When Time Meant Nothing
1 : A Love Carved in Silence
Selamat membaca...
Ini bukan kisah cinta biasa.
Ini adalah cerita tentang kehilangan yang tak pernah benar-benar pergi,
tentang seorang pria yang pernah mencintai begitu dalam, hingga separuh jiwanya ikut terkubur bersama wanita itu.
Di antara secangkir kopi yang dingin dan malam yang terlalu sunyi,
masih ada nama yang berbisik pelan di dalam kepalanya.
Ia tak lagi menanti keajaiban,
hanya mencoba hidup dalam bayang-bayang kenangan yang terlalu hangat untuk dilupakan.
Dan di sanalah, takdir perlahan membuka pintu baru
tak diminta, tapi datang membawa cahaya kecil…
yang mungkin bisa menggantikan luka menjadi makna.
Anastasia Larasati
sayangg... aku harus pergi
Arvino Salvadore
kamu mau kemana? aku ga mau kamu jauh dari ku... kumohon... ( dengan nada manja )
Anastasia Larasati
(terkekeh manis ketika mendengar nada suaminya yang begitu manja ) aku ga kemana-mana cuma mau ke butik sebentar, sayangg...
Arvino Salvadore
ini masih pagi lohhh... (memegang tangan Anastasia dengan lembut penuh permohonan)
Arvino Salvadore
(memberikan ekspresi cemberut) sayang kumohon...
Anastasia Larasati
cuma sebentar aja... (melepaskan tangan yang dipegang oleh Arvino)
Anastasia Larasati
aku janji ga akan lama
Anastasia Larasati
Iyah aku serius sayang (memberikan senyuman manis)
Arvino Salvadore
ya udah, hati-hati yahh...
Anastasia Larasati
iya sayang... aku akan kembali...
" Anastasia Larasati beranjak pergi keluar Mansion "
" Pukul sepuluh pagi.
Cahaya matahari menyelinap lewat celah tirai kamar, menyinari wajah Arvino yang masih terlelap atau lebih tepatnya, memaksanya bangun dari tidur yang tidak tenang.
Begitu matanya terbuka, naluri pertamanya bukan menguap… tapi menoleh ke sisi tempat tidur yang kosong.
Datar. Dingin. Sepi.
Anastasia belum pulang.
Empat jam telah lewat sejak ia berkata akan pergi sebentar ke butik.
Tak ada pesan masuk. Tak ada panggilan terjawab.
Ponselnya sunyi, seolah dunia ikut diam bersama kecemasan yang mulai tumbuh di dada Arvino.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai sejenak, mencoba mengusir pikiran buruk, tapi gagal.
Sesuatu terasa… tidak biasa.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, waktu mulai terasa seperti ancaman. "
Arvino Salvadore
Shitt... Why isn't she answering my calls? (dengan nada penuh kekesalan)
Ia menatap layar ponselnya yang masih sunyi.
Jari-jarinya gemetar, menelusuri pesan terakhir dari Anastasia yang kini terasa begitu jauh.
Pikiran buruk terus berputar di kepalanya
hingga tiba-tiba, ponselnya berdering.
Nomor tak dikenal.
Arvino menegang.
Detak jantungnya melonjak lebih cepat daripada nada dering yang mengisi kamar.
Dengan tangan yang nyaris tak stabil, ia menatap layar dan bergumam,
"Why won’t she pick up the phone?"
Lalu jemarinya bergerak… menerima panggilan itu,
dengan harapan… dan ketakutan yang sama besarnya.
Arvino Salvadore
dengan siapa?
Sebuah tawa lirih terdengar pelan, serak, dan asing.
Tidak seperti tawa manusia yang bahagia… tapi seperti bayangan gelap yang mengejek dari ujung seberang.
Tawa itu menggema di telinga Arvino, memecah harapannya… menggantinya dengan bulu kuduk yang meremang.
Tawa itu bukan milik Anastasia.
Dan itu… yang membuat segalanya terasa jauh lebih menakutkan.
Unknown
Arvino Salvadore....
saya punya pilihan yang cocok buat kamu...
(dengan nada penuh tantangan)
Arvino Salvadore
pilihan apa? (dengan nada waspada)
Unknown
(tertawa jahat) kirimkan uang sebanyak 50 Miliar atau akan kubunuh istri cantikmu ini!!
Arvino membeku.
Darahnya serasa berhenti mengalir, seolah dunia berhenti berdetak.
Jantungnya menghantam dada, dan untuk sesaat, ia lupa caranya bernapas.
Pikirannya kosong. Tapi kemarahan mulai menyala… membakar semua rasa takut yang baru saja datang.
Arvino Salvadore
maksud kamu apa? Dimana istri saya?
Unknown
Istri kamu sekarang sedang ketakutan, Arvino... kalo kamu tidak mengirimkan uang sebanyak 50 Miliyar kepada saya, saya akan pastikan tubuh istri anda akan terpisah!! (penuh nada ancaman)
Arvino Salvadore
WHO ARE YOUUUU????? (dengan nada membentak)
Unknown
saya mau anda mengetahui kesalahan pada diri anda sendiri... Anda telah membunuh seluruh keluarga kecil saya... dan hari ini giliran saya yang akan menghancurkan kebahagiaan anda...
Arvino Salvadore
saya salah apa? saya tidak merasa bahwa saya pembunuh!! (Dengan nada keras)
Unknown
anda tidak menyadari kesalahan anda.. tapi rasa luka itu membekas pada saya.. saya butuh 50M jika anda tidak mau saya menghancurkan istri cantik anda ini...
Arvino Salvadore
saya akan menembus apapun itu
Arvino Salvadore
jangan sentuh istriku
Arvino Salvadore
baik, saya akan bayar!! tunggu..
Unknown
dihitung hingga 1 sampai 5 detik
Arvino Salvadore
saya sudah kirim uangnya ke no rekening anda..
Seketika
" DUARRR! "
Suara tembakan menyalak dari seberang telepon, tajam dan menggetarkan tulang.
Arvino terlonjak. Ponselnya hampir terlepas dari genggaman.
Matanya membelalak, napasnya tercekat.
“Anastasia…?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar di antara gema tembakan yang masih menggantung di udara.
Lalu hening.
Sunyi yang memekakkan.
Tidak ada tawa. Tidak ada suara.
Hanya jantung Arvino yang kini berdetak seperti genderang kematian.
Unknown
(tertawa puas) terimakasih atas kirimannya Arvino.. Dan selamat atas kematian istrimu ini..
Arvino Salvadore
DIMANA ISTRI SAYA??? (dengan suara ber gemetar)
Unknown
Kalau kau ingin melihatnya untuk terakhir kali…
pergilah ke Gudang Tua di Jalan Merapi Selatan.
Unknown
Dia... sudah terlalu cantik untuk dunia ini (dengan tertawa puas)
Klik.
Panggilan terputus.
Arvino terpaku.
Darahnya seolah membeku, tapi tubuhnya mulai gemetar.
Gudang tua itu... tempat yang bahkan bayangan pun enggan singgah.
Dan di sanalah, katanya…
cinta dalam hidupnya telah dibunuh
Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel.
Pikirannya kacau, tapi satu hal tetap jelas, ia harus pergi. Sekarang juga.
Tanpa menunggu detik pun, Arvino meraih kunci mobil dan jaketnya.
Langkah-langkahnya terburu, nyaris tersandung oleh karpet ruang tamu yang biasa disentuh kaki Anastasia setiap pagi.
Udara pagi terasa menyesakkan, dunia terasa runtuh.
Arvino Salvadore
Tunggu aku, Sayang... walau hanya untuk terakhir kalinya (Bisik Arvino, hampir seperti doa)
Hatinya menolak percaya.
Tapi matanya penuh amarah dan putus asa, menatap lurus ke jalan.
Dan di balik setir mobil yang melaju gila-gilaan menuju gudang tua di Jalan Merapi Selatan,
Arvino hanya punya satu harapan yang terus berulang dalam pikirannya:
Semoga… semuanya hanya mimpi.
Rem mobil meraung di tengah jalan tanah yang becek dan sunyi.
Arvino keluar dengan napas terengah, jantungnya seakan berdetak lebih cepat dari langkahnya.
Gudang tua itu berdiri sunyi… tapi aroma kematian telah lebih dulu menyambutnya.
Dan di sana, di tengah jalan berkerikil, tepat di depan pintu besi yang berkarat
tergeletak tubuh yang sangat ia kenal.
Arvino Salvadore
Anastasia..... (dengan nada ber gemetar)
Baju yang dikenakannya pagi tadi kini sobek dan berlumur darah.
Rambut indahnya berserakan, wajahnya tenang… terlalu tenang untuk seseorang yang seharusnya tersenyum saat bertemu cinta dalam hidupnya.
Arvino terdiam.
Kakinya lemas.
Dunia runtuh tepat di depan matanya.
Arvino Salvadore
TIDAAKKKKK!!!!
Suaranya pecah, seperti jiwanya yang ikut hancur pagi itu.
Ia jatuh berlutut, menggenggam tangan yang sudah dingin, mencium dahi yang tak lagi hangat.
Hujan mulai turun pelan, seolah langit pun ikut berkabung.
Wanita yang ia cintai… telah pergi.
Tanpa pamit. Tanpa kata terakhir.
Dan yang tersisa hanyalah darah, kenangan… dan dendam yang mulai tumbuh di dadanya.
Tangis Arvino pecah di tengah kesunyian yang menggantung.
Suara hujan tak mampu menutupi jeritannya, suara patah hati yang tak akan pernah bisa dijahit kembali.
Ia mengguncang tubuh Anastasia, berharap ada keajaiban kecil…
bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang akan hilang saat ia membuka mata.
Arvino Salvadore
Bangun, Sayang… tolong, bangun...
Suara itu pecah, tercekat, nyaris tak bisa keluar di antara air mata yang tak terbendung lagi.
Tiga bulan.
Hanya tiga bulan mereka menikah.
Tiga bulan sejak ia bersumpah di altar untuk melindungi wanita yang kini terbujur kaku dalam pelukannya.
Mereka punya mimpi.
Punya rencana.
Punya rumah kecil yang belum sempat diisi tawa anak-anak.
Dan sekarang… semuanya hancur.
Arvino Salvadore
Kenapa secepat ini…?
Kita bahkan belum sempat menua bersama…
Ia menjerit.
Memeluk jasad istrinya seerat yang ia bisa, seolah dengan itu ia bisa menarik waktu kembali.
Tapi nyatanya, dunia tak peduli pada cinta yang dipatahkan.
Dan Arvino hanya bisa menangis, di tengah darah dan kenangan,
menatap langit yang tak memberi jawaban apa pun.
Keesokan harinya, langit kembali muram.
Seolah alam pun ikut berkabung, menangisi kepergian seorang wanita yang begitu dicintai…
dan meninggalkan dunia ini terlalu cepat.
Mobil jenazah bergerak perlahan di antara iring-iringan kendaraan hitam yang penuh kesedihan.
Di dalamnya, peti kayu berwarna cokelat gelap terbaring tenang,
dihiasi bunga-bunga putih yang dulu sering Anastasia selipkan di vas ruang tamu.
Arvino duduk di samping peti itu diam, kaku, kosong.
Matanya bengkak, namun sudah tak ada air mata yang tersisa.
Tangannya tak henti menyentuh sisi peti, seolah masih ingin menyampaikan sesuatu…
meski tahu, tak akan ada lagi balasan.
Arvino Salvadore
Kau tahu, Sayang...
(bisiknya nyaris tak terdengar)
Arvino Salvadore
Aku masih ingat pertama kali kau tersenyum padaku. Dan kini, aku harus belajar melepaskanmu...
Di pemakaman, langkah-langkah pelan mengiringi peti menuju tanah yang telah digali.
Doa dipanjatkan. Isak tertahan. Bunga ditaburkan.
Dan dalam diam, bumi menelan cinta yang belum sempat tumbuh sempurna.
Ketika tanah terakhir ditumpahkan, Arvino jatuh berlutut.
Tak ada kata. Hanya sepasang tangan yang menggenggam nisan, dan sepasang mata yang menatap nama sang istri
diukir indah, tapi terlalu cepat dikenang.
Anastasia Valleria Arvino.
Istri. Sahabat. Segalanya.
Hari itu, Arvino tidak hanya mengubur jasad,
tapi juga bagian dari jiwanya yang tak akan pernah kembali.
Arvino Salvadore
tidak akan ada yang bisa menggantikan posisimu dihatiku, sayangg...
Sejak hari itu… sejak tanah menelan tubuh wanita yang paling ia cintai,
Arvino berubah.
Ia bukan lagi pria dingin dan berwibawa yang memimpin perusahaan multinasional dengan ketegasan mutlak.
Bukan pula sosok yang pernah ditakuti di balik bayang-bayang gelap dunia mafia.
Kini, yang tersisa hanyalah pria patah,
jiwa yang kosong,
dan mata yang kehilangan cahaya.
Sudah berminggu-minggu ia tidak muncul di kantor.
Dewan direksi panik, saham perusahaan goyah. Tapi Arvino tidak peduli.
Baginya, dunia berhenti berputar di hari Anastasia dimakamkan.
Dia bahkan tak sanggup menyentuh setelan jasnya lagi.
Kamar kerja mewah itu kini terkunci rapat, penuh debu dan kenangan.
Setiap sudut rumah mengingatkannya pada Anastasia, suara tawanya, wangi parfumnya, cara ia menyeduh kopi dengan penuh cinta.
Dan yang paling menyiksanya…
adalah kenyataan bahwa semua ini tidak akan terjadi jika ia tidak pernah terlibat dalam dunia gelap itu.
Mafia.
Kata yang kini membuatnya muak pada dirinya sendiri.
Pilihan masa lalu yang telah ia tinggalkan, terlambat. Terlalu terlambat.
Dan kini, semua penyesalan itu menggigitnya perlahan… setiap hari, setiap malam.
Tirai selalu tertutup. Ponsel dibiarkan mati.
Ia hidup… tapi seperti bayangan.
Yang setiap detiknya dihantui satu wajah.
Anastasia.
Dan dalam sepi yang menusuk itu, ia hanya bisa berbisik,
Arvino Salvadore
Maafkan aku… Sayang. Aku yang menyebabkan semua ini. Aku... yang membunuhmu....
Arvino Salvadore
aku ceroboh sayang
2: Ashes of a Broken Vow
Hari ke-43 sejak Anastasia dimakamkan.
Langit masih kelabu, sama seperti hati pria yang belum mampu meninggalkan kamar tidurnya sendiri.
Di balik tirai jendela yang tertutup rapat, Arvino masih duduk di kursi yang sama.
Jas usangnya kusut, rambut acak-acakan, dan mata sembab menatap kosong ke arah satu foto berbingkai perak di tangannya,
Anastasia, tersenyum di hari pernikahan mereka.
Hari yang seharusnya jadi awal bahagia, bukan awal luka.
Tubuhnya hidup, tapi jiwanya mati perlahan.
Setiap detik, suara terakhir dari telepon itu terngiang di kepalanya:
“Dia… sudah terlalu cantik untuk dunia ini.”
Tawa jahat. Tembakan. Dan kemudian… sunyi.
Arvino memejamkan mata.
Penyesalan menikam seperti sembilu.
Dendam mulai tumbuh, diam-diam.
Ia ingat nama-nama. Wajah-wajah.
Jejak-jejak kelam masa lalunya yang mungkin menjadi alasan istrinya direnggut dari dunia.
Dan kini, satu suara berbisik dalam hatinya:
> “Kau bisa bersedih, atau kau bisa membalasnya.”
Tapi Arvino ragu…
Bisakah ia menyalakan api lama yang pernah ia padamkan demi cinta?
Dan apakah ia siap untuk kembali jadi monster yang dulu ia tinggalkan demi menghancurkan monster yang merenggut satu-satunya cahaya hidupnya?
Sore itu, untuk pertama kalinya dalam 43 hari…
Arvino berdiri.
Menatap cermin.
Dan dalam bayangannya, bukan hanya wajah seorang suami yang patah.
Tapi sosok bayangan lama seorang pemimpin dunia gelap mulai kembali muncul dari reruntuhan luka.
Di tengah rumah yang sudah lama ditelan kesunyian,
di mana angin pun enggan berdesir dan waktu terasa beku,
tiba-tiba terdengar ketukan.
Tok. Tok. Tok.
Pelan, namun tegas.
Cukup untuk menggetarkan udara yang beku dan membuat jantung Arvino berdetak lebih cepat dari biasanya.
Ia mendongak.
Matanya masih sembab, pikirannya masih dipenuhi suara-suara dari masa lalu.
Tak ada yang pernah datang. Tak ada yang tahu rasanya tinggal di tempat ini selain kenangan dan bayang-bayang.
Lalu…
siapa yang berani mengetuk rumah duka?
Siapa yang cukup nekat untuk membangunkan luka yang belum sembuh?
Arvino berdiri pelan.
Langkahnya berat, seperti menantang waktu itu sendiri.
Ketukan itu kembali terdengar. Tok. Tok. Tok.
Lebih cepat. Lebih mendesak.
Bukan tamu biasa.
Bukan seseorang yang datang untuk sekadar bersimpati.
Dan saat tangannya menyentuh gagang pintu,
entah mengapa, hatinya terasa lebih gelap dari sebelumnya
seolah ia tengah membuka bukan sekadar pintu rumah…
tapi pintu menuju babak baru dalam hidupnya.
Leo Castanegara
yoooo, What's up brooo??
Leo memeluk sahabat lamanya Arvino dengan riang gembira
Leo Castanegara
woyy, lo kenapa bro? lo kaya tua bangke yang lagi terpuruk banget keliatan nya..
Arvino hanya bisa menghela kan nafasnya ketika mendengar cemoohan dari leo sahabatnya
Leo Castanegara
lo belum bisa move on dari istri lo yang mati itu?
Arvino Salvadore
Gue masih cinta sama dia.. gue gak bisa move on dari dia sampai kapanpun
Leo Castanegara
lo bisa gak sih sadar dikit... Cewe yang lo tangisin udah tenang di alam sana... jadi lo ga perlu merasa bersalah kaya gitu brooo...
Arvino Salvadore
Gue masih ngerasa bersalah
Arvino Salvadore
lo ga tau seberapa beratnya gue kehilangan anastasia...
Leo Castanegara
mending besok lo gue ajak ke party, gimana?
Leo Castanegara
Iya party...
Arvino Salvadore
aku lagi males
Leo Castanegara
pleaseee dong... mo sampai kapan lo ngumpet dibalik dinding mansion besar inii arvino....
Leo Castanegara
lo harus bisa move on
Leo Castanegara
pokonya lo harus tampil keren besok
Arvino Salvadore
gue ga mau
Leo Castanegara
lo harus mau...
Leo Castanegara
besok bakal banyak sugar baby brooo...
Arvino Salvadore
sugar baby?
Arvino Salvadore
ngapain gue nyari sugar baby
Leo Castanegara
harus dongg...
Leo Castanegara
biar lo terhibur setiap harinya
Leo Castanegara
dijamin lo bakalan demen liatnya
Arvino Salvadore
okee okee finee
Arvino Salvadore
gue bakalan ngikutin mau nya loo...
Leo Castanegara
nahh gitu dongg...
Malam pun tiba.
Mobil sport hitam mereka melaju membelah jalanan kota,
lampu-lampu neon menyambut seperti memanggil jiwa-jiwa yang terluka untuk berpura-pura tertawa.
Tempat itu ramai. Musik berdentum. Gelas beradu.
Namun di tengah gemerlap dan hiruk-pikuk pesta…
Arvino tetap sunyi.
Senyumnya dipaksakan. Tatapannya kosong.
Tapi di sana, di antara keramaian yang asing
takdir perlahan mendekat.
Malam itu, Arvino tidak tahu bahwa langkah kecilnya keluar dari rumah…
akan membawanya kembali masuk ke dalam lingkaran gelap yang lebih rumit dari sebelumnya.
Dan di pesta itu pula,
dia akan bertemu dengan seseorang…
yang mengubah arah hidupnya sekali lagi.
Unknown
ada laki laki tampan disini
Unknown
siapa namamu om...
Tiba-tiba ada tiga wanita yang menyapa dengan genit kearah arvino
Unknown
ommm... Om ko ganteng banget sihh...
Leo Castanegara
arvino... sikat aja... (dengan nada berbisik jahil)
Arvino Salvadore
emang gue bodo apa? gue ga mau... (berbisik tegas)
Unknown
om mau pilih siapa?
Arvino Salvadore
sorry girls, saya tidak tertarik
Tanpa banyak bicara, ia berdiri.
Langkahnya cepat, menjauh dari mereka yang kini mengernyit kecewa.
Ia mendorong pintu keluar klub.
Udara malam langsung menyergap wajahnya dingin, lembab, dan jauh lebih jujur daripada apa pun yang ada di dalam sana.
Ia menatap langit.
Bintang tak tampak, hanya lampu kota yang redup.
Namun di tengah udara yang lebih sunyi itu, Arvino akhirnya bisa bernapas.
Dan tanpa ia tahu…
di balik asap tipis dan aroma malam itu takdir sedang bersiap mengenalkannya pada seseorang… yang jauh lebih dari sekadar pengalih luka.
Udara malam masih menusuk pelan,
membelai wajah Arvino yang sedang mencoba tenang meski hatinya tak benar-benar damai.
Ia berdiri di sisi luar klub, dekat gang kecil yang remang.
Cahaya lampu neon hanya menyinari sebagian wajahnya—membentuk siluet seorang pria yang tampak gagah, namun penuh luka.
Tiba-tiba—
Arvino Salvadore
ARGHHHH....
Seseorang menabraknya.
Tubuh Arvino sedikit tersentak ke samping, tak sampai jatuh, namun cukup membuatnya terkejut.
Ia menoleh cepat.
Di depannya berdiri seorang gadis muda berambut panjang yang berantakan, napasnya memburu, dan wajahnya memancarkan ketakutan yang begitu jelas.
Matanya membesar, tubuhnya sedikit gemetar.
Seperti seseorang yang sedang melarikan diri… dari sesuatu.
Pakaian malamnya sederhana namun elegan, tapi ada sobekan kecil di bagian bawah rok.
Tangannya menggenggam tas erat-erat, seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras.
Mereka saling menatap.
Waktu terasa membeku.
Arvino mengernyit.
Ada sesuatu dalam sorot mata gadis itu terlihat ketakutan, luka, dan… sesuatu yang familiar.
Sebelum sempat bertanya, suara dari kejauhan terdengar:
“HEY! GADIS ITU KE ARAH SANA!”
Gadis itu menunduk, panik.
Arvino masih diam tapi detak jantungnya mulai naik.
Siapa dia?
Dan apa yang sedang terjadi malam ini?
Selena Arindya
ma-maaf om...
Arvino Salvadore
iyahh ga apa-apa..
seketika beberapa laki-laki besar sudah berada dihadapan wanita itu
Unknown
cepat bayar tagihannya...
Selena Arindya
saya gak punya uang buat bayar sebanyak itu pak... (dengan nada panik)
Unknown
terus ngapain beli 5 bir kalo gak bisa bayarnya, dasar anak pelacur...
Selena Arindya
hey pak, saya bukan pelacur.. saya juga kena tipu sama teman saya.. saya kira 5 bir itu udah dibayar sama dia..
Unknown
jangan banyak bacot...
Unknown
cepet bayar (dengan nada kesal sambil menarik-narik tangan wanita itu dengan paksaan)
Arvino terlihat tidak senang melihat ada seorang laki-laki yang berani menyakiti seorang perempuan sampai pada akhirnya arvino memegang tangan laki laki itu dengan penuh ketegasan
Arvino Salvadore
berapa tagihannya?
Arvino Salvadore
biar saya tf
akhirnya Arvino membayar seluruh tagihan tersebut dan laki-laki besar itu mulai melangkah mundur
Selena Arindya
om... makasih ya.. udah mau tolongin saya.. (dengan nada malu yang aga sedikit canggung)
Arvino Salvadore
that's okay, ga masalah.. yang penting sekarang kamu amann ya...
Selena Arindya
aku selena, om...
Selena Arindya
om tenang aja ya... aku pastiin bakal bayar yang om bantu tadi..
Arvino Salvadore
ga papa, saya ikhlas bayarnya tadi..
Arvino Salvadore
gak perlu overthinking...
Selena Arindya
ikhlas? serius om?
Arvino Salvadore
iyah, saya serius (menganggukkan kepalanya dengan senyuman tipis yang diberikan arvino kepada selena)
Arvino Salvadore
kayanya ini udah larut malam..
Arvino Salvadore
gak baik buat kamu kalo masih keluyuran di jam segini
Selena Arindya
makasih ya om.. kayanya aku naik taksi online aja...
Arvino Salvadore
Taksi online? Serius? Malem malem gini harus naik yang gitu?
Selena Arindya
iya serius om..
Selena Arindya
udah biasa ko...
Arvino Salvadore
bukan gak biasanya.. cuma saya khawatir saja... kamu kan perempuan
Arvino Salvadore
gimana kalo saya antar kamu pulang?
Selena Arindya
(selena begitu terkejut ketika mendengar hal itu dari orang yang baru dikenalnya) kalo om ga ngerasa direpotin sih boleh aja ya... (dengan nada canggung)
Arvino Salvadore
engga ko..
Suara langkah kaki mendekat.
Arvino menoleh lagi ke arah gadis itu—Selena.
Gadis muda yang baru saja menabraknya, dan tanpa sadar, menabrak pertahanannya juga.
Ia masih gemetar.
Namun kini berdiri lebih tenang setelah Arvino melindunginya dari dua pria yang mengejarnya tadi.
Arvino Salvadore
Kau aman sekarang, (ucap Arvino pelan, nadanya datar namun dalam).
Selena ragu.
Sorot matanya mencari kejujuran dalam wajah pria asing ini.
Namun entah mengapa, ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan ketika menatap mata Arvino.
Dingin, tapi bukan jahat. Tertutup, tapi bukan berbahaya.
Arvino membuka pintu mobil sport hitamnya—desain mewah, elegan, memantulkan cahaya malam.
Mesin mengaum pelan seperti binatang buas yang sedang bersabar.
Selena melangkah masuk.
Duduk di dalam mobil pria yang baru dikenalnya beberapa menit,
tapi entah kenapa… terasa tidak asing.
Mobil melaju membelah kota.
Di dalam kabin yang sunyi, hanya ada suara jalanan dan napas pelan mereka.
Tak banyak bicara hanya sesekali Arvino melirik lewat kaca, memastikan gadis itu baik-baik saja.
Namun di balik keheningan itu,
ada sesuatu yang perlahan tumbuh.
Bukan cinta instan…
tapi rasa penasaran yang menusuk.
Dan tanpa keduanya sadari,
malam itu bukan hanya membawa Selena pulang.
Tapi juga membuka gerbang takdir baru yang akan menjerat mereka dalam kisah yang tak biasa.
Arvino Salvadore
kamu di club itu ngapain? (mencoba mencairkan suasana)
Selena Arindya
ohhh... aku... akuu... baru firstime ke club sihhh om...
Arvino Salvadore
firstime? apa yang membuat mu kesana? (dengan nada penasaran yang mendalam)
Selena Arindya
aku... aku diajak sama temenku om..
Selena Arindya
cumaaa... aku ga expect aja kalo temen ku ini mengajakku buat jadi sugar baby..
Arvino Salvadore
SUGAR BABY? (sedikit terkejut)
Selena Arindya
iya omm... cuma ternyata disana banyak laki-laki yang gatal...
Selena Arindya
aku gak suka dan aku akan berjanji pada diriku sendiri untuk gak akan kesana lagi...
Arvino Salvadore
(sedikit terkekeh dengan pengakuan lucu dari selena)
Arvino Salvadore
okee... saya tau ko kamu bukan tipe cewe yang kaya sugar baby..
Selena Arindya
masa sih om?
Arvino Salvadore
Iyahh, aku udah tau kalo kamu bukan sugar baby melainkan cuma seorang gadis yang polos (dengan nada ejekan manis yang terlontar dari mulutnya).
(selena sedikit terkekeh ketika mendengar ejekan itu)
Selena Arindya
terus, kalo om sendiri?
Arvino Salvadore
aku... aku gak tau arah harus pulang dan pergi kemana... makanya aku pergi kesana.. (dengan nada penuh kesedihan yang terpendam)
Selena Arindya
om gak punya rumah?
Arvino Salvadore
eee... bukan gitu... (sedikit tertawa ketika mendengar kepolosan nya)
Selena Arindya
omm... om kesepian?
Arvino Salvadore
kenapa? engga juga..... (mencoba untuk menyembunyikan fakta)
#SAMPAI DIDEPAN KOSAN NYA
Mobil sport hitam itu berhenti perlahan di depan sebuah bangunan sederhana bertingkat dua.
Lampu lorong kos menyala redup, menambah kesan tenang di antara riuhnya malam yang perlahan memudar.
Selena menoleh ke arah Arvino yang masih menatap lurus ke depan.
Sesaat… mereka saling diam.
Tak ada kata perpisahan, hanya hening yang berat tapi tak membuat sesak.
Gadis itu perlahan membuka pintu mobil.
Selena Arindya
Terima kasih… sudah menyelamatkan aku, (ucapnya lirih, suaranya sedikit serak namun tulus)
Arvino menoleh pelan.
Sorot matanya tetap dingin, tapi ada kilatan kecil, seolah kata “sama-sama” tak sanggup keluar dari bibirnya,
tapi bisa terbaca di matanya.
Selena tersenyum tipis, kemudian turun.
Heels-nya menyentuh aspal. Ia berdiri sejenak,
melihat mobil mewah itu yang kini terasa seperti bagian dari dunia asing, jauh dari kehidupannya yang sederhana.
Ia melangkah menuju pintu pagar kos.
Tapi sebelum benar-benar masuk, Selena menoleh sekali lagi.
Arvino masih di sana.
Tak bergerak, hanya duduk tenang di balik kemudi…
seperti pria yang sedang menahan sesuatu dalam diam.
Dan malam pun kembali sunyi.
Namun bagi keduanya, malam ini bukan sekadar perjalanan pulang
tapi awal dari sesuatu yang belum mereka mengerti…
namun tak bisa mereka hindari.
3: Unwelcome Warmth
Pagi menjelang.
Cahaya matahari menyelinap melalui tirai jendela kamar mansion mewah itu, tapi Arvino belum juga memejamkan mata.
Ia duduk di kursi kerjanya, terdiam.
Tangannya memegang secangkir kopi yang sudah dingin sejak satu jam lalu.
Wajah Selena masih tergambar jelas di benaknya.
Tatapan takutnya, suaranya yang lirih, dan cara dia berterima kasih… semuanya datang silih berganti,
mengusik ruang hatinya yang telah ia kunci rapat sejak kematian istrinya.
Arvino Salvadore
Kenapa gadis itu muncul begitu saja?
Arvino Salvadore
Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?
Arvino menghela napas panjang, menengadahkan kepala dan menatap langit-langit kosong.
Arvino Salvadore
Bodoh, (gumamnya)
Arvino Salvadore
Kau sudah bersumpah Arvinoo....
Ia menepuk dahinya pelan, seolah ingin menampar logikanya sendiri.
Tiga bulan lalu, dia mengubur wanita yang paling ia cintai…
dan kini hanya dalam satu malam, ia membiarkan celah kecil itu terbuka karena seorang gadis muda yang bahkan tak ia kenal sepenuhnya.
Arvino Salvadore
dia terlalu muda untukku...
Arvino Salvadore
dia terlalu berbedaaaa...
Arvino Salvadore
dan aku... tidak pantas memulai apapun lagi sekarang...
Arvino berdiri, berjalan ke balkon.
Angin pagi menyentuh wajahnya, dingin namun menyegarkan.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu…
bukan perbedaan usia yang membuatnya takut.
Tapi karena untuk pertama kalinya setelah kehilangan,
ia mulai merasakan sesuatu yang menyeramkan: harapan.
Dan itu… jauh lebih menakutkan daripada kehilangan apa pun.
Kamar kos yang sempit itu tak bisa membuat hati Selena merasa tenang.
Sudah lewat tengah malam, tapi matanya menolak terpejam.
Ia duduk di dekat jendela, memeluk lutut sambil menatap lampu jalanan yang redup.
Wajah pria itu…
Masih terbayang jelas dalam pikirannya.
Selena Arindya
Tatapan matanya dingin… tapi bukan dingin yang jahat...
Selena Arindya
Itu seperti… seseorang yang terlalu lama berdiri di tepi kehancuran...
Selena menggeleng cepat, mencoba mengalihkan pikiran.
Ia tahu tak seharusnya terlalu memikirkan orang asing yang baru dikenalnya semalam.
Tapi ada sesuatu pada pria itu yang membuatnya terus bertanya-tanya.
Selena Arindya
Kenapa dia seperti menyembunyikan luka besar?
Selena Arindya
Dan kenapa aku ingin tahu lebih banyak?
Selena berdiri, berjalan ke meja, membuka catatan kecilnya.
Ia menulis beberapa baris kata yang tak biasa ia tulis:
Selena Arindya
Ada sesuatu pada pria itu…
yang membuat hatiku takut sekaligus tertarik.
Seolah-olah aku sedang mendekati badai…
tapi tak bisa berpaling (kalimat yang ditulis selena)
Selena menutup bukunya pelan, menghela napas.
Selena Arindya
Jangan bodoh, Sel… dia pasti sudah punya dunia sendiri.
Selena Arindya
Dunia yang terlalu gelap untuk kau jamah...
Tapi jauh di dasar hatinya, ia tahu…
Rasa penasaran itu akan menuntunnya lebih jauh.
Entah pada penyembuhan…
atau pada luka yang lebih dalam.
Dan di saat dua hati yang sama-sama rusak mulai bersinggungan,
takdir pun mulai mengubah arah.
Selena Arindya
udahlah... better gue ga perlu mikirin tu cowok
Selena Arindya
sekarang yang terpenting adalah.. gue harusss ketemu sasha...
Langit sore mulai meredup saat langkah kaki Selena menyusuri trotoar menuju sebuah kafe tersembunyi di pinggir kota.
Ia mengenakan hoodie abu-abu lusuh, topi, dan masker, tak ingin ada yang mengenalnya, terutama dari kalangan kampus.
Di sudut paling belakang, duduklah Sasha,
teman satu kos dulu yang kini hidup "bebas" dengan penghasilan yang cukup untuk membeli segalanya…
dengan cara yang tak semua orang bisa terima.
Selena menarik napas panjang sebelum mendekat.
Hatinya penuh tanda tanya, tapi pikirannya lebih berat lagi:
tagihan bulanan, kuliah, beban pekerjaan, dan ibu yang sakit di rumah, semuanya menghimpit tanpa belas kasihan.
Selena Arindya
Aku hanya ingin tahu… apakah jalan itu satu-satunya pilihan?
Selena Arindya
Atau… aku cuma sedang tergoda oleh kehidupan instan yang katanya menyelamatkan? (dalam dirinya)
Sasha menyambut Selena dengan pelukan hangat, wangi parfumnya menyengat dan mewah.
Senyumnya tak berubah, centil seperti biasa, tapi matanya… tak sepenuhnya bersinar.
Sasha Keyla
Akhirnya kamu datang juga. Aku tahu kamu bakal nyari aku suatu saat nanti....
Sasha Keyla
Semua orang capek, Sel. Tapi yang kuat, tahu kapan harus ambil jalan pintas.
Selena hanya tersenyum kecil.
Kata-kata Sasha seperti gula yang larut di mulut, manis… tapi bisa membunuh perlahan.
Di depan secangkir kopi yang hampir dingin, dua perempuan muda itu saling menatap dalam diam.
Yang satu… sudah lama berdansa dengan dunia gelap dan glamor.
Yang satu lagi… berdiri di ambang pintu, bertanya-tanya apakah harus ikut masuk.
Selena tak tahu jawabannya malam itu.
Tapi di balik kegundahan hatinya, sebuah suara kecil berbisik pelan:
Selena Arindya
Jika kamu menjual harga dirimu…
apakah kamu juga harus menjual hatimu? (didalam hatinya)
Dan malam itu, keputusan belum dibuat.
Tapi langkah menuju jurang… sudah diambil.
Sasha Keyla
lo udah dapet sugar daddy?
Selena Arindya
ssssttt... saa... jangan terlalu keras ngomong nya.. nanti ada yang denger..
Sasha Keyla
(sasha tertawa genit) santai aja...
Sasha Keyla
ga akan ada yang denger ko beb...
Sasha Keyla
gimana kemarin malem, dapetkan?
Selena Arindya
yang ada gue kena tagihan saa...
Selena Arindya
untung aja kemarin ada om" yang baik nolongin guee..
Sasha Keyla
seriously? Omg... itu berita bagus dong...
Sasha Keyla
terus lo godain?
Selena Arindya
sasha... engga... aku ga berani godain dia..
Sasha Keyla
payah banget sih... kalo gue ya di posisi lo... udah gue cantol tuh si om" baik itu..
Selena Arindya
anjirr.. saa... lo ya ampun.. ( dengan nada terkejut sambil menggelengkan kepalanya)
Sasha Keyla
siapa namanya?
Selena Arindya
gue ga tau tapi dia tau nama gue..
Sasha Keyla
anjirr.. lo bisa bisanya kasih tau nama lo sedangkan lo ga tau namanya..
Selena Arindya
yaa maaf gue lupaa.. (dengan senyuman malu)
Sasha Keyla
ya udah jadi lo mau kan tetep nyari om"?
Selena Arindya
guee.. kesini sebenarnya mau nanya sama lo...
Sasha Keyla
nanya soal apa? (sambil merokok)
Selena Arindya
kalo seandainya gue ketemu lagi sama om baik itu... apa gue jadi sugar baby nya aja ya?
Sasha Keyla
(dengan menganggukkan kepalanya penuh kegenitan) mmmm... exactly selena!
Sasha Keyla
yoiii... lo harus jadi sugar babynya.. siapa tau lo bakal kaya raya kaya guee...
Sasha Keyla
jadi lo ga usah mikirin soal biaya pengobatan operasi ibu lo...
Selena Arindya
tapi masalahnya gue harus apa?
Sasha Keyla
lo harus pake pakaian seksi, terus minta ke dia buat booking kamar hotel buat... ah.. ahh.. saa... (dengan nada mendesah disengaja)
Selena Arindya
ga... gue ga mau...
Selena Arindya
itu namanya gue jadi cewe murahan anjirr saaa...
Sasha Keyla
tapi lo dapet gaji 2M beb
Sasha menyandarkan punggung ke kursi, memainkan sedotan minumannya dengan senyum menggoda.
Lalu kalimat itu meluncur ringan dari bibirnya, tanpa beban, tanpa ragu:
Sasha Keyla
Coba aja, Sel… satu ronde aja. Sewa kamar, selesai. Cuan langsung dapet. Gak perlu pakai hati..
Deg.
Kata-kata itu menghantam Selena seperti hantaman palu di dada.
Selena Arindya
Satu ronde?
Apa maksudnya segampang itu?
Bayangan mengerikan langsung melintas dalam kepalanya.
Dirinya… di atas kasur asing.
Tangan pria tak dikenal menyentuh tubuhnya.
Pakaian tercabik, harga diri luruh, dan yang paling menyakitkan kehormatan yang direnggut demi lembaran uang.
Selena menegang. Tangannya yang memegang gelas gemetar.
Selena Arindya
Jadi ini yang kamu maksud dengan jalan keluar?
Selena Arindya
Dengan menyerahkan tubuhku?
Wajah Sasha tetap tenang.
Terlalu tenang.
Tapi Selena hanya bisa menatap kosong, kepalanya dipenuhi suara bising yang tak bisa ia redam.
Selena Arindya
Aku… bakal kehilangan semuanya
Selena Arindya
Harga diriku… martabatku… bahkan sesuatu yang belum pernah aku bagi kepada siapa pun.
Selena Arindya
Aku gak akan perawan lagi…
Selena berdiri perlahan. Nafasnya tak beraturan, matanya mulai basah.
Selena Arindya
Maaf, Sha… Tapi kalau itu artinya aku harus kehilangan diriku sendiri, maka aku lebih baik tetap miskin.
Tanpa menunggu jawaban, Selena melangkah pergi, meninggalkan kafe dan semua kebisingan dunia glamor yang semu itu.
Langit malam menyambutnya dengan dingin,
tapi anehnya, ia merasa lebih hangat di luar sana, daripada di balik senyum manis penuh jebakan.
Dan di hatinya, sebuah kalimat menggema:
Selena Arindya
Aku bukan murahan… dan aku tidak akan jadi seperti itu hanya karena keadaan menekan.(dalam hatinya).
Langit sore mulai berwarna jingga, tapi tidak ada keindahan di mata Selena.
Langkahnya lemah, tertatih di trotoar kota yang ramai tapi terasa hampa.
Air matanya jatuh satu per satu, tak peduli orang-orang yang berlalu.
Pikirannya kacau. Dadanya sesak.
Selena Arindya
Bagaimana bisa aku menyelamatkan Mama…
Selena Arindya
Uang sebesar itu… dari mana?
Sasha menyarankan jalan cepat, tapi terlalu gelap, terlalu kotor.
Sementara waktu terus berlari, dan kondisi ibunya semakin kritis di rumah sakit.
Operasi harus dilakukan minggu ini.
Dan sekarang, satu-satunya harapan keluarganya…
adalah seorang gadis 19 tahun yang bahkan belum tahu bagaimana cara menyelamatkan dirinya sendiri.
Selena Arindya
Kalau aku gak bayar… Mama bisa mati....
Tangannya mengepal. Tubuhnya gemetar.
Dunia seperti menjepitnya dari segala arah.
Ia lelah. Ia takut. Tapi tak ada waktu untuk lemah.
Orang yang paling ia cintai… bisa pergi kapan saja.
Ia berhenti di depan halte kosong.
Duduk di bangku besi yang dingin.
Menatap matahari sore yang perlahan tenggelam,
seolah menyiratkan bahwa harapan ikut memudar.
Selena Arindya
Tolong… beri aku jalan
Selena Arindya
Aku gak tahu harus bagaimana…
Dan di tengah segala kebingungan dan air mata itu…
hanya ada satu tekad yang mulai tumbuh di hatinya:
Ia tidak akan membiarkan ibunya mati.
Ia akan melakukan apa pun. Bahkan jika itu berarti… kehilangan dirinya sendiri.
Selena Arindya
aku harus berani mengambil langkah..
Selena Arindya
aku harus bisa ketemu lagi sama om baik itu... gimanapun caranya...
Malam mulai menjatuhkan tirainya,
dan di dalam kamar kos sederhana itu, Selena duduk membisu di tepi ranjang, matanya kosong menatap lantai,
tapi pikirannya penuh dengan satu sosok Arvino.
Selena Arindya
Om itu… yang malam itu bantu aku..
Selena Arindya
Dia pasti sering ke tempat itu…
Selena menelan ludahnya, pelan tapi berat.
Bukan karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika ia kembali ke klub itu.
Tapi karena malam ini…
ia pergi bukan hanya sebagai gadis biasa.
Tapi sebagai seseorang yang harus menyelamatkan hidup ibunya.
Selena Arindya
Kalau aku gak bisa cari uangnya… Mama bisa pergi....
Selena Arindya
Tapi kalau aku bisa dekati dia… mungkin ini jalannya.
Ia tahu ini gila.
Ia tahu pria itu jauh lebih tua, penuh misteri, dan mungkin sangat berbahaya.
Tapi satu hal yang ia tahu pasti:
Arvino punya sesuatu yang tidak dimiliki siapa pun di hidupnya saat ini kekuatan dan kemungkinan.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu…
Selena berdiri dengan tekad di mata.
Selena Arindya
Aku harus melakukannya...
Selena Arindya
Aku harus temui dia lagi… malam ini...
Dengan nafas berat dan hati penuh keberanian palsu,
Selena meraih tas kecilnya, berdiri, dan melangkah keluar.
Sasaran sudah ditentukan.
Langkah pertama menuju penyelamatan dimulai di tempat paling gelap.
Lampu neon berkedip liar.
Aroma alkohol dan parfum mahal memenuhi udara.
Malam itu, klub terasa lebih panas dari biasanya lebih bising, lebih kacau.
Tapi tidak bagi Selena.
Langkah kakinya mantap.
Wajahnya dingin tapi tenang.
Gaun hitam sederhana membalut tubuhnya bukan terlalu mencolok, tapi cukup untuk membuat orang menoleh.
Selena Arindya
Aku gak datang untuk bersenang-senang... (dalam hatinya)
Selena Arindya
Aku datang untuk satu tujuan... (dalam hatinya)
Pandangan matanya menyapu ruangan, mencari sosok pria yang bahkan belum ia kenal nama lengkapnya.
Arvino.
Pria dewasa dengan tatapan tajam dan aura berbahaya—yang semalam menyelamatkannya tanpa alasan.
Dan benar saja…
Di sudut ruangan VIP, dia duduk.
Sendiri. Dengan gelas di tangan, dan sorot mata yang tetap dingin seperti malam sebelumnya.
Selena menarik napas.
Tangannya gemetar sedikit, tapi tekadnya bulat.
Ia berjalan perlahan ke arahnya.
Detik demi detik seakan melambat.
Dan saat Arvino mengangkat wajahnya…
tatapan mereka bertemu.
Diam.
Sunyi di tengah keramaian.
Seakan hanya mereka berdua di ruangan itu.
Selena Arindya
halo omm.. (dengan nada ceria yang sedikit genit)
Arvino Salvadore
Kau? kau datang lagi… (ujar Arvino pelan, nadanya datar, tapi matanya menelisik)
Selena tersenyum tipis, menyembunyikan gemuruh di dadanya.
Selena Arindya
Aku ingin mengucapkan terima kasih… (katanya)
Lalu duduk perlahan di hadapannya
Selena Arindya
dan mungkin aku perlu bicara bersamamu om...
Arvino Salvadore
bicara soal apa? (dengan nada kebingungan)
Arvino menatapnya lama, tak menjawab.
Tapi malam itu, dua orang dengan luka dan rahasia masing-masing duduk berhadapan
di awal sebuah cerita yang belum mereka tahu akan mengubah hidup mereka sepenuhnya.
Selena Arindya
apa kamu perlu sugar baby, om?
Arvino menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Selena tanpa berkedip.
Sorot matanya tajam seperti bisa membaca isi kepala gadis itu.
Selena baru saja duduk, mencoba terlihat tenang… tapi detik berikutnya, kata-kata pria itu menghantamnya tanpa ampun.
Arvino Salvadore
Bukannya kemarin kamu bilang kamu gak mau jadi sugar baby, ya?
Suasana di sekitar mereka seolah membeku.
Musik tetap berdentum keras, tapi dunia Selena seperti menjadi sunyi.
Gadis itu langsung kaku.
Matanya membulat, bibirnya terbuka tapi tak ada suara keluar.
Selena Arindya
Dia tahu.
om ini tahu maksud kedatanganku malam ini (dalam hatinya)
Selena mencoba membuka suara, suaranya nyaris bergetar.
Selena Arindya
bu-bukan itu ma-maksudku...
Arvino mengangkat alis, menyeringai tipis penuh sindiran
Arvino Salvadore
Lalu? Kamu datang ke tempat seperti ini… berdandan seperti itu… dan duduk di depan pria yang bahkan kamu gak kenal. Kalau bukan itu, kamu mau apa?
Selena menunduk. Pipinya memerah bukan karena malu, tapi karena rasa bersalah dan amarah pada dirinya sendiri.
Bukan begini yang ia harapkan. Tapi Arvino benar. Penampilannya, tujuannya… semuanya menjeratnya dalam situasi yang tak bisa dibantah.
Ia menggenggam ujung gaunnya erat-erat.
Selena Arindya
Aku cuma… butuh bantuan...
Selena Arindya
makanya aku mencari kamu om..
Selena Arindya
soalnya aku gak tau harus kesiapa lagi selain om yang ku kenal kemarin malam...
Untuk pertama kalinya malam itu, suara Selena terdengar rapuh dan jujur.
Dan Arvino…
Untuk sesaat, diam.
Tatapannya melembut, samar…
Mungkin karena melihat pantulan luka yang sama di mata gadis muda itu.
Arvino Salvadore
kamu gak perlu jadi sugar baby untukku....
Arvino Salvadore
cukup jujur saja apa yang kamu mau dariku..
Selena Arindya
aku... kesini.. cuma minta bantuan kamu om...
Arvino Salvadore
bantuan berupa apa nona manis?
Selena Arindya
engga ada yang harus kamu bantu...
Selena Arindya
kamu cukup minta apapun dariku..
Selena Arindya
biar kita adill...
Selena Arindya
kamu dapat jatah dariku dan aku dapat bayaran darimu...
selena mencoba untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya
Arvino Salvadore
jatah? aku gak butuh apapun darimu.. (dengan nada dingin)
Selena Arindya
om... gak boleh gitu...
Selena Arindya
aku rela ko...
Arvino Salvadore
gak perlu merendahkan jati dirimu seperti itu selena.. aku gak butuh hal itu darimu.. (dengan nada datar)
Selena Arindya
om... please..
Selena Arindya
apa om mau aku cium? atau mau?
Selena menggigit bibir bawahnya.
Kata-kata Arvino barusan masih terngiang di kepalanya.
Namun rasa takut kehilangan ibunya… jauh lebih besar daripada rasa malu.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, mencoba menatap mata pria itu lebih dalam.
Matanya berkaca-kaca, antara ketakutan, putus asa, dan tekad.
Selena Arindya
Kalau Om gak mau bantu cuma-cuma… aku bisa bayar dengan cara lain..
Tangan kecilnya mulai bergerak ke arah dada Arvino.
Tapi seketika...
Tangan Arvino dengan cepat menutup bibir Selena.
Tatapannya berubah, bukan marah, tapi penuh luka dan amarah yang ditahan.
Arvino Salvadore
berhenti.. (ucapnya pelan tapi tajam)
Arvino Salvadore
Kamu bahkan gak tahu artinya menyerahkan diri seperti itu....
Arvino Salvadore
Kamu bukan mainan. Kamu bukan barang dagangan. Dan aku… bukan lelaki yang akan membeli air mata gadis seperti kamu...
Selena membeku.
Matanya membulat, air mata mulai menetes pelan di pipinya.
Suara Arvino barusan seperti tamparan keras pada harga dirinya… tapi juga seperti tamparan yang menyadarkannya.
Arvino Salvadore
Kau terlalu muda… terlalu polos… jangan rusak dirimu hanya karena dunia memojokkanmu...
Arvino melepaskan tangannya perlahan dari wajah Selena.
Nafasnya berat.
Arvino Salvadore
Kalau kau butuh bantuan… katakan sejujurnya. Tapi jangan pernah tawarkan tubuhmu seperti itu lagi....
Selena terisak.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, dia tak merasa rendah…
Tapi justru merasa dihargai sebagai manusia.
Keheningan menyelimuti ruang VIP kecil itu.
Suara dentuman musik dari luar club terdengar samar…
Namun di antara keduanya, hanya ada detak jantung yang saling bersahutan.
Selena menunduk.
Bahu gadis itu gemetar, napasnya tercekat seolah kata-kata yang hendak keluar terlalu berat untuk diucapkan.
Selena Arindya
aku hanya butuh uang om...
Suara itu lirih. Retak.
Mata Selena mulai basah lagi, tapi kali ini bukan karena rasa malu…
Selena Arindya
…untuk operasi Ibu aku. Itu saja, Om... aku butuh uang secepat mungkin agar ibu bisa terselamatkan om..
Arvino terdiam.
Matanya menatap gadis di hadapannya bukan sebagai wanita yang mencoba menjual diri,
tapi sebagai anak perempuan yang sedang putus asa… dan ketakutan kehilangan ibunya.
Selena Arindya
Aku gak punya siapa-siapa, (lanjut Selena pelan)
Selena Arindya
Papa ninggalin kami waktu aku kecil… dan sekarang Ibu satu-satunya harapan aku.
Selena Arindya
Kalau aku gak bisa bayar operasi itu minggu ini… dia bisa..
Suara Selena patah.
Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Arvino perlahan duduk kembali, menatap ke luar jendela.
Ada riak emosi di wajahnya…
Luka lama di hatinya ikut terasa berdenyut.
Dia tahu betul seperti apa rasanya… kehilangan orang yang paling dicintai.
Tanpa menoleh, Arvino bertanya pelan:
Arvino Salvadore
berapa biaya operasi nya?
Selena mendongak perlahan terkejut.
Matanya mencari jawaban di wajah pria itu.
Tapi Arvino tak memberinya harapan kosong.
Hanya ketegasan, dan sedikit… kepedulian yang tak disangka.
Selena Arindya
sekitar 56 juta om..
Arvino Salvadore
56 juta? (dengan nada dingin tapi penuh rasa kepedulian)
Selena Arindya
iya om... (dengan nada ragu)
Arvino Salvadore
okee... sekarang kita kerumah sakit...
Arvino Salvadore
aku akan lunasi semua biaya operasi nya..
Selena Arindya
seriusan om?
Arvino Salvadore
iyahh aku serius.. (dengan nada datar tapi sangat dalam)
Selena Arindya
om serius? (dengan nada tidak menyangka)
Arvino berdiri.
Mengenakan jaketnya, lalu meraih kunci mobil yang ia letakkan di meja.
Sorot matanya tak menunjukkan keraguan sedikit pun.
Arvino Salvadore
sebelum aku berubah pikiran kalo dinanti-nanti
Selena tertegun.
Langkahnya terasa berat, bukan karena tak ingin…
tapi karena ia tak mengerti, kenapa pria ini begitu ingin menolongnya?
Padahal dia bukan siapa-siapa.
Mata Selena kembali memanas.
Tapi kali ini bukan karena ketakutan…
Melainkan karena ia baru saja melihat sisi kemanusiaan yang tak pernah ia sangka,
dari seorang pria dingin yang sebelumnya ia kira tak punya hati.
Dalam mobil, keduanya duduk dalam diam.
Suasana hening namun penuh makna.
Selena menggenggam ponselnya erat,
sementara Arvino menatap lurus ke depan wajahnya dingin, tapi di matanya…
terpancar sebuah keputusan
Mungkin… ini caranya untuk menebus masa lalu.
Dan mungkin… ini awal dari kisah yang tak pernah mereka duga.
Rumah sakit itu tampak kusam di mata Selena.
Tapi hari ini… langit tampak lebih terang.
Karena harapan yang nyaris hilang… datang dalam wujud pria dingin yang tiba-tiba menjadi penyelamat.
Selena menggandeng tangan Arvino, bukan karena berani, tapi karena panik.
“Cepat, Om… ini di lantai dua… Ibu aku di UGD!”
Langkah mereka cepat.
Hingga akhirnya sampai di hadapan dokter yang berdiri di depan pintu ruangan.
Dokter tampak bingung melihat pria dewasa berbaju mewah itu berdiri di samping gadis muda yang wajahnya sembab.
Arvino Salvadore
Dok… saya yang akan tanggung semua biaya operasinya...
Arvino Salvadore
Berapa pun itu, lakukan sekarang juga. Jangan tunggu lagi...
Sang dokter menatapnya sejenak.
Lalu mengangguk cepat, memberikan isyarat pada perawat untuk mulai persiapan.
Selena tak bisa berkata-kata.
Ia menoleh ke Arvino… suaranya tercekat,
Selena Arindya
Kenapa Om… melakukan ini semua?
Arvino tak menjawab.
Hanya menatap pintu ruang operasi yang perlahan tertutup.
Lalu berkata lirih, seperti pada dirinya sendiri:
Arvino Salvadore
Karena aku tahu seperti apa rasanya kehilangan seseorang yang kau cintai… dan tak bisa berbuat apa-apa...
Selena mulai menangis lagi.
Tapi tangisnya kali ini… tak sepekat semalam.
Ada sedikit rasa lega.
Dan dalam hati kecilnya, muncul rasa baru yang pelan-pelan tumbuh bukan cinta,
tapi kepercayaan.
Di luar ruangan itu, Arvino duduk sendiri.
Menatap jam tangannya…
dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan, waktunya terasa berarti lagi.
Arvino Salvadore
Apa yang sedang kulakukan.. (dalam hatinya)
Tapi anehnya, dia tidak menyesal
selena duduk di samping Arvino sambil melirik untuk menatap wajahnya dengan senyuman tulus dari wajah cantiknya
Selena Arindya
makasih ya om...
Selena Arindya
om.. udah bantuin aku yang kedua kalinya...
Selena Arindya
aku gak tau harus bilang apa dan lakuin apa biar bisa menembus semuanya...
Arvino Salvadore
gak perlu ada yang harus kamu tembus untukku... sekarang kamu berdoa agar ibumu pulih selena..
Pintu ruang operasi tertutup rapat.
Selena terduduk di samping Arvino, wajahnya penuh kecemasan…
Tapi detik demi detik, kesadaran perlahan menyusup ke dalam hatinya
bahwa pria di sebelahnya tidak pernah menuntut apa pun,
tidak menyentuhnya, tidak memanfaatkan kelemahannya…
Bahkan ketika dirinya sudah begitu putus asa menawarkan harga dirinya sendiri.
Air mata Selena kembali jatuh.
Tapi kali ini bukan karena takut…
melainkan karena tersentuh.
Luka hidupnya yang selama ini digores oleh banyak pria…
hari ini justru disembuhkan oleh seseorang yang paling ia kira akan menyakitinya.
Selena Arindya
om kenapa gak marah?
Selena Arindya
kenapa om malah nolong aku?
Arvino menoleh, tatapannya dengan tenang.
Arvino Salvadore
Karena kamu tidak pantas diperlakukan seperti barang. Dan karena ibumu tidak pantas mati… hanya karena keadaan...
Tubuhnya bergetar.
Tangisnya tumpah semuanya: rasa syukur, malu, dan kelegaan yang begitu besar.
Arvino terdiam.
Ia tidak membalas pelukan itu.
Tapi untuk sesaat, ia membiarkan gadis itu bersandar di dadanya…
seperti anak kecil yang akhirnya menemukan tempat aman setelah berlari dalam hujan deras.
Dalam diam, hati Arvino pun ikut retak.
Karena ia tahu… sesuatu yang tak seharusnya tumbuh, perlahan mulai menemukan tanahnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari.
Lorong rumah sakit mulai sepi… hanya suara detak jam dan langkah perawat sesekali terdengar.
Selena masih duduk di bangku tunggu, tubuhnya gemetar karena kelelahan,
matanya sembab dan wajahnya pucat, tapi ia tetap menolak untuk bergerak dari tempatnya.
Arvino Salvadore
selena... (Suara Arvino lembut namun tegas)
Arvino Salvadore
Kamu butuh istirahat. Mau ke rumahku atau pulang ke kosan, itu terserah. Tapi kamu harus tidur....
Selena menggeleng cepat, matanya mulai berkaca-kaca lagi.
Selena Arindya
Aku nggak bisa, Om… aku nggak mau ninggalin Ibu. Bagaimana kalau ada apa-apa…
Arvino mendekat, jongkok di depannya agar sejajar.
Ia menatap mata gadis itu dalam-dalam, memastikan kalimatnya bisa sampai ke hatinya.
Arvino Salvadore
Dengar. Aku akan menyuruh satu perawat khusus untuk menjaga ibumu malam ini. Aku pastikan dia tidak akan sendiri, bahkan untuk satu detik pun....
Arvino Salvadore
Kamu udah cukup kuat untuk bertahan sampai sejauh ini… tapi kamu juga harus cukup bijak untuk tahu kapan tubuhmu perlu istirahat...
Selena terdiam.
Hatinya berperang.
Antara kelelahan yang luar biasa dan kekhawatiran yang membunuh pelan-pelan.
Tapi saat Arvino berdiri, mengambil ponselnya, dan menelepon bagian administrasi rumah sakit untuk memesan perawat pribadi,
air mata Selena jatuh tanpa suara.
Ia percaya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia memilih untuk percaya.
Selena Arindya
Oke… tapi aku pulang ke kos aja, (ucap Selena akhirnya lirih)
Selena Arindya
Aku nggak nyaman kalau ngerepotin Om lebih jauh…
Arvino Salvadore
Baik. Tapi aku antar. Titipkan ibumu padaku malam ini… aku janji, dia akan baik-baik saja.
Dan untuk pertama kalinya… Selena tersenyum kecil.
Lelah, tapi penuh rasa terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!