Jari -jari lentik sang gadis menari di atas keyboard dengan mata fokus pada layar laptopnya. Selama lebih kurang satu minggu setiap malam si gadis mengerjakan revisi terakhir skripsinya. Andhini betul-betul memanfaatkan waktunya dengan sangat baik. Yah, dia adalah Andhini, putri bungsu bunda Riana dan ayah Revan almarhum.
Tok tok tok
“Dek !!! Dipanggil bunda !!!” Teriakan sang abang membuyarkan konsentrasi Andhini. Gadis berwajah oval itu hanya bisa menarik napas panjang seraya berdiri membuka pintu kamarnya. Sudah menjadi kebiasaan Niko yang tak akan berhenti berteriak sebelum adiknya itu menampakkan diri.
“Nanti aja deh, bang ,,, tanggung nih,” Andhini memperlihatkan wajah memelasnya berharap sang abang tak memaksanya.
“Gak bisa dek, ini penting dan bunda ratu gak terima penolakan,” Niko benar-benar pengemban tugas yang mumpuni. Pria dewasa itu tak akan kembali sebelum membawa sang adik ke hadapan bunda Riana.
“Bentar bang,” Sebelum mengikuti bang Niko, ia terlebih dahulu mengamankan laptopnya yang berisi file skripsi. Andhini tak ingin jerih payahnya merivisi skripsi berakhir mengenaskan jika saja tiba-tiba semua data hilang.
Andhini mensejajarkan langkahnya dengan langkah Niko. Tubuh Andhini yang tinggi semampai tak lantas membuat langkahnya ketinggalan. Sementara bunda Riana sudah menunggu mereka di ruang keluarga.
“Duduk dekat bunda, sayang ,,,” Bunda Riana menepuk kursi di sampingnya dan seperti biasa Andhini hanya bisa menurut.
Didikan bunda Riana memang terbaik. Kedua anaknya sejak kecik hingga sekarang tak pernah sekalipun menentang orang tuanya. Niko dan Andhini meyakini dan percaya bahwa sang bunda hanya ingin yang terbaik buat anak-anaknya. Dan semua ibu di dunia inipun pasti sama.
“Ada apa bund, kok keliatannya serius banget ?!” Andhini menatap bunda Riana sembari menghempaskan diri di samping wanita yang sudah melahirkannya.
“Dhini kenal kan dengan bang Satria ?!” Bunda Riana tersenyum lembut sedangkan Andhini menatap sang bunda bingung.
“Ya kenallah bund, kan bang Satria keseringan kesini,” Andhini mengerutkan alisnya semakin bingung, kini gadis cantik itu menatap sang abang dengan tatapan meminta penjelasan.
“Bang Satria memintamu untuk menjadi istrinya nak dan besok keluarganya akan datang melamarmu secara resmi,” Kata-kata bunda Riana bagaikan petir menyambar telinga Andhini. Sesaat gadis itu terdiam berusaha menolak kata-kata sang bunda yang berhasil memasuki rongga telinganya.
“Bunda ngeprank aku, kan ?!” Andhini mengira bunda Riana hanya bercanda. Tapi wajah bunda Riana dan bang Niko terlihat serius. Dalam hati Andhini mulai menjerit. Setaunya bang Satria bukan pria single, sahabat abangnya itu sudah memiliki istri artinya dirinya akan dijadikan istri kedua ?!
“Gak sayang, bunda serius. Abang dan bunda hanya bisa mempercayakan nak Satria untuk menjagamu seumur hidup.” Bunda Riana pun sebenarnya tak tega melepas putri bungsunya menikah dengan pria yang sudah beristri tapi ada kisah di masa lalu yang tak akan pernah bisa mereka abaikan.
“Bunda mempercayakan putri bunda pada pria yang sudah beristri ?!” Andhini meringis, jika bisa ingin rasanya ia berteriak di depan sang bunda namun selama hidupnya Andhini tak pernah sekalipun bersuara keras pada sang bunda. Gadis itu terlalu sayang dan menghormati wanita yang telah berjuang sehingga ia bisa melihat dunia yang indah ini.
“Maaf sayang, bunda sangat menyayangimu,” Bunda Riana berusaha tersenyum meski rasa sedih ia rasakan.
“Bang, jangan diam aja dong,,,masa iya abang tega menjadikan adiknya pelakor,” Kini airmata Andhini meluncur bebas membasahi pipi mulusnya, hidungnya pun seketika memerah karena tangannya sibuk membersihkan cairan yang keluar dari hidung mancungnya.
“Maaf dek, abang ikut apa kata bunda,” Sama halnya dengan Andhini, Niko pun tak pernah bisa membantah kata-kata sang bunda. Wanita paruh baya itu terlalu berharga dimata anak-anaknya.
Andhini menarik napas panjang mencoba sedikit melonggarkan rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya.
“Dari sekian banyaknya laki-laki kok aku malah berakhir jadi pelakor ya, bund,,,” Mata Andhini sudah berkabut. Niko menutup matanya tak tega melihat adik kesayangannya bersedih. Hatinya ikut menangis namun iapun tak bisa berbuat apa-apa.
“Gak sayang, kamu bukan pelakor. Tolong jangan ulang kata-katamu itu,” Bunda Riana pun meneteskan airmatanya. Hatinya terluka mendengar putri yang ia besarkan penuh cinta dan kasih menyebut dirinya sebagai pelakor.
“Hal itu gak bisa di sangkal bund, pria yang sudah beristri dan menikah lagi berarti istri keduanya itu adalah pelakor. Bukan kita yang menilai bund, tapi masyarakat.” Suara Andhini sangat pelan namun cukup memukul perasaan Niko dan bunda Riana.
“Jangan khawatir sayang, Linda merestui nak Satria menikah lagi.”
“Kita hidup bermasyarakat bund, terlepas dari mbak Linda setuju tapi orang luar hanya mempercayai apa yang mereka lihat.” Andhini terus-terusan menyanggah kata-kata bunda Riana meskipun dengan nada rendah tapi terlihat jika Andhini berusaha keras menolak perjodohan ini.
“Bunda mohon sayang, terima ya nak Satria,,,” Wajah memelas bunda Riana membuat Andhini tak tega meskipun jiwa raganya menolak.
“Baiklah asal itu membuat bunda tenang dan bahagia. Tapi Dhini gak mau pernikahan ini diketahui orang luar cukup keluarga inti saja dan jika suatu saat Dhini gak sanggup menjalani pernikahan ini, tolong bunda jangan memintaku bertahan.” Demi membuat sang bunda bahagia, Andhini akhirnya menerimanya.
Menjadi istri kedua bukanlah impian setiap gadis di muka bumi ini namun jika takdir yang berbicara maka tak ada yang bisa merubahnya. Pun halnya Andhini, ia hanya bisa pasrah menerima keadaan. Gadis cantik itu tak berani berharap lebih.
“Bunda yakin kamu akan bahagia sayang,” Wajah bunda Riana berbinar bahagia mendengar keputusan Andhini meskipun nada Andhini terdengar sangat terpaksa.
“Dhini ijin ke kamar bund, mau menyelesaikan skripsi,” Tanpa menunggu persetujuan sang bunda, Andhini berdiri dan meninggalkan bunda Riana dan Niko dengan langkah lunglai.
“Bund, Niko nyusul Dhini ya,,,” Dengan cepat Niko menyusul langkah Andhini sebelum adiknya itu sampai di kamar dan mengunci pintunya. Niko yakin adik semata wayangnya itu pasti akan menangis putus asa.
Niko menerobos masuk ke kamar Andhini lalu menguncinya. Pria dewasa itu tak ingin jika bunda Riana mendengar pembicaraan mereka. Perasaan wanita yang telah melahirkan mereka sangat lembut dan halus.
“Nangis aja dek jika itu bisa membuat bebanmu berkurang,” Niko menatap sendu sang adik. Kehidupan adik kesayangannya sangatlah rumit hingga pria itu tak tau mulai darimana jika akan menjelaskan.
“Hiks,,, hiks,,, bang, kenapa takdirku seperti ini ?! Ngenes banget sih,,,” Akhirnya Andhini berderai airmata. Kebiasaan gadis cantik itu menyalurkan kemarahan, kekesalan dan kekecewaannya lewat airmata.
“Jangan dijadikan beban ya dek, jika suatu saat Satria tak bisa adil dan membuatmu menderita maka abang sendiri yang akan membawamu pergi dari sisi pria itu. Abang janji.” Niko menggenggam tangan Andhini dan menatapnya dalam agar adiknya itu yakin padanya.
“Thanks bang,” Andhini memeluk erat sang abang. Ia sedikit merasa lega mendengar kata-kata bang Niko. Sepanjang yang ia tau pria berpoligami sangat susah untuk adil.
Pagi menyapa, Andhini bergegas meninggalkan tempat tidurnya. Hari ini ia ada janji dengan dosen pembimbingnya sekaligus mengambil undangan ujian akhirnya. Semoga saja sesuai ekspektasi.
Menghabiskan waktu dua puluh menit dalam kamar mandi, kini si gadis mematut dirinya di depan cermin. Setelah merasa cukup, ia mengambil tas yang berisi barang-barang yang memang seharusnya ia bawa. Meskipun rasa tak terima mengenai pernikahannya dengan pria yang sudah beristri namun pembicaraannya dengan bang Niko semalam sedikit membuatnya terhibur.
“Maaf bund, bang, Dhini gak ikut sarapan. Buru-buru soalnya.” Andhini meraih tangan sang bunda lalu menciumnya. Sedangkan pada bang Niko, ia hanya memeluknya sesaat.
“Ingat pulang lebih cepat ya, Dhin ,,,” Bunda Riana mengingatkan kunjungan keluarga Satria
“Dhini gak bisa janji bund, tapi apapun itu Dhini ikut aja.” Andhini berusaha menolak secara halus. Andhini melesat dengan cepat meninggalkan ruang makan tersebut. Ia belum siap untuk bertemu dengan keluarga sahabat abangnya.
“Jangan dipaksa bund, yang penting Dhini sudah bersedia menikah dengan Satria.” Niko tak tega melihat binar kecewa di mata sang bunda namun ia juga iba melihat adik semata wayangnya menikahi pria beristri meskipun itu sahabatnya sendiri.
Bunda Riana dan Niko akhirnya sarapan berdua. Untuk pertama kalinya mereka sarapan hanya berdua. Biasanya pagi-pagi Andhini sudah duduk manis menunggu keduanya untuk sarapan agar tidak telat ke kampus.
Mobil Andhini menembus jalanan yang mulai padat. Hari ini banyak yang harus ia urus di kampus. Untuk masalah pribadi sebisanya ia tak memikirkannya, toh hal itu hanya untuk membahagiakan sang bunda. Anggaplah Andhini membalas jasa sebagian pengorbanan bunda padanya. Walaupun sejatinya seorang anak tidak akan pernah bisa membayar setetespun keringat sang bunda.
“Tumben pagi-pagi sudah di kampus,” Suara Zelina sahabat Andhini menyambutnya saat seluruh badan Andhini keluar dari mobil.
“Harus ada perubahan sebelum meninggalkan kampus, kan,,,” Andhini tersenyum paksa. Ia memang tidak termasuk dalam golongan mahasiswi yang cepat tiba di kampus namun iapun tak pernah telat ataupun absen kuliah.
Meskipun Zelina tak sepenuhnya percaya namun gadis itu tak memperpanjang pembicaraan yang pasti akan berakhir pada perdebatan diantara mereka. Keduanya lalu berjalan beriringan setelah terlebih dahulu mengunci mobil masing-masing.
Langkah keduanya menuju ruangan dosen, kebetulan dosen pembimbing Andhini dan Zelina sama. Pak Regard memang selalu menjadi dosen pembimbing mahasiswa dan mahasiswi yang nilai IPK nya diatas rata-rata. Beliau bukan sengaja memilih hanya saja mahasiswa dan mahasiswi seperti mereka-merekalah yang bisa mengimbangi pak Regard. Disamping itu mahasiswa dan mahasiswi tingkat akhir kompak menghadap dan memohon agar bukan pak Regard yang menjadi dosen pembimbing mereka. Universitas bisa apa jika mahasiswanya yang menghadap langsung. Sedangkan yang memang memiliki otak encer tak ambil pusing siapapun yang menjadi dosbing mereka.
Tok tok tok
Zelina mengetuk pintu ruangan pak Regard setelah mereka berdiri cukup lama. Walaupun Andhini dan Zelina tergolong mahasiswi cerdas namun keduanya tetap saja nervous ketika akan bertemu pria paruh baya itu. Bukan tanpa sebab mereka seperti itu, pak Regard tergolong salah satu spesies langka. Moodian beliau terkadang kumat bak gadis yang sedang masa periode.
“Masuk.” Suara pak Regard terdengar mempersilahkan masuk. Kedua gadis itupun tak menunggu lama.
“Selamat pagi pak,,,” Zelina mengucap salam sembari melangkah masuk.
“Assalamualaikum Zelina,” Pria paruh baya itu meralat salam dari Zelina. Gadis itu hanya bisa cengengesan memperlihatkan gigi putihnya yang berjejer rapi.
“Mana skripsi kalian,,,” Pak Regard beranjak ke sofa dan menyuruh Andhini dan Zelina duduk lewat isyarat matanya. Keduanya pun mengerti karena setiap kali bimbingan mereka di ruangan ini.
Tak ingin pak Regard mengulang perkataannya, Andhini dan Zelina mengulurkan skripsinya. Walaupun keduanya merupakan mahasiswi dengan otak diatas rata-rata namun mereka tetap merapalkan doa dalam hati agar pria tegas itu menerima dan menandatangani skripsinya.
Seulas senyum bahagia membingkai wajah kedua gadis semester akhir itu ketika melihat sang dosbing mengangguk-angguk membaca skripsi mereka satu per satu tanpa menggunakan pulpen sebagai penghias skripsi yang harus direvisi. Pak Regard yang terkenal tegas dan sangat teliti. Hal ini pulalah yang membuat sebagian besar mahasiswa menghindarinya. Jika hanya mahasiswa yang setengah pintar setengah o’on maka sudah bisa dipastikan akan berakhir lama di revisi skripsi.
“Good job girl ,,, gak ada lagi revisian dari bapak. Silahkan bawa ke dosen pembimbing dua, semoga saja beliau pun tak ada revisian lagi,” Pak Regard membubuhi tanda tangannya.
“Terima kasih pak ,,, kami permisi,” Kompak Andhini dan Zelina jangan lupakan senyuman mereka yang semakin lebar. Semua mahasiswa tau jika skripsi mereka lolos pada pak Regard maka dosen pembimbing yang lain pun dipastikan tak ada masalah.
Kedua sahabat itu mengayunkan langkahnya dengan ringan menuju ruangan dosen pembimbing mereka. Saat tiba di ruangan dosen, yang mereka cari ternyata sedang duduk santai. Mungkin mereka sedang menunggu jam mengajar.
“Assalamualaikum pak,,,” Andhini terlebih dahulu mengucap salam namun sebelum mengatakan maksudnya, sang dosbing sudah menebak lebih dahulu.
“Waalaikumsalam, kalian bawa skripsi kan ?! Keliatan banget kalian gak betah berlama-lama di kampus,” Pak Zakir terkekeh dengan ucapannya sendiri. Jika pak Regard tegas dan ditakuti oleh mahasiswa maka sangat berbanding terbalik dengan pak Zakir yang santai dan suka bercanda.
“Hehehe,,, iya pak. Kan kalo kami lama-lama di kampus jatuh-jatuhnya jadi donatur tetap. Gak enak sama adik-adik yang pengen berpartisipasi pak.” Zelina dan pak Zakir memang klop jika bertemu. Keduanya tak kehabisan bahan candaan.
“Ya sudah, mana skripsi kalian ? Pak Regard sudah acc kan ?!” Seperti biasa, pak Zakir tak ingin melangkahi pak Regard sebagai seniornya.
“Sudah pak ,,,” Kompak Andhini dan Zeline antusias. Ujian akhir sudah didepan mata. Sebentar lagi mereka akan menyandang gelar sarjana.
“Selamat ya, silahkan kalian persiapkan ujian akhir kalian,” Pak Zakir pun membubuhkan tanda tangannya setelah melihat tanda tangan pak Regard.
“Terima kasih pak,,,” Lagi-lagi Andhini dan Zelina kompak.
“Kami permisi pak, sampai jumpa pada ujian akhir. Tapi jangan bantai kami dengan pertanyaan yang susah ya pak,” Ucap Serena sebelum mereka meninggalkan ruangan pak Zakir.
Senyuman lebar mengiringi langkah Andhini dan Zelina menuju fakultas. Kebahagiaan keduanya karena lolos revisian tak bisa disembunyikan. Ternyata bahagianya mahasiswa tingkat akhir bukan lagi tentang IPK dan ujian proposal. Hari ini semua harus selesai agar mereka bisa mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir.
“Akhirnya perjuangan kita selama 3,5 tahun menemui titik terang,” Ucap Zelina disela-sela langkahnya.
“Gak sia-sia kita marathon kuliah,” Timpal Andhini terkekeh mengingat bagaimana mereka melewatkan nongki-nongki bareng teman sekelas.
Zelina dan Andhini memang memiliki cita-cita melanjutkan S2 keluar negeri. Zelina bahkan telah diterima di salah satu universitas bergengsi. Sedangkan Andhini belum memutuskan universitas mana yang akan ia tuju. Kedua sahabat itu sepakat untuk melanjutkan S2 di kampus yang berbeda.
Andhini menarik napas panjang sebelum masuk ke dalam mobilnya. Jam yang melingkar dengan manis pada pergelangan tangannya menunjukkan pukul 13.10 menit. Rasa bimbang untuk kembali ke rumah kini melanda. Pagi tadi bunda Riana tak memberitahu jam berapa keluarga bang Satria akan datang. Sedangkan Zelina langsung ngacir setelah menerima telepon.
Perlahan Andhini menjalankan mobilnya menuju pulang. Meskipun belum siap jika akan bertemu dengan Satria dan keluarganya namun Andhini tak memiliki pilihan lain.
Satu setengah jam berlalu, Andhini perlahan memasuki halaman rumahnya. Dua mobil mewah terlihat terparkir di halaman dan wajah cantik gadis itu berubah datar.
“Rupanya mereka sudah datang, huuuft semangat Dhin.” Gadis cantik itu bergumam sembari membuka pintu mobilnya.
Rambut dicepol asal dengan baju press body dan celana jeans ketat tak lupa sepatu sneaker menegaskan kecantikan paripurna sang gadis dan memperlihatkan bodynya yang sempurna. Ah, sayangnya dia akan menjadi istri kedua padahal tak sedikit pemuda mengantri untuk mengejar cintanya.
“Assalamualaikum ,,,” Ucapan salam Andhini menarik atensi penghuni ruang tamu. Dengan tersenyum paksa gadis itu menyalami pasangan orang tua yang ia yakini sebagai orang tua Satria.
“Waalaikumsalam ,,, wah yang ditunggu akhirnya datang juga, gimana kabarnya nak ,,,” Wanita seumuran bunda Riana sangat antusias menyapa Andhini.
Diam-diam Andhini meringis iba dengan nasib wanita yang kelak akan menjadi madunya. Bagaimana tidak, wanita yang dipastikan adalah mama Satria terlihat antusias melihat kehadirannya. Berbagai pikiran menghiasi otak cerdasnya.
“Alhamdulillah baik tante ,,,” Andhini menjawab masih dengan senyum terpaksanya. “Semua baik sebelum kalian merecoki hidupku.” Sambung Andhini dalam hati.
“Lho, kok tante sih ,,, panggil mama dong. Dulu juga panggilnya mama ,,,” Wanita ekspresif itu menghentikan ucapannya saat pria disampingnya menyenggol lenganya.
Alis Andhinj berkerut mendengar ucapan mama Satria yang ia belum tau siapa namanya. Namun detik selanjutnya Andhini kembali mode on datar. Tak ada gunanya ia bingung toh itu hanya candaan mamanya Satria.
“Silahkan dilanjut bincang-bincangnya, Dhini pamit ke kamar.” Andhini pamit sesopan mungkin. Ia tak ingin terlibat dengan pembicaraan mereka. Toh mereka yang menginginkan pernikahan ini.
“Setelah ganti baju, kesini lagi ya sayang, nak Satria ingin bicara.” Bunda Riana menatap lembut putri bungsunya namun ia menyematkan sedikit tatapan tajam pertanda tak ingin dibantah.
Andhini tak menjawab atau sekedar mengangguk. Ia terus berjalan menuju ke kamarnya. Lelah seharian di kampus mengurus masa depannya dan tiba di rumah dihadapkan pada persoalan hidup yang penuh problematik dimasa akan datang. Kini rasa lelah Andhini serasa berkali-kali lipat.
Sejenak gadis itu menenangkan diri dan meluruskan badannya karena sejak subuh ia sama sekali belum menyapa kasur empuknya. Ia harus memulihkan tenaga sebelum keluar kamar. Setelah merasa cukup Andhini bangun dan beranjak dari tempat tidurnya. Ia hanya mencuci wajahnya agar sedikit segar lalu mengganti bajunya. Dress floral menjadi pilihannya.
Perlahan Andhini mendekati para orang tua yang ternyata masih berbicara dengan penuh canda tawa.
“Nah, kalian silahkan bicara berdua. Kami para orang tua menunggu hasil kesepakatan kalian.” Mama Satria rupanya tak ingin berlama-lama. Type ibu-ibu sat set.
“Ikuti aku.” Andhini berjalan terlebih dahulu diikuti oleh Satria. Pria yang sejak tadi tak pernah bersuara.
“Apa yang ingin abang omongin ?!” Andhini tak ingin membuang-buang waktu. Ia harus mempersiapkan diri untuk ujian akhirnya.
“Konsep pernikahan bagaimana yang kamu inginkan, biasanya setiap gadis memiliki pernikahan impian.” Satria menatap lekat Andhini yang tampak cuek.
“Seandainya aku menikah dengan pria single pasti aku memiliki pernikahan impian tapi disini posisiku adalah istri kedua atau istilah kerennya PELAKOR maka pernikahan impian itu diskip saja. Cukup ijab qabul sederhana saja dan hanya dihadiri oleh orang tua dan istri abang kalo beliau berkenan hadir.” Nada bicara Andhini terdengar sangat dingin dan datar jangan lupakan wajahnya yang tanpa ekspresi.
Rahang Satria mengeras menahan amarah manakala Andhini menyebut dirinya pelakor. Sungguh Satria tak terima hal itu.
“Jangan pernah menyebut dirimu pelakor. Kamu sama sekali bukan pelakor, dek,” Suara Satria sangat rendah karena menahan amarah.
“Terserahlah bang, tapi kenyataannya memang seperti itu. Olehnya itu aku ingin pernikahan kita dirahasiakan karena terus terang aku malu dan belum siap menjadi bulan-bulanan masyarakat karena statusku nantinya sebagai istri kedua. Selanjutnya aku tetap ingin bekerja bersama bang Niko. Hanya itu yang aku inginkan.” Andhini mengantisipasi segala kemungkinan yang akan membuatnya terjebak dalam pernikahan yang tak sehat ini dan berakhir stress.
Andhini gadis cerdas dan mandiri, meskipun keluarganya memiliki perusahaan yang cukup besar yang dikelola oleh sang abang namun ia tetap menerima beasiswa sehingga biaya kuliahnya tercover sendiri. Pun begitu Niko tetap mentransferkan jatah Andhini setiap bulannya. Bisa dibayangkan segendut apa rekening Andhini.
“Maaf bang, sejujurnya aku gak terima pernikahan ini, semua kulakukan hanya untuk membahagiakan bunda. Entah apa yang menjadi alasan bunda sehingga sangat ingin menikahkanku dengan abang yang notabene sudah memiliki istri. Jadi tolong jangan berharap banyak aku akan menjadi istri pada umumnya.” Andhini benar-benar mengungkapkan semua unek-uneknya. Ia berharap Satria mengerti dan membatalkan niatnya untuk menikahinya.
“Pernikahan ini akan tetap terjadi,” Dengan tegas Satria tak ingin mundur.
“Baiklah tapi aku gak mau tinggal satu atap dengan istri pertama abang dan aku akan tetap tinggal di rumah bunda.” Andhini hampir saja melupakan hal penting. Apa kata dunia jika ia tinggal seatap dengan madunya. Apalagi mereka tak saling kenal.
“Jangan khawatir, abang sudah menyiapkan apartemen untukmu. Hilangkan keinginanmu untuk tinggal bersama bunda. Apa kata dunia jika istri CEO Anugrah Group hidupnya masih di rumah orang tuanya. Meskipun tidak ada yang salah dengan hal itu tapi harga diri abang akan terluka apalagi dimata Niko. Abang gak mau mereka berpikir aku tidak adil.” Satria pun tak ingin kalah. Sejak tadi hanya Andhini yang selalu mengajukan syarat dan ia hanya berdiam diri mendengarkan.
“Terserah abang saja.” Andhin berdiri dan berjalan meninggalkan Satria. Ia merasa pembicaraan mereka sudah cukup.
“Menarik.” Satria bergumam mengikuti Andhini. Pria itu tersenyum menatap punggung Andhini yang semakin menjauh.
Selama ini Andhini mengenal Satria sebagai sahabat sang abang karena hampir setiap hari berada di rumahnya. Andhini tak begitu mengenal sosok pria tersebut. Terkadang jiwa kepo seorang perempuan menggoda Andhini untuk bertanya karena keseringan berada di rumahnya padahal pria itu sudah beristri namun cuek dan masa bodohnya dengan urusan orang ternyata lebih mendominasi jiwanya. Jadilah Andhini hanya diam saja dan tak pernah bertegur sapa dengan Satria.
Saat ini yang menjadi tanda tanya besar dikepala Andhini adalah kok bisa bunda dan bang Niko mau-mau saja menerima pinangan pria yang sudah beristri. Kasih sayang seperti apa yang mereka miliki padanya jika hanya menjerumuskannya pada kehidupan yang pasti berkonflik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!