© Gang Gelap : Pertemuan Di Bawah Hujan©
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan kota yang mulai sepi. Cahaya lampu jalan redup berkelap-kelip, memberi kesan kelam pada malam yang sudah mencekam. Aluna menarik napas dalam-dalam di bawah kanopi toko buku tempatnya bekerja. Ia menatap hujan yang tak kunjung reda, lalu melihat jam di pergelangan tangannya,sudah mulai larut.
23.10
Sudah sangat larut. Jika menunggu hingga hujan reda, mungkin ia harus bermalam di toko buku. Ia mengeratkan sweater tipisnya, menggigit bibir, lalu menghela napas pelan. Tak ada pilihan lain.
"Aku harus cepat pulang..." gumamnya lirih.
Dengan langkah ragu, ia akhirnya menerobos hujan, berlari kecil melewati trotoar yang tergenang air. Dalam benaknya, yang terpenting adalah segera sampai di kost. Jalur tercepat adalah lewat gang kecil di ujung jalan. Tempat itu memang jarang dilewati orang, tapi lebih baik daripada harus memutar jauh di tengah hujan begini.
Saat memasuki mulut gang yang gelap, Aluna merasakan sesuatu yang aneh. Ada semacam getaran aneh di udara, seolah malam itu menyimpan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.
Dan benar saja.
Begitu kakinya melangkah lebih dalam, matanya membelalak. Napasnya tercekat.
Di tengah gang yang remang, tiga pria berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topeng berdiri di sekitar tubuh seseorang yang tergeletak tak bernyawa di tanah basah. Salah satu dari mereka menggenggam belati yang masih berlumuran darah.
Darah.
Pemandangan itu menghantam kesadarannya, membuat tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tangannya menutup mulut, mencegah dirinya mengeluarkan suara sekecil apa pun.
Namun, sial.
Saat ia bergerak mundur, kakinya tanpa sengaja menginjak kaleng kosong yang tergelincir di bawah hujan. Suara nyaring menggema di gang sunyi itu.
**Duk! Clang!**
Aluna tersentak.Dan saat itulah tiga pria itu menoleh ke arahnya.Dada Aluna naik-turun dengan cepat, napasnya putus-putus. Mata pria yang memegang belati menatapnya tajam. Cahaya petir yang menyambar di langit membuat matanya terlihat lebih jelas. Tatapan mata dingin, penuh bahaya, menusuk ke dalam jiwanya.
"Sial," gumam salah satu pria di sebelahnya.
"Apa yang harus kita lakukan? Dia melihat semuanya," kata pria lainnya dengan suara berat.
"Haruskah kita melenyapkannya sekarang juga?"
Aluna tersentak. Jantungnya hampir meledak dalam ketakutan. Ia membuka mulut, berusaha berbicara, tetapi suaranya hanya keluar seperti bisikan.
"T-Tolong... a-aku t-tidak akan mengatakan apapun... Aku berjanji... Aku bersumpah..."
Pria yang memegang belati itu menatapnya tanpa ekspresi. Ia tidak langsung menjawab. Diam sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu.Kemudian, tanpa mengalihkan pandangannya dari Aluna, ia memberi perintah.
"Bawa mayat itu. Tunggu aku di ujung jalan."
Kedua anak buahnya saling bertukar pandang. Ada keraguan di wajah mereka, tetapi mereka tidak berani membantah. Mereka segera mengangkat tubuh tak bernyawa itu dan menghilang dalam kegelapan.
Sementara itu, pria itu perlahan berjalan mendekati Aluna yang masih terduduk di tanah. Hujan semakin deras, menciptakan suara gemuruh yang mengiringi langkahnya.
Aluna menahan napas. Tubuhnya semakin menggigil, bukan hanya karena kedinginan, tetapi juga karena rasa takut yang menggerogoti dirinya.
Pria itu berjongkok di depannya, menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip.
"Namamu?"
Aluna membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar,nafasnya tercekat. Matanya tertuju pada belati di tangan pria itu yang masih berlumuran darah.
Pria itu mengulang pertanyaannya.
"Siapa. Namamu?"
Tangannya yang bebas terulur, menyentuh pipi Aluna. Jari telunjuknya menyusuri wajah gadis itu, lalu berhenti di pipinya yang chubby. Entah dorongan dari mana, ia menekan-nekan pipi bulat itu perlahan.
" Chubby sekali...."
Aluna tersentak, menangis semakin keras.
"A-Aluna..." suaranya bergetar.
Pria itu menyeringai kecil. Ia menyimpan belatinya ke dalam saku, membungkusnya dengan sapu tangan hitam.
"Dimana kau tinggal?"
"Di... di kost... t-tak jauh dari sini..."
Pria itu mengangguk. Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, ia melepaskan mantelnya dan menyampirkannya ke bahu Aluna.
"Naik."
"A-apa?"
"Punggungku. Naik."
"A-aku bisa jalan sendiri..."
Tatapan pria itu berubah tajam. "Aku tidak suka mengulang perkataan."
Aluna menelan ludah, lalu dengan tubuh yang masih gemetar, ia akhirnya naik ke punggung pria itu. Ia terlalu takut untuk melawan. Pria itu berjalan melewati hujan, menyusuri jalanan gelap tanpa mengatakan apa pun.
Setelah beberapa saat, suara pria itu terdengar lagi.
"Berhenti menangis."
Aluna justru semakin tersedu.
"Jika kau terus menangis... aku mungkin akan melenyapkanmu seperti pria tadi."
Aluna menahan napasnya, berusaha sekuat tenaga menahan isakan, meskipun air matanya masih mengalir deras.
Setelah beberapa menit, kost Aluna akhirnya terlihat. Dengan suara lirih, ia memberitahu pria itu bahwa mereka sudah sampai.
" D-Disini.."
Pria itu menurunkannya perlahan. Aluna langsung melepaskan mantel yang tadi dipakaikan kepadanya. Tangannya gemetar saat mencoba membuka kunci pintu. Begitu berhasil, ia segera masuk ke dalam.
Namun, sebelum sempat menutup pintu, pria itu menahannya dengan satu tangan.
Lalu, tanpa ragu, ia melangkah masuk ke dalam kost Aluna dan menutup pintu di belakangnya.
Aluna jatuh terduduk di lantai, menangis semakin keras. Kedua tangannya menangkup di depan dada, memohon dengan suara kecil yang hampir seperti bisikan.
Pria itu berjongkok di depannya lagi, menatapnya lekat. Jemarinya kembali menyentuh pipi Aluna yang basah oleh air mata. Kali ini, ia tidak hanya menekan-nekan pipi itu, tetapi juga mengusapnya perlahan.
Lalu, dengan gerakan mengejutkan, ia menundukkan wajahnya, mendekatkan diri hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka.
Suara seraknya terdengar di telinga Aluna.
"Jangan katakan apapun pada siapapun. Aku akan tahu jika kau berbohong."
Aluna mengangguk cepat dengan napas tersengal.
Tatapan pria itu turun ke pipi Aluna lagi, lalu tiba-tiba...
Cup...
Aluna membelalak.Pipinya baru saja dicium.
Lidahnya kelu. Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan suara lagi.
Pria itu hanya tersenyum miring, lalu berdiri. Dengan langkah tenang, ia berjalan ke pintu, membukanya. Namun, sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi ke arah Aluna yang masih terduduk di lantai dengan wajah syok.
"Semoga mimpi indah, Aluna."
Lalu, ia menutup pintu di belakangnya.
Di luar, pria itu masih berdiri di depan pintu kamar kos Aluna, menatap pintu itu dengan ekspresi aneh. Tangannya menyentuh bibirnya, lalu pipinya sendiri, mengingat sensasi kulit lembut gadis itu.Ia terkekeh pelan.
"Gadis manis yang menarik..."
Lalu, dengan suara hampir seperti bisikan, ia mengulang nama itu sekali lagi,seolah sebuah mantra yang ingin ia ulang terus menerus.
"Aluna."
Sebuah senyuman misterius muncul di wajahnya, lalu ia berbalik, meninggalkan kost Aluna untuk menuju tempat pengawalnya menunggu,meninggalkan malam yang penuh ketakutan bagi gadis polos yang baru saja memasuki dunianya.
©MALAM GELAP PENUH TANYA : PERASAAN TAK TERTAHAN ©
Aluna terhuyung-huyung bangkit dari lantai, tubuhnya masih basah kuyup, tetapi rasa takut yang menyelimuti lebih kuat daripada dinginnya hujan yang menempel di tubuhnya. Tangannya gemetar saat mendorong meja dan kursi, mencoba mengganjal pintu kostnya. Pintu itu seperti tak cukup kuat untuk menahan kegelisahan yang kini menderanya. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk di dalam dada, membuat setiap detik terasa semakin berat.
Dengan tubuh yang masih basah, Aluna merangkak ke kamar tidurnya. Ia tak peduli dengan air yang menetes ke lantai, pikirannya hanya dipenuhi dengan wajah pria itu, pria yang menyentuh pipinya, yang mencium wajahnya, dan yang tak memberi ampun pada pria tak bernyawa di gang tadi.
"Kenapa... kenapa dia tidak membunuhku?" gumamnya pelan, tubuhnya semakin terasa dingin. "Kenapa malah... malah dia..."
Air mata kembali mengalir, tapi kali ini lebih karena ketakutan yang semakin dalam. Ia berjalan perlahan ke kamar mandi, membuka lemari pakaian dengan tangan yang tak bisa berhenti gemetar. Setelah memilih pakaian ganti, ia masuk ke kamar mandi, melepas pakaiannya yang basah dan menggantungnya
di belakang pintu.
Sambil menggigil, Aluna membuka keran air panas dan membiarkan tubuhnya terendam dalam aliran air hangat. Rasanya hampir menyakitkan, tapi setidaknya ia merasa sedikit lebih tenang. Saat ia membilas tubuhnya, pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan pria itu. Tatapannya, matanya yang penuh ancaman, dan senyum kecil yang tak dapat ia lupakan.
"Aluna," bisiknya pada dirinya sendiri. "Apa yang terjadi padamu? Apa yang akan terjadi padamu sekarang?"
Setelah selesai mandi, Aluna mengeringkan tubuhnya dengan handuk besar yang baru diambil dari lemari. Ia mengenakan pakaian ganti dengan gerakan pelan, berusaha menenangkan diri. Namun, setiap kali ia menutup mata, bayangan pria itu kembali muncul. Ketakutannya malah semakin kuat, seolah malam ini tidak akan pernah berakhir.
Dengan tubuh yang lelah dan pikiran yang kacau, Aluna akhirnya berbaring di kasurnya. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar dengan kosong. Ia ingin tidur, tapi rasa takut itu terus menghantuinya.
Kenapa pria itu melepaskannya? Mengapa dia tidak membunuhnya?
"Apa yang dia inginkan dariku?" Aluna bergumam, suara hatinya hampir tak terdengar. "Kenapa aku? Kenapa harus aku yang melihat semuanya? Kenapa aku harus pulang lewat gang tadi ? Aku bodoh,kalau saja aku tidak lewat gang tadi,mungkin tidak akan seperti ini."
Di luar kamar, hujan masih turun deras, dan suara gemuruhnya hanya menambah ketakutan di dalam hati Aluna. Pipi chubby-nya yang basah oleh air mata menempel di bantal, saat ia menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya, seolah berharap bisa melindungi dirinya dari apa pun yang akan datang.
© DI UJUNG JALAN : DIA MILIKKU©
Sementara itu, di ujung jalan, pria itu sudah berada di dalam mobil. Pengawalnya, yang duduk di kursi depan, melirik ke belakang sekilas, memeriksa apakah pria itu masih dalam keadaan tenang. Pria itu, dengan ekspresi datar, menatap keluar jendela mobil, matanya yang tajam merenung, mengingat setiap detil kejadian tadi.
"Mayat sudah dibereskan, bos," ujar pengawalnya dengan suara tenang. "Tidak ada jejak yang tertinggal."
Pria itu mengangguk pelan, lalu bersandar di kursi, matanya terpejam. Pikirannya kembali terbang ke Aluna, gadis yang baru saja ia temui. Gadis itu, dengan pipi chubby yang menggemaskan, mata yang penuh ketakutan, dan tubuh yang lemah. Aluna benar-benar berbeda. Biasanya, seseorang yang menjadi saksi seperti itu akan langsung dia lenyapkan detik itu juga dari dunia ini, tapi untuk Aluna, ia merasakan sesuatu yang... berbeda.
Ia menyentuh bibirnya, mengingat kecupan kecil yang ia berikan pada pipi Aluna. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan pada gadis mana pun, bahkan setelah berinteraksi lebih lama.
"Kenapa aku melakukan itu?" gumamnya pada dirinya sendiri, seolah mencoba menjawab pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya.
Di sampingnya, pengawalnya yang mengendarai mobil melirik lewat kaca spion, tetapi memilih untuk tetap diam.
"Semuanya aman, bos," ucapnya hati-hati, "Tapi... gadis itu... dia sudah melihat semuanya. Apa yang harus kita lakukan?"
Pria itu membuka mata, menatap pengawalnya dengan tatapan tajam yang membuat udara di dalam mobil terasa semakin berat. "Jangan ganggu dia. Dia urusanku."
Pengawalnya terdiam, lalu mengangguk cepat. "Tentu, bos."
Mobil itu melaju melalui jalan yang sepi dan gelap, hujan yang semakin deras mengaburkan pandangan dari luar. Pria itu kembali berpikir tentang Aluna. Tentang pipi chubby-nya yang begitu lembut, tentang matanya yang begitu polos dan penuh ketakutan.
"Dia menggemaskan... terlalu menggemaskan," bisiknya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Gadis itu akan menjadi milikku... tak akan ada yang mengganggu dia, selain aku."
Pria itu mengerling ke luar jendela mobil, lalu menutup matanya, berusaha merasakan sensasi pipi Aluna yang masih terasa di bibirnya.
"Gadis manis yang menarik..." gumamnya lagi, menambahkan suara bisikan yang hampir tak terdengar. "Aluna."
Senyum misterius muncul di wajahnya, dan meskipun tubuhnya tegap dan dingin, hatinya merasa sedikit lebih hangat. Dia sudah memutuskan, Aluna akan menjadi bagian dari dunianya, tak peduli apa yang harus dia lakukan.
©KAMAR KOST : BISIKAN HATI ©
Di dalam kostnya, Aluna terjaga sepanjang malam, matanya terpejam, tetapi pikirannya terus terjaga, membayangkan pria itu. Tubuhnya masih gemetar, namun ia tak bisa mengalihkan pikirannya dari apa yang telah terjadi. Ia merasa dunia di sekelilingnya menjadi semakin sempit, dan tak tahu lagi apa yang akan terjadi padanya setelah ini.
"Semoga Tuhan melindungiku," bisiknya pelan, berdoa pada dirinya sendiri, berharap semuanya akan segera berakhir.
Aluna masih terjaga. Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari, namun matanya tetap terbuka lebar, menatap langit-langit kamar dengan kosong. Selimutnya semakin ia tarik menutupi tubuh mungilnya, seolah bisa melindunginya dari teror yang terus menghantuinya.
Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan pria bertopeng itu muncul. Tatapan matanya yang tajam, belati berlumuran darah, dan tubuh tak bernyawa yang tergeletak di gang. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang tak juga berhenti mengalir.
"Kenapa dia tidak membunuhku?" pertanyaan itu terus menggerogoti pikirannya.
Aluna menarik lututnya ke dada, memeluk dirinya sendiri.
"Aku harus melupakannya... ini cuma mimpi buruk... hanya mimpi buruk..." bisiknya pelan.
Namun, tidak peduli seberapa keras ia meyakinkan dirinya, kenyataan tetap menghantamnya dengan kejam. Ini bukan mimpi. Ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Dan pria itu… pria bertopeng yang membunuh tanpa ragu, justru membiarkannya hidup.
Hujan di luar masih turun deras, menciptakan ketukan ritmis di jendela kamarnya. Aluna menenggelamkan wajahnya di bantal, berharap suara hujan bisa menenangkan pikirannya.
©MARKAS BESAR: OBSESI YANG MENGUAT©
Sementara itu, pria bertopeng itu sudah tiba di markasnya. Bangunan megah itu berdiri kokoh, dikelilingi pohon-pohon tinggi yang menjulang seperti bayangan kelam.
Tanpa banyak bicara, ia berjalan masuk ke dalam, melewati beberapa anak buahnya yang langsung menundukkan kepala dengan hormat.
Pengawalnya mengikuti dari belakang, lalu berbisik kepada rekannya.
"Kenapa bos membiarkan gadis itu hidup?" tanya Hernan pelan.
Pengawal yang lain,Arga meliriknya sekilas sebelum menjawab dengan nada rendah. "Jangan ikut campur. Jika bos sudah memutuskan, itu bukan urusan kita. Kau tahu apa yang terjadi kalau ada yang melanggar perintahnya,aku tidak mau mati mengenaskan."
Pengawal pertama menelan ludah. Ia tahu benar betapa mengerikan bos mereka. Jika mereka mencoba melawan perintahnya, nyawa mereka sendiri yang akan menjadi taruhannya.
Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya diam, kembali berjaga di posisi masing-masing.
Pria itu berjalan menuju kamarnya, lalu masuk ke kamar mandi. Ia berdiri di depan cermin, menatap refleksinya. Dengan gerakan lambat, ia melepaskan topeng yang sejak tadi menutupi wajahnya, membiarkan wajah dinginnya terlihat jelas. Bau anyir darah masih menempel di tubuhnya.
Tanpa ekspresi, ia melepas pakaiannya, lalu melangkah ke bawah shower. Air dingin mengguyuar tubuhnya yang kekar, namun ia tidak bereaksi. Pikirannya terlalu sibuk memikirkan satu hal,atau lebih tepatnya, satu orang.
'Aluna'
Ia menutup matanya sejenak, membiarkan bayangan gadis itu muncul dalam pikirannya. Ketakutan di matanya, tubuhnya yang gemetar, dan pipi chubby-nya yang lembut saat disentuh.
"Kenapa aku membiarkannya hidup?" pikirnya.
Lima menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi, mengenakan jubah mandi dan berjalan menuju lemari pakaian. Setelah berpakaian, ia duduk di kursi ruang kerjanya, menyalakan laptop. Jemarinya mengetik cepat di kolom pencarian media sosial, mencari nama yang sejak tadi berputar di kepalanya,'Aluna'.
Beberapa nama muncul, tapi matanya segera menangkap satu profil yang tepat : ' Aluna Prameswari'. Ia mengkliknya, lalu mulai melihat setiap detail yang terpampang di sana.
Aluna Prameswari. Lahir: 11 Januari 2004. Usia: 21 tahun.
"Hmm..jadi dia baru saja ulang tahun kemarin.Menarik,masih sangat muda." gumamnya,senyumnya semakin lebar,usia Aluna jauh lebih muda dari dirinya,terpaut 14 tahun. Matanya kembali memperhatikan setiap foto yang Aluna unggah.
Ia berhenti pada satu foto. Aluna berdiri di dekat rak buku, tersenyum sambil memegang buku di tangannya. Caption-nya tertulis: 'Toko Buku Bukit Pelangi,surga kedua bagiku.'
Pria itu tertawa kecil. Menarik.
"Jadi kau bekerja di toko buku? Gadis manis yang lugu dan penakut, tapi kau memilih tempat yang penuh ketenangan… menarik."
Matanya kemudian tertuju pada satu postingan lain. Foto Aluna bersama kedua orang tuanya, dengan tulisan yang menyertainya:
"Langit kelabu bagiku, cahaya hidupku telah pergi. Aku sendirian. Yang tenang di surga sana, untuk Ayah dan Ibu tersayang. Aku akan selalu merindukan kalian, aku berjanji akan baik-baik saja. Aku yakin kalian melihatku dari surga sana."
Pria itu membaca kalimat itu berulang kali.
"Jadi dia yatim piatu..." bisiknya pelan.
Ia menghela napas panjang, lalu menutup matanya sejenak. Gadis itu tidak punya siapa-siapa. Tidak ada yang akan mencarinya jika ia menghilang bisiknya dalam hati.
Pria itu mulai mengunduh semua foto Aluna, menyimpannya dalam satu folder di laptopnya. Tangannya bergerak dengan tenang, seolah ini adalah sesuatu yang sangat wajar baginya.
Setelah beberapa menit, ia mencetak salah satu foto Aluna.Saat foto itu keluar dari printer, ia mengambilnya, lalu mendekatkannya ke wajahnya. Ia menghirup aroma kertas itu, seolah berharap bisa menangkap wangi Aluna di dalamnya.
"Gadis kecil yang menggemaskan..." gumamnya sambil menyeringai.
Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, mendongakkan kepala sambil memejamkan mata.
"Aluna."
Ia mengucapkan nama itu pelan, seolah itu adalah mantra yang harus ia ulangi.
©KAMAR KOST: TAKUT YANG TAK BERUJUNG©
Aluna masih belum bisa tidur.
Ia memeluk erat selimutnya, tubuhnya menggigil meskipun kamarnya tidak dingin. Air matanya masih mengalir, dan hatinya terus bertanya-tanya.
"Apa yang akan terjadi padaku?"
Ia teringat tatapan pria bertopeng itu. Tatapan yang membuat tubuhnya membeku di tempat. Tatapan yang seakan menelanjangi ketakutannya dan menikmatinya.
"Kenapa dia membiarkanku hidup?"
Semakin ia memikirkan itu, semakin hatinya berdegup kencang. Bukan karena perasaan suka,tidak mungkin. Ini adalah rasa takut murni.Aluna menggigit bibirnya, menenggelamkan wajahnya di bantal.
"Semoga Tuhan melindungiku..." bisiknya, suara hatinya hampir tak terdengar.
Di luar sana, hujan masih mengguyur deras, membawa suasana mencekam yang seolah tidak akan pernah berakhir.
Sementara itu, di markasnya, pria itu masih duduk di ruang kerjanya, matanya menatap foto Aluna dengan pandangan tajam.
Ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia tidak akan membiarkan gadis itu pergi. Tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya.
Dia sudah memutuskan,Aluna adalah miliknya seorang.Dan cepat atau lambat… Aluna juga akan menyadarinya.
©Hadiah Misterius & Panggilan Tak Biasa ©
Pagi masih berselimut embun, udara dingin menyisakan sisa hujan semalam. Aluna baru saja terbangun dari tidurnya yang singkat,hanya satu jam. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas saat ia bercermin di kamar kosnya yang sederhana. Dengan lemas, ia menghela napas dan segera masuk ke kamar mandi.
Air dingin mengguyur tubuhnya, membuatnya kembali sadar bahwa apa yang ia lihat semalam bukanlah mimpi. Ia seharusnya tidak hidup sekarang, tapi pria bertopeng itu membiarkannya pergi. Kenapa?
Aluna buru-buru menyelesaikan mandinya. Ia mengeringkan tubuhnya, mengenakan pakaian kasual, lalu mengepang dua rambutnya seperti biasa. Setelah memastikan semuanya siap, ia meraih ransel kecilnya dan keluar dari kamar.
Baru saja melangkah keluar pintu kos, sesuatu membuat kakinya tersandung.
"Eh?" Aluna terhuyung sedikit, lalu menunduk. Di depan pintunya, ada sebuah kotak hitam elegan dengan pita merah.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Dengan ragu, ia berjongkok dan menyentuh kotak itu, namun sebelum sempat membukanya, suara seseorang mengejutkannya.
"Luna? Kamu pegang apa?"
Aluna menoleh dan melihat Reta, tetangganya di kos, berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut.
"Aku... nggak tahu,kak." Aluna menggeleng. "Tiba-tiba ada di sini."
Reta melangkah lebih dekat, memperhatikan ekspresi Aluna yang tampak pucat. "Luna, kamu nggak apa-apa? Matamu bengkak banget, kamu kurang tidur?"
Jantung Aluna hampir melompat keluar. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya. Bahwa ia tidak bisa tidur semalaman karena menjadi saksi pembunuhan di gang sempit.
"Semalam... aku nggak bisa tidur karena kangen orangtua," dustanya dengan suara lirih.
Reta mengelus pundak Aluna dengan lembut. "Aku ngerti... Tapi, coba buka kotaknya deh, siapa tahu ada sesuatu yang penting."
Aluna menggigit bibirnya, lalu dengan tangan gemetar, ia membuka kotak itu. Begitu melihat isinya, matanya melebar.
Sepasang sneakers limited edition yang harganya pasti sangat mahal. Di dalam kotak, ada secarik kertas dengan tulisan tangan rapi:
"Happy birthday, my baby chubby. Aluna."
Aluna membeku.
Reta menepuk lengannya dengan heboh. "Wah! Ini pasti dari pengagum rahasia! Luna, siapa yang biasanya manggil kamu 'baby chubby'?"
Aluna menggeleng cepat. "Nggak ada! Nggak pernah ada yang panggil aku begitu!"
"Lalu siapa yang ngasih ini?" Reta mengamati sepatunya. "Dan kenapa baru sekarang? Ultah kamu udah lewat kemarin, kan?"
Aluna tidak menjawab. Ada perasaan aneh yang menjalar di tubuhnya. Siapa yang mengirim ini? Kenapa ada panggilan yang begitu... personal?
Ia menutup kotak itu buru-buru, lalu membawanya masuk ke dalam kamar dan meletakkannya di atas meja. Entah kenapa, ia tidak ingin membawanya keluar. Setelah mengunci kamar, ia berpamitan pada Reta dan segera berangkat kerja.
© Toko Buku Bukit Pelangi©
Aluna berjalan lebih cepat dari biasanya. Ia memilih rute yang lebih ramai, menghindari gang tempat kejadian semalam.Lima belas menit kemudian,begitu tiba di Toko Buku Bukit Pelangi, ia langsung menuju meja kasir, meletakkan tasnya, dan menguap kecil.
"Aluna?"
Ia menoleh dan melihat Fino, salah satu temannya, berdiri dengan tatapan khawatir.
"Kamu nggak apa-apa? Mukamu pucat banget."
"Aku nggak papa,kak Fino. Cuma kurang tidur aja," jawab Aluna buru-buru. "Semalam aku telat tidur karena kangen orangtua dan nunggu hujan reda."
Fino menghela napas dan mengambil sekotak susu dari tasnya. "Kalau gitu minum ini dulu, biar nggak lemas."
Aluna tersenyum tipis, meski hatinya masih dicekam ketakutan. Ia menerima susu itu dengan ragu, lalu berterima kasih. Dari pojok rak buku, Yasmin,rekan kerja lainnya memandang mereka dengan tatapan kurang suka.
" Manja banget sih,sok lugu.Pura-pura lemas biar diperhatiin,kenapa juga si Fino terus-terusan perhatian ke Luna.?
Tiba-tiba, suasana toko buku terasa semakin berat bagi Aluna.
©Seberang Jalan : Pengintaian Dalam Diam©
Di seberang jalan, sebuah mobil hitam terparkir.Sejak awal,mobil itu sudah mengawasi Aluna.Di dalamnya, seorang pria berpakaian hitam meraih ponselnya dan menekan nomor seseorang. Panggilan langsung tersambung.
"Bos," suara pria itu datar. "Gadis itu sudah menerima hadiahnya, tapi dia tidak memakainya. Sekarang dia ada di toko buku tempatnya bekerja."
Dari seberang telepon, terdengar suara dalam dan dingin. "Awasi terus. Jangan biarkan siapa pun mendekatinya dan laporkan apapun yang dia lakukan,semuanya."
"Baik, bos."
Panggilan berakhir.
Hernan, pria berpakaian hitam itu, menoleh ke rekannya, Arga, yang duduk di sebelahnya. "Bos kita benar-benar serius dengan gadis ini. Padahal dia bisa langsung..."
"Ikuti saja perintahnya kalau kamu masih mau hidup," potong Arga cepat.
Hernan mengangguk, meski masih ada kebingungan di wajahnya.
© Arvan Corporation : Darren Arvanindra ©
Di tempat lain, di dalam sebuah ruangan luas dan megah, seorang pria sedang duduk di kursinya.
Ia memandangi sebuah foto Aluna yang ia cetak semalam. Dengan perlahan, ia mendekatkan foto itu ke wajahnya, seolah mencoba menghirup aroma gadis dalam gambar tersebut. Senyum kecil yang dingin tersungging di bibirnya.
"My baby chubby... milikku."
Pria itu memutar kursinya, terus menatap foto Aluna berwajah manis dengan pipi chubby yang menggemaskan hingga matanya nyaris tak berkedip.Matanya yang dingin dan tajam berkilat penuh obsesi.
Darren, CEO berusia 35 tahun,ia lagi-lagi kembali mendekatkan foto itu ke wajahnya dan menghirup aroma kertasnya seolah itu adalah wujud nyata Aluna.
Ia memutar kursinya perlahan, matanya masih terpaku pada foto itu.
Tak lama, ketukan di pintu terdengar.
"Masuk."
Seorang sekretaris wanita masuk dan memberi hormat. "Pak Darren, meeting akan dimulai satu jam lagi."
Darren mengangguk pelan. "Jangan biarkan siapa pun masuk ke ruangan ini sampai meeting dimulai."
"Baik, Pak."
Begitu pintu tertutup, Darren menyalakan laptopnya dan membuka folder berisi kumpulan foto Aluna.
Tangannya menyentuh layar, menelusuri wajah gadis itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Senyum mengerikan muncul di sudut bibirnya.
"Aluna,kau sekarang milikku. Dan tak ada seorang pun yang bisa mengambil mu dariku.My baby chubby,kau hanya milik Darren seorang," bisiknya dalam hati.
© Ruang Meeting Perusahaan : Rencana Darren ©
Pukul sepuluh pagi. Darren duduk di ruang meeting dengan ekspresi datar, meski pikirannya tidak sepenuhnya ada di ruangan itu. Dia hanya sesekali menyela ketika salah satu direktur melakukan kesalahan dalam presentasinya. Klien di depannya menyodorkan proposal kerja sama, tapi Darren hanya menatapnya sekilas sebelum pikirannya kembali melayang,bukan ke bisnis, melainkan ke seorang gadis kecil berpipi chubby yang terus mengisi kepalanya sejak semalam.
Aluna Prameswari
Sudut bibir Darren terangkat samar, membuat klien di depannya merasa ragu.
"Apakah ada yang perlu diperbaiki, Tuan Darren?" tanya klien dengan suara hati-hati.
Darren menatapnya tajam, lalu berkata dingin,
"Aku akan meninjau dulu."
Meeting berakhir dalam tiga puluh menit. Para direktur dan klien meninggalkan ruangan, tapi Darren tetap duduk. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat sebuah pesan masuk dari Hernan.
Sebuah video terlampir.
Darren memutarnya. Mata tajamnya menyipit saat melihat Aluna tertimpa tangga di toko buku. Pelipis gadis itu berdarah.
Matanya berubah gelap saat dia mengulang video itu, dan kali ini, dia menangkap sesuatu. Itu bukan kecelakaan,seseorang dengan sengaja menyenggol tangga itu. Beberapa detik kemudian, pesan lain masuk.
Hernan:
"Tangga tidak jatuh sendiri. Teman kerja nona Aluna,Yasmin yang melakukannya. Dia tidak senang dengan Aluna."
Darren menatap foto yang dikirimkan Hernan. Seorang gadis dengan ekspresi angkuh dan penuh kebencian terhadap Aluna.
Terlalu berani.
Rahangnya mengeras. Tangannya mengetik pesan cepat.
Darren: "Tunggu perintahku."
Darren kemudian keluar dari ruang meeting menuju ruang kerja pribadinya setelah mengirimkan pesan balasan pada Hernan pengawalnya.
© Seberang Jalan Toko Buku : Pengintaian Hernan & Arga.
Di seberang jalan toko buku, Hernan dan Arga saling bertukar pandang.
"Apa yang akan bos lakukan pada Yasmin?" tanya Arga sambil tetap memperhatikan Aluna dari dalam mobil hitam mereka.
Hernan menghela napas. "Tidak usah dibayangkan. Yang jelas, Yasmin sudah masuk dalam daftar hitam bos. Dan kita tahu artinya apa.Bos tidak pernah membiarkan siapapun menyentuh apa yang sudah dia anggap menjadi miliknya."
©Di Dalam Toko Buku©
Aluna duduk di kursi kasir sementara Fino membersihkan luka di pelipisnya dengan lembut.
"Sakit?" tanya Fino.
Aluna menggeleng pelan. "Tidak terlalu. Terima kasih, Kak Fino."
Fino tersenyum kecil. "Hati-hati lain kali, ya?"
Aluna mengangguk, tapi pikirannya masih gelisah. Dia kembali teringat kejadian semalam yang membuatnya tak bisa tidur,pria bertopeng yang seharusnya membunuhnya tapi malah melepaskannya.
Kenapa?
Yasmin, yang berdiri sambil bersandar di rak buku, tiba-tiba mencibir. "Sok cari perhatian. Sok manja. Padahal luka kecil begitu juga bisa diobati sendiri."
Aluna hanya diam.
Fino mendengus kesal. "Kalau kamu tidak bisa bersikap baik, lebih baik diam saja, Yasmin."
Aluna buru-buru menyela,tak ingin suasana jadi runyam, "Aku nggak apa-apa, Kak Fino. Serius."
Yasmin hanya mendengus, lalu menatap Aluna sinis.
Belum sempat percakapan mereka berlanjut, seorang kurir masuk ke dalam toko.
"Permisi, siapa yang bernama Nona Aluna Prameswari ?"
Fino menunjuk Aluna. "Dia."
Aluna menatap kurir itu dengan perasaan bingung.
"Ini ada kiriman untuk Anda." Kurir menyerahkan sebuah paper bag.
Aluna tertegun. "Tapi saya tidak pesan apa-apa."
"Nama penerima Aluna Prameswari, alamatnya juga cocok," kata kurir itu sopan.
Aluna semakin bingung. "Siapa yang mengirimnya?"
"Tidak ada nama pengirim, Nona."
Aluna akhirnya menerima kiriman itu dengan ragu dan menandatangani tanda terima. Setelah kurir pergi, dia membuka paper bag itu.
Di dalamnya ada kotak makanan dengan tampilan mewah. Bersama makanan itu, ada selembar kertas bertulisan:
"Makanlah dan habiskan, my baby chubby, Aluna."
Aluna menegang. Jantungnya berdetak lebih cepat.Aluna membeku. Matanya melebar saat mengingat hadiah sepatu mewah yang diterimanya pagi tadi. Hadiah yang juga dilengkapi dengan pesan serupa.
"My baby chubby?" gumam Fino penuh curiga "Siapa yang memanggilmu begitu?"
Aluna menggeleng. "Aku tidak tahu…"
Fino menatap makanan itu curiga. "Kalau kamu tidak yakin, jangan dimakan.Takutnya ada apa-apa,kamu juga tidak tau kan,siapa pengirimnya."
Yasmin, yang sejak tadi memperhatikan, tiba-tiba merebut kotak makanan itu dari tangan Aluna. "Kalau Aluna nggak mau, aku saja yang makan."
"Yasmin,suka banget ambil jatah orang !" seru Fino.
Yasmin membuka kotaknya dan mulai makan dengan santai. "Halah, dasar sok jual mahal," katanya dengan mulut penuh makanan.
Fino hanya menghela napas, kesal. Dia kemudian mengambil dua kotak makanan dari tasnya. "Ayo, Luna, makan yang ini saja. Aku sudah siapkan dari rumah."
Aluna tersenyum kecil dan menerima kotak makanan dari Fino.
© Di Seberang Jalan ©
Di dalam mobil, Hernan dan Arga masih memantau.
"Kau lihat itu?" Hernan terkekeh. "Yasmin makan makanan yang bos kirim untuk nona Aluna."
Arga menatapnya ragu. "Kira-kira apa yang akan dilakukan bos?"
Hernan mengirimkan foto Yasmin yang sedang menikmati makanan yang seharusnya untuk Aluna ke Darren.
©Ruang Kerja Darren : Rencana Pembalasan Untuk Yasmin©
Darren membuka pesan yang baru masuk. Foto Aluna. Foto Yasmin yang merebut makanan yang ia kirimkan untuk Aluna.
Rahangnya mengeras, ekspresinya menggelap.
Seseorang telah mengambil sesuatu yang ia berikan kepada miliknya.
Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Kemudian, senyum kecil namun berbahaya tersungging di bibirnya.
Perlahan, tawa kecil yang mengerikan keluar dari bibirnya.
"Berani sekali dia mengambil sesuatu yang menjadi milik Aluna…" gumamnya dingin.
Jari-jarinya mengetik pesan cepat kepada Hernan.
"Kita mulai dengan peringatan kecil. Pastikan dia tidak bisa seenaknya mengambil sesuatu yang bukan miliknya lagi."
Darren menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Wajahnya berubah menjadi ekspresi obsesif yang menakutkan.
"Aluna itu milikku. Dan tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya…"
Tersenyum tipis, Darren kembali menatap layar laptopnya yang masih menampilkan foto-foto Aluna,gadis yang menjadi pusat obsesinya.
Hari ini, Yasmin telah melakukan kesalahan besar.Dan Darren tidak akan membiarkan itu begitu saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!