Jam dinding antik di ruang keluarga berdentang pelan. Satu... dua... hingga sebelas kali. Suara detikannya menyerupai bisikan samar yang semakin menusuk di tengah malam yang sunyi.
Rumah itu berdiri megah di kawasan elite Lembang, dikelilingi pagar tinggi dan taman tropis yang terlalu rapi untuk terlihat alami. Dari luar, rumah itu seperti istana kecil. Tapi malam ini, ada yang tidak beres di dalamnya.
Di dapur, lampu temaram menggantung di atas meja marmer. Ibu rumah tangga bernama Maya berdiri mengenakan piyama sutra, tangannya sibuk memotong buah pir untuk camilan. Sesekali ia melirik ke arah pintu, gelisah, tapi mencoba tak memperlihatkannya.
Sementara itu, sang suami, Aditya, tengah duduk di sofa ruang keluarga, bersandar dengan mata terpaku ke layar laptopnya. Earphone terpasang di telinganya, memutar lagu-lagu jazz yang hanya dia sendiri yang tahu siapa penyanyinya.
“Yah, kamu denger nggak?” Maya bersuara pelan, tapi cukup tegas.
Aditya tak menjawab.
“Yah?” ulangnya, sedikit lebih keras.
Masih hening.
Maya menghela napas, meletakkan pisau dan berjalan mendekat. Ia mencabut salah satu earphone suaminya dengan gerakan cepat.
“Heh! Lagi kerja ini,” gerutu Aditya.
“Ada yang bunyi dari lantai atas,” bisik Maya, matanya melirik ke tangga yang menjulang gelap. “Kayak... suara seretan atau apa gitu.”
Aditya mendengus. “Mungkin kucing.”
“Kita nggak punya kucing.”
Diam. Mereka saling pandang beberapa detik. Suara detikan jam menjadi lebih keras dari seharusnya.
Dari lantai atas, terdengar suara lagi.
Sreettt...
Sesuatu seperti kursi diseret. Perlahan. Sangat pelan. Tapi cukup jelas.
Aditya berdiri, malas-malasan. “Mungkin anak kita,” katanya.
Maya langsung menggeleng. “Dia di kamar ngerjain PR. Jam segini masa masih main kursi?”
Aditya mengangkat alis. “Ya udah. Aku naik cek.”
Sambil mengambil senter kecil dari meja, Aditya menapaki tangga. Setiap langkahnya menimbulkan bunyi kayu berderit, seperti memperjelas bahwa malam ini tidak seharusnya ada yang bergerak di dalam rumah.
Lampu lorong lantai atas mati. “Kenapa lampunya nggak nyala?” gumamnya.
Ia menyinari lorong dengan senter. Ujung cahaya menabrak dinding putih, lalu berhenti pada sebuah lukisan tua—wajah perempuan dengan ekspresi datar, matanya seperti mengikuti dari manapun arah datangnya orang.
“Kita harus ganti lukisan ini...” gerutunya sambil melanjutkan langkah.
Pintu kamar anak mereka, Kenan, sedikit terbuka. Cahaya dari dalam menembus ke lorong.
Aditya mengetuk dua kali. “Ken?”
Dari dalam, suara bocah menjawab, “Iya, Ayah.”
Aditya mendorong pintu. Kenan duduk di meja belajarnya, menulis sesuatu dengan wajah serius. Di belakangnya, jendela terbuka. Tirai putih melambai pelan.
“Ken, denger suara dari lorong atas nggak?” tanya Aditya.
Kenan mengangguk tanpa menoleh. “Iya. Ada yang jalan tadi, Ayah.”
Aditya diam. “Yang jalan kamu, bukan?”
Kenan menoleh. Matanya serius. “Bukan. Aku kira Ayah atau Ibu.”
Aditya menelan ludah.
“Jendela kamu kenapa dibuka?” tanyanya lagi.
“Aku nggak buka, Ayah.”
Detik itu juga, angin bertiup dari luar. Tirai tersibak, dan untuk sepersekian detik, ada bayangan hitam berdiri di ujung luar jendela—bentuknya tinggi dan kurus, wajahnya kabur seperti ditutupi kabut.
Aditya berbalik, hendak memanggil Maya.
Tapi suara itu datang lagi.
Sreettt... sreettt...
Dari ruang tamu di bawah.
Bukan. Bukan suara kursi. Kali ini lebih berat. Seperti sesuatu yang diseret, tapi bukan perabot.
Tubuh manusia?
Aditya segera memeluk Kenan. “Tetap di sini. Kunci pintunya.”
“Ayah?”
“Apapun yang kamu denger, jangan buka pintu sampai Ayah bilang, paham?”
Kenan mengangguk, meskipun wajahnya mulai pucat.
Aditya menuruni tangga dengan lebih cepat. Napasnya memburu. Maya menunggu di bawah, tubuhnya kaku, tatapannya tak lepas dari ruang tamu.
“Yah... ada yang berdiri di sana.”
Aditya menoleh.
Dan memang ada.
Seseorang—atau sesuatu—berdiri di ujung ruang tamu, punggungnya menghadap mereka. Tubuhnya tinggi, rambut panjang menjuntai hingga ke lantai. Kakinya telanjang, berdarah. Gaun putihnya robek di banyak bagian, dan dari tempat berdirinya, darah menggenang membentuk pola seperti simbol kuno di lantai marmer.
Aditya mundur setapak. “Siapa itu?!”
Makhluk itu tidak menjawab. Tapi lehernya perlahan berputar. Bukan tubuhnya—lehernya saja. Membentuk sudut aneh, nyaris patah, hingga wajahnya menghadap ke belakang.
Wajah itu...
Bukan manusia.
Kulitnya pucat kehijauan. Matanya kosong, menghitam penuh. Dan senyumnya—lebar, terlalu lebar, hingga menampakkan barisan gigi seperti serpihan kaca.
Makhluk itu melangkah.
Dan setiap langkahnya menimbulkan jejak darah.
Maya menjerit. Tapi jeritannya langsung tertahan ketika lampu rumah padam seketika.
Gelap.
Benar-benar gelap.
“Pegang tangan aku,” kata Aditya cepat, “kita lari ke mobil!”
Mereka berlari. Tapi langkah Maya terhenti saat mendengar suara lain dari belakang.
“...Ibu...”
Suara itu kecil.
Suara Kenan.
Tapi... bukan dari atas.
Suara itu dari... ruang tamu.
Maya menoleh. “Kenan?!”
Aditya menariknya, “Itu bukan Kenan! Itu—”
Terlambat.
Maya sudah lepas dari genggaman dan mendekati sumber suara.
Cahaya kilat menyambar dari luar rumah, dan dalam sepersekian detik, tampak tubuh bocah berdiri di tengah ruang tamu. Tubuhnya penuh luka. Matanya kosong.
Tapi wajahnya... itu wajah Kenan.
“Kenan?” Maya gemetar.
“Kenan kamu masih di kamar,” teriak Aditya. “Itu bukan dia!”
Tapi Maya sudah terlalu dekat. “Sayang, kamu kenapa?”
Bocah itu mengangkat kepala. Senyumnya mulai tumbuh.
Lalu tubuhnya melompat dengan kecepatan tak wajar, menerkam Maya.
Aditya menjerit, menarik senter, dan menyinari makhluk itu—seketika tubuh bocah itu menguap seperti kabut, lenyap di udara.
Maya terduduk, terengah, matanya basah.
“Kenapa... itu tadi...?”
“Aku nggak tahu,” jawab Aditya, mencoba tegar, “tapi kita harus keluar sekarang.”
Belum sempat mereka melangkah, lonceng tua di sudut rumah berdentang sendiri. Pelan. Tapi terus-menerus. Tanpa henti.
Dari belakang lorong, suara langkah kaki terdengar lagi. Kali ini... lebih banyak. Bukan satu.
Empat... lima... tujuh...
Dan suara tawa kecil. Tawa anak-anak.
“Rasanya kayak... pesta ulang tahun yang sangat salah,” kata Maya lirih, mulai gemetar lagi.
Aditya menggertakkan gigi. “Kita butuh bantuan. Kita—”
BRAAAAK!
Pintu depan terbuka lebar, dan angin dingin menerpa masuk, membawa serta aroma anyir seperti daging busuk dan tanah basah.
Dan di ambang pintu, berdiri seseorang.
Perempuan.
Rambut panjang, wajah dingin.
Dia mengenakan mantel merah gelap yang berkibar seperti jubah.
Di tangannya—senapan berat dengan ukiran menyala merah membentuk tulisan aksara kuno. Di pinggangnya, sebilah keris melengkung, sarungnya dihiasi batik tua.
Dia menatap ke arah lorong gelap.
“Siapa pun kalian,” suaranya serak, malas, tapi tajam seperti bilah baja. “Pesta kalian resmi dibubarkan.”
Dia mengangkat senapan.
“Dan tolong, jangan bikin aku ngulang kalimat keren itu dua kali.”
Lalu—dor.
Satu tembakan meledak, dan makhluk pertama yang muncul tadi meledak jadi abu hitam.
Aditya dan Maya saling pandang.
Siapa... perempuan ini?
Tembakan tadi masih bergema di kepala Maya. Asap dari peluru menyebar, dan aroma besi hangus menggantikan bau busuk yang sempat mendominasi rumah itu. Sosok wanita bertrench coat merah itu menurunkan senjatanya dengan santai, seolah baru saja menembak seekor tikus di dapur.
Aditya masih memeluk Maya, sementara mata mereka terpaku pada si tamu misterius.
“Siapa... siapa kamu?” tanya Aditya dengan suara pelan, setengah takut.
Wanita itu mengangkat alis. “Yang jelas bukan sales vacuum cleaner.”
Ia berjalan masuk begitu saja, langkahnya ringan tapi penuh percaya diri. Mata tajamnya menyisir ruangan. Setiap detik terasa seperti adegan dalam film thriller murahan... kalau filmnya digarap oleh orang kerasukan dan nulis naskahnya sambil kesurupan.
“Nama gue Rengganis. Tapi lo boleh panggil gue Larang. Atau... panggil ambulan kalau masih pengen sok nanya-nanya padahal udah hampir disembelih makhluk gaib.”
Aditya dan Maya masih terpaku. Rengganis mengangkat tangan.
“Udah, santai. Gue di sini bukan mau nyulik ginjal lo atau nyari endorse,” katanya dengan gaya seenaknya, lalu melemparkan sesuatu dari sakunya.
Benda itu mendarat di lantai. Sebuah jimat kain berbentuk segitiga dengan aksara kuno di tengahnya.
Seketika, udara di rumah itu berubah. Suara-suara aneh yang mengelilingi lorong meredam perlahan. Detik jam terdengar normal. Aroma darah pun lenyap, digantikan oleh wangi menyan halus.
Maya menelan ludah. “Kamu... dukun?”
Rengganis mendesah panjang. “Astaga, istilah orang awam tuh ya... dukun. Mending gue dibilang montir siluman deh.”
Dia melangkah menuju ruang tengah, menendang tubuh siluman yang tadi hancur menjadi abu. “Ini bukan cuma gangguan. Rumah lo udah kayak halte kereta api dari neraka. Tiap malam ada yang turun. Dan lo berdua diem aja, nunggu sampai ada yang masuk kulkas kali?”
Aditya memaksakan senyum. “Kami kira... ini hanya gangguan biasa... rumah tua, kebetulan dekat hutan, mungkin—”
“Bro, lo tinggal di Lembang. Ini bukan hutan. Ini real estate,” potong Rengganis. “Tapi ya... kadang real estate pun dibangun di atas tanah yang penuh janji.”
Maya mengerutkan alis. “Janji?”
Rengganis menoleh. Matanya menyipit. “Lo gak pernah tanya tanah ini dulu apa? Tanah kosong? Pabrik tua? Kuburan massal? Atau... tempat ritual?”
Aditya menggeleng pelan. “Kami beli dari developer... gak pernah kepikiran.”
“Ya itu masalahnya. Orang-orang zaman sekarang mikir rumah cuma soal sertifikat. Gak pernah mikir energi. Aura. Riwayat darah. Dan sekarang... yang dulu dikubur bangkit minta perhatian.”
Tiba-tiba, dari arah tangga, terdengar langkah kaki kecil.
“Kenan!” seru Maya, reflek berlari ke arah tangga.
Rengganis bergerak lebih cepat, menghadang di tengah jalan. “Tunggu. Lo yakin itu anak lo?”
Maya terdiam. Wajahnya pucat.
“Dengar. Kalau itu beneran Kenan, dia nggak bakal turun pas tahu rumahnya penuh hantu. Tapi kalau itu... tiruannya lagi, lo bakal habis sebelum sempat peluk.”
Rengganis mengangkat tangan dan melempar sebutir batu ke arah tangga.
“Batu apa itu?” tanya Aditya.
“Batu pertanyaan,” jawabnya malas.
Begitu batu itu menyentuh lantai tangga, terdengar suara mendesis—dan sosok anak kecil yang terlihat seperti Kenan muncul dari balik dinding... lalu langsung terbakar menjadi asap hitam. Menyisakan aroma daging gosong.
Maya menjerit lagi.
“Tenang,” gumam Rengganis. “Kalau nyawanya udah hilang duluan, gak usah disuruh tenang juga gak bakal reinkarnasi jadi kucing.”
Dia kembali menatap Aditya. “Gue perlu lihat kamar anak lo. Dan lo—” katanya pada Maya, “—mandi. Lo kena energi mati. Bau bangkai nempel di badan lo kayak parfum murahan.”
Maya masih ingin protes, tapi Rengganis sudah naik tangga tanpa menunggu.
---
Kamar Kenan terlihat normal. Tapi hanya di permukaan. Rengganis melangkah pelan, jarinya menyentuh dinding, menarik garis tak kasatmata di udara.
"Ini bukan cuma gangguan siluman. Ada celah dimensi yang kebuka di sini. Tipis. Tapi cukup buat dilewatin makhluk dari sisi gelap."
Kenan duduk di pojokan, memeluk lutut. Matanya ketakutan.
Rengganis mendekat. “Nama lo Kenan, kan?”
Bocah itu mengangguk cepat.
Dia berlutut, menatap lurus ke arah anak itu. “Denger, kamu bakal baik-baik aja. Tapi jawab satu pertanyaan. Kamu pernah diajak ngobrol sama... ‘seseorang yang nggak kelihatan’? Mungkin dia bilang teman, atau ngajak main?”
Kenan ragu-ragu, lalu mengangguk pelan.
“Apa yang dia minta?”
Kenan bergumam lirih. “Dia bilang... aku cuma harus buka jendela. Setiap malam.”
“Dan kamu buka?”
“Iya... karena dia janji bisa balikin Ayah dan Ibu ke waktu dulu... sebelum mereka sering marah.”
Rengganis terdiam sejenak. Pandangannya menjadi dingin.
“Siluman ini licik,” gumamnya. “Pake trauma anak buat buka portal.”
Dia berdiri, membuka tas pinggangnya, mengeluarkan lilin hitam, cermin kecil, dan sebuah keris kecil.
“Sekarang kita tutup gerbangnya.”
---
Ritual berlangsung cepat. Gerakan tangan Rengganis begitu terlatih, bacaan doanya meluncur dari bibir seperti desahan angin malam di gunung. Di ujung ritual, api lilin membiru, dan cermin di tangan Rengganis bergetar hebat.
Lalu—pecah.
“Celah udah tertutup. Tapi... ini bukan akhir. Ini awal.”
Dia bangkit, menatap keluar jendela. “Gue mau lihat halaman belakang.”
---
Halaman belakang rumah itu rapi. Terlalu rapi. Pohon palem simetris. Rumput halus. Tapi di salah satu sudut—ada tanah yang terlihat baru digali.
Rengganis mendekat.
“Pernah ada sumur di sini?” tanyanya.
Aditya yang mengikuti dari belakang mengangguk. “Iya... tapi kata developer, sumur lama. Ditutup karena udah kering.”
Rengganis menarik napas panjang. “Itu bukan sumur. Itu portal. Tempat ini... pernah dijadiin titik pemanggilan. Ritual besar. Dan mereka... gagal nutupnya.”
Ia membuka mantelnya, mengeluarkan benda seperti botol kaca berisi cairan hitam pekat.
Tanpa peringatan, dia tuangkan ke tanah.
Begitu cairan menyentuh tanah, terdengar suara—bukan dari dunia ini. Jeritan. Rintihan. Suara seperti bayi, wanita, dan binatang liar bercampur jadi satu.
“Lo pikir ini rumah biasa, bro?” katanya pelan ke Aditya. “Lo tinggal di bekas altar darah. Dan lo buka pintunya tiap malam.”
Aditya terduduk. “Kami gak tahu... kami cuma pengen hidup tenang.”
Rengganis menatapnya. Matanya melembut... sedikit.
“Tenang itu hak semua orang. Tapi kalau lo hidup di tanah yang belum diberesin utangnya, ya siap-siap diganggu penagih dari dunia sebelah.”
Dia berdiri. “Besok, gue panggil tim. Kita bersih total rumah ini. Tapi sekarang—”
Suara derit pintu tiba-tiba terdengar dari dalam rumah.
Rengganis reflek mengangkat senjatanya.
“Siap-siap. Kita belum selesai.”
---
Saat mereka masuk kembali, seluruh lampu rumah kembali menyala—dengan cahaya merah.
Dari langit-langit, darah mulai menetes.
Di dinding, bayangan-bayangan bergerak sendiri.
Dan dari tangga... muncul sosok tubuh-tubuh kecil.
Anak-anak.
Puluhan.
Berpakaian seperti dari era 70-an. Seragam sekolah. Baju tidur. Kaos sobek.
Wajah mereka... tidak manusiawi.
Mata hitam kosong. Mulut sobek. Beberapa tanpa rahang. Beberapa tanpa kulit.
Dan mereka semua tertawa.
“Ternyata ulang tahun beneran,” gumam Rengganis, memasang peluru ke senjatanya. “Dan gue nggak bawa kado. Tapi gue bawa ledakan.”
Aditya dan Maya mundur, menutup Kenan di belakang mereka.
Rengganis berdiri paling depan.
“Lo semua,” katanya sambil menatap makhluk-makhluk kecil itu, “harusnya udah tidur. Sekarang... gue kasih dongeng penutup.”
Dia menembak.
Satu... dua... tiga makhluk meledak jadi abu.
Sisanya menerjang, merangkak di dinding, melompat dari langit-langit.
Rengganis menyarungkan senapan, menghunus keris.
Begitu keris keluar dari sarungnya, cahaya merah menyala, dan simbol kuno di udara muncul. Makhluk yang mendekat langsung terbakar.
Tapi jumlah mereka terlalu banyak.
Rengganis tersenyum tipis. “Oke. Kalian maksa.”
Dari kantung sabuknya, ia mengeluarkan jimat terakhir—kertas kuning beraksara Arab kuno, lalu menempelkannya ke lantai.
“Al-‘Aduwwu yashraqu bi an-nur,” bisiknya.
Lantai rumah bergetar.
Dan dari bawah tanah... suara gaib menjawab.
Dalam satu ledakan cahaya, semua makhluk meledak menjadi abu—seluruh ruangan jadi hening.
Napas Maya tercekat. Aditya terduduk. Kenan menggigil dalam pelukan ibunya.
Dan Rengganis berdiri di tengah abu.
Penuh luka. Tapi berdiri.
“Gue udah bilang,” katanya datar. “Pestanya dibubarin.”
Tangan kecil itu menggenggam pergelangan Sasmita dengan kekuatan yang tak seharusnya dimiliki anak seusia Kenan.
“Aku takut...” bisiknya. “Jangan pergi dulu...”
Sasmita menunduk. Mata bocah itu merah, napasnya masih memburu. Tubuhnya menggigil, meski suhu di dalam rumah cukup hangat. Tangan Sasmita terdiam. Ia tidak menepiskan, tidak juga membalas. Ia hanya mematung... memikirkan seberapa sering dia melihat tatapan seperti itu.
Tatapan seseorang yang baru saja mengintip neraka.
Aditya melangkah mendekat. “Mbak... kalau boleh... kami minta tolong. Mungkin—tinggal di sini dulu malam ini?”
Sasmita menarik napas pelan, lalu mendesah, malas. “Gue nggak suka numpang.”
“Kami nggak nganggep itu numpang,” sambung Maya cepat, matanya basah. “Rumah ini udah... udah bukan rumah kayak tadi.”
Sasmita melirik sekeliling. Lantai masih menghitam bekas darah, meski bentuk simbolnya sudah buyar sejak ia meledakkan makhluk itu. Udara masih menyimpan bau anyir dan busuk samar, meski sudah ia netralisir sebagian. Energi... masih menggantung. Tak utuh, tapi juga belum pergi.
Rumah ini belum selesai.
“Gue cuma butuh dua hal. Satu: kamar dengan jendela ngadep timur. Dua: kopi item.”
Aditya mengangguk, hampir lega. “Ada. Ada semua.”
Sasmita mengangguk, pelan. Baru kali ini ia tak menolak permintaan untuk tinggal. Tapi bukan karena kasihan. Ini lebih buruk dari kasihan. Ini... familiar.
Sambil berjalan menuju kamar tamu, ia merogoh ponsel dari sakunya. Jemarinya mengetik cepat, lalu menempelkan ponsel ke telinga.
“Tri... siapin barang. Bawa kitab. Bawa juga peluru yang kita simpen di kotak hitam itu. Besok pagi lo ke Lembang.”
Suara dari seberang terdengar pelan. “Lembang? Tapi—”
“Bawa juga Ningsih.”
“Dia lagi puasa bicara, Kak.”
Sasmita menyeringai pendek. “Nggak masalah. Gue nggak pengen dia bicara. Gue pengen dia bantu.”
“Bant—”
Sasmita memutus sambungan.
Di seberang kota, dua jiwa yang tak pernah diminta dilahirkan ke dunia seperti ini akan segera terbangun.
03.24 WIB – Bandung Timur
Gubuk kecil itu berdiri di tengah lapangan kosong, dikelilingi sawah dan pohon pisang yang kurus seperti tulang tua. Lampu minyak menggantung di langit-langit rendah, cahayanya berpendar seperti bisikan hantu.
Tri Wahyuni duduk bersila di atas tikar pandan. Di depannya, sebatang dupa menyala, asapnya berputar pelan, membentuk wajah-wajah samar yang segera pecah oleh angin malam.
Dia membuka mata.
“Ada yang manggil,” gumamnya.
Tubuhnya kurus, tapi ada kekuatan yang tidur dalam tiap ruas tulangnya. Bekas luka masih terlihat di pergelangan, bekas ikatan tali, bekas masa lalu yang tak pernah diminta.
Dia bangkit, membuka peti hitam di bawah ranjang. Di dalamnya: rosario, peluru perak, garam hitam, foto Sasmita, dan sebuah sarung senjata.
Tangannya gemetar sebentar saat menyentuh sarung itu, tapi segera ia genggam.
Dari pojok ruangan, suara tangisan lirih terdengar.
Dia menoleh. Tak ada siapa-siapa.
Hanya cermin.
Tapi di balik pantulan... sosok berwarna hijau berdiri, matanya melotot, giginya hitam berlubang, dan tangan gemuknya meneteskan darah.
Tri memandang balik.
“Aku bukan gadis kecil itu lagi,” bisiknya. “Coba sentuh aku sekarang, anjing.”
Sosok itu menghilang.
Dia mengambil tas hitam dan keluar. Di luar, bulan menggantung pucat. Malam terasa menggigil.
03.41 WIB – Gunung Puntang
Satu kilometer dari jalan umum, gubuk bambu berdiri di antara pohon damar. Di dalamnya, seorang gadis duduk di tengah lingkaran tanah yang dipenuhi tengkorak hewan kecil, reranting, dan debu merah. Tubuhnya berbalut kain lusuh, rambutnya panjang menjuntai hingga lantai.
Dia tidak bergerak. Tidak bernapas. Tidak berkedip.
Hanya diam.
Nyaris seperti mayat.
Sampai suara dari dalam tanah bergumam. “Kau pikir bisa lari dari darahmu, Ningsih?”
Gadis itu membuka mata.
Matanya hitam pekat, tanpa putih sama sekali.
“Aku nggak lari. Aku cuma... belajar diem.”
Bayangan muncul dari dalam lingkaran—perempuan tua dengan rambut menjuntai seperti anyaman tali, lidah menjulur hingga perut, dan tubuh setengah transparan, setengah terbakar.
“Tubuhmu warisan milikku,” bisik makhluk itu. “Kau diciptakan untukku...”
Ningsih berdiri perlahan. Mengambil segenggam tanah dari lantai. “Tapi sekarang tubuh ini milik Kak Sasmita. Dan lo nggak punya kuasa apa-apa.”
Dia menaburkan tanah itu ke dalam lingkaran.
Makhluk itu menjerit.
Lingkaran menyala merah, dan api muncul membentuk mantra kuno.
Ningsih melangkah keluar. Sambil membawa kantong kain dan selembar surat dari Sasmita yang entah kapan diletakkan di depan pintunya.
“Lembang,” katanya pelan.
Dan malam itu, dua murid neraka berjalan menuju pusat badai yang menanti mereka.
Kembali ke Rumah Aditya – 06.08 WIB
Sasmita duduk di balkon belakang, matanya menatap langit timur. Kopi hitam mengepul di tangan kirinya. Keris Pusaka Larang disandarkan ke lututnya.
Udara pagi belum benar-benar segar. Masih ada sisa bau gaib yang menyelip di sela-sela angin. Sasmita bisa menciumnya. Bukan hanya sisa dari semalam... tapi juga sesuatu yang lebih tua. Lebih dalam.
Tanah ini pernah digunakan untuk ritual. Bukan sembarangan. Darah pernah ditumpahkan, bukan dari kambing, bukan dari ayam. Tapi dari manusia.
Dan aroma itu... masih ada.
Aditya mendekat, membawa dua gelas teh manis. “Mbak nggak tidur?”
Sasmita menggeleng. “Tidur itu buat yang nggak punya utang karma.”
Aditya diam. Tidak tahu harus membalas apa.
Dari dalam, Maya mengantar Kenan keluar kamar. Bocah itu memeluk boneka kecil, matanya masih berat.
Saat melihat Sasmita, dia langsung menghampiri. Perlahan. Lalu duduk di lantai dekat kaki Sasmita, seolah dia... aman di sana.
Sasmita mengangkat alis. “Lo ngapain?”
“Aku mau denger cerita hantu dari Tante,” jawab Kenan polos.
Sasmita menyeringai. “Lo nggak cukup trauma semalam?”
“Justru karena itu... aku nggak mau takut lagi.”
Sasmita mengangguk pelan. Dalam hati... dia salut. Anak ini bisa patah, atau tumbuh jadi pemburu masa depan.
Tapi sebelum ia sempat membalas, matanya menajam.
Ada sesuatu... bergerak di taman belakang.
Bukan hewan. Bukan manusia biasa.
Getarannya halus, tapi aneh. Seolah bumi tak suka kehadirannya.
Dia berdiri. “Kenan, masuk. Sekarang.”
Kenan menurut. Maya segera membawanya kembali masuk.
Aditya mengencangkan cengkeramannya pada mug teh. “Apa lagi?”
Sasmita meraih kerisnya. “Bukan ‘apa’. Tapi ‘siapa’.”
Dari balik pagar taman, seorang pria muncul. Tua, tapi matanya merah seperti arang yang baru dipadamkan. Dia mengenakan jubah hitam dan membawa tongkat dari tulang manusia.
Sasmita mengangkat senapan.
Tapi sebelum ia sempat menarik pelatuk, suara lain datang dari gerbang depan.
“Nembak orang tua... dosa, Kak.”
Tri Wahyuni masuk, menenteng ransel hitam. Di belakangnya, Ningsih berjalan dengan langkah pelan, matanya hitam total. Seolah dia membawa kabut bersamanya.
Sasmita menoleh. Senyumnya muncul.
“Murid-murid gue udah dateng.”
Dia menatap pria tua itu.
“Sekarang, mari kita mulai pelajaran pagi.”
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!