"Yah hujan, bagaimana ini? Mana gak bawa payung lagi."
Naifa Humaira Wahid, gadis yang baru berumur 18 tahun itu baru pulang dari les tambahannya di sekolah. Namun sore itu hujan tiba-tiba mengguyur deras saat dirinya keluar dari gerbang sekolahnya. Gadis itu lupa membawa payung bergambar kuromi miliknya, dan berlari menuju saung yang ada di pinggir warung kopi untuk berteduh.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya, kaca mobil pun terbuka dan menampakkan seorang pria yang berumur sekitar 27 tahun.
"Daripada nunggu hujan berhenti, mending ikut naik mobil saya saja, nanti saya anterin sampai rumah. Hujannya gak akan berhenti sampai malam."
Naifa terkejut sekaligus merinding, pria yang kelihatan seperti om-om itu tiba-tiba mengajaknya untuk naik mobilnya.
"Ga usah om, saya lebih baik pulang nunggu hujan reda, atau basah-basahan daripada di culik om-om," Ucap Naifa sambil memalingkan wajahnya.
"Saya berniat baik saja pada kamu dek, daripada nanti susah untuk pulang. Tapi kalau kamu gak mau, saya gak akan maksa."
Pria itupun kembali melajukan mobilnya, namun sepersekian detik berhenti dan melemparkan sesuatu pada Naifa.
"Pakailah, jangan sampai pulang malam," ucap pria itu sembari kembali melajukan mobil avanza miliknya.
Naifa merasa aneh dengan sikap om-om itu. Namun, payung yang di lemparnya dirasa cukup untuk melindunginya dari air hujan.
"Lumayan lah daripada pulang malam, Terima kasih yah om." Ucapnya sambil berjalan melewati hujan dengan menggunakan payung dari om-om yang tak dikenalnya.
"Assalamualaikum," ucapan salam Naifa terdengar sampai dapur. Ibunya yang tengah memasak segera menemui putrinya, dia takut jika putrinya pulang dalam keadaan basah kuyup.
"Walaikumsalam, eh dapat payung darimana? Kan payung kamu ketinggalan disini," ucap ibunya sambil menunjukkan payung miliknya di sudut tembok belakang sofa.
"Dapat dari om-om."
"Om-om siapa? Hati-hati Naifa, takutnya besok dia nemuin kamu lagi terus ngajak kamu pulang bareng. Awas yah, kamu jangan ikut sama orang yang ga dikenal." Ibunya begitu khawatir pada putri keduanya, diibaratkan buah, Naifa bisa dikatakan sedang ranum-ranumnya. Apalagi dia memiliki wajah cantik, dengan mata yang besar dan buku matanya yang lentik.
"Umi, tenang saja. Tadi sebenarnya om itu nawarin aku pulang, cuma sama aku di tolak karena takut. Eh tiba-tiba dia lempar payung."
"Berarti Allah melindungi kamu, ya sudah ganti baju dulu sana. Terus shalat ashar." Ucap Ibunya sembari pergi ke dapur melanjutkan kembali masakannya yang tertunda.
Naifa menganggukan kepalanya, dia pun bergegas masuk ke kamarnya dan mengganti seragamnya yang sedikit basah dengan daster rumah yang cukup panjang, belum lagi jilbab parisnya yang berwarna putih basah kuyup karena sudah terkena hujan dari awal.
Suara handphonenya berbunyi, dan melihat nama kakaknya yang ternyata menghubunginya.
"Assalamualaikum Kak Sof, ada apa?" Tanya Naifa pada kakaknya.
"Abi udah pulang belum Nai? Kalau belum tanyain Umi aja, mau di bawakan apa? Soalnya kakak sekarang pulang mau main dulu ke bazaar makanan."
"Umi, kata kak Sof mau di bawain apa?" Tanya Nai yang segera menemui sang ibu di dapur.
"Bawa Mie ayam aja, kalau Abi pasti maunya gorengan."
"Kalau Nai mau nitip apa?"
"Aku maunya dimsum aja deh," jawab Naifa sambil duduk dan menyalakan televisi.
"Oke, yaudah kakak balik kerja lagi. Nanti di marahin pak Bos." Sofia mematikan panggilannya, dan kembali serius dengan pekerjaannya.
***
Kedua bapak-bapak terlihat bersalaman, seolah telah membuat sebuah kesepakatan. Terlihat satu rombongan keluarga yang keluar dari rumah Pak Wahid yang juga diantar oleh Pak Wahid dan istrinya sampai ke pintu depan. Duduk di sofa, Sofia dengan wajah cemberutnya karena tak menyangka jika dia harus menyetujui perjodohan ini.
"Kenapa Abi gak pernah dengar maunya Sofia, Sofia gamau sama perjodohan ini." Amukkan Sofia keluar setelah keluarga teman sang ayah pergi. Pak Wahid, ayah Sofia mencoba menjelaskannya. Dia tak ingin jika harus ingkar janji pada sahabatnya itu.
"Abi sudah berjanji sejak dulu, untuk menjadi besan dari Sidiq dan menikahkan putranya dengan putri Abi. Abi tak bisa ingkar janji, apalagi Sidiq adalah orang yang paling berjasa besar bagi hidup kita. Abi mohon kamu mengerti, Abi yakin jika kamu pasti akan disenangkan dan dibahagiakan oleh putra dari Pak Sidiq."
"Tapi Sofia gak mau, Abi gak bisa paksakan Sofia untuk menerima pinangan dari keluarga Pak Sidiq." Sofia terus melawan ayahnya, namun ayahnya bersikeras mengambil keputusan ini tanpa persetujuannya.
"Abi tak mau membuat Sidiq kecewa, apalagi kamu bisa ada di posisi ini karena bantuan dari beliau. Bayangkan jika Sidiq saat itu tidak membantu perekonomian kita, bisa saja kita tidak punya rumah dan usaha sebesar sekarang." Penjelasan dari Wahid membuat Sofia makin geram, dia seakan telah di jual oleh sang ayah untuk melunasi hutang yang dulu dipinjamkan Pak Sidiq pada keluarganya.
"Ya kenapa gak Naifa aja sih, kenapa harus Sofia?"
"Naifa masih sekolah, sementara kamu sudah ada di usia yang siap untuk menikah, " ucap sang ayah dengan lantang.
Sofia hanya menggelengkan kepalanya dan pergi dari hadapan sang ayah. Sementara istrinya mencoba untuk memberikan sudut pandangnya pada sang suami.
"Abi, Sofia sudah bukan anak kecil yang hidupnya di atur semau kita. Dia pasti menginginkan pernikahan dengan pasangan yang di inginkan. Sudahlah, kita cukup jelaskan pada Sidiq, dia pasti mengerti," Ucap Midah yang mencoba memberi pengertian pada sang suami.
Namun watak Wahid yang keras kepala membuatnya semakin yakin jika pernikahan ini tetap harus dilaksanakan. Apalagi waktunya sudah di tentukan, membuat Wahid tak bisa membatalkan secara sepihak.
Keadaan rumah Pak Wahid yang sebelumnya hangat, kini berubah menjadi dingin. Seakan tinggal di rumah orang asing, Sofia tak mau lagi berbicara pada sang ayah. Bahkan diapun mendiamkan ibu dan adiknya. Perubahan sifat Sofia membuat Naifa merasa kehilangan, karena selama ini kakaknya memiliki watak yang ceria dan suka mencairkan suasana.
Malam sebelum akad pernikahan tiba, saudara jauh datang ke rumah Wahid untuk membantu segala persiapan pernikahan. Wedding organizer sudah mulai menghias rumahnya, dengan pelaminan yang cukup indah dihiasi bunga mawar artificial berwarna baby pink dan juga baby breath putih menambah kesan anggun. Sofia yang meminta dekorasi pelaminannya, walaupun ini bukan pernikahan yang di inginkan, dia tetap ingin mengatur sebagiannya. Apalagi biayanya semua berasal dari keluarga Pak Sidiq, calon mertuanya. Sang ayah yang merasa senang ketika Sofia mulai menerima dengan pernikahannya dan kembali berbicara padanya, tak sedikitpun menaruh curiga pada putri sulungnya.
Namun saat Naifa hendak masuk ke kamar Sofia untuk menghiasinya menjadi kamar pengantin, sesuatu yang tak terduga terjadi pada sang kakak.
Semua anggota keluarga panik, mereka mencari keberadaan Sofia yang menghilang entah kemana. Apalagi dia membawa kabur uang sisa pemberian keluarga calon suaminya yang digunakan untuk pesta pernikahan. Semua teman di hubungi oleh keluarganya, namun tak ada satupun yang melihat ataupun tahu keberadaan Sofia.
"Sudah umi bilang, kenapa abi masih saja keras kepala. Lihat sekarang, Sofia pergi dari rumah karena sifatmu yang keras kepala," ucap Midah yang kecewa atas sikap suaminya.
"Umi, sekarang saatnya bukan saling menyalahkan. Kita tidak bisa mempermalukan keluarga Sidiq seperti ini. Jangan sampai tetangga tahu kalau Sofia pergi dari rumah. Bisa ramai kita jadi bahan hinaan tetangga." Wahid yang masih saja memikirkan sahabatnya itu terus berpikir bagaimana cara agar temannya tak dipermalukan besok.
"Naifa, kita nikahkan Naifa saja dengan putra Sidiq."
"Astagfirullah, abi ini bagaimana. Naifa masih sekolah, tak mungkin KUA menyetujui pernikahan ini."
"Setidaknya usia Naifa sudah legal, asalkan tetangga tidak tahu. Insya Allah kita bisa melewati hari besok. Abi akan menghubungi keluarga Sidiq, tenang saja abi juga akan memberikan persyaratan pernikahan pada putranya agar pendidikan putri kita tidak terganggu."
Wahid segera menghubungi Sidiq dan memberitahukan yang terjadi. Pria paruh baya itu pun segera memberikan saran agar keluarga Sidiq tak merasa di permalukan besok hari.
"Alhamdulillah kalau memang setuju, besok mungkin saya akan berbicara persyaratan pernikahan. Karena putri kedua saya masih sekolah. Assalamualaikum."
Wahid pun segera menutup panggilannya, dia akhirnya bernafas lega karena putra dari Sidiq tak keberatan menikah dengan Naifa.
"Abi, kenapa selalu membuat keputusan sepihak. Apa abi tidak mau bertanya dulu pada putri bungsu kita? Jangan sampai dia melakukan tindakan seperti Sofia."
Naifa yang mendengarkan perbincangan kedua orang tuanya hanya bisa meremas kertas yang berisi pesan dari Sofia. Dia tahu jika kakaknya baik-baik saja di luar sana. Tapi karena perbuatannya, dia yang harus menggantikan dirinya di pernikahan besok. Menangis pun tak ada guna, karena sang ayah tak mungkin mendengarkan dirinya.
"Umi, aku bersedia untuk menggantikan kak Sofia. Tapi ada beberapa syaratnya, aku mau tetap kuliah dan juga aku gak mau di sentuh oleh suamiku nantinya hingga aku bersedia."
Ucapan Naifa membuat Wahid merasa lega, namun membuat ibunya, Midah terluka. Setelah Sofia menghilang, kini Naifa yang bersedia untuk menikah pasti akan dibawa suaminya.
"Kamu benar ingin menggantikan kakakmu menikah besok?" Tanya Midah meyakinkan putrinya.
Naifa mengangguk pelan, dia tahu jika keputusan ini akan berpengaruh pada masa depannya. Tapi dia juga tak mau keluarganya mendapat hinaan dari tetangga atau ayahnya yang bisa saja di jauhi oleh temannya.
"Abi akan fotokopi identitas kamu. Saat besok Pak penghulu datang, kita bisa langsung memberikan berkasnya."
Wahid bergegas pergi menuju tukang fotokopi, dengan membawa dokumen identitas milik Naifa. Sementara ibunya hanya bisa menghela nafas dengan yang terjadi di hadapannya.
"Umi hanya berharap keputusan kamu tidak mempengaruhi sekolah kamu. Apalagi senin depan kamu harus melaksanakan Ujian Nasional."
Naifa tersenyum pada ibunya dan berkata jika reputasi keluarganya adalah hal terpenting.
"Aku gak apa-apa kok umi, lagipula aku hanya harus menikah kan. Aku tahu kalau abi akan sangat merasa bersalah jika harus mempermalukan sahabatnya. Dan juga mempermalukan keluarga kita."
Midah hanya bisa mengusap rambut putri bungsunya, hatinya sakit ketika Naifa harus mengorbankan masa mudanya. Tanpa Midah tahu, ada hal lain yang juga membuat Naifa setuju akan hal ini.
***
Wajah imut Naifa tetap terlihat meski make-up menempel di wajahnya. Midah yang khawatir jika tetangga akan curiga, memakaikan cadar pada putrinya.
"Pakai cadar ini sampai acara selesai yah, umi juga akan minta sama abi untuk mengurangi waktu acara."
Naifa hanya mengangguk pelan, sementara Midah beranjak pergi menghampiri sang suami.
"Keluarga mempelai pria sudah datang bi?" Tanya Midah sedikit khawatir.
"Belum, sebentar lagi juga datang. Abi sudah kirim pesan, mereka bilang sudah di jalan."
Dari kejauhan, sebuah mobil APV mendekat ke arah rumah Pak Wahid. Dihiasi bunga dan juga pita, Wahid dan Midah yakin jika itu mobil pengantin pria.
Turun seorang pria memakai suit warna putih dan juga bunga yang di tempelkan pada saku jasnya. Rambutnya yang berwarna hitam dengan gayanya yang agak messy, menambah kesan muda pada pria yang di duga sebagai pengantin pria.
"Mi, itu beneran Bian kan? Kok beda sama yang dulu?"
"Gatau juga bi, sudah lama kita gak ketemu lagi. Rupanya sekarang glow up," ucap Midah yang juga terkejut dengan perubahan dari putranya Sidiq.
Fabian Permana Sidiq, calon suami yang seharusnya menikah dengan Sofia ini memang sering menghabiskan waktu kecilnya di rumah Wahid. Dia yang dulu bertubuh gempal dan rambut yang selalu pelontos, membuat orang tua Naifa terkejut karena perubahan yang di alaminya.
Kulitnya yang putih dan matanya yang sedikit sipit, membuatnya terlihat seperti pemuda keturunan Tiongkok. Sementara tetangga yang kepo dan melihat di balik pagar rumah saling berbisik, membicarakan ketampanan pengantin laki-laki.
"Mirip aktor Thailand itu lho, siapa sih. Mario Maurer kayanya," seperti itulah gosip para tetangga yang tak ingin ketinggalan berita hangat dari tetangga lainnya.
"Nak Bian, sebelum akad dimulai saya ingin memberikan beberapa syarat. Saya sudah tulis daftarnya, dan saya minta Nak Bian harus menyetujuinya."
Wahid memberikan selembar kertas yang berisi persyaratan menikah, Bian yang membacanya tersenyum dan dengan mudah membubuhkan tanda tangannya di atas materai.
"Terima kasih atas pengertiannya. Sekarang saatnya kita ke pelaminan untuk melaksanakan akad."
Wahid pun meminta pada penghulu untuk menukar berkas-berkas milik Sofia dengan milik Naifa. Sementara Bian sudah terlihat siap untuk mengesahkan pernikahannya.
"Dan, suruh tetangga pergi. Kita mau melaksanakan akad secara private. Gak boleh ditonton." Wahid menyuruh adiknya untuk mengusir tetangga kepo, karena berbahaya jika mereka tahu jika Naifa yang dinikahkan.
Wahid pun menyalami tangan Bian, putra dari Sidiq sahabatnya. Dengan membacakan ikrar akad, segera Bian mengucap janji suci pernikahan di depan keluarganya dan orang tua Naifa. Sah, itulah kata yang ditunggu dari seorang pengantin karena telah melaksanakan salah satu ibadahnya, menikah.
Naifa pun akhirnya keluar dari kamar pengantin yang sudah dia hias semalam. Dengan gaun putih dan jilbab berwarna senada, ditambah cadar yang dia kenakan, aura pengantin begitu memancar walaupun dengan sapuan make up yang sederhana.
Dari kejauhan dia melihat pria yang duduk di depan penghulu, yang kini menjadi suaminya.
"Hah ituk Kak Bian? kenapa jadi berubah? Bukannya dulu gempal dan pelontos, kenapa sekarang beda?" Gumam Naifa dalam hati. Tiba-tiba pria yang sudah jadi suaminya itu melirik ke arahnya, membuat Naifa semakin terkejut. Ternyata suaminya itu...
"Mana payungku?" Kalimat pertama yang diucapkan Bian pada istrinya. Mereka yang sudah menyelesaikan akad sedang duduk di pelaminan menyambut para tamu. Naifa yang terkejut karena tiba-tiba Bian menanyakan payung yang saat itu dia beri pinjam sebulan yang lalu.
"Aku buang."
"Lho, kenapa dibuang?"
"Takut ada peletnya, nanti aku kena pelet om om lagi." Celetukan Naifa membuat Bian tertawa, dia tahu jika jawaban gadis ini tak akan terduga.
"Walau ga di pelet pun, kamu tetap nikahnya sama om-om." Jawab Bian membalas Naifa.
Naifa menghela nafas panjang, selama ini dia merasa malu karena telah menuduh Bian sebagai om-om genit, namun dia juga kesal karena Bian tak bilang jika itu dirinya. Apalagi perubahan yang begitu mencolok dari pria itu.
"Dilihat bagaimana pun, Kak Bian ganteng banget. Beda sama yang dulu. Walau gayanya sekarang kaya om-om genit yang suka godain cewe di jalan." Gumam Naifa dalam hati.
Bian melihat istrinya yang terus menatap ke arahnya. Dia mencoba melihat ke belakang, karena bisa saja Naifa menatap orang yang ada di belakangnya.
"Kenapa istriku, menatapku seperti itu?" Ucap Bian sambil mencubit pipi istrinya karena gemas.
"Ih kak Bian, sakit."
Bian melepaskan cubitannya, lalu mengusapkan tangan pada kepala Naifa.
"Ih ngapain Kak Bian kaya gini. Bikin degdegan aja," gumam Naifa dalam hati.
"Kenapa kamu mau gantiin Sofia jadi istri aku?" Tanya Bian penasaran, Naifa hanya menjelaskan jika dirinya tak mau mempermalukan kedua keluarga.
Bian menatap istrinya yang terpaut usia 10 tahun itu dengan tatapan kasihan, kagum namun juga bingung. Apalagi sikap Naifa yang pastinya belum terlalu dewasa, akan menjadi tantangan baru baginya dalam berumah tangga.
Acara resepsi pun selesai pukul 12 siang, karena Wahid sengaja mengurangi waktunya agar tetangga tak terlalu memperhatikan. Apalagi mereka mempertanyakan keberadaan Naifa yang jelas duduk di pelaminan sebagai pengantin.
"Nak Bian, Naifa kalian belum makan. Makanlah dulu supaya tidak lemas apalagi pingsan," ucap Midah sambil memberikan dua porsi makanan catering. Naifa yang lapar terlihat begitu lahap. Sementara Bian makan sambil menerapkan table manner. Sungguh kebiasaan berbeda antara 2 manusia.
"Pelan-pelan makannya, tersedak kan jadinya." Ucap Bian sambil memberikan segelas air pada istrinya.
"Aku lapar Kak Bian, baru tahu ternyata nikah tuh cape banget."
Bian tersenyum melihat tingkah istrinya, lalu membersihkan saus kacang yang menempel di bibir Naifa.
"Belepotan juga, ga ada anggun-anggunnya." Protes Bian sambil menggelengkan kepala karena tingkah sang istri.
"Biarin aja, kenapa sih protes terus." Naifa yang kesal pergi ke kamarnya. Wahid dan Midah hanya menggelengkan kepala melihat sikap putrinya. Sementara keluarga besan hanya tersenyum, menganggap lucu tingkah Naifa.
Bian segera menyusul istrinya, ke sebuah kamar yang sudah di hias dengan kain dan beberapa bunga. Terlihat Naifa yang kesulitan membuka kerudungnya, karena banyaknya jarum pentul di beberapa tempat.
"Sini, saya bantu." Bian menawarkan bantuan pada istrinya, namun respon sang istri menunjukkan ketidak sukaan.
"Gak mau, aku bisa sendiri."
Penolak kan Naifa membuat Bian kesal, dia pun membuka jas dan dasi yang dikenakannya.
"Ihh kak Bian ngapain sih buka baju disini?"
"Lho kenapa? Saya kegerahan dan mau tidur." Bian naik ke kasur Naifa dan segera tertidur pulas, sementara gadis itu masih berusaha mencari jarum pentul yang di tempelkan MUA di kepalanya.
Bian diam-dian membuka matanya, melihat Naifa yang masih kesulitan membuka jilbabnya. Dia pun mendekati sang istri dan memegang tangan kecilnya.
"Biar saya bantu, kalau kamu nolak terus bisa-bisa besok hari gak akan beres. Bukannya besok kamu harus Ujian Nasional?"
Mendengar ucapan Bian, Naifa pun menurutinya. Pelan-pelan Bian menarik satu persatu jarum pentul di atas jilbab Naifa. Lalu kembali ke kasur setelah semua jarumnya di lepas.
"Terima kasih yah Kak Bian," ucap Naifa terbata-bata.
"Iya," jawab Bian pelan sambil terlelap.
Naifa pun membuka jilbabnya, menunjukkan gulungan rambut miliknya. Sedikit demi sedikit dia menghapus make up dengan air micellar. Tak terbiasa, Naifa merasakan gatal di wajahnya.
"Aduh ribet banget mau ke kamar mandi juga pakai baju ginian."
Naifa yang membuka resleting bajunya tersadar jika Bian ada di kasurnya. Dia mencoba melambaikan tangan pada wajah suaminya. Tak ada respon. Dengan santai Naifa membuka seluruh pakaiannya, menyisakan pakaian dalam di tubuhnya. Dia mencari pakaian santai di lemarinya dan menemukan daster rayon kesayangannya.
Bian terbangun saat handphone di saku celananya bergetar, tak sengaja dia melihat istrinya yang sedang berpakaian. Melihat tubuh sang istri hanya dengan pakaian dalamnya membuat tubuh Bian terasa panas. Saat Naifa meliriknya, Bian pun berpura-pura tertidur.
"Duh gatel banget nih wajah. Gak mau make up an lagi pokonya," ucap Naifa sambil keluar menuju kamar mandi.
Melihat tak ada Naifa di kamarnya, Bian segera bangun untuk membalas pesan dari temannya.
'Bos, nongki yuk di warkopnya Jeje'
Pesan dari Dani, sahabat sekaligus orang kepercayaannya.
'Lagi males, minggu depan aja'
'Tumben males, punya game baru kayanya'
'Iya nih, game nya seru abis. Mana harganya cukup mahal. Sayang buat di tinggalin'
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Naifa yang masuk ke kamarnya terkejut melihat Bian yang terbangun sambil memainkan handphonenya.
"Kak Bian, kalau mau main handphone di luar aja." Usir Naifa pada suaminya. Dia merasa risih jika orang lain melihatnya tak berkerudung.
Bian hanya menatap istrinya itu dengan tatapan kagum. Rambut tebal panjang berwarna hitam dan lurus menghiasi kepala istrinya. Belum lagi wajah polosnya yang cantik, mata besar dengan bulu mata yang lentik. Hidungnya yang mancung dan juga bibir plumpy yang pink alami membuat Bian tanpa sadar menelan ludah.
"Ih kok nelen ludah gitu, Kak Bian mesum."
Naifa keluar dari kamar itu dengan perasaan kesal dan pergi ke kamar kakaknya, Sofia.
Gadis itu melihat kamar kosong sang kakak, dan juga beberapa barang yang Sofia tinggalkan. Naifa merebahkan tubuhnya di atas kasur, dan mempertanyakan perilaku sang kakak yang menolak perjodohan ini. Apalagi Bian, yang harusnya jadi suami kakaknya sudah banyak berubah. Tidak seperti 12 tahun lalu saat mereka bertemu. Bian yang dititipkan di rumah Pak Wahid saat ujian kenaikan kelas 1 SMA karena orang tuanya harus mengurus pekerjaan di luar kota. Dengan tubuh gempal dan kepala plontos membuat Naifa sedikit takut dulu, apalagi Sofia yang dari awal terlihat tak menyukainya.
"Apa jangan-jangan Kak Sofia gak tahu kalau Kak Bian jadi ganteng, dulu sih emang jelek, gendut, terus plontos. Tapi sekarang... " Gumam Naifa dengan wajah kemerahannya. Dia pun keluar dari kamar Sofia dan bergegas menuju kamarnya menemui sang Suami.
Tok.. tok.. tok..
"Masuk saja, istri." Ucap Bian yang tahu jika itu Naifa.
Naifa melangkah masuk dan mendekat pada suaminya, dia pun duduk di kasur dan bertanya hal yang membuatnya penasaran.
"Apa sebelum hari pernikahan, Kak Bian sama Kak Sofia belum pernah bertemu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!