Aku yang tak bisa bernafas tanpamu, dan aku yang tak bisa hidup tanpamu. Sebelumnya..
Mencintaimu tak semudah itu, melupakanmu lebih sangat tak mudah lagi.
Aku berdiri di depan cermin, menatap kekosongan di hatiku. Mendengar kau menikah dengan orang lain adalah kabar terburuk yang harus aku telan.
BAB 1 ( Ingin Melupakan Mantan )
Setiap malam aku selalu terjaga dan tak bisa tidur. Setiap hari aku sudah tidak ada semangat lagi menjalani hari, mungkin kamu tidak tahu sesulit ini melupakanmu, Reino.
“Niara,” seseorang mengetuk jendela kaca. Dia memanggilku dengan mengerutkan alisnya. Aku hanya mengangguk melihat teman sekantorku, yang lelah menungguku sedari tadi di depan. Dia masuk kedalam karena tak sabar, dengan kelakuanku yang selalu lelet.
“Kamu ingin tidur disini!” Vira mengomeliku. Namun aku hanya diam. Sejak pernikahan mantan kekasihku ku ketahui, semangat kerja mulai memudar.
Apalagi yang aku impikan? Impian itu sudah pupus. Semua tabungan yang kita buat bersama, berharap bisa memiliki rumah dan villa yang kami inginkan sudah lenyap. Reino meminta membaginya, setelah hari pernikahannya dia meneleponku bukan untuk meminta maaf, namun hanya ingin aku membagi tabungan kita. Hanya itu saja.
Setelah itu aku dan Reino, bagai orang asing. Padahal kami bekerja satu pabrik. Aku diam-diam masih menatapnya dari kejauhan, entah dia masih memikirkan aku atau tidak? Apakah semudah itu dia melupakanmu? Aku ingin menghapus dia di barisan memoriku, aku sudah mencobanya. Namun, selalu gagal. Melihat orang yang aku cintai dan aku benci setiap hari.
Langkahku perlahan berhenti. Dia melewatiku, menoleh ke arahku. Melempar senyum, seakan tidak terjadi apa-apa diantara kami.
Hari demi hari rasa sakit itu tidak terobati, ‘ya aku tergila-gila padanya’ aku jujur dengan diriku. Pertengkaran kami bukan sekali dua kali saja. Namun, kami selalu kembali bersama. Kali ini hal itu mustahil, dia sudah memiliki ikatan pernikahan dengan wanita lain. Untuk meraihnya, seakan aku terlalu haus cinta. ‘aku tidak ingin terlihat itu’ tapi aku tidak bisa.
Dia melewatiku lagi, dia tersenyum lagi. Tidakkah dia bisa beri penjelasan kenapa dia memilih berpisah. “Ini bukan hanya karena orang tuanya tidak setuju padaku, kan?” Aku masih menggumamkan pertanyaan itu tanpa henti.
Jalan-jalan yang kulalui untuk sampai ke rumah terasa sangat jauh. Suara klakson lagi-lagi mengagetkanku.
“Apa kamu gila? Ini sudah lampu hijau!” Mobil lain mendahuluiku. Aku menepi, air mataku tumpah untuk kesekian kalinya. Aku hanya bisa menangis di dalam mobil. Aku tidak ingin orang tahu, aku menangisi seorang Pria. Untuk orang se-ambisius aku, patah hati. Apakah itu hal wajar?.
Aku menepuk dadaku berulang kali, meminta diriku untuk berhenti menangis. Namun, semakin aku menyuruh berhenti. Tangisanku semakin keras.
Butuh beberapa jam hingga kering, aku melajukan mobilku lagi. Aku berniat untuk berlibur saja menenangkan pikiranku yang kacau. Aku pulang kerumah mengemas semua baju masuk kedalam koper.
“Kamu mau kemana?” teriak Ibuku. Aku menutup pintu dengan keras, keluar rumah dan mengangkat koperku masuk ke dalam bagasi.
Aku tidak tahu akan kemana, yang pasti ingin pergi jauh saja. Melupakan semuanya. Kalau bisa mati saja, jika bisa melupakan Reino.
Satu persatu melewati lampu merah, sudah ratusan kali mungkin. Mobil ini masih melaju tanpa arah. Hingga akhirnya berhenti di sebuah desa terpencil. Aku keluar dari mobil. Semua sunyi dan senyap. Lagi-lagi aku tak berlari menjauh dari kenangan itu. Kakiku malah berhenti di tempat dimana aku dan Reino pernah datang bersama.
Aku menarik koper keluar bagasi, masuk ke dalam penginapan. Dan memilih kamar yang sama. Aku mengacak rambutku “bodoh, bodoh!” mulutku selalu bilang ingin keluar meninggalkan kenangan, sedangkan hatiku ingin mengulang hal yang sama untuk mengobati kerinduan.
Setelah sejenak istirahat, aku keluar dari penginapan. Berjalan menyusuri pantai yang tak jauh dari penginapan. Menatap semua bintang yang bertaburan di langit.
“Aku sangat mencintaimu,” aku berteriak keras, dengan alasan ingin melepaskan beban di hatiku. Namun, malah air mata yang turun di pipi.
Aku yang saat ini berusaha melupakan mantanku, aku harap tidak sia-sia.
Beberapa hari menginap, aku hanya makan dan jalan-jalan. Menghabiskan tabunganku. Aku ingin menjalani semuanya, asalkan bisa melupakan Reino.
‘Kamu gila! Tidak berangkat kerja berhari-hari.’ sebuah pesan masuk di ponselku. Aku berdecak kesal ketika melihat pesan dari atasanku.
Akhirnya aku melajukan mobilku untuk pulang. Setelah mendapatkan ratusan makian pesan. Tapi, sepertinya tidak ada yang berubah. Hatiku masih perih.
Aku menancap gas di jalanan sepi. Ingin sampai di rumah secepatnya.
Brakk..
Suara benturan keras. Saat ini mobilku berhenti ketika menabrak mobil lain di depanku. Aku yang setengah sadar, menatap ke luar jendela. Mobil sedan putih, membentur tiang. Aku mendengar teriakan beberapa orang. Seseorang, menggedor jendela dari sisi kananku. Berteriak, entah memaki atau mengatakan hal lainnya. Semua terasa lirih untuk di dengar di telinga. Pandanganku perlahan kabur. Aku mengangkat jari-jariku, memastikan cincin itu masih melingkar di jari manisku. Kenangan terakhirku dari Reino. Semua menjadi gelap.
“Aku masih mencintaimu,” aku menggumamkan itu beberapa kali sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya.
'Seharusnya aku tidak seperti ini, mencintai orang seharusnya tidak sejauh ini, kalau saja aku berlari saat itu. Berlari mengejarmu lebih kuat mungkin kita masih bersama.'
Aku yang lelah dengan semua hal yang tidak pernah berjalan sesuai harapanku. Aku yang sedari dulu berusaha untuk memberikan ketulusan kepada semua orang yang di sekitarku, kenyataannya ketulusan itu tidak pernah kembali kepadaku.
Apa aku tidak sebaik itu untuk mereka? Apa aku tidak cukup berharga untuk dijadikan alasan bertahan?
Malam yang panjang aku lewati dengan patah hati kesekian kalinya. Apakah masih mungkin untukku bisa menata hati dan memulai dengan hal baru lagi? Aku selalu menanyakan itu pada diriku.
Sebelumnya, padahal aku yakin Reino adalah Pria terakhir dalam pencarian cintaku selama ini. Namun, kenyataannya aku harus bangkit lagi. Berjalan lagi menyusuri setapak demi setapak mencari cinta yang tulus, di usiaku yang tidak muda lagi.
BAB 2 ( Ingin Mati Saja )
Aku seakan baru saja terbangun dari mimpi panjang. Mataku perlahan terbuka dan mulai pikiranku mencoba menerka-nerka keberadaanku saat ini.
Cahaya putih diatasku, gorden putih dan selang infus. "Ah, aku tidak mati hanya di rumah sakit saja,"
Melihat Ibuku bergegas bangun dari tempat duduknya, menekan tombol di samping kiriku. Kemudian, seorang perawat masuk kedalam ruangan. Aku masih dalam keadaan setengah sadar untuk bisa menjawab pertanyaannya.
Perawat itu mengecek detak jantung dan nadiku, menanyaiku dengan kalimat yang sama berulang kali. “Apa yang dirasakan saat ini, Bu? “
“Kepalaku sedikit pusing,” jawabku
“Dan rasanya seperti ketakutan.” Imbuhku.
Tiba-tiba tangan kanan ibuku memukul belakang kepalaku dengan kesal.
“Kau baru saja menabrak orang, kau tidak ingat!” ketus Ibuku.
Pintu terbuka lagi, satu orang Polisi masuk kedalam ruangan. Aku terkejut melihatnya.
'Apa dia -- mati?'
Perawat itu membicarakan kondisiku kepada Polisi, aku tak menggubris apa yang mereka bicarakan. Saat ini aku benar-benar ketakutan. Memikirkan hal paling buruk jika orang yang aku tabrak tadi meninggal, lalu aku akan masuk penjara. Semua keadaan ini membuatku gemetar.
Polisi tidak memberikan pertanyaan apapun padaku yang sudah sadar. Dia hanya mengerutkan alis kearahku, kemudian keluar dari ruangan mengikuti langkah perawat.
“Kau minum?” tanya Ibuku, pertanyaan minum yang menjurus ke arah minuman alkohol.
“Ibu, apa dia mati?” aku menjawab dengan pertanyaan lain.
“Ibu tidak tahu,” jawab ibuku sambil mengetik pesan di handphonenya.
Tubuhku lemas tak berdaya, seakan ingin tak sadarkan diri lagi lebih lama.
“Ibu akan keluar, menanyakan kondisi korban.” ucap Ibuku, keluar dari kamar.
Aku seperti orang gila yang linglung, menjambak rambutku sendiri dengan kuat, lalu memukul kepalaku berulang kali dengan genggam tanganku.
“Ya Tuhan, aku sudah lelah hidup sial seperti ini.” gerutuku.
Aku menunggu sekitar 15 menit, setelah itu Ibuku masuk ke dalam kamar.
“Wanita itu masih tidak sadarkan diri, sepertinya lukanya tidak cukup parah. Dia hanya sedikit terserempet,” kata Ibuku memberikan kabar tentang kondisi wanita yang aku tabrak.
“Ada saja ulahmu Ra, bagaimana kalau keluarganya minta uang banyak untuk kekacauan ini! Kau ada uang!!”
Aku menggelengkan kepala, lalu tertunduk.
Polisi itu masuk lagi kedalam kamar dan membuatku semakin gugup. Polisi itu memberikan beberapa pertanyaan padaku tentang kecelakaan yang barusan aku alami. Melihat mobilku dalam keadaan aman dan baik, serta aku tidak dalam pengaruh minuman keras dan obat-obatan, mencurigaiku dendam kepada wanita itu sehingga menabraknya. Aku pun memberikan penjelasan, jika saat itu pikiran dalam keadaan tertekan karena kelelahan dalam bekerja dan tidak mengenal wanita itu sama sekali. Ku tambahkan sedikit kebohongan, jika tiba-tiba kepalaku pusing berat sebelum akhirnya mengerem mendadak.
Polisi masih tampak curiga dengan penjelasanku, lalu memintaku untuk beristirahat sejenak sebelum beberapa pertanyaan lagi nanti akan ia tanyakan kembali.
Setelah Polisi itu keluar kamar, aku menarik nafas sedikit lega. Ibuku terus mengomel dan memakiku tanpa henti. Membuatku semakin stres hingga akhirnya berteriak dan membuat ibuku keluar dari kamar meninggalkanku.
Aku kembali berbaring di tempat tidur, mencoba memejamkan mata dan menenangkan kegelisahan.
“Tuhan, ambil saja nyawaku. Aku sudah lelah dengan derita ini,” ucapku.
“Aku sudah tidak ada lagi semangat untuk hidup, seharusnya aku saja yang mati. Biarkan, wanita itu hidup.”
Mataku terpejam lagi, dan kali ini mencoba bermimpi panjang dan berharap tidak bangun. Takut berhadapan dengan kenyataan, jika harus menghabiskan sisa hidupku di balik jeruji.
“Ra, bangun,”
Aku mendengar dan merasakan tanganku di tepuk berulang kali. Aku berusaha bertahan di dalam mimpi, mengacuhkan kehidupan nyata.
“Jangan pura-pura tidur, keluarganya meminta uang 100 juta jika ingin jalur damai,”
Mendengar uang sebanyak itu membuatku sontak kaget dan membuka mata, ibuku tampak kesal melihatku.
“Apa dia patah tulang?” tanyaku panik.
“Dia baru saja menjalani operasi, wanita itu keguguran.” jawab ibuku.
“Hah…”
“Kau pikirkan saja uangnya, mereka memberi waktu 3 hari, jika tidak mereka akan menguggatmu,”
“Aku dapat uang darimana sebanyak itu, Bu?”
“Seharusnya itu yang kau pikirkan sebelum menabrak seseorang!”
Ucapan ibuku tak membantu sama sekali, ibuku pergi meninggalkanku sendirian, seakan melepas tanggung jawab. Padahal aku tahu, setelah menikah lagi Ibuku terbilang cukup memiliki uang, karena ayah tiriku memiliki pekerjaan yang mapan. Aku memikirkan uang sebanyak itu sendirian, menghitung tabunganku yang tak seberapa, karena sebagian sudah ku habiskan untuk bepergian saat patah hati.
Dengan tubuh terhuyung huyung, aku keluar dari kamar dengan membawa selang infus yang menancap di tangan kiriku. Mencari keberadaan kamar, wanita yang meminta 100 juta itu untuk mengganti atas kehilangan anaknya.
Seorang Perawat, menyuruhku untuk kembali ke kamar. Namun, keinginanku yang sangat penasaran membawa ku tetap kekeuh berjalan mencari kamar wanita tersebut, sambil terus memikirkan ucapan maaf terbaik.
“Haruskah aku bertekuk lutut, meminta maaf sambil menangis, agar dia memaafkanku dan mengurangi angka 100 juta itu,” ucapku di dalam hati.
Perawat yang mengomel masih mengikuti dari belakang.
“Dia suaminya,” ucap Perawat itu.
“Suami dari wanita yang kau tabrak dan baru saja selesai operasi karena keguguran”
“Sayang sekali, usia kehamilannya baru 6 minggu, pasti sangat syok suaminya saat ini.”
Langkahku pun berhenti, punggung lebar itu sangat aku kenal. Aku pernah memeluknya erat dulu. Aku ikut syok, setelah mengetahui wanita itu adalah istri Reino. Perlahan memutar arah tujuanku, aku urungkan permintaan maaf itu. Entah ini sebuah kebetulan, keberuntungan atau kesedihan. Aku melihat orang yang menyakitiku mengalami kesakitan kehilangan yang dalam. Mungkin tidak sebanding dengan kehilangan Reino.
Pemikiran kejam dan jahat mungkin yang bisa aku jelaskan. Wanita itu mengambil Reino dariku, dan aku mengambil nyawa anaknya tanpa disengaja. Mungkinkah ini kesempatan dari Tuhan, masih ada satu langkah lagi aku bisa merebut Reino lagi.
Uang 100 juta bahkan akan aku berikan, jika wanita itu mau mengembalikan Reino padaku. Padahal lelaki itu telah menyakitiku, tetapi aku masih ingin memilikinya.
Entah kenapa aku sangat menyukai Reino. Bertahan selama ini sering di caci ibunya, namun aku tak pernah mundur. Mungkin karena sebelumnya tidak ada yang pernah mencintaiku seperti aku mendapatkan cinta darinya.
BAB 3 ( Perkenalan Dengan Reino )
Sebelumnya aku hanya seorang kutu buku yang payah soal menjalin cinta. Cinta datang dan pergi hanya untuk sekedar memanfaatkanku. Aku terlalu naif.
Ada yang pernah memanfaatkanku untuk sekedar membantunya mengerjakan skripsi, menjadikanku rekening uang, bahkan yang terakhir membawa kabur mobil yang baru ibuku beli sebagai hadiah ulang tahunku ke 20 tahun.
Rasa insecure di dalam diriku dengan penampilan, menjadi masalah utama. Bagiku merasa dicintai dan di bodohi hanya beda tipis. Karena pada akhirnya yang bertahan hanya diri sendiri ketika kesulitan.
Setelah kelar S1, aku melamar di berbagai perusahaan. Namun, kenyataannya di jaman sekarang, semua mengutamakan penampilan. Hingga 2 tahun menganggur, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di tempat sekarang. Aku menjadi ambisius bekerja untuk bisa naik jabatan dan menjadi salah satu wanita memiliki kedudukan tinggi di Pabrik yang aku naungi. Awalnya, aku berjanji pada diriku sendiri setelah banyak problematik dalam percintaan. Aku ingin melajang seumur hidup saja.
Menikmati hidup dalam kesendirian lebih baik, daripada terus-menerus terluka karena patah hati.
Hingga akhirnya, aku bertemu dengan seorang teknisi berwajah tampan, dengan kulit putih yang bersinar. Pria berpostur tegap dan tinggi, mendatangi ku saat jam makan siang di kantin. Dia tanpa ragu menatapku dan duduk si sebelahku.
“Aku Reino,” ucapnya memperkenalkan diri.
“Ciye…” sindir beberapa teman yang melihat kami saat itu, ada yang bersiul seakan menggoda pertemuan kami.
“Niara.” balasku, tertunduk dengan wajah memerah.
“Nama yang cantik seperti orangnya,” puji Reino
Suaranya begitu lembut dan merdu. Hingga terngiang-ngiang di benakku. Jam makan siang telah usai, namun obrolan kami masih berlanjut. Reino mengikutiku sampai di ruangan kerjaku. Kemudian, berpamitan pergi dengan meninggalkan senyuman yang manis.
“Sepertinya dia terbiasa memainkan perasaan wanita,” batinku kala itu.
Namun, kenyataannya setelah mengenalnya lebih dekat dia sangat sopan dan hanya aku saja wanita yang terlihat diajak bicara saat jam makan siang. Pria yang supel dengan teman lelaki lainnya, tapi tidak terlalu mengakrabkan diri dengan wanita selain aku. Aku merasa, dunianya hanya benar-benar tertuju padaku. Kebersamaan kami mulai berangkat kerja hingga pulang kerja. Reino selalu menjemput dan mengantarku. Aku merasa terjaga dan tidak kesepian lagi. Dia pria yang baik, tidak pernah mengijinkan aku mengeluarkan uang sepersen pun saat kita keluar makan bersama, tidak seperti Pria yang dekat denganku sebelumnya. Meskipun gajinya lebih kecil dariku, dia terlihat bertanggung jawab.
Hubunganku dan Reino dimulai bukan seperti layaknya masa remaja. Jika dengan dulu mantan pacarku terang-terangan menyatakan cintanya dan meminta persetujuan padaku, apakah dia bisa lebih dekat denganku lebih dari teman. Namun, tidak dengan Reino. Usianya lebih tua 3 tahun dari aku, tanpa pertanyaan “Apakah kau mau jadi kekasihku?” Reino yang saat itu mengantarkan aku pulang kerja, dia tak langsung pergi seperti biasanya. Dia memintaku untuk membuatkan secangkir kopi dan ingin bersantai di kamar kos ku, karena saat itu hujan, aku pun mengijinkannya masuk ke kamar kosku.
Kopi hangat dan sepiring kue bolu aku sajikan untuknya, layaknya menghargai tamu.
“Ra…” dia menarik tanganku, hingga aku terjatuh dalam pangkuannya.
Mata kami saling tak lepas memandang, hingga beberapa c*uman mendarat.
Bagiku itulah awalnya hubungan kami, bisa dikatakan lebih dari teman dan dalam status pacaran.
Pertama kalinya hasrat diriku untuk memiliki seseorang menjadi menggebu. Aku tergila-gila pada Pria yang memberiku kenyamanan, selalu mengerti aku dan mengalah dengan keegoisan yang aku miliki.
Aku memberanikan diri memberikan hal yang tidak sepatutnya aku ijinkan orang yang belum memberikan janji sucinya padaku. Beberapa kali mendengar jika hal itu dianggap bukan hal tabu lagi di jaman ini.
Aku sangat posesif dalam hubungan ini setelah melangkah jauh dengan Reino. Sedang Reino juga terlihat hanya setia padaku. Namun, di balik rasa cintanya padaku. Dia sangat utama menuruti kemauan ibunya.
Memilikiku dalam hidup Reino, bagi kedua orang tuanya adalah kesalahan. Dari awal berpacaran dan bertemu dengan kedua orang tuanya, mereka selalu mengatakan padaku untuk segera meninggalkan Reino. Toh, pada akhirnya Reino tetap akan dijodohkan dengan pilihan ibunya.
Namun, kebodohanku yang fatal membuat ku terus berusaha bertahan. Aku tidak memperdulikan ultimatum itu. Selama hubunganku dan Reino masih saling mencintai, Reino pasti pada akhirnya akan tetap memilihku.
Percaya dengan keyakinan itu, hingga membutakan diriku yang padahal layak dimiliki orang lain semestinya. “Apa mungkin aku kurang membuka diri untuk orang lain?” aku selalu menanyakan itu pada diriku sendiri.
Saat sempat putus dengan Reino, aku pada akhirnya mulai ingin mengenal pria lain. Tetapi, setelah menyadari aku sudah melakukan hal lebih dengan Reino, rasa takutku jika ketahuan oleh Pria lain bahwa aku sudah tak s*ci lagi menjadi dilema.
Menyadari sebenarnya akulah yang sudah terperangkap, akhirnya mau tak mau memperbaiki hubungan lagi dengan Reino. Menjadi wanita yang tidak tahu malu, menjadi kata-kata yang selalu aku telan ketika Ibunya Reino menyindirku terus menerus yang tak bisa meninggalkan anaknya.
‘Apa aku harus hamil dulu, baru orang tua Reino setuju?’ pemikiran itu pernah terbesit di dalam otak dungu ku. ‘Tapi jika sama sekali tidak, apa yang harus aku lakukan?’ Aku juga tidak yakin, Reino siap meninggalkan ibunya dan menikahiku.
Mencintai Pria yang sangat menyayangi ibunya lebih dari menyayangi dirinya sendiri sangat menyusahkan. Mengejar cintanya bukan syarat utama dia mau menikahi, melainkan meluluhkan hati ibunya menjadi syarat utama yang harus dilalui.
Hingga benar pada akhirnya. Ibunya Reino tetap memisahkan kami. Hal yang membuatku sangat frustasi. Menikah dengan Reino hanya sebuah impian yang telah sirna. Dan Reino yang sepertinya juga tidak ada effort lebih mempertahankanku. Aku merasa dikhianati, tetapi juga aku merasa akulah yang bodoh.
Mengenal Reino menjadi kesalahan terbesarku. Namun, juga menjadi pengalaman terindahku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!