NovelToon NovelToon

Kakak Sahabatnya

Bab 1

Kalila meminta ojol untuk menurunkan dirinya di minimarket depan rumahnya, Kalila ingin membeli sesuatu sebelum pulang ke rumah dari tempatnya bekerja. Setelah belanja membeli apa yang dibutuhkan tak lupa Kalila membeli es krim, makanan favoritnya.

"Kau jalan kaki nak?" tanya ibunya dari belakang saat melihat Kalila tiba dengan jalan kaki.

"Naik ojol bu,turun di minimarket dekat rumah, beli sesuatu," jawab Kalila mendekati ibunya, salim dan mengecup punggung tangan ibunya. Sambil menenteng satu kantong plastik.

"Oh, tak diantar Iwan?" tanya ibunya lagi.

"Mas Iwan sedang dinas ke luar kota Bu, mungkin seminggu, jadi tidak bisa antar jemput Kalila, udah bu Kalila masuk," jawab Kalila masuk ke dalam rumah.

Saat melintasi kamar adiknya, Aksa. Kalila berhenti.

"Ini dek es krim, dibagi ya?" kata Kalila menyerahkan kantong kecil isi es krim pada adiknya sambil tersenyum manis.

Teman adiknya yang duduk paling dekat dengan Kalila menerima uluran Kalila. Ada 4 anak teman sekaligus adiknya, sedang mengerjakan tugas kelompok skripsi mereka.

Theo yang mendengar suara Kalila langsung mengalihkan pandangannya pada Kalila tersenyum menatapnya. Theo menyukai kakak sahabatnya itu, tapi Theo juga tau kalau Kalila sudah punya pacar teman sekantornya, tapi tak membuat Theo menyerah untuk menyukainya, asal dapat melihatnya sudah membuat Theo bahagia.

"Ya mbak, makasih." jawab Aksa tanpa memalingkan wajahnya masih serius menatap laptopnya.

Kalila masuk kamar mandi setelah sampai di kamarnya membersihkan tubuhnya. Ponselnya berdering saat dirinya baru selesai mandi.

"Halo,,"saut Kalila menerima telpon.

"..."

"Sudah." jawab Kalila.

"..."

"Aku naik ojol, gak papa, lagian dekat juga?"

"..."

"Gak papa, aku baik-baik saja, sungguh?" jawab Kalila meyakinkan yang di seberang telpon.

"..."

"Iya, hati-hati disana juga,daa" jawab Kalila lagi menutup ponselnya mengakhiri pembicaraannya.

Kalila turun untuk makan malam bersama keluarganya. Setelah itu berkumpul di ruang keluarga menonton tv tapi Aksa kembali ke kamarnya, sepertinya masih ada temannya tapi tinggal seorang, kedua teman lainnya sudah pulang.

Orang tua Kalila berpamitan mau pergi ke acara keluarga mereka. Kalila nonton tv sendiri sambil bermain ponselnya membalas chat dari kekasihnya, sambil senyum-senyum sendiri. Kalila bangkit dari duduknya setelah mematikan tv masih memainkan ponselnya untuk kembali ke kamarnya.

Masih sibuk dengan ponselnya, dirinya tak melihat Theo berjalan kearahnya juga hendak ke dapur mengambil air minum membawa gelas di tangannya. Mereka saling menubruk.

"Auw..." seru Kalila oleng hampir jatuh, memegangi kepalanya yang membentur kepala Theo, gelas dalam pegangan tangan Theo jatuh pecah ke lantai, kaki Kalila yang dalam posisi melangkah tak sengaja menginjak pecahan gelas, mengenai telapak kakinya dan berdarah.

"Auw..." jerit Kalila pincang memegangi kakinya yang terluka, Theo langsung menangkapnya sebelum Kalila jatuh.

"Maaf mbak... mbak gak papa?" cemas Theo melihat darah menetes dari kaki Kalila.

"Kaki mbak berdarah." seru Theo cemas langsung membopong tubuh Kalila membawanya ke sofa ruang keluarga dekat dapur, Kalila tersentak melihat Theo yang tiba-tiba membopongnya spontan.

Reflek tangan Kalila merangkul leher Theo agar tidak jatuh. Theo menurunkan tubuh Kalila perlahan langsung duduk jongkok dihadapan Kalila melihat luka berdarah di kaki Kalila. Kalila yang masih terkejut dengan reaksi refleks Theo belum sepenuhnya paham.

"Kotak P3K dimana mbk?" tanya Theo setelah melihat luka Kalila yang agak dalam tertancap pecahan gelas.

"Di..di..laci dapur ba... bawah kompor" jawab Kalila agak gugup sadar dari terkejutnya.

Theo berlari mengambil kotak P3K yang di tempat yang dimaksud Kalila.

Kok jantungku berdebar kenapa ya?Dan si Theo apa-apaan sih, pakai gendong aku juga, batin Kalila. Dia temen adikmu Kal? batin Kalila menenangkan degup di dadanya.

"Udah Theo biar aku sendiri... makasih," kata Kalila melihat Theo dengan telaten merawat kaki Kalila.

"Udah mbak gak papa, karena aku juga yang jatuhin gelas sampai pecah dan melukai kaki mbak," jawab Theo memaksa untuk merawat luka Kalila.

"Gak papa kok, lagian mbak yang salah gak liat jalan pas Theo datang," kata Kalila lagi merasa tak nyaman, kakinya disentuh pria yang bukan keluarganya, apalagi Theo memperlakukannya sangat lembut seolah kakinya barang berharga.

"Udahlah mbak diam saja, sebentar beres kok tinggal diperban..." kata Theo lembut.

Kalila semakin gugup, pikirannya tidak waras, dirinya sempat berpikir bahwa Theo menyukainya, tapi segera ditepisnya pikirannya itu.

"Nah selesai...mbak mau kemana?" tanya Theo setelah selesai mengobati luka kaki Kalila mendongak menatap wajah Kalila dengan senyuman lembut.

Kalila reflek mengalihkan pandangannya menatap kakinya yang sudah terbalut perban dengan rapi.

"Ah,makasih. Aku mau ke kamar..." jawab Kalila hendak bangun tapi saat diinjakan kakinya yang luka dirinya kesakitan lagi.

"Auww..." reflek Kalila terduduk lagi.

Suara langkah kaki menuruni tangga membuat keduanya sama-sama melihat siapa yang datang.

"Kenapa mbak?" tanya Aksa mendengar jeritan kesakitan kakaknya menghampiri Kalila.

"Ah gak papa...gak sengaja menginjak beling," jawab Kalila agak gugup, Theo reflek menjauh saat melihat Aksa mendekat.

"Maaf tadi gak sengaja, gue jatuhin gelas dan pecah, keinjek kakak Lo yang lagi lewat, tapi udah gue obati bro," jelas Theo sedikit gugup juga dan salah tingkah di depan Aksa, Aksa tak tau perasaannya yang mengagumi Kalila dan Theo juga belum berani mengakuinya.

"Bantu mbak ke kamar yuk dek?" tukas Kalila memecahkan kecanggungan diantara mereka.

Aksa membantu kakaknya memapahnya untuk naik menuju kamar Kalila. Sesampainya di kamar mendudukkannya di tepi ranjang. Theo mengikuti dari belakang ikut membantu tapi ditolak Kalila.

"Hati-hati dong mbak, mbak pasti yang salah jalan gak liat depan, main hp terus," omel Aksa.

Aksa tau betul kakaknya, sering main hp di rumah sambil gak liat jalan.

"Ih... apaan sih kamu, ngomelin mbak, ya namanya kecelakaan kita kan gak tau," elak Kalila malu karena ada Theo disana menahan tawa seperti mengejeknya, walau apa yang dikatakan adiknya tidak sepenuhnya salah.

"Ya kecelakaan kan gak mungkin terjadi jika kita waspada," sanggah Aksa lagi.

"Udah...udah keluar sana, mbak mau istirahat, tutup pintu kamar Mbak sekalian," usir Kalila sebelum adiknya lebih mengusilinya lagi.

"Udah ditolong gak bilang makasih...malah ngusir..." canda Aksa sambil berjalan keluar kamar diikuti Theo masih menatap Kalila dengan senyum yang tak bisa diartikan.

"Iya...iya...makasih udah nolong mbak."

"Telat..." ejek Aksa tersenyum menutup pintu kamar kakaknya menuju kamar di depannya.

Tengah malam Kalila merasakan haus, melirik meja di atas nakas samping tempat tidurnya, berharap air minum di botol ada isinya, tapi ternyata sudah habis, terpaksa dirinya bangun, luka di kakinya yang berdenyut, membuat rasa hausnya tak bisa ditahan.

Kalila mencoba bangun, bingung bagaimana caranya untuk turun ke dapur mengambil air minum, tak mungkin dirinya berteriak memanggil adiknya yang mungkin sudah tidur.

Sambil berpegangan di dinding dan meja atau apapun yang dekat dengannya, Kalila merambat untuk keluar kamarnya, saat dicoba untuk menapakkan kakinya di lantai, Kalila kesakitan, sedikit lagi membuka pintu.

Saat pintu terbuka pintu kamar adiknya juga terbuka, reflek Kalila berseru memanggil adiknya.

"Dek,bantu ka..." seru Kalila tak jadi diteruskan saat yang muncul dari kamar adiknya adalah Theo. Mereka saling menatap.

"Kukira Aksa," kata Kalila urung untuk ke dapur mengambil air minum.

"Ada yang bisa kubantu mbak?" tanya Theo sebelum Kalila berbalik.

"Gak jadi, ya sudah aku mau masuk.." jawab Kalila, sejak kejadian sore tadi dirinya merasa canggung dengan teman adiknya itu. Kalila tak mau besar kepala akan lebih baik Kalila menghindari yang mungkin tidak diinginkan.

bersambung

.

.

.

Bab 2

Seminggu kemudian, luka Kalila perlahan sembuh mesti belum sepenuhnya, selama seminggu itu pula, Theo memaksa mengantar jemput Kalila kerja, karena merasa bersalah.

Kalila tak dapat menolak, apalagi sebelum dirinya berangkat, Theo sudah siap stand by di depan rumah, berbagai alasan digunakan Kalila untuk menolaknya tak membuatnya Theo patah semangat. Bahkan kadang Theo jadi sering menginap di rumahnya dan tak pernah berhenti menatap mengawasi seandainya sewaktu-waktu aku terlihat kesulitan.

Keluargaku juga menerima dengan baik Theo karena sudah mengenalnya sebagai teman Aksa. Kesempatan tak disia-siakan oleh Theo saat dia memikirkan cara untuk mendekatkan diri pada Kalila mendatangkan peluang untuknya.

Orang bilang kecelakaan membawa berkah, seringai Theo. Bahkan ayah dan ibu tak segan-segan mengajaknya turut serta untuk sarapan sebelum kami berangkat bersama. Mungkin Kalila sudah punya pacar atasan di kantornya, tapi perasaan Kalila masih ragu, karena kegigihan Iwan lah yang membuatnya terpaksa menerima perasaan Iwan dan Kalila berpikir mungkin seiring berjalannya hubungan mereka akan tumbuh perasaannya terhadap Iwan.

Motor Theo berhenti tepat di depan gedung mewah tempat Kalila bekerja. Kalila turun dari motor Theo, motor n*nj* Theo yang tinggi membuat Kalila agak kuwalahan turun, sebelum luka kakinya sembuh, Theo mengantar kerja dengan motor cewek yang tidak terlalu tinggi.

Setelah kaki Kalila sembuh, Theo seperti sengaja membawa motor lain dengan alasan motornya yang biasanya rusak. Kalila percaya saja, toh Theo yang memaksanya untuk mengantarkannya, padahal Kalila sudah menolak karena merasa sudah sembuh, Theo masih memaksa.

"Kalila..." seru seseorang dari jauh mendekati mereka, Kalila masih berusaha melepas helm dan menoleh ke arah suara.

"Mas Iwan? Sudah pulang? Kapan?" tanya Kalila melingkarkan tangannya di lengan Iwan diikuti tatapan Theo ke arah tangan Kalila dengan sorot mata tajam.

"Siapa?" tanya Iwan menatap Theo.

Theo balas menatap tak suka. Kalila ikut menatap Theo dengan wajah tersenyum.

"Dia Theo teman kuliah Aksa mas, nganter aku berangkat kerja kebetulan searah dan kakiku juga sudah lumayan sembuh, kurang sedikit lagi," ucap Kalila menunjuk pada Theo.

Theo cuek tak berusaha untuk berkenalan. Sorot matanya masih tajam dan dingin menatap Iwan, berganti menatap tangan Kalila yang masih setia bergelayut di lengan Iwan.

"Ya udah mbak, aku berangkat ya,udah jam segini takut telat," pamit Theo tanpa pamitan pada Iwan, naik ke motornya sambil memakai helmnya dan menyimpan helm yang Kalila pakai, Kalila melambaikan tangannya pada Theo yang telah menjauh.

"Gak sopan banget tuh anak," omel Iwan yang merasa dicuekin.

"Udah mas namanya juga anak muda...yuk masuk," ucap Kalila meredakan emosi Iwan sambil perlahan melepas tangannya dari tangan Iwan, namun segera diraihnya kembali menyatukan jemari mereka untuk berjalan bergandengan masuk ke dalam gedung kantor itu.

Kalila tak bisa menolak, dirinya berusaha mencari tahu reaksi Theo jika dirinya bermesraan dengan pria lain dan ternyata benar, dari sorot mata Theo menunjukkan sorot mata dingin dan tajam seperti seseorang yang sedang cemburu.

Apakah Theo cemburu?Apa dia menyukaiku?batin Kalila tak menghiraukan semua perkataan Iwan dari luar gedung sampai mereka berpisah di depan lift. Iwan ke lantai 7 sedang Kalila di lantai 5.

"Cie...yang seneng yayangnya pulang," goda temanku sekantor Dina.

Aku hanya tersenyum, entah tersenyum senang atau apa. Entah kenapa Kalila merasa kecewa melihat kepulangan Iwan. Dengan kepulangan Iwan kedekatannya dengan Theo semakin berkurang, jika Iwan ada mungkin biarpun sakit Theo tak mungkin mengantar jemputnya.

Iwan pasti sudah menyela terlebih dulu untuk mengambil alih tugas itu. Iwan posesif meski tak terlalu, kadang kecemasannya juga berlebihan. Jika pagi tadi Kalila tak berperilaku mesra padanya, Iwan pasti akan marah melihatnya diantar pria lain selain adiknya Aksa.

Bagaimanapun juga Iwan merupakan salah satu cowok idola cewek-cewek kantor, beruntungnya Kalila adalah orang yang dipilih Iwan untuk menjadi pacarnya meski berbagai cara telah dilakukan untuk meluluhkan hati Kalila.

Iwan memang tampan dan dewasa banyak cewek-cewek kantor yang patah hati mendengar Iwan jadian dengan Kalila, ada yang turut senang ada juga yang membenci Kalila mendengar hubungan mereka, tapi mereka tak bisa menyangkalnya.

Wajah Kalila yang baby face berkulit putih membuat semua pria bertekuk lutut memujanya. Para pria di kantor juga banyak yang patah hati karena mendengar kabar jadian mereka.

Jam 5 sore waktu pulang kantor, Kalila berjalan keluar gedung bersama teman sekantornya.

"Mbak Kalila!" seru seseorang dari luar gedung melambaikan tangan pada Kalila. Kalila menoleh ke arah sumber suara.

"Theo!" jawab Kalila mendekat setelah pamit pada teman-temannya.

Theo dengan senyuman sejuta watt membuat teman-temannya terpesona, padahal Theo tersenyum menatap Kalila.

"Ngapain kesini?" tanya Kalila bingung karena Theo menyerahkan helmnya pada Kalila.

"Ya jemput kakaklah," jawab Theo sambil hendak memakai helmnya.

"Kalila!" seru Iwan dari belakang Kalila, Kalila berbalik menatap Iwan.

"Mas Iwan," jawab Kalila serba salah.

"Ayo pulang," ajak Iwan menggandeng tangan Kalila tanpa mempedulikan Theo.

Tapi Theo juga menarik tangan Kalila yang satunya lagi. Kalila menoleh menatap tangannya yang ditarik Theo ganti menatap Theo yang bersorot mata tajam dan dingin tidak seperti tadi saat Theo memanggilnya.

"Lepaskan tangannya!" seru Iwan emosi diselimuti rasa cemburu menatap Theo tajam.

"Ayo mbak!" ajak Theo lembut pada Kalila tanpa menjawab pertanyaan Iwan cuek terhadap reaksi Iwan.

Kalila bingung menatap Iwan dan Theo bergantian, terakhir tatapan matanya pindah ke tangan yang dipegang Theo.

"Mbak akan pulang dengan mas Iwan, kamu sudah gak usah jemput mbak, lagipula kaki mbak sudah sembuh, terimakasih sudah mengantar jemput mbak selama ini," kata Kalila sambil melepas pegangan tangan Theo.

Iwan tersenyum penuh kemenangan mengejek Theo, wajah Theo memerah menahan amarahnya saat menatap Iwan.

"Hari ini aku udah antar mbak, tapi belum jemput mbak,baku merasa masih belum bertanggung jawab atas mbak Kalila sesuai janjiku pada om dan tante," jawab Theo tersenyum lembut.

"Ah,itu..." Kalila bingung menjawab apa, kalau sudah berhubungan dengan orang tuanya Kalila sulit membantah, bagaimanapun juga orang tuanya memang sudah memberikan izin pada Theo mengantar jemputnya selama kakinya sakit, tapi sekarang sudah sembuh dan Iwan juga sudah pulang dari dinasnya yang otomatis sebagai kekasih Kalila akan mengantar jemputnya seperti sebelumnya.

"Kalila akan pulang denganku, karena aku sudah pulang dari dinasku, aku sebagai pacarnya akan bertanggung jawab untuk mengantarkannya pulang dengan selamat," sela Iwan menatap Theo dingin. Mereka saling melempar tatapan tajam.

"Sebaiknya aku pulang dengan mas Iwan..."pungkas Kalila akhirnya mengembalikan helm yang diberikan Theo tadi.

Dan beranjak pergi meninggalkan Theo dengan menarik tangan Iwan menjauh, sebelum orang-orang kantor ramai membicarakan perselisihan keduanya. Kalila tak ingin membuat masalah jadi tambah runyam, bagaimanapun Iwan adalah orang yang berstatus pacarnya yang lebih berhak bersamanya.

Dan Theo biarpun dia teman adiknya, Theo adalah orang lain yang tidak punya hubungan langsung dengannya. Kedekatannya selama ini karena rasa tanggung jawab Theo sudah tidak sengaja melukai kaki Kalila. Theo hanya diam menatap kepergian Kalila yang menggandeng tangan iwan. Pandangan Theo beralih ke tangan Kalila yang dipegang erat Iwan, wajahnya memerah menahan amarah.

bersambung

.

.

.

Bab 3

Iwan sedikit berlari keluar dari mobilnya membukakan pintu mobil untuk Kalila.

"Makasih mas..." kata Kalila keluar dari mobil.

"Kakimu sudah baik-baik saja? Sudah tak sakit lagi?" tanya Iwan memastikan Kalila benar-benar sudah baik-baik saja.

"Udah sembuh,bener kok!" jawab Kalila meyakinkan sambil masuk ke dalam rumah bersama. Pintu terbuka sebelum Kalila membukanya.

"Mbak udah pulang...oh, diantar mas Iwan ya?" kata Aska menatap Kalila dan Iwan bergantian.

Theo muncul di belakang Aska hendak ikut keluar mengikuti langkah Aska.

"Ngapain kamu disini?" tanya Iwan tak suka melihat Theo bisa keluar masuk dengan leluasa di rumah Kalila.

"Diakan teman kuliah Aksa, satu kelompok lagi, dia sering juga menginap disini untuk menyelesaikan tugas skripsi mereka," jelas Kalila sambil menatap Iwan dan Theo bergantian dan berakhir menatap Theo.

Sorot mata Theo yang tenang sudah tak memerah saat mereka hampir baku hantam di depan kantor Kalila tadi, entah kenapa membuat Kalila sedikit kecewa mendapati wajah Theo tenang. Theo menatap Kalila lama masih tenang, Theo berusaha mengontrol emosi amarahnya, bagaimanapun juga Theo masih marah pada keduanya, melihat Iwan dan Kalila berduaan dengan bergandengan tangan.

"Menginap?" tanya Iwan heran menatap Kalila menuntut penjelasan.

"Theo sahabatku mas, sudah seperti saudara bagiku, aku juga sering menginap di rumahnya jika mengerjakan tugas, gantian sekarang menginap disini,udah ya mas...kami mau cabut dulu," sela Aska pamitan pergi berboncengan memakai motor Theo, pandangannya Theo tak lepas dari Kalila, begitu juga Kalila, tatapan Theo seolah menyihirnya menyiratkan akan sesuatu yang tidak dipahami Kalila.

"Masuklah, istirahat! Aku pulang dulu, aku akan menjemputmu nanti malam jam 7, bersiaplah..." kata Iwan membuyarkan lamunan Kalila.

"Ah iya mas makasih... hati-hati," balas Kalila merasa bersalah melamun tak menghiraukan Iwan.

**

Pukul 7 malam, Kalila bersiap-siap di kamarnya dengan dres warna pink berlengan panjang sepanjang lutut...terlihat manis, anggun dan imut. Kalila menatap dirinya di cermin kamarnya, entah kenapa dirinya merasa ada yang kurang, kurang puas kebahagiaannya, dirinya masih terbayang-bayang saat berboncengan dengan motor Theo.

Mendekap erat di belakang tubuh Theo, lebar dan hangat terasa nyaman, tapi sepanjang pacaran dengan Iwan mereka naik mobil tak pernah mendekap erat Iwan selain berpegangan tangan saja, bahkan saat mereka pacaran hanya dinner, nonton dan jalan-jalan, berciuman di bibir? mereka belum pernah.

Iwan hanya pernah mengecup kening dan pipinya saja, Kalila selalu menolak saat Iwan meminta lebih, entah karena hati Kalila atau karena hal lain. Kalila masih belum bisa menerima perlakuan Iwan melebihi batas, walau mereka sudah sama-sama dewasa dan pacaran sudah lama hampir setahun mereka menjalin hubungan, tak pernah bertengkar ataupun salah paham apapun, keduanya dapat berpikir dewasa untuk memecahkan setiap masalah mereka.

Kalila keluar dari kamar saat mendengar suara mobil Iwan datang, meraih tas tangannya.

"Mbak mau kencan ya, berdandan segala," ucap Aska saat melihat Kalila keluar kamarnya.

"Iya...Mas Iwan ngajak mbak makan malam," jawab Kalila melangkah hendak menuruni tangga berpapasan dengan Theo yang juga hendak naik, Theo diam sejenak menatap Kalila terpesona, Kalila terlihat begitu cantik dan mempesona, segera dikontrolnya perasaan Theo melewati Kalila tak berbicara apapun.

Apa dia marah padaku?kenapa diam saja, biasanya dia cerewet saat kemarin-kemarin dia masih mengantar jemputku di tempat kerja, tapi setelah aku sembuh seperti tak saling mengenal, apa perhatiannya selama itu hanya karena rasa tanggung jawabnya saja yang tidak sengaja membuatku mendapat luka itu, batin Kalila.

Entah kenapa hati Kalila sakit didiamkan Theo, dia berharap Theo mau menegurnya atau mengajaknya bicara walau sekedar basa-basi sebelum mereka belum akrab kemarin. Setidaknya Theo dapat tersenyum saat menatapnya, tapi akhir-akhir ini Theo seolah-olah seperti tak mengenalnya.

"Kalila!" seru ayah Kalila membuyarkan lamunan Kalila.

"Ya ayah?" jawab Kalila menuruni tangga.

"Ada nak Iwan datang menjemputmu?cepatlah!" seru ibunya saat kedua orang tuanya sudah sedikit berbincang dengan Iwan.

Kalila berjalan mendekati mereka, Iwan terpesona menatap penampilan Kalila hari ini lebih feminim, biasanya saat mereka kencan Kalila selalu berpenampilan tomboi meskipun memakai dres.

"Kalila pergi dulu yah,bu..." pamit Kalila diikuti oleh Iwan.

**

Setelah 2 jam nonton, mereka memutuskan untuk makan malam di restoran mewah dekat gedung bioskop. Mereka duduk di meja dekat jendela lantai 3 sekalian menatap keluar jendela menikmati keindahan malam yang begitu indah.

Setelah pelayan mengantar pesanan dan menatanya di meja, mereka menikmati makan malamnya. Di sudut ruangan restoran itu sepasang mata mengawasi mereka dari kejauhan yang tidak disadari oleh mereka.

Matanya menyorot tajam dan dingin, meremas buku menu, mengepal erat tangannya menahan kemarahan. Pelayan yang datang untuk mencatat pesanan ketakutan melihat tamu itu. Setelah tamu itu menyebutkan pesanan, pelayan itu berjalan cepat segera meninggalkan tamu itu.

Kalila dan Iwan sudah selesai makan, terakhir menghidangkan desert pesanan mereka, Kalila menyendoknya sedikit demi sedikit, sendokan terakhir membuat Kalila berpikir kenapa kue desert itu begitu keras, disendoknya lagi lebih dalam lagi.

Matanya tak mungkin salah lihat, ini cincin, batin Kalila masih belum paham. Ah... Kalila bergumam lirih menatap Iwan yang tersenyum penuh arti diam.

Mereka masih saling menatap satu sama lain, belum ada yang berbicara. Kalila mengangkat cincin itu menunjukkan pada Iwan dengan sorot mata menuntut penjelasan. Iwan mengerti, dipegangnya tangan kiri Kalila yang di atas meja, Kalila mau menarik tangannya tapi Iwan mengeratkan genggamannya.

"Maukah kamu menikah denganku?" ucap Iwan. Kalila terbelalak, belum menjawab.

Sepasang mata di sudut ruangan yang mengawasi mereka sejak tadi semakin menggeram menahan amarah dengan wajah memerah, paham dengan apa yang terjadi pada kedua orang yang sedang diawasinya. Dia berdiri dan meninggalkan tempat itu dengan perasaan kesal dan sakit.

Kalila meletakkan cincin itu di meja.

"Maaf...aku..." ucap Kalila agak ragu ingin memikirkan kembali perasaannya.

"Kau tak harus menjawab sekarang, berilah jawaban saat hatimu siap, aku pasti menunggu." sela Iwan sebelum Kalila menyelesaikan kalimatnya masih menggenggam tangan Kalila.

Kalila menarik tangannya ke atas pahanya meremas kuat.

Iwan mengambil cincin itu memasukkan ke dalam kotak cincin yang disembunyikan dalam saku celananya, menyodorkan di atas meja ke hadapan Kalila.

"Simpanlah! Jika kau sudah siap memberi jawaban padaku, pakailah cincin ini, selama itu aku bersikap seperti biasa,aku akan menunggumu," tegas Iwan tersenyum manis.

**

Di kamarnya, Kalila menatap kotak cincin pemberian Iwan duduk di tepi ranjangnya, masih bimbang dengan perasaannya pada Iwan. Saat dekat dengan iwan, Kalila merasa senang, nyaman, tak lebih dari itu, tapi seperti ada yang kurang saat bersama Iwan.

Suka? Dia menyukainya, tapi bukan suka seperti terhadap pria...lebih terasa seperti bersama seorang kakak, suka, nyaman, merasa terlindungi saat bersama. Tapi saat bersama Theo dadanya berdegup kencang, berdebar tak karuan, tapi senang dan bahagia.

Apakah ini perasaan cinta, bisik Kalila. Dulu, dulu sekali dirinya pernah merasakan perasaan ini, sama, sama persis sebelum pria masa lalunya memberikan luka yang cukup menganga di hatinya. Kalila menghela nafasnya.

bersambung

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!