan orang yang tersisa nyaris tak kuat berdiri. Mereka tidak tahu jika ini masih daerah kekuasaan Thunder. Tadinya mereka tidak berkelahi di sini, tapi salah satu lawan mereka berlari kemari. Hingga akhirnya, mereka pun melanjutkan perkelahian di sini.

Thunder menghela napas berat. Ia berjalan mendekat ke tempat orang-orang yang sudah ketakutan itu.

"Aku tidak ingin polisi membuat alasan untuk mengobrak-abrik daerahku. Tapi, jika kalian berkelahi di sini, itu akan membuat mereka punya alasan untuk melakukan hal yang paling kubenci itu," sengit Thunder.

"Tapi ... tadi kami tidak membuat keributan di sini. Kami ..."

"Tak jauh dari sini," sela Thunder tajam. "Bukan begitu, Hans?"

Salah seorang dari keempat belas orang itu, lantas mendesah. Ekspresi ketakutannya berubah menjadi ekspresi santai tatkala ia menghampiri Thunder.

Ketiga belas orang lainnya menatap orang yang kini berdiri di samping Thunder dengan ngeri. Mereka tadi berlari ke sini karena mengejar orang itu. Ketiga belas orang itu, berasal dari dua kubu yang berkelahi. Namun, kini mereka menyadari, pria tinggi dengan rambut hitam pendek itu bukan berasal dari kubu mana pun di antara mereka. Pria itu ... adalah salah satu orang Thunder.

"Semakin banyak pertarungan di sekitar sini, polisi akan mulai berulah. Aku tidak suka jika mereka mengusik hidupku," Thuder berkata lagi.

Ketiga belas orang itu menatap Thunder ngeri. Thunder tidak suka, dan itu berarti tidak ada kesempatan hidup bagi mereka. Namun bagaimanapun, mereka tidak akan diam saja jika Thunder memang ingin membunuh mereka.

Salah seorang dari ketiga belas orang itu berinisiatif untuk menyerang Thunder lebih dulu. Thunder mendengus kecil seraya menghindari tinju pertama yang mengarah padanya. Ia menatap Hans sekilas, memberi isyarat agar pria itu pergi. Hans tak membantah dan meninggalkan lokasi dengan langkah santai.

Thunder tersenyum kejam pada orang yang baru menyerangnya. Sedikit perlawanan tidak akan membuat Thunder kalah. Thunder tidak terlahir untuk itu. Sejak awal, ia ada untuk menang. Sejak awal, ia ada untuk ini. Bertarung, membunuh, dan menang. Ia sudah mulai menikmati perannya bahkan ketika ia masih berumur lima belas tahun. Itu adalah tahun pertamanya menikmati kematian lawan-lawannya.

***

"Ini pasti perbuatan Thunder lagi." Detektif polisi bernama Sam itu mendesah lelah menatap korban-korban yang ditumpuk di sudut jalan dekat kantor polisi, dalam keadaan tak bernyawa.

"Menurut warga, semalam memang ada tawuran di daerah kekuasaan Thunder. Tapi menurut mereka, awalnya tidak ada pria berambut panjang, yaitu Thunder, di sana. Tawuran itu bubar justru karena Thunder datang, lalu tak ada yang berani menyaksikan kejadian selanjutnya," lapor salah satu polisi.

Sam menghela napas berat. Thunder. Ia tak mengerti kenapa anak itu begitu keras kepala. Sam pernah menghubunginya, memintanya bekerja sama, dengan membiarkan orang-orang yang terlibat tawuran, atau para penjahat jalanan itu tetap hidup agar hukum bisa bertindak atas mereka. Namun, ia hanya mendengus meledek. Meledek Sam, meledek hukum di negara ini.

Pertarungan antar geng mafia di negara ini memang semakin mengerikan sejak empat tahun lalu. Puncaknya adalah, kematian seorang Hilario. Bahkan saat itu, polisi tidak bisa bertindak karena mereka tak segan membunuh polisi yang melibatkan diri dalam pertarungan mereka. Hukum bahkan tak berkutik ketika para geng mafia itu membuat hukum mereka sendiri.

Empat tahun lalu, adalah tahun yang paling mengerikan dalam sejarah mafia di kawasan ini. Dua geng mafia besar bertarung terang-terangan, hingga berujung pada kematian salah satu Hilario. Dari yang Sam dengar, Hilario yang meninggal adalah kakak Thunder. Namun, kengerian dunia hitam itu tidak hanya berhenti sampai di situ.

Kedatangan Thunder kemudian membuat lawan mereka tidak berkutik. Anak itu, bahkan di usianya yang masih sangat muda, memiliki kemampuan dan kekuatan mengerikan. Kelompok Jackal, musuh besar Hilario, dikejutkan dengan kemunculan Thunder. Mereka menyebut anak itu dengan sebutan Anak Iblis. Karena Thunder, tak sedikit pun ragu untuk membunuh lawannya.

Namun bahkan setelah kehancuran Jackal, beberapa geng lain, Thorn, Zora dan yang lain, juga menjadi korbannya. Siapa pun yang membuat keributan, Thunder membunuhnya. Ia bahkan tidak memberi kesempatan pada para polisi untuk melakukan tugas mereka. Thunder menghukum orang-orang itu dengan kematian. Thunder membuat hukumnya sendiri, dan menjadi algojo kematian. Ialah sang malaikat kematian di dunia hitam.

Sejak kehadiran Thunder, para geng jalanan semakin berhati-hati. Thunder tampaknya tak terlalu suka dengan para mafia yang bekerja terang-terangan menentang hukum, hingga menarik perhatian polisi. Thunder, adalah tipe orang yang suka bertindak dalam kegelapan. Tampaknya ia punya misi untuk menjalankan dunia hitam di bawah tanah. Sementara orang-orang menikmati dunia mereka yang tenang, di bawah, Thunder mungkin sedang merencanakan kematian orang-orang itu.

Meskipun Thunder menghancurkan geng-geng mafia lainnya, tapi bukan berarti dunia lantas aman. Thunder, bagaimanapun juga, adalah seorang penjahat. Dia membereskan kejahatan kecil di sekitarnya, hanya untuk menciptakan kejahatan yang lebih besar. Dan Sam tak berani membayangkan jika Thunder berhasil mewujudkan rencananya itu.

Seseorang seperti Thunder, bisa menghancurkan siapa pun yang ia inginkan. Termasuk negara ini.

***

"Jackal, lagi?" Thunder mendengus.

"Mereka kembali," desah Carlos. Hizo 'Carlos' Hilario, ketua geng Hilario, menatap putranya yang bahkan belum genap dua puluh tahun itu dengan lelah. Menghadapi orang-orang itu membuatnya geram, mengingat apa yang mereka lakukan pada Ryuya 'Light' Hilario, putra tertuanya.

"Siapa yang mereka punya sekarang?" Suara Thunder terdengar merendahkan.

"Stanton punya banyak uang. Sepertinya ia baru saja mendapatkan mangsa baru. Salah satu perusahaan milik Orchid Group. Mereka baru berganti kepemimpinan. Direktur baru perusahaan itu, sepertinya cukup loyal padanya. Stanton tampaknya berhasil memperdayainya," urai Carlos jengah.

"Dia memang licik, dan semakin licik setiap detiknya," desis Thunder penuh kebencian. "Aku akan membereskan ini secepatnya. Kurasa aku hanya perlu menunggu mereka bergerak lebih dulu, dan aku akan menghabisi mereka. Aku akan membuatnya angkat kaki dari dunia hitam, atau lebih baik lagi, dari dunia ini."

Carlos menatap putra bungsunya itu dengan bangga. Thunder ada di sana ketika Light meninggal. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah kematian Light, Thunder sudah menjelma menjadi malaikat kematian yang ditakuti di dunia hitam. Carlos mengerti kesedihan putranya itu, tapi orang-orang seperti mereka, tidak akan pernah punya waktu untuk bersedih.

Orang-orang seperti mereka, hanya harus memastikan dunia hitam aman untuk mereka kendalikan sepenuhnya, sebelum kemudian, mengendalikan negara ini sepenuhnya dengan kekuasaan tunggal mereka. Menciptakan dunia baru yang bersih dari kemunafikan. Dunia baru yang lebih baik. Dunia baru yang bersih dari orang-orang tidak berguna. Bersih dari pemerintahan yang bahkan tak bisa melakukan apa-apa ketika rakyatnya berteriak menderita.

Carlos tersenyum kejam.

"Aku menunggu kabar baik darimu," katanya pada Thunder, sebelum ia berdiri dan meninggalkan ruang kerjanya, membiarkan Thunder mengenang kembali amarahnya tatkala Jackal membunuh Light di depan matanya.

***

Thunder tersenyum. Bukan senyum hangat ataupun ramah, melainkan senyum kematian yang akan mengantar orang-orang itu pada kematian. Senyum kejam Thunder, adalah hal terakhir yang akan mereka lihat sebelum mereka mati. Mungkin orang-orang itu akan merasa lebih baik jika mereka tahu, kematian mereka bisa membuat seseorang tersenyum, seperti yang dilakukan Thunder saat ini.

Thunder menikam jantung lawan dengan belatinya. Ia masih tersenyum ketika melihat kengerian di mata musuhnya. Ia tak pernah tahu, apa yang orang-orang ini takuti dari kematian? Bukankah kematian, adalah tempat yang lebih damai? Namun, bahkan meskipun Thunder sangat ingin menemui kematian, ia tidak bisa melakukannya sekarang. Masih ada yang harus ia lakukan sebelum ia pergi ke tempat yang lebih nyaman itu.

Thunder masih menikmati melihat ketakutan dan kengerian musuh-musuhnya, saat Thunder mengantar mereka pada kematian. Seandainya mereka tidak setakut itu pada kematian, mungkin Thunder tidak akan membunuh mereka. Thunder hanya ingin melakukan apa pun yang membuat mereka takut. Thunder sangat menikmati saat-saat ia bisa melihat ketakutan itu di wajah mereka. Saat mereka melihat Thunder, saat mereka mati di tangan Thunder ....

Itulah alasan Thunder bertahan hidup selama ini.

***

"Tidak!!!" Teriakan itu membuat Thunder menoleh dari lawannya. Seorang gadis remaja berlari ke arah Thunder, atau tepatnya, ke arah lawan Thunder yang sudah meregang nyawa dengan belati Thunder tertancap di perutnya.

Thunder mendecih kesal seraya menarik belatinya. Ia hanya perlu menunggu semenit atau dua menit untuk melihat sorot kehidupan di mata pria itu lenyap. Namun, membunuh gadis kecil itu urusan lain. Thunder tidak pernah membunuh anak kecil sejauh ini.

Thunder berbalik dan melangkah pergi meninggalkan jalanan, sementara ia mendengar tangisan gadis remaja itu.

"Kakak ... Kakak ...." Isakan gadis itu mengusik Thunder.

Tahukah gadis itu orang seperti apa kakaknya? Tahukah gadis itu, kejahatan apa yang dilakukan kakaknya? Tahukah gadis itu ...

Tidak, ia pasti tidak tahu. Gadis malang itu pasti tidak tahu apa-apa.

Thunder sempat menoleh ke belakang sebelum ia masuk ke dalam mobil di ujung jalan. Gadis itu membungkuk di atas pria yang sudah nyaris mati tadi, menangis tersedu. Bahkan dari tempatnya, Thunder bisa mendengar tangisan memilukannya. Thunder menyipitkan mata tak suka mendengar kata-kata gadis itu berikutnya,

"Kakak, jangan tinggalkan aku. Aku tidak punya siapa pun selain Kakak. Jangan tinggalkan aku, Kak .... Jangan pergi ..."

"Jaga dirimu ... baik-baik ..."

Thunder tersentak ketika tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya.

"Light ..." Thunder membisikkan nama kakaknya dengan suara bergetar.

"Aku menyayangimu ... dan aku bangga padamu ..."

Thunder terpaku di tempatnya, menatap gadis itu menangis di atas tubuh kakaknya yang sudah tak bernyawa. Dan, ia seolah kembali ke masa lalu.

***

 

 

 

2

Tapi tidak semua orang

Mau menjadi manusia

Beberapa lebih suka hidup

Dengan cara yang lebih rendah dari binatang    

 

 

 

 

Beberapa tahun lalu ...

"Kenapa kau ikut? Aku hanya akan berbicara dengan mereka. Daripada menghabiskan waktu denganku, sebaiknya kau berlatih lagi," kata Light pada Thunder ketika Thunder berkeras untuk ikut dengannya.

"Aku belum pernah ikut untuk melihatmu berbicara dengan musuh-musuhmu. Bukankah ini bisa menjadi pelajaran untukku juga? Jadi, di masa depan, aku juga bisa berbicara, dan bukan hanya menghajar musuh-musuhku," balas Thunder.

Light tertawa kecil mendengar jawaban adiknya. "Baiklah, tapi kau hanya boleh memperhatikan saja. Dalam situasi seperti ini, kita perlu mengadakan negosiasi. Mereka sudah bertindak terlalu jauh, dan tampaknya, kekerasan sama sekali tak bisa membuat mereka mengerti. Mungkin dengan mengadakan negosiasi ini, mereka setidaknya mau sedikit saja bekerja sama."

Thunder tersenyum puas. "Tapi, mereka orang jahat. Apa mereka benar-benar bisa diajak bernegosiasi?"

"Orang jahat sekalipun, pasti memiliki hati nurani, kan? Teror mereka ini sudah sangat keterlaluan. Sudah ada banyak korban tak bersalah di sini, dan mereka harus tahu itu," urai Light.

Thunder mengangguk-angguk. Kakaknya memang calon ketua klan yang hebat. Tidak hanya jago berkelahi, ia juga pintar berbicara, dan ia masih memiliki hati nurani. Terkadang Thunder berpikir, Light sama sekali tidak cocok di dunia hitam seperti ini. Thunder membayangkan kakaknya itu duduk di kantor perusahaan milik ayah mereka, mengenakan stelan putih, layaknya seorang direktur, lalu seorang sekretaris masuk ke ruangannya, mengantar berkas-berkas. Seperti yang Thunder lihat di kantor ayahnya saat ayahnya bekerja.

Kehidupan nyaman dan aman seperti itu tampak lebih cocok bagi Light. Mungkin suatu hari nanti, jika Thunder sudah cukup kuat, ia akan membagi tugas dengan kakaknya. Ia akan mengurus para mafia, sementara kakaknya berkonsentrasi mengurus perusahaan keluarga mereka. Itu terdengar lebih baik. Membayangkan itu, Thunder tak dapat menahan senyumnya.

***

"Lepaskan kakakku!" teriak Thunder marah.

Ketua geng Jackal, seorang pria berwajah kejam dengan luka gores yang cukup dalam di pipi kirinya, tersenyum keji ke arah Thunder.

"Tapi, kakakmu bersalah," pria itu berkata. "Berani sekali dia menerobos kawasanku dan memerintahku untuk ... melihat akibat dari perbuatanku?" Pria itu mendengus.

"Dia hanya ingin agar kau melihat bahwa orang-orangmu sudah sangat keterlaluan. Mereka membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Mereka ..."

"Aku senang mereka melakukannya," potong pria itu. "Justru, itu lebih baik bagi gengku. Dan kau, jika kau masih ingin hidup, pulanglah ke rumah dan mengadulah pada ayahmu."

Thunder menatap pria itu dengan geram. "Tidakkah kau punya hati nurani? Bahkan seorang penjahat sekalipun ..."

"Siapa yang mengucapkan omong kosong seperti itu?" dengus pria itu.

"Kakakku!" balas Thunder angkuh.

Pria itu tertawa. "Hati nurani?" Ia menatap Thunder dengan geli. "Baiklah, ayo. Akan kubawa kau menemui orang yang mengatakan omong kosong itu padamu. Kau akan melihat bagaimana hati nurani akan menolongnya."

Thunder mengerutkan kening tak mengerti, tapi ia mengikuti pria itu masuk ke dalam sebuah ruangan. Namun kemudian, Thunder terbelalak melihat Light ada di tengah ruangan, duduk terikat di sebuah kursi, wajahnya terluka, lebam dan berdarah, dan pakaiannya berlumur darah.

"Light!" jerit Thunder melihat keadaan kakaknya yang mengerikan. Ia kini bisa melihat darah menembus pakaian Light yang sudah koyak, robek oleh benda tajam.

Light yang mendengar suara Thunder menoleh menatapnya dengan cemas. Tatapannya berpindah ke pria yang membawa Thunder ke sana tadi, tampak penuh kebencian.

Thunder terbelalak ngeri ketika seorang wanita mendekati Light, dengan belati di tangannya.

"Sayang sekali aku harus membunuh pria tampan dan pemberani sepertimu," ucap wanita itu seraya mengarahkan belatinya ke leher Light.

"Tidak!" teriak Thunder seraya hendak berlari menolong Light, tapi pria yang tadi membawanya kemari menahannya. "Lepaskan aku! Lepaskan kakakku!" teriak Thunder marah.

"Jika kau ... ingin membunuhku ... jangan biarkan ... dia melihatnya ..." ucap Light dengan susah payah.

Pria yang memegangi Thunder tertawa sinis. "Dia harus tahu, apa yang akan terjadi pada orang yang terlalu berani, dan memiliki hati nurani."

Light menatap pria itu geram, lalu ia menatap Thunder dengan cemas.

"Thunder, tutup matamu. Jangan melihat ..." ucap Light cepat.

Thunder menggeleng. "Tidak, lepaskan kakakku!" Ia berteriak pada wanita yang memegang belati itu.

Wanita itu mendengus. "Anak malang," gumamnya. "Harus melihat kematian kakaknya yang menyedihkan."

"Kumohon ... bawa dia pergi ..." Light menatap pria yang memegangi Thunder dengan penuh permohonan, putus asa.

Namun, pria itu hanya tersenyum. Senyum dingin dan keji.

"Bunuh dia!" perintah pria itu.

"Tidak!!!" teriak Thunder ngeri.

Lalu, di depan matanya, Thunder melihat wanita itu menikam jantung Light. Kaki Thunder seketika kehilangan kekuatannya. Thunder jatuh berlutut, matanya nanar menatap wajah kakaknya yang berusaha menahan sakit.

Namun, tidak cukup sampai di situ, Thunder masih harus melihat orang-orang itu melingkarkan tali di leher Light.

"Jangan! Lepaskan kakakku!" teriak Thunder seraya hendak berlari ke arah Light, tapi dua orang bertubuh besar menahannya. "Tidak! Jauhkan tanganmu dari kakakku!" teriaknya marah ketika orang-orang itu mengeratkan tali di leher Light.

Light terbatuk begitu tali di lehernya melonggar. Wajahnya memerah. Thunder bisa merasakan kemarahan luar biasa mendapati dirinya tak bisa melakukan apa pun untuk menolong kakaknya. Air mata kemarahan, kebencian, luka, mengalir di wajahnya.

"Hati nurani ... tidak bisa menyelamatkanmu ketika kau berhadapan denganku." Suara kejam itu datang dari pria dengan luka di pipi kirinya, pria yang menjadi pusat kemarahan Thunder saat ini.

"Apakah kita akan menggantungnya? Atau kita akan menusuk jantungnya hingga tewas? Atau mungkin, menembak kepalanya saja?" Suara itu tak sedikit pun terdengar kasihan.

Thunder menggeram marah. "Lepaskan kakakku!" ia berteriak, membuat pria kejam itu kembali tertawa.

"Cathy, kau bisa memberinya satu kenang-kenangan lagi, lalu biarkan dia mati kehabisan darah di sini, dengan adiknya melihat kematiannya yang tragis, dengan mata kepalanya sendiri," pria itu berkata pada wanita yang kemudian menarik belatinya dari dada Light, untuk kemudian, mendaratkan belati itu ke perut Light.

"Tidak!!!" teriak Thunder seraya memberontak dari pegangan kedua pria besar di kanan kirinya.

Suara tawa memenuhi ruangan. Tawa kejam, tawa yang membuat amarah Thunder sampai di titik batasnya.

Thunder berteriak marah ketika dia menendang salah satu dari pria besar yang memegangingnya, membuat pria itu tersungkur karena tendangan Thunder mendarat keras di perutnya.

Pria yang satu lagi, tampak terkejut. Dan sebelum dia sempat melakukan apa pun, Thunder menendang tulang keringnya, membuatnya sedikit membungkuk dan pegangannya melonggar. Thunder menarik tangannya dari pria itu, lalu dia melompat dan mendaratkan tendangan tumit ke tengkuk pria itu, membutnya tersungkur.

Suara senjata dikokang di seluruh ruangan membuat Thunder waspada. Ia menatap sekelilingnya, lalu menatap pria kejam yang kini menyipitkan mata menatap Thunder, tampak tertarik.

"Tinggalkan dia di sini untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakaknya. Lalu, kirim mereka ke ayah mereka. Dengan begitu, dia akan tahu, siapa yang dia hadapi," perintah pria itu, sebelum kemudian dia berbalik dan meninggalkan ruangan.

Thunder sudah hendak mengejarnya ketika ia mendengar Light memanggil namanya keras, dengan kekuatan terakhirnya,

"Thunder!"

Thunder berbalik dan menatap kakaknya yang menggeleng. Darah mengalir dari sudut mulutnya. Thunder mengepalkan tangan, sementara seluruh tubuhnya gemetar oleh amarah. Ia seolah bisa merasakan rasa sakit Light ketika wanita kejam bernama Cathy itu menarik belatinya dari tubuh Light. Dengan santai, wanita itu membersihkan darah Light di belati pada pakaian Light, sebelum menyusul pria kejam tadi. Berikutnya, satu-persatu orang-orang di ruangan itu meninggalkan Thunder hanya berdua dengan Light.

Thunder berjalan dengan susah payah ke tempat kakaknya. Kakinya seolah terikat beban berat yang menahannya di tempat. Akhirnya, ia jatuh berlutut begitu tiba di depan kakaknya.

"Kau ... hebat ..." ucap Light pelan. "Aku benar-benar ... bangga padamu ... Thunder ..."

Thunder menggertakan giginya, menahan amarah. Ia bahkan tak bisa melakukan apa pun untuk menolong kakaknya.

"Katakan pada Ayah ... aku tidak pernah ... menyesal ..." ucap Light dengan susah payah.

Kata-kata Light menyadarkan Thunder. Ia harus segera membawa Light keluar dari sini agar bisa segera diobati.

"Kau akan mengatakannya sendiri pada Ayah," balas Thunder seraya berdiri, lalu berjalan ke belakang Light, melepaskan tali yang mengikat Light. Tangannya terkepal menahan amarah ketika melihat darah mengalir di tengkuk Light. Kepala Light juga terluka.

"Tidak, Thunder ..." Light berkata. "Aku ... tidak punya banyak waktu ..."

"Jangan bicara lagi!" bentak Thunder. Ia tidak mau mendengar omong kosong Light saat ini. Ia tidak mau mendengar ucapan perpisahan Light. Setelah melepaskan semua tali yang mengikat Light, Thunder berpindah ke sisi kakaknya, mengalungkan lengan Light ke bahunya.

"Thunder ..."

"Kau tidak akan mati sekarang!" teriak Thunder marah. "Kau tidak boleh mati!" Thunder menatap kakaknya dengan marah, seiring dengan air mata jatuh satu-persatu di wajahnya.

Light tersenyum. "Kenapa kau ... jadi cengeng begini ...?"

Thunder menatap Light dengan kesal. Ini sama sekali bukan saatnya ia menggoda Thunder seperti biasanya. Saat ini ...

"Thunder, kau tahu ... aku tidak akan bisa ... bertahan dengan keadaan seperti ini. Karena itu ..."

"Jangan ..."

"Jangan membantahku!" Bentakan Light membungkam Thunder seketika. "Ini mungkin kesempatan terakhirku ... berbicara denganmu. Karena itu ... jangan membantahku lagi, dan dengarkan aku ..."

Thunder tak ingin menuruti kata-kata Light, tapi kini ia juga sudah tak sanggup lagi berbicara. Lehernya tercekat oleh emosi.

"Katakan pada Ayah ... aku bangga menjadi putranya. Aku senang ... bisa melakukan ini untuknya. Aku tidak pernah menyesal ... hidup dengan cara seperti ini. Tidak pernah ..." ucap Light.

Thunder menatap kakaknya dengan sedih. Air matanya berjatuhan tanpa sanggup dicegahnya.

Light tersenyum, tangannya terulur, menghapus air mata di wajah Thunder.

"Dan kau ... ada begitu banyak ... yang ingin kusampaikan padamu. Aku ingin ... bisa menjagamu lebih lama. Aku ingin ... bisa melihatmu tumbuh dewasa. Aku ingin ... berada di sampingmu lebih lama. Tapi, aku ... sepertinya harus meninggalkanmu sekarang. Maaf ... maafkan aku ..." ucapnya seraya tersenyum sedih. Air mata Thunder kembali berjatuhan tanpa sanggup ditahannya.

"Thunder, setiap manusia ... memiliki hati nurani. Tapi tidak semua orang ... mau menjadi manusia. Beberapa ... lebih suka hidup ... dengan cara yang lebih rendah dari binatang. Kau ... jangan pernah menjadi seperti mereka. Karena kelak ... kau akan menyesalinya. Penyesalan ... yang tak akan pernah bisa kau lupakan. Penyesalan ... yang tak akan pernah bisa dimaafkan, bahkan oleh dirimu sendiri.

"Kau ... orang yang baik. Mulai saat ini ... kau yang harus menjaga Ayah. Dan ..." Light menepuk kepala Thunder lembut, menatap adiknya itu dengan sayang. "Jaga dirimu ... baik-baik. Aku menyayangimu ... dan aku bangga padamu ..."

Light tersenyum, senyum hangat yang biasa ia berikan pada Thunder, senyum yang tak akan pernah bisa dilihat Thunder lagi setelah ini. Karena kemudian, Light memejamkan mata, sebutir air mata jatuh ke wajahnya yang penuh luka, dan seluruh beban tubuhnya terlimpah pada Thunder.

"Light ..." panggil Thunder. Namun, Light tak menjawab, tak juga membuka mata. Tidak. Light tidak pernah tidak menjawabnya. Light selalu datang kapanpun Thunder memanggilnya. "Light ..." Thunder kembali memanggil, tapi tak ada reaksi. Bahkan ketika Light dalam bahaya pun, ia selalu datang jika Thunder memanggilnya. Bahkan di tengah pertarungan pun, Light akan datang jika Thunder memanggilnya.

"Kakak ..." Suara Thunder bergetar. Ia terisak pelan. Namun, Light tetap bergeming. "Kakak ..." Thunder mengguncang tubuh Light. "Kakak ..." Thunder berusaha membuat Light berdiri sendiri, tapi Light kembali terjatuh ke arahnya.

"Kakak ..." isak Thunder seraya memeluk kakaknya. "Kakak ..."

Sekarang, tidak ada lagi Light yang akan menggoda Thunder hingga kesal. Tidak ada lagi Light yang akan tersenyum hangat pada Thunder. Tidak ada lagi Light yang akan datang secepat mungkin begitu Thunder memanggilnya. Tidak ada lagi Light yang akan menasehatinya dengan sabar. Tidak ada lagi Light yang akan menertawakan Thunder. Tidak ada lagi Light yang akan menjaganya. Tidak ada lagi Light ....

***

Thunder masih menatap gadis itu. Ketika ia kehilangan Light, ia mungkin seusia gadis itu. Ketika kehilangan Light, ia mungkin sama menyedihkannya dengan gadis itu. Ketika kehilangan Light, ia mungkin sama hancurnya dengan gadis itu. Ketika Thunder kehilangan Light, ia seolah lupa bagaimana caranya menjadi manusia.

"Thunder, setiap manusia ... memiliki hati nurani. Tapi tidak semua orang ... mau menjadi manusia. Beberapa ... lebih suka hidup ... dengan cara yang lebih rendah dari binatang. Kau ... jangan pernah menjadi seperti mereka. Karena kelak ... kau akan menyesalinya. Penyesalan ... yang tak akan pernah bisa kau lupakan. Penyesalan ... yang tak akan pernah bisa dimaafkan, bahkan oleh dirimu sendiri."

Kata-kata Light bergaung di telinga Thunder.

"Light ..."

***

 

 

 

 

3

Tempat di mana kau tak perlu berpura-pura

Sebuah tempat untuk pulang

Kau bisa menyebutnya rumah 

***

 

 

Sepuluh tahun kemudian ...

Di perempatan jalan menuju rumahnya, Joanna mendesah lelah melihat perkelahian di hadapannya. Setidaknya, ada empat orang yang kini berkelahi, atau lebih tepatnya mengeroyok, seorang pria yang sudah jatuh tersungkur di trotoar. Joanna mendecakkan lidah kesal seraya menghentikan mobil dan melangkah cepat ke arah perkelahian.

Tanpa mengatakan apa pun, Joanna menarik salah satu dari pengeroyok itu, mendaratkan pukulan keras di wajahnya. Berikutnya, sebuah tendangan keras didaratkannya di perut pria itu, membuat pria itu tersungkur di jalan beraspal. Ketiga temannya yang lain lantas menghentikan kesibukan mereka dan menatap Joanna.

"Tidakkah kalian mendengar dari teman-teman kalian untuk tidak membuat ribut di kawasanku?" sengit Joanna seraya menatap kesal ketiga pria lainnya.

Ketiga pria itu saling berpandangan, lalu menatap Joanna.

"Kau pikir kau siapa?" Salah satu dari mereka berbicara dengan menantang.

Joanna mendengus. Preman baru di sekitar sini. Baiklah. Joanna tak merasa perlu menjawab pertanyaan itu, tapi kemudian, ia menarik pria yang menantangnya tadi, lalu mendaratkan tinjunya tepat ke hidung pria itu, membuat pria itu berteriak kesakitan.

"Kau ..." geramnya ketika mendapati hidungnya berdarah.

Joanna mengedikkan bahu. Ia mundur, lalu dengan jarinya, ia menantang mereka.

Dua pria lain yang belum sempat merasakan tinju Joanna, maju bersamaan. Joanna menunduk untuk menghindari serangan pria pertama, lalu menyapukan kakinya untuk menjatuhkan pria kedua. Ia berbalik dan kembali menghindari serangan pria pertama, lalu melompat dan menendang dada pria itu, membuat pria itu terdorong mundur.

Ketika pria kedua sudah kembali berdiri, ia menerjang ke arah Joanna. Seketika, Joanna kembali menunduk, lalu mendaratkan tinju di perut penyerangnya. Ketika pria itu terdorong mundur, Joanna melakukan tendangan berputar, menghantam leher pria itu, membuatnya jatuh ke aspal, dan mungkin pingsan, karena kemudian ia tak bangun lagi.

Pria pertama yang kini menatap Joanna dengan ngeri, berusaha berdiri dengan susah payah, untuk kemudian melarikan diri begitu saja. Sementara pria yang hidungnya berdarah tadi, tampaknya punya harga diri yang cukup tinggi, karena kemudian ia maju dan memasang kuda-kuda.

Joanna berdehem. "Aku sudah biasa melihat para pria lari ketakutan ketika menghadapiku. Aku tidak akan menertawakanmu jika kau lari," katanya.

Pria itu tampak marah, lalu ia pun menerjang ke arah Joanna, membuatnya harus mundur menghindari serangan. Joanna lantas menghantamkan sikunya ke lengan pria itu, lalu dengan sikunya yang lain, dia menghajar wajah pria itu. Joanna menarik pria itu, untuk menendang kakinya, membuat pria itu langsung jatuh berlutut seraya mengerang kesakitan.

Joanna mengabaikan kata ampun dari pria itu dan mendaratkan tendangan berputar yang telak menghantam pipinya, sebelum pria itu jatuh tak sadarkan diri. Setelahnya, Joanna segera menghampiri pria yang menjadi korban pengeroyokan tadi. Joanna mengerutkan kening melihat rambut cokelat muda, pendek, kumal dan berantakan pria itu. Sepertinya anak jalanan, meski tampaknya juga bukan lagi anak kecil. Joanna terkesiap ketika pria itu mendongak, menunjukkan wajah babak belurnya pada Joanna.

"Astaga, kau tampak seperti seorang pencuri yang baru saja dihajar massa," komentarnya.

Bibir pria itu berkedut kecil.

"Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang," kata Joanna kemudian.

Pria itu menggeleng. "Aku ... tidak tahu harus pulang ke mana," ucapnya pelan. "Aku tersesat dan ... bertemu mereka tadi ..."

Joanna mendesah berat. Pria ini berbeda dengan anak-anak jalanan lain, membuat Joanna sedikit waspada untuk menawarinya tempat tinggal. Jika tubuh pria ini tidak sebesar ini, Joanna mungkin tidak akan ragu menawarinnya tumpangan. Toh ia sudah sering melakukannya. Namun, pria ini ...

Dia bahkan babak belur melawan keempat pria lemah itu, Joanna berkata dalam hati. Benar juga. Tubuh besar bukan berarti ia bisa berkelahi. Jika ia tidak bisa mengalahkan keempat pria yang mengeroyoknya tadi, bagaimana mungkin ia akan berbahaya bagi Joanna.

Dengan pemikiran itu, akhirnya Joanna memutuskan, "Ikutlah ke rumahku. Kau bisa menunggu di sana sampai aku bisa menemukan rumahmu."

Pria itu menatap Joanna muram. "Tapi, aku ... tidak punya rumah ..."

Joanna tertegun. Ia mengamati penampilan pria itu. Kaos hitam kumal, dengan jeans belel dan sepatu keds kumal. Joanna penasaran, untuk seorang anak jalanan, ia tidak bisa disebut anak jalanan. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Namun, untuk ukuran pria dewasa yang hidup di jalanan, ia bahkan tak bisa membela dirinya sendiri.

"Kau bisa tinggal di rumahku untuk sementara waktu, sampai kita menemukan teman-temanmu," putus Joanna.

Seharusnya pria ini punya teman untuk dihubungi. Seharusnya.

***

"Kau membawa anak jalanan lagi?" Suara itu datang dari salah seorang anak yang berkerumun di ruang tengah, tampak sibuk dengan play station.

"Dia bahkan bukan anak-anak," anak lain menyahut.

Joanna menatap kelima anak yang ada di ruang tengah itu dengan kesal. "Bukankah kalian akan terlambat bekerja? Dan apakah kalian sudah menyelesaikan tugas sekolah kalian?" interogasinya.

Kelima anak itu mengerang tak rela, tapi kemudian mereka berdiri dan berjalan menghampiri Joanna.

Anak yang paling tua, George, berusia tujuh belas tahun, melapor, "Jam kerja kami masih satu jam lagi. Kami sudah menyelesaikan tugas sekolah dan sedang beristirahat setelah merapikan gudang, ketika kau datang dan mengganggu kesenangan kami."

Joanna menahan senyum gelinya melihat kekesalan di wajah anak itu. "Kalau begitu, setengah jam lagi kalian harus bersiap-siap. Aku tidak mau ada laporan dari Dorothy kalau kalian terlambat kerja," katanya.

"Siap, Cap!" balas mereka kompak, membuat Joanna tak dapat menahan senyum gelinya. Lalu, empat dari kelima anak itu kembali ke pos mereka, sibuk dengan play station mereka, sementara George masih tinggal di tempatnya dan kini mengawasi pria yang dibawa Joanna.

"Dia ... siapa?" tanya George ragu.

Joanna menoleh ke belakang, mendapati pria itu tampak sibuk mengamati keempat anak yang sedang bermain play station.

"Aku juga belum bertanya namanya. Tapi, dia tidak punya rumah, dan aku menemukannya babak belur dihajar preman baru di perempatan jalan sana. Kurasa tidak ada salahnya membawanya ke rumah sampai teman-temannya datang menjemput dia," terang Joanna.

George menatap Joanna tak setuju. "Jika kau terus membawa orang asing ke rumah ini, kau bisa membahayakan dirimu sendiri. Tidak semua orang itu baik dan bisa dipercaya," tegurnya.

Joanna mendengus geli. "Aku tahu. Aku sudah hidup delapan tahun lebih lama darimu, ingat?" Joanna berbalik dan berjalan ke arah dapur.

George mendecakkan lidah kesal, masih tak rela. Ia kembali menatap pria yang ditolong Joanna tadi. "Jika sampai kau menyalahgunakan kepercayaan dan kebaikan Joanna, aku akan menghajarmu lebih parah dari ini," katanya sungguh-sungguh.

Pria itu tampak kaget, tapi ia mengangguk. Joanna mendengus geli, tatapannya berpindah pada George, lalu ia memberi isyarat agar George kembali bergabung dengan keempat anak lainnya. Ia lalu menoleh ke belakang, menyadari pria itu masih tampak terkejut menatap kelima anak itu, dan mendengus pelan.

"Kau mau terus di sini, atau ikut denganku agar aku bisa mengobati luka-lukamu dan menghubungi teman-temanmu?" tawar Joanna.

Pria itu gelagapan, tapi kemudian dia menatap Joanna. "Maaf, aku ..."

Joanna mengibaskan tangannya santai. "Ayo," katanya seraya memimpin pria itu berjalan ke arah dapur.

***

"Tidak ada rumah?" tanya Joanna seraya menempelkan plester terakhir di kening pria itu.

Pria itu menggeleng.

"Tidak ada keluarga?" Joanna kembali bertanya.

Pria itu, lagi-lagi menggeleng.

"Tidak ada teman?" Joanna mau tak mau bersimpati juga pada pria itu, apalagi ketika pria itu kembali menjawab dengan gelengan.

"Lalu apa yang kau lakukan di sini?" tanya Joanna tak tega.

"Aku ... melarikan diri dari rumah majikanku," kata pria itu.

Joanna mengerutkan kening. "Melarikan diri dari rumah majikanmu? Apa yang terjadi sebenarnya?"

Pria itu menatap Joanna ragu. "Kau tidak akan mengantarkanku ke polisi, kan?"

"Tidak, jika kau memang tidak bersalah," sahut Joanna.

Pria itu menarik napas dalam. "Aku sudah tinggal bersama majikanku sejak aku kecil. Dia selalu menyuruhku melakukan pekerjaan berat, dan juga selalu menyiksaku. Aku ... sudah tidak tahan lagi tinggal di sana. Jadi, aku ... begitu ada kesempatan, aku melarikan diri," ceritanya.

Joanna menatap pria itu dengan iba. "Kau benar-benar tidak punya keluarga?"

Pria itu menggeleng. "Saat aku kecil, aku berada di panti asuhan, hingga aku diadopsi oleh orang yang menjadi majikanku. Sejak saat itu, aku tidak pernah keluar rumah kecuali untuk ke proyek bangunan dan membantu bekerja di sana setiap hari. Aku tidak punya keluarga, ataupun teman."

Joanna menggigit bibir. Pekerjaannya menjelaskan bagaimana dia bisa mendapat tubuh sebesar ini. Dan, sekarang Joanna tahu kenapa ia tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Ia bukan anak jalanan. Ia mungkin sama sekali tidak tahu betapa kerasnya hidup di jalanan.

"Tidakkah majikanmu itu ... menggajimu, memberimu fasilitas, atau apa pun?" tanya Joanna penasaran.

Pria itu menggeleng. "Aku tidak pernah tahu tentang apa pun, selain bekerja di proyek sepanjang hari," jawabnya muram.

Joanna mengepalkan tangan geram. Bagaimana bisa masih ada orang yang melakukan hal-hal seperti itu di jaman modern ini, di negara ini?

"Apa kau ingat di mana rumah majikanmu? Kita bisa menuntutnya," kata Joanna tanpa keraguan.

Pria itu menatap Joanna, tampak bingung, lalu ia menggeleng.

Joanna mendesah berat. "Kurasa kau juga tidak tahu dunia di luar sana juga bisa lebih kejam dari majikanmu, kan?"

Pria itu menunduk.

Joanna mengamati pria itu selama beberapa saat. Memiliki tubuh sebesar ini, tapi tampak lebih polos dari George. Joanna beruntung pria ini bukan pria idiot. Namun ...

"Apa kau tahu siapa namamu?" tanya Joanna kemudian.

Pria itu mendongak dan menatap Joanna. "Arzen. Orang-orang memanggilku Zen."

***

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!