NovelToon NovelToon

Tumbuh Di Tanah Terlarang

TDT 1

Hujan baru saja reda ketika Aruna berdiri di beranda, menatap hamparan kebun yang hijau, basah oleh sisa gerimis. Butiran air masih menetes dari ujung daun, jatuh satu per satu ke tanah yang gembur.

Angin berembus lembut, mengibaskan rambut panjangnya yang mulai memutih di beberapa helai. Di kejauhan, suara burung-burung kembali ramai, seolah merayakan berakhirnya badai.

Namun, di dalam hati Aruna, badai itu belum pernah benar-benar pergi.

Bagas, suaminya, selalu pergi lebih lama dari yang dijanjikan. Dari satu rimba ke rimba lain, dari lembah tersembunyi hingga puncak gunung berkabut, memburu cahaya matahari yang terbenam di antara pepohonan, membekukan keindahan liar dalam jepretan kameranya. Tapi, di balik setiap foto yang ia kirimkan melalui email, tak ada sepatah kata hangat yang menyertai.

"Apakah kau masih ingat bagaimana caranya pulang, Bagas?" bisik Aruna, lebih pada dirinya sendiri. Kalimat itu lenyap disapu angin, sama seperti kehangatan pernikahan mereka.

Aruna menarik napas dalam-dalam, aroma tanah basah dan dedaunan segar meresap ke dalam dadanya. Inilah duniaku, pikirnya, kebun yang subur namun sunyi. Tempat di mana ia belajar merawat sesuatu yang tumbuh kecuali cinta dalam pernikahannya.

Dan di tengah keheningan itu, sebuah ketukan pintu menggema. Aruna berbalik, melihat seorang pria muda berdiri di depan pagar kayu. Raka, peneliti tanaman yang dijanjikan datang hari ini.

"Selamat pagi, Ibu Aruna?" sapa pria itu, suaranya tenang. "Saya Raka. Ini CV saya, Ibu. Saya diminta oleh Pak Sugeng untuk membantu meneliti kerusakan tanaman sayuran di perkebunan Ibu."

Aruna menerima CV itu. Raka, Sarjana Pertanian, lulus lima tahun lalu. Masih single. Bekerja sebagai peneliti tanaman. Dan Sugeng sahabat lama Aruna, ahli pertanian yang sering membantunya.

"Terima kasih sudah datang, Raka. Silakan masuk," ucap Aruna, mencoba menyembunyikan debaran halus di dadanya.

Raka tersenyum lagi, berjalan masuk. Ada ketenangan dalam caranya melangkah, sikapnya yang sopan, dan tatapan mata yang penuh perhatian saat mendengarkan. Aruna memperhatikan, mencoba menyangkal kekaguman yang perlahan tumbuh di hatinya.

Raka mulai menjelaskan rencana penelitiannya, tangannya yang cekatan menunjukkan grafik dan data yang ia bawa. Aruna mendengarkan, namun sebagian hatinya tersesat, terpikat pada sosok muda yang penuh semangat itu. Ketika sesekali Raka menoleh dan tersenyum, Aruna merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Kata Pak Sugeng, Ibu juga lulusan Pertanian, Ibu Aruna dari universitas mana, jika boleh tahu?" tanya Raka sambil memeriksa tanaman.

"Universitas yang sama denganmu," jawab Aruna sambil tersenyum.

"Wah, angkatan berapa, Bu?" Raka penasaran.

Aruna tersenyum lebih lebar. "Ah, jangan ditanya. Dari penampilanku yang sekarang, kau pasti sudah tahu aku angkatan jadul."

Raka terkekeh. "Jangan bercanda, Bu. Ibu masih terlihat muda, kok. Saya bahkan tidak menyangka..."

Kalimat sederhana itu membuat Aruna tersanjung. Ada sesuatu dalam nada suara Raka, dalam tatapannya, yang membuatnya merasa dilihat bukan sebagai istri yang ditinggal suami, tapi sebagai wanita.

Getaran halus mulai terasa di dada Aruna. Perasaan yang sudah lama terkubur. Selama ini, ia hanya tahu kesepian, merawat kebun, dan sesekali menyalurkan hasratnya yang tak tersalurkan dengan suaminya melalui caranya sendiri mast****si dalam sunyi.

Namun kini, kehadiran Raka seolah membangkitkan gairah yang telah lama mati.

"Kalau hujan sudah reda, bolehkah Ibu menunjukkan perkebunan sayur yang akan saya teliti?" tanya Raka.

Aruna mengangguk. "Tentu. Tapi kita harus naik mobil. Kebunnya cukup jauh, sekitar tiga kilometer dari sini."

Mereka pun naik ke mobil jeep milik Raka. Sepanjang perjalanan, Raka mengira hamparan hijau dekat rumah Aruna adalah kebun yang akan mereka kunjungi.

"Itu masih kebun saya," jelas Aruna sambil tersenyum. "Tapi khusus tanaman hias dan pohon buah. Tidak seluas yang akan kita lihat sekarang."

Raka mengangguk kagum. "Jadi ada dua kebun? Luar biasa."

"Kebun Yang dekat rumah ini lebih kecil. Yang akan kita kunjungi adalah perkebunan sayur, sumber utama pendapatan saya. Beberapa hektar luasnya," jelas Aruna dengan nada bangga.

Raka mendengarkan penuh perhatian. Sesekali, ia menatap Aruna dan tersenyum, membuat jantung wanita itu kembali berdegup lebih cepat.

Sampailah mereka di perkebunan, sebuah hamparan luas di dekat lereng bukit nan hijau. Pohon-pohon tinggi berjajar di tepian, melindungi kebun dari angin kencang. Teras-teras hijau berjenjang membentang, dipenuhi aneka sayuran yang segar kol yang merekah, cabai merah menyala, dan daun-daun selada yang hijau segar berkilauan oleh sisa embun.

Aliran sungai kecil meliuk di tepi kebun, suaranya gemericik menenangkan. Burung-burung kecil beterbangan di atas, berkicau riang seolah menyambut mereka. Udara segar menyeruak, bercampur aroma tanah basah dan dedaunan. Matahari yang mulai mengintip dari balik awan memancarkan cahaya keemasan, menambah keindahan pemandangan itu.

Raka melangkah keluar dari jeep dengan mata berbinar. "Luar biasa, Bu Aruna. Tempat ini seperti surga kecil. Saya tidak sabar untuk mulai bekerja di sini."

Aruna tersenyum, hatinya terasa hangat melihat antusiasme Raka. Ada rasa bangga yang menjalar, namun juga sesuatu yang lain getaran halus yang sudah lama ia rindukan.

"Semoga kau betah," ucap Aruna, matanya tak lepas dari sosok muda itu. Ia melihat bagaimana Raka memeriksa tanaman, sesekali menyentuh daun, mencium aromanya. Begitu bersemangat.

Aruna menarik napas dalam-dalam. Inilah yang ia butuhkan bukan sekadar perawat tanaman, tapi juga perasaan yang mulai tumbuh dalam sunyi hatinya. Raka tak hanya membawa harapan bagi kebun ini, tapi juga pada gairahnya yang lama terkubur.

Hasrat yang dulu hanya ia redakan dalam kesunyian kamarnya, kini mulai bergejolak setiap kali Raka tersenyum kepadanya.

Raka menoleh ke Aruna. "Tapi, Bu Aruna, dari yang saya lihat, tanaman sayuran di sini tampak segar dan sehat. Sebenarnya, apa keluhan yang terjadi?"

Aruna mengangguk, menunjuk ke arah sektor C, sedikit lebih jauh dari tempat mereka berdiri. "Masalahnya ada di sektor C. Di sana, daun-daun sayur mulai menguning dan mengering di tepinya. Beberapa tanaman bahkan layu sebelum mencapai masa panen."

Raka mendengarkan dengan serius. "Apakah sudah mencoba pestisida atau pupuk tertentu?"

"Sudah. Kami bahkan mengganti pupuk organik, menambah pengairan, tapi masalah tetap ada. Kadang, ada bercak hitam pada daun yang menyebar dengan cepat, dan bagian akarnya juga ada yang busuk."

Raka mengangguk, pikirannya mulai bekerja. "Sepertinya kita perlu memeriksa lebih dekat. Bisa jadi ini penyakit jamur, bakteri, atau mungkin masalah pada kualitas tanah."

"Itulah mengapa aku meminta bantuanmu, Raka. Aku berharap kau bisa menemukan penyebabnya dan menyelamatkan tanaman-tanaman itu," ujar Aruna, nada suaranya penuh harap.

Raka tersenyum meyakinkan. "Saya akan melakukan yang terbaik, Bu."

TDT 2

Setelah mengantar Aruna kembali ke rumahnya, Raka mematikan mesin jeep dan membuka pintu. Ia berdiri sejenak di samping mobil, memandang Aruna yang baru saja turun.

"Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu Aruna. Besok pagi saya akan kembali ke kebun, mungkin sekitar jam delapan. Saya ingin mulai lebih awal untuk memeriksa kondisi sektor C secara langsung."

Aruna mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Raka. Terima kasih untuk hari ini."

"Sama-sama, Bu. Sampai besok," ucap Raka, lalu melangkah kembali ke mobilnya dan pergi meninggalkan halaman rumah Aruna, sementara sang pemilik rumah berdiri di serambi, menyaksikan kepergiannya dengan pandangan yang menggantung di udara senja.

Setelah Raka hilang dari pandangan, Aruna masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Di balik ketenangan wajahnya, hatinya masih menyimpan jejak hangat dari pertemuan singkat itu. Ia tersenyum-senyum sendiri, mengingat cara Raka menatapnya saat berbicara, nada suaranya yang tenang, dan antusiasme yang terpancar jelas saat membahas tanaman.

Ia menuju kamar, duduk di depan meja rias, lalu meraih sisir dan mulai menyisir rambutnya yang sebenarnya tidak kusut. Setiap gerakan tangannya terasa pelan, seolah ia sedang menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa belum kembali normal.

Bayangan Raka melintas di kepalanya badan tinggi, bahu lebar, dan cara duduknya yang tegap namun tetap santai. Aruna menunduk, tersipu malu pada dirinya sendiri. "Sepertinya menyenangkan dipeluk tubuh seperti itu," gumamnya pelan, sebelum buru-buru menepis pikirannya sendiri.

Namun khayalan itu tetap tinggal, liar dan tak bisa ditekan. Ia tahu itu hanya fantasi... tapi untuk hati yang terlalu lama kesepian, fantasi bisa terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.

Keesokan paginya, Aruna tersentak bangun saat sinar matahari menerobos dari celah tirai kamarnya. Ia melirik jam di atas nakas—pukul 7.30.

"Astaga!" serunya nyaris panik, segera bangkit dari tempat tidur. Hanya setengah jam lagi sebelum Raka datang, seperti yang telah dijanjikannya kemarin. Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena takut terlambat, tapi karena ada kegelisahan manis yang menyusup di sela kesibukannya pagi itu.

Ia bergegas ke kamar mandi, membasuh tubuhnya dengan air hangat yang sedikit membantu meredakan gugupnya. Di balik uap tipis yang mengembun di cermin, ia menatap wajahnya sendiri. Garis-garis halus memang mulai tampak, tapi kulitnya masih terawat, dan sorot matanya masih menyala dengan kepercayaan diri yang ia pupuk bertahun-tahun.

Selesai mandi, ia berdiri di depan lemari pakaian. Tangannya menggeser hanger satu per satu, memilih dengan cermat. Ingin tampil wajar, namun tetap memesona. Akhirnya, ia memilih blus katun putih dengan kerah terbuka dan celana kain krem yang membingkai lekuk tubuhnya dengan elegan. Ringan dan sederhana, namun tidak sembarangan.

Ia menyisir rambutnya dengan cermat, mengikatnya setengah ke belakang, membiarkan sebagian terurai di bahu. Riasan ia poleskan tipis sedikit bedak, lipstik bernuansa mawar, dan maskara untuk menegaskan mata yang memang sudah indah dari sananya. Minimalis, tapi cukup untuk membuat siapa pun menoleh dua kali.

Aruna menatap dirinya sendiri di cermin, menarik napas panjang. Di usia yang kepala empat, ia tahu ia bukan lagi gadis muda. Tapi pesonanya tidak pernah benar-benar pudar ia hanya menua seperti anggur, penuh karakter dan kehangatan yang dalam. Seketika, ia merasa percaya diri. Bukan hanya untuk Raka. Tapi untuk dirinya sendiri.

Dan saat suara mesin mobil terdengar mendekat dari arah depan rumah, Aruna melangkah turun dari kamar dengan langkah ringan namun bergetar dalam dada. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang panjang... dan mungkin berbahaya bagi hatinya.

Ia melongok ke arah jendela di ruang tamu, dan mendapati mobil Jeep Raka telah berhenti rapi di depan gerbang. "On time sekali," gumamnya dalam hati, sedikit tersenyum, merasa takjub akan kedisiplinan pria muda itu.

Tanpa membuang waktu, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di ruang tengah, lalu menekan nomor cepat yang tersimpan atas nama Pak Yusron penjaga kebun dan rumah mereka yang sudah seperti keluarga sendiri.

"Halo, Bu Aruna?" suara Pak Yusron terdengar di ujung sana, serak dan bersahaja seperti biasa.

"Pagi, Pak Yusron. Itu tamu saya, Mas Raka, sudah sampai. Tolong bukakan pintu halaman depan, ya. Minta dia tunggu sebentar, saya akan segera turun," ucap Aruna dengan suara tenang namun jelas, menyembunyikan rasa gugup yang berdebar di balik nada lembutnya.

"Baik, Bu. Saya segera ke depan," jawab Pak Yusron sigap.

Aruna mematikan sambungan lalu menarik napas dalam-dalam. Ia menyempatkan diri melirik sekali lagi ke pantulan dirinya di kaca. Senyumnya mengembang tak terlalu lebar, tapi cukup untuk menyiratkan kehangatan yang tak bisa dipalsukan. Lalu ia melangkah keluar dari ruang dalam, menuju pagi yang telah membawa seseorang yang perlahan mengisi ruang hampa di hatinya.

Raka baru saja duduk di kursi rotan di beranda ketika Aruna melangkah keluar dari dalam rumah. Dengan senyum lembut dan langkah anggun, ia menghampiri pria muda itu yang tampak sibuk memeriksa ponselnya. Meski terkesan santai, ada ketelitian dalam gerak tubuh Raka cara ia duduk tegak, cara ibu jarinya men-scroll layar dengan kecepatan konstan, bahkan cara ia sesekali melirik ke arah kebun kecil yang menghijau di sisi rumah.

"Pagi, Mas Raka. Maaf menunggu," sapa Aruna seraya mendekat. Raka segera meletakkan ponsel dan berdiri sedikit, memberi hormat kecil dengan anggukan sopan.

"Tidak masalah, Bu Aruna. Saya juga baru saja duduk," balasnya dengan nada ramah.

Aruna tersenyum, lalu menunjuk ke meja kecil di sebelah kursi. "Mau saya buatkan minuman dulu? Kopi? Teh? Atau jus segar?"

Raka tampak berpikir sejenak. "Kalau boleh, saya mau teh hangat saja, Bu. Yang ringan."

"Tentu." Aruna berbalik dengan sigap, melangkah masuk ke dalam rumah, menuju mini bar yang menyatu dengan dapur terbuka mereka. Tangannya bergerak lincah menyiapkan teh, sementara sesekali matanya melirik ke arah Raka yang kini kembali duduk dan menatap sekeliling, terlihat seperti seseorang yang diam-diam menyerap semua keindahan dan ketenangan tempat itu.

Ada sesuatu yang menyenangkan dalam kesederhanaan Raka. Ia tidak banyak bicara, tidak menunjukkan sikap berlebihan, namun kehadirannya mengisi ruang dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Aruna memperhatikan bagaimana bahu Raka yang bidang tampak nyaman bersandar di kursi, bagaimana kakinya yang jenjang terjulur santai, dan betapa damainya raut wajah pria itu di bawah naungan sinar pagi yang menembus sela-sela daun di beranda.

Ia menuangkan teh ke dalam cangkir porselen putih, lalu menghiasinya dengan seiris jeruk nipis di bibir cangkir. Sentuhan kecil yang ia lakukan tanpa sadar, namun menunjukkan betapa ia ingin segala sesuatu tampak sempurna pagi ini. Mungkin terlalu sempurna.

Saat ia kembali keluar membawa nampan kecil berisi teh dan beberapa potong biskuit, ia merasakan dadanya berdebar ringan. Bukan karena takut, melainkan karena ada rasa yang mulai tumbuh dari rasa penasaran menjadi sesuatu yang lebih dalam, semacam kerinduan yang tak ia sadari sedang mencari tempat bertaut.

TDT 3

"Ini tehnya," ujar Aruna sambil menyodorkan cangkir ke Raka.

"Terima kasih, Bu," ucap Raka, menerima cangkir itu dengan dua tangan.

Setelah duduk sejenak, Aruna pun menawarkan, "Kalau mau sarapan dulu, ada roti dan telur rebus, masih hangat."

Namun Raka menggeleng pelan. "Terima kasih banyak, Bu, tapi saya pikir lebih baik kita langsung ke kebun. Cuacanya sangat bagus pagi ini. Matahari belum terlalu tinggi, jadi kalau ada serangan serangga atau gejala penyakit tanaman, bisa langsung terlihat sebelum tertutup panas."

Aruna mengangguk, tersenyum memahami alasan yang masuk akal. Dalam hati, ia kembali dibuat kagum oleh ketekunan dan perhatian Raka terhadap pekerjaannya. Ada semacam kesegaran dalam semangat itu yang tanpa sadar menyirami sisi-sisi batin Aruna yang telah lama kering.

Mereka bersiap untuk berangkat ke kebun setelah percakapan singkat di beranda. Aruna sempat melirik ke arah garasi, lalu menawarkan, "Mau pakai mobil saya saja? Ada jeep lama di garasi. Lebih cocok untuk ke area kebun, jalurnya agak becek kalau semalam hujan."

Namun Raka segera menggeleng sambil tersenyum. "Terima kasih, Bu, tapi mobil saya sudah terparkir di halaman. Nanti malah repot harus keluarkan mobil dari garasi. Lagi pula, mobil saya cukup tinggi, semoga saja bisa menyesuaikan medannya."

Aruna agak ragu. Ia menatap mobil Raka yang bersih mengilap di bawah sinar pagi. "Tapi... nanti jadi kotor. Kebunnya agak berlumpur kalau habis hujan. Mobil saya sudah biasa dipakai ke sana."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah siap. Lagipula mobil saya memang sering saya bawa ke lokasi survei," ujar Raka dengan nada meyakinkan.

Akhirnya Aruna mengangguk, meski dalam hati merasa sedikit tak enak. Mereka berjalan menuju mobil Raka, mobil jeep hitam yang tampak gagah dan elegan. Ketika Aruna duduk di kursi penumpang, ia langsung mencium aroma lembut dari pengharum mobil yang tidak menyengat, seperti perpaduan kayu manis dan citrus.

Interiornya rapi luar biasa. Tidak ada satu pun barang berserakan. Dashboard bersih, jok mobil terawat seperti baru, dan botol air mineral tertata rapi di konsol tengah. Aruna diam-diam menoleh ke Raka yang tengah menyesuaikan sabuk pengamannya. Ada perasaan kagum yang menyeruak tanpa bisa ia cegah.

Dalam hati, ia membandingkan dengan mobil suaminya, Bagas. Mobil yang sering dipenuhi alat-alat kamera, botol kosong, dan bau lembap karena sering dipakai ke lokasi-lokasi ekstrem. Bagas tidak peduli dengan detail seperti ini. Bagi Bagas, mobil hanyalah alat untuk berpindah. Sedangkan Raka... pria ini seolah merawat mobilnya seperti memperlakukan sesuatu yang ia sayangi.

Perjalanan dimulai. Mobil melaju mulus di jalanan yang perlahan menanjak menuju perbukitan. Aruna bersandar, menikmati keheningan di antara mereka, sesekali mencuri pandang ke arah Raka. Ada sesuatu yang hangat dan terjaga dalam cara pria itu membawa dirinya dan mobilnya.

Dan di tengah guncangan lembut kendaraan yang melintasi jalan tanah yang mulai basah, Aruna membiarkan dirinya larut dalam perasaan ringan yang belum pernah ia rasakan sejak lama. Sebuah ketertarikan yang perlahan tumbuh, diam-diam, tapi pasti.

Saat roda mobil mulai menggerus tanah yang lebih sempit dan rimbun, Aruna melirik ke luar jendela, lalu berkata ringan, "Kita sudah mau sampai. Kita lewat jalur utara saja supaya dekat ke sektor C."

Raka mengangguk, memperlambat laju mobilnya dan mengarahkan kemudi sesuai petunjuk Aruna. Jalanan mulai menyempit, tetapi panorama yang tersaji justru makin menakjubkan. Bukit-bukit kecil mengelilingi mereka, sementara sinar matahari pagi menembus celah dedaunan yang masih basah oleh embun. Aroma tanah lembap menyeruak, memberi kesan segar dan alami yang begitu khas dari daerah perbukitan.

Raka memarkirkan mobilnya di tepian jalan tanah yang mulai mengering. Tanpa banyak bicara, ia turun, membuka pintu belakang, dan dengan tenang mengambil beberapa peralatan yang tersimpan rapi tas berisi alat ukur tanah, buku catatan, dan botol air. Ia menyampirkan ranselnya ke bahu, lalu mengenakan topi koboi berwarna cokelat tua yang langsung menambah pesona maskulinnya. Sebuah kacamata hitam ia kenakan dengan gerakan sederhana, namun bagi Aruna, semuanya tampak seperti adegan dari film lama yang mendebarkan.

Aruna hanya berdiri di sisi mobil, pura-pura sibuk menepuk-nepuk celananya dari debu, padahal jantungnya berdebar tak keruan. Pandangannya mencuri waktu, memperhatikan bagaimana gerakan Raka begitu terukur dan tenang, nyaris meditatif. Ia bahkan tidak sanggup menatap lama-lama terlalu mudah jatuh pada bayangannya sendiri.

Raka melirik ke arah Aruna. “Ibu nggak pakai pelindung kepala?” tanyanya, nada suaranya ringan tapi ada kepedulian di baliknya.

Aruna tersenyum canggung. “Kupikir masih pagi, belum terlalu panas.”

“Jam sepuluh ke atas matahari mulai menyengat, Bu. Kulit bisa terbakar kalau kelamaan.”

Tanpa menunggu balasan, Raka melepas ranselnya, kembali ke mobil, dan mengambil sebuah topi biasa berwarna krem yang ia kenakan di awal perjalanan. Ia kembali menghampiri Aruna dan, tanpa banyak basa-basi, menyerahkan topi koboynya kepada Aruna.

“Pakai ini saja, Bu. Lebih teduh.”

Aruna menerima topi itu dengan ragu dan terpesona sekaligus. Ia bisa mencium samar aroma tubuh Raka yang tertinggal di kain topi itu maskulin, bersih, dan menenangkan. Ada sesuatu yang hangat menggelitik di dada Aruna. Perhatian kecil itu sangat sederhana, sangat tulus telah menjadi semacam oase dalam gurun emosinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!