Di sebuah desa, hiduplah seorang gadis muda rupawan berusia 18 tahun, Ling Yi namanya. Wajahnya begitu mempesona dengan kulit putih bersih serta rona merah muda tipis di pipi tirusnya, matanya indah berkilauan, bibirnya mungil merona, rambut lurusnya yang kecokelatan terurai lembut sebatas pinggang.
Terlebih lagi, sifatnya yang di kenal pemberani serta baik hati juga serta merta menambah pesona daya tariknya, membuatnya nyaris sempurna luar dalam.
Hidup dalam keluarga sederhana sama sekali tidak pernah membuat Ling Yi merasa kekurangan. Itu karena, Ling Yi terlahir di keluarga yang terbilang cukup harmonis. Baik ibu maupun ayahnya, keduanya sangat menyayangi dan memanjakan Ling Yi sebagai anak semata wayang mereka, dan selalu mengusahakan yang terbaik untuk bisa membahagiakannya.
Hidup Ling Yi benar-benar sempurna, bukan? Namun sayang, pada suatu malam, semua kebahagiaan itu tiba-tiba musnah begitu saja, di renggut paksa oleh bencana yang tak pernah di duga-duga.
Semuanya bermula di tengah kesunyian malam kala itu. Di tengah keheningan malam, di tengah lelapnya tidur orang-orang, tiba-tiba saja Ling Yi terganggu dari tidurnya dengan sinar menyala-nyala yang sangat menyilaukan mata. Di saat mata indahnya itu terbuka, Ling Yi pun tersentak duduk dengan penuh rasa tak percaya.
"Apa?! Api?!" sontaknya dalam hati.
Dengan mata kepalanya sendiri, Ling Yi melihat bahwa tubuhnya sudah terselimut api yang berkobar di sekeliling kamarnya. Ling Yi pun di buat heran saat melihat tubuhnya tidak terbakar, utuh, dan bahkan tidak merasakan panas sedikitpun, padahal kala itu kobaran api sudah benar-benar membungkus tubuhnya.
Jantungnya pun berdegup kencang saat pandangannya telah terhalang sepenuhnya oleh api yang sudah berkobar di setiap sudut kamarnya.
Brakkk
Seorang pria mendobrak pintu kamarnya dan menerobos masuk dengan terburu-buru, yang akhirnya sukses memecah lamunan Ling Yi. Dengan cepat, api yang sebelumnya mengelilingi tubuhnya pun berhasil bergerak menjauh dengan kemampuan dari pria itu yang tak lain adalah Ling Chen, ayahnya Ling Yi, seorang pengendali elemen api yang dengan sigap langsung membukakan jalan menuju putri kesayangannya.
Awalnya, Ling Chen dan istrinya memasuki kamar dengan penuh perasaan panik. Namun kini, keduanya berhasil di buat terpukau dengan pemandangan di hadapan mereka, yang berada jauh di luar batas nalar manusia. Yakni, ketika mereka menyaksikan tubuh putri mereka yang utuh tanpa terluka sedikit pun, setelah sebelumnya sempat terbungkus oleh kobaran api.
"Ling Yi? K-kamu baik-baik saja, sayang? Sungguh?" tanya sang ibu dengan mata mengembun, kedua tangannya mengatupkan mulutnya dengan penuh rasa tak percaya.
Ling Yi pun bangkit dari tempat tidurnya dan berlari menemui orang tuanya.
"Syukurlah... syukurlah kamu selamat, putriku..." ucap sang ibu sambil terisak dalam pelukannya.
"Jangan khawatir, ibu. Aku baik-baik saja. Syukurlah kalian berdua juga selamat," sahut Ling Yi penuh haru.
Beda halnya dengan sang istri yang menangis kejar, Ling Chen justru terlihat lebih tenang dengan senyuman cerah yang merekah di raut wajahnya. Pandangannya menatap Ling Yi penuh takjub dan bangga, dan menyadari, bahwa putri cantiknya itu juga telah mewarisi warisan berharga klan dari garis keturunan leluhur mereka, yakni kemampuan khusus untuk mengendalikan elemen api, persis seperti dirinya.
Setelah puas dengan rasa bahagianya, Ling Chen pun berusaha mengembalikan fokusnya untuk bisa segera menyelamatkan keluarga kecilnya dari rumah itu. Dengan tangan yang setia ia tegakkan ke langit, Ling Chen terus berusaha sekuat tenaganya untuk mempertahankan gelombang perisai yang telah ia ciptakan demi melindungi keluarga kecilnya itu dari kobaran api.
"Baiklah! Sekarang ayo keluar, waktu kita tidak banyak! Kalian tetaplah di belakangku!" ucap Ling Chen tegas, lalu memimpin jalan menuju pintu keluar.
Beda halnya dengan Ling Chen, ibu Ling Yi hanyalah seorang manusia biasa, bukan pengendali api. Oleh karena itu, Ling Chen meminta istrinya, dan juga Ling Yi, untuk terus berlindung di balik tubuhnya supaya tetap aman.
Whushhh
Berkat kemampuan khusus yang di milikinya, Ling Chen pun berhasil mengendalikan api di hadapannya dengan lihai dan menyingkirkannya untuk membuka jalan, hingga mereka semua berhasil keluar dari rumah mungil itu dengan selamat.
Namun, kemalangan masih belum berakhir. Sesampainya di luar sana, mereka justru mendapat sambutan dari sekelompok pasukan misterius yang telah berjajar rapi menanti kedatangan mereka.
Pasukan misterius itu terlihat berpakaian serba hitam dengan penutup kepala dari jubah mereka yang sukses menggelapkan keseluruhan wajah mereka. Dengan membawa obor api di tangan masing-masing, mereka semua terlihat begitu bangga dan menikmati pemandangan sebuah rumah yang tengah terbakar hebat di hadapan mereka.
"Tidak salah lagi! Mereka pasti pelakunya!" batin Ling Yi sambil menatap tajam ke arah mereka.
"Hahahahaa... tangguh juga, ya, kalian?" ucap salah seorang pria sambil tertawa licik.
"Cih... klan pengendali api, ya? Menarik juga," gumam pria tersebut dalam batinnya, sembari menatap Ling Chen penuh remeh.
Dia adalah pemimpin dari pasukan itu, pria penuh keangkuhan yang berdiri di barisan paling depan.
Pria itu lalu membuka penutup kepalanya dengan santai, menampilkan wajah misteriusnya yang separuh ke bawah masih tertutup oleh kain, sebagai alat untuk menyembunyikan identitas aslinya. Sepasang matanya yang terlihat merah menyala akhirnya menjadi penanda, bahwa mereka bukanlah berasal dari klan manusia biasa.
"Siapa kalian?! Apa mau kalian sebenarnya?!" teriak Ling Chen pada mereka tanpa rasa gentar sedikitpun.
"Hm... tidak ada. Hanya bersenang-senang, mungkin? Hahahahaa..." sahut pria tersebut sambil tertawa jahat.
"Bajingan kau!" umpat Ling Chen penuh geram.
"Cepat! Tangkap mereka semua!" perintah pria tersebut pada pasukannya.
Setelah mendengar perintahnya, beberapa orang dari pasukan itu akhirnya melangkah mendekati keluarga Ling Yi.
Ling Chen yang melihat hal itu pun ikut bergerak dengan sigap dan langsung menghadang di hadapan istri dan anaknya demi melindungi keluarga kecilnya itu.
"Tunggu!" teriak Ling Chen tegas, yang akhirnya berhasil menghentikan langkah para pasukan itu.
"Aku minta jangan kalian sentuh keluargaku! Kalian boleh membawaku. Dan aku berjanji tidak akan melawan. Tapi ingat! Kalian semua tidak boleh sampai menyentuh istri dan juga anakku!"
Setelah beberapa detik berpikir, pria yang di ajak bicara oleh Ling Chen itu pun akhirnya menjawab.
"Hm, baiklah! Akan ku turuti permintaanmu itu. Sekarang kemarilah," jawabnya sambil menunjukkan senyuman liciknya.
"Tidak!"
Ling Yi teriak dengan keras dari belakang ayahnya untuk membantah perkataan pria itu. Bahkan sedikit pun tidak ada rasa yakin dalam dirinya terhadap perkataan pria tersebut.
"Cih... berani juga kau," gumam pria itu remeh saat mengetahui bahwa Ling Yi mampu menatap tajam ke arahnya.
"Ayah, dia pasti berbohong! Jangan percaya dengan omong kosongnya itu!" ucap Ling Yi sambil menatap tajam demi meyakinkan sang ayah.
"Ling Yi benar, sayang. Mereka itu hanya orang jahat. Aku mohon jangan lakukan ini," timpal ibunya sembari menatap Ling Chen penuh harap.
...****************...
...Bagaimana ya kelanjutan kisah mereka? Penasaran kan? Yukk lanjut ke bab selanjutnya!...
Sayangnya, bujukan dari Ling Yi dan juga ibunya tidak cukup ampuh untuk menggoyahkan keputusan seorang Ling Chen. Pria yang di ajak bicara itu justru hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Tidak, sayang," sahutnya lembut.
Ia lalu berbalik menatap istri dan anaknya sambil tersenyum. Di raihnya kepala Ling Yi terlebih dulu dan membelainya lembut.
"Ling Yi, berjuanglah. Kamu pasti bisa menjadi lebih kuat. Ayah yakin, suatu hari nanti kamu pasti akan terkejut tentang seberapa kuat dirimu sebenarnya,"
"Ayah..."
Tangan Ling Chen yang sebelahnya lalu beralih mengusap kepala sang istri dan menatapnya lekat.
"Sayang, kalian berdua relakan aku, ya? Jaga diri kalian baik-baik. Aku sayang kalian," ucap Ling Chen lembut, lalu mengecup kening istrinya dan juga Ling Yi bergantian.
"Ck! Cukup! Seret dia kemari!" decak kesal si pemimpin pasukan.
Pasukan misterius itu lalu bergegas mendekati Ling Chen dan menarik tubuhnya.
"Tidak! Jangan bawa suamiku! Aku mohon..."
"Jangan bawa ayahku! Lepaskan! Jangan sakiti dia!"
Ling Yi dan ibunya berusaha keras mempertahankan tubuh Ling Chen dalam pelukan mereka. Namun sayang, semua usaha mereka berujung sia-sia.
Demi keselamatan istri dan anaknya, Ling Chen lebih memilih melepaskan genggamannya dari keluarga kecilnya itu dan menyerahkan dirinya, lalu berakhir dengan di seret paksa oleh pasukan misterius itu dengan mudah tanpa adanya perlawanan.
Ling Yi dan ibunya yang menyaksikan hal itu pun hanya bisa menangis pilu tak berdaya. Beda halnya dengan si pemimpin pasukan yang tengah tersenyum licik, sambil menatap ke arah Ling Chen yang telah sampai tepat di sebelahnya dan membalas tatapannya dengan tajam.
"Sekarang, tepati janjimu dan jangan sakiti keluargaku!" teriak Ling Chen dengan tegas.
"Janji? Cih... dasar bodoh," sahutnya dengan santai, lalu dengan tiba-tiba melancarkan serangannya pada Ling Yi.
Whushhh
"Aakhh!"
"Tidaaakk!"
Ling Yi dan Ling Chen seketika terpaku, sepasang mata mereka di buat terbelalak sempurna setelah menyaksikan kejadian yang begitu mengejutkan itu. Ibu Ling Yi, demi melindungi sang putri, ia sampai rela mengorbankan nyawanya dan menghadang serangan itu tepat di hadapan Ling Yi, membuatnya berakhir terkulai lemas ke tanah akibat terkena serangan si pemimpin pasukan.
Ling Yi pun jatuh terduduk dan meletakkan tubuh sang ibu di pangkuannya.
"I-ibu... tidak... hiks... kenapa ibu melakukan itu? Hiks... bertahanlah ibu... bertahanlah, aku mohon..." ucapnya sambil menangis tersedu-sedu, memeluk sang ibu yang sudah terbatuk-batuk, merasakan sesak dan sakit yang amat sangat di sekujur tubuhnya.
"I-ibu... ti-tidak apa-apa, sayang..." sahut sang ibu terbata-bata sambil tersenyum lemah ke arahnya.
"Ups... maaf, ya? Hahahahaa..." ucap si pelaku tanpa rasa bersalah, lalu di lanjutkan dengan kembali tertawa jahat
"Pengkhianatt!" teriak Ling Chen penuh geram.
Ling Chen berusaha keras untuk memberontak dan meraih tubuh si pelaku penyerangan istrinya. Namun sayang, serangan yang sama dari pria itu justru kembali terulang dan tepat mengenai tubuhnya.
"Aakhh!"
"Tidakk!"
Lagi dan lagi, Ling Yi di buat terpaku dengan serangan tiba-tiba dari pria kejam itu dengan ayahnya sendiri sebagai sasaran. Ling Yi membatu menatap sang ayah yang telah jatuh berlutut tak berdaya dengan kedua lengannya yang terus di cengkeram erat oleh pasukan misterius itu.
Ling Chen jatuh tertunduk sambil meringis kesakitan. Namun, tak lama berselang, ia lalu mendongakkan kepalanya, menatap lemah ke arah sang putri sambil terus berusaha tersenyum, berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan sang putri bahwa dirinya baik-baik saja.
"Ayah..." lirih Ling Yi gemetar setelah menyaksikan penyerangan ibu dan juga ayahnya langsung di depan matanya.
"Hahahahaa..." tawa puas si pelaku yang menggelegar menyombongkan keangkuhannya.
Tanpa rasa takut sedikitpun, Ling Yi lalu menatap tajam pria iblis itu dengan seluruh kebencian yang membara dalam hatinya.
"Dasar sampah!" ucapnya geram dengan sorot mata tajam dan wajahnya yang memerah bergetar.
"Hm, menarik juga tatapanmu itu," gumam pria itu sambil menyeringai.
Ling Yi pun mengepalkan tangannya kuat. Emosi yang begitu memuncak membuatnya ingin sekali menyerang wajah pria itu dan mencabik-cabiknya habis-habisan. Namun sekarang, ia tau bahwa ia harus tetap berpikir jernih, dan sadar, bahwa diam bukanlah hal yang terlalu bodoh untuk dilakukan sekarang ini.
"Tunggulah pembalasanku! Suatu hari nanti, aku pasti akan membalas semua perbuatanmu hari ini!" teriak Ling Yi penuh dendam.
"Menarik. Kita lihat saja nanti," sahut pria itu dengan santainya.
Setelah itu, dalam sekejap mata, pria itu tiba-tiba saja menghilang dari hadapan Ling Yi, dan langsung di ikuti oleh para pasukannya yang membawa ayahnya pergi bersama mereka. Menghilang begitu saja secara misterius, layaknya bayangan yang bergerak secepat kilat.
"Tunggu aku, ayah. Bertahanlah..." batinnya lirih sembari menatap tajam halaman rumahnya yang telah kosong itu.
Setelah kepergian mereka, Ling Yi tiba-tiba merasakan usapan telapak tangan lembut yang menyentuh pipinya, yang tak lain adalah tangan ibunya sendiri. Di saat ia menatapnya, wajah sang ibu ternyata sudah pucat dan mulai membiru.
"Ling Yi..." lirihnya dengan suara lemah.
"Iya ibu, aku di sini. Mereka sudah pergi, ibu. Kita aman. Sekarang, kita temui tabib, ya? Ayo, ibu! Aku akan membantumu. Ayo!" ucap Ling Yi sambil berusaha memapah tubuh ibunya.
Namun, sang ibu justru menggeleng menolaknya, dan berusaha keras untuk berbicara dengan sisa-sisa tenang dalam dirinya.
"Ti-tidak, Ling Yi... tidak perlu. I-ibu... sudah tidak kuat lagi. Ibu sudah cukup bangga, karena kamu telah mewarisi kekuatan ayahmu, dan kebal terhadap api. Ibu mohon... t-tolong... selamatkan ayah, dan balaskan dendam ibu pada mereka,"
Ling Yi pun menangis sesenggukan menatap sang ibu dan menggelengkan kepalanya kuat. Tangan sang ibu yang menempel di pipinya pun terus di genggamnya erat.
"Tidak, ibu... jangan bicara seperti itu. Bertahanlah, ibu... aku mohon. Baik ibu, ataupun aku, kita berdua harus membalaskan dendam itu bersama-sama, ya?" lirih Ling Yi dengan air mata berlinang.
Sang ibu pun hanya bisa tersenyum lemah menatapnya, sambil terus menangisi akhir hayatnya yang di rasa sudah amat dekat.
"Tidak, Ling Yi. Ibu yakin kamu gadis yang kuat. Ibu percaya... kamu pasti mampu membalaskan dendam itu sendiri. I-ikhlaskan ibu, ya? I-ibu... menyayangimu. S-selamat... tinggal, sayang..."
Brukkk
Lolos sudah tangan lembut wanita itu, meringsut bebas dari pipi sang putri dan ambruk ke tanah. Mata indahnya terpejam sempurna, nafasnya terhenti seketika, seiring dengan berhentinya detak jantung serta denyut nadinya, menandakan bahwa ia sudah tak lagi bernyawa.
Ling Yi membatu, merasakan sesak yang begitu hebat setelah dengan sangat jelas menyaksikan semua tanda-tanda barusan dengan mata kepalanya sendiri.
"Ti-tidak... ini tidak mungkin..." batinnya lirih.
"Ibu... bangun, ibu. Bangunlah, aku mohon. Bangun, ibu..."
Ia terus menggoyangkan tubuh sang ibu dengan harapan bahwa ibunya akan menjawab, akan bangun, dan akan kembali tersenyum kepadanya.
Namun sayang, takdir justru berkehendak lain. Inilah bagian kepahitan dari takdir yang harus ia hadapi, menyaksikan sang ibu kehilangan nyawa dan terbujur kaku tepat di atas pangkuannya.
Setelah memastikan bahwa nadi ibunya tak lagi berdenyut, Ling Yi akhirnya sadar, bahwa wanita yang paling ia cintai itu kini telah pergi untuk selamanya.
Kesedihan, kekesalan, kebingungan, benar-benar menyesakkan. Rasanya semua itu kini bercampur sempurna memenuhi rongga dada gadis itu. Ling Yi, gadis yang telah di tinggalkan seorang diri itu, kini hanya bisa menjerit pilu menyuarakan rasa pedihnya, menangis histeris dan terisak sendirian, sambil terus memeluk erat tubuh sang ibu yang sudah tak lagi bernyawa.
Ling Yi terus menangis dan menangis, menangis hingga lelah, hingga rasa sedihnya itu bertukar menjadi bara emosi yang kian memuncak dan mengalir deras dalam darahnya.
Malam itu, api yang membara menyelimuti rumah mungilnya seolah menjawab semua emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Api itu kian membesar, berkobar tinggi bak ledakan hebat yang seirama dengan kendali pikirannya, dengan gejolak emosi yang sudah mencapai puncaknya.
Dengen tekad yang bergemuruh dalam hatinya, Ling Yi pun mengambil sumpah di hadapan kobaran api itu, bahwa ia, akan membalaskan dendamnya kepada mereka yang telah menyebabkannya mengalami penderitaan sepahit ini.
"Tidak bisa aku maafkan! Penderitaan ini, aku pasti akan mengingatnya seumur hidupku!"
"Akibat ulah mereka, aku sampai harus kehilangan ibuku, ayahku, tempat tinggal, serta semua harta bendaku,"
"Aku bersumpah! Suatu hari nanti, aku pasti akan menghabisi mereka semua dengan apiku sendiri!"
"Aku mohon, ibu. Restuilah putrimu ini!"
Malam berikutnya, Ling Yi memutuskan untuk memulai perjalanan barunya dalam misi menemukan jawaban atas pertanyaan yang mulai menghantui pikirannya, yang tak lain adalah mengenai kemampuan khusus yang ia dapatkan sebagai warisan leluhur dari sang ayah. Ia merasa, ada alasan tertentu di balik datangnya kemampuan khusus yang pada dirinya itu, dan ia pun yakin, bahwa ia bisa menjadikan kemampuan khususnya itu sebagai senjata utama untuk bisa membalaskan dendam.
Berbekal api obor di tangannya, serta abu kremasi sang ibu yang ia bawa di dalam tasnya, Ling Yi terus bersikeras mengumpulkan tekad dalam dirinya, melangkah seorang diri melewati jalanan gelap dan sunyi di dalam hutan yang sebelumnya pernah di ceritakan oleh sang ayah.
Di saat menyaksikan proses kremasi ibunya yang juga berlangsung dengan bantuan para warga desa, Ling Yi terbayang-bayang dengan pesan sang ayah semasa ia kecil. Ia masih mengingatnya dengan jelas, di saat hidupnya itu masih berada dalam kedamaian, ayahnya pernah berpesan pada dirinya mengenai kemampuan khususnya itu.
"Ling Yi, suatu hari nanti, akan tiba saatnya bagi kamu untuk mewarisi kemampuan khusus yang sama seperti ayah. Dan di saat kekuatan itu datang padamu, ayah berjanji, ayah akan memperkenalkanmu pada guru ayah,"
"Dia adalah seorang pertapa yang baik hati, yang tinggal jauh di dalam hutan. Dialah yang sudah mengajarkan ayah semasa ayah masih muda dulu, hingga ayah bisa menguasai kemampuan itu seperti sekarang ini. Oleh karena itu, ayah juga ingin, suatu hari nanti, kamu bisa bertemu dan berguru juga dengannya."
Kurang lebih, begitulah isi pesan sang ayah yang sampai sekarang masih membekas dalam pikiran Ling Yi, yang pada akhirnya menjadi pendorong utama bagi Ling Yi untuk memulai perjalanannya malam ini.
"Terima kasih, ayah. Jangan khawatir. Sekarang, akan ku temukan pertapa itu dengan usahaku sendiri!"
"Tunggu aku, ayah. Aku pasti akan menemukanmu!"
Tekad Ling Yi pun semakin membara seiring banyaknya langkah yang ia lalui. Dan di tengah-tengah kesibukannya yang berkutik dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba, Ling Yi mendengar suara langkah kaki yang berat dari balik pepohonan di sebelahnya. Saat menoleh, Ling Yi pun mendapati seorang wanita tua dengan wajah misterius yang melangkah menghampirinya.
"Ling Yi, sudah lama aku menunggu kedatanganmu," ucap nenek tua itu dengan suara yang lembut.
Ling Yi pun tercengang dengan perkataan wanita tersebut.
"N-nenek ini siapa, ya? Kenapa nenek bisa mengenalku?" tanya Ling Yi dengan heran.
Nenek misterius itu hanya tersenyum sayu menatapnya.
"Tidak perlu bingung, semuanya sudah di takdirkan oleh dewa. Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu,"
Rasa penasaran pun akhirnya membawa Ling Yi melangkah mengikuti sang nenek, hingga tak lama berselang, mereka berdua berakhir di sebuah gua yang tersembunyi di ujung sungai bebatuan di tengah hutan.
"Di sinilah tempatku tinggal. Ayo, masuklah!" ajak nenek itu dengan ramah, lalu melanjutkan langkahnya memasuki gua tersebut.
Dan lagi-lagi, Ling Yi menuruti rasa penasarannya tanpa berpikir panjang. Alhasil, baru saja melangkah masuk, Ling Yi pun sudah di buat terkejut bukan main, oleh suara gemuruh yang datang dari arah belakangnya. Dengan mata terbelalak, Ling Yi pun berbalik, dan menyaksikan ratusan bebatuan gunung berdatangan dari segala arah, membentuk sebuah tembok yang kokoh hingga menutup rapat keseluruhan pintu gua tersebut, membuat pandangannya gelap gulita seketika.
"I-ini... bagaimana bisa? Tempat apa ini? Siapa nenek tadi sebenarnya?"
Begitulah pekik Ling Yi dalam hatinya, dengan ketakutan dan penasaran yang semakin memuncak.
Tak lama dari itu, Ling Yi kembali di kejutkan dengan keadaan gua itu yang tiba-tiba menyala terang berkat si penghuni rumah yang sukses menyalakan obor penerang di setiap sudut tempat tinggalnya itu hanya dengan satu gerak sapuan tangan. Ling Yi pun berbalik seketika, dan kembali di buat tercengang, saat mendapati bahwa gua yang semula gelap itu ternyata telah benar-benar sukses di sulap menjadi tempat layak huni, dengan peralatan rumah tangga yang cukup lengkap, meskipun sederhana.
"Kemari, duduklah! Kamu pasti sudah sangat penasaran denganku, kan?" ucap si penghuni rumah yang sudah terduduk manis di atas salah satu bebatuan gua yang cukup besar.
Ling Yi pun memberanikan diri dan melangkah mendekati wanita itu, hingga berakhir terduduk manis di bebatuan tepat di hadapan sang nenek. Matanya terus menatap tajam penuh waspada, memperhatikan setiap inci dari wajah wanita tua di hadapannya itu.
"Selamat datang di rumahku, Ling Yi. Kalau aku tidak salah, kamu pasti putri dari Ling Chen, kan?"
"B-benar, nek. Tapi, bagaimana nenek bisa tau tentangku, dan juga ayahku?"
"Tidak sulit membedakan aura antara seorang anak dengan ayahnya sendiri, Ling Yi. Dan sebenarnya, aku ini, adalah seorang pertapa yang pernah menjadi gurunya Ling Chen, ayahmu sendiri,"
"A-apa? Jadi, orang yang aku cari-cari sejak tadi itu dia? Tapi, apa benar dia orangnya?"
"Ngomong-ngomong, aku juga bisa mendengar suara hatimu itu, lho," sahut sang nenek tiba-tiba sambil terus tersenyum ramah.
"A-apa? B-benarkah? M-maafkan aku, nek. Aku tidak bermaksud-"
"Haha... tidak apa-apa, nak. Aku tau itu. Mulai sekarang, panggil saja aku nenek Shifu, ya?"
Ling Yi pun tersenyum merekah menatap wanita itu, dan mengangguk.
"Baiklah, nenek Shifu," sahutnya.
"Ternyata ayah benar. Selain hebat, ternyata nenek Shifu juga orang yang sangat baik," batin Ling Yi sembari menggugurkan semua rasa takut dalam dirinya.
"Hm... Ternyata kamu sudah dewasa, ya? Aku tak menyangka kalau Ling Chen akan memiliki putri secantik dirimu,"
"Ah tidak kok. Nenek Shifu bisa aja,"
"Haha... baiklah. Jadi, selain karena kemampuan khusus yang baru saja kamu sadari, apa saja yang sudah membawamu pergi mencariku?"
Ling Yi pun memasang wajah seriusnya, dan mulai menceritakan kisahnya pada nenek Shifu.
"Beberapa hari lalu, rumahku di bakar oleh sekelompok prajurit misterius. Mereka berpakaian serba hitam, dan mereka juga memiliki kemampuan khusus, layaknya bukan manusia biasa. Mereka membakar habis seisi rumahku, menangkap ayahku, dan juga membunuh ibuku,"
"Jadi sekarang, aku ingin memperdalam kemampuan khususku ini, dan membalaskan dendamku pada mereka! Aku mohon, nenek Shifu. Terimalah aku sebagai muridmu!"
Dengan lantang, Ling Yi pun memohon pada nenek Shifu dan membungkukkan tubuhnya. Beruntung sang nenek begitu menyambutnya dengan ramah, dengan senyuman sayu yang setia terukir di wajah keriputnya itu.
"Baiklah, aku mengerti. Mulai sekarang, aku akan menerimamu sebagai muridku," sahutnya lembut.
Ling Yi pun mendongak menatapnya dengan mata berbinar.
"B-benarkah? Sungguh?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!