Disudut ruangan sebuah kafe S, Gadisza duduk berhadapan dengan seorang pria tampan berpakaian rapi lengkap dengan jas hitam yang menambah kegagahannya. Ada rasa bangga dihati szasza karena pria yang dihadapannya ini adalah kekasihnya. Apalagi tidak sedikit wanita di kafe S ini sesekali melirik kagum melihat ketampanan kekasihnya ini. Szasza sangat merindukan kekasihnya karena hampir 2 minggu ia tidak pernah mendengar kabarnya. Sebelumnya hampir setiap hari kekasihnya sangatlah perhatian dengan menelpon atau mengirimkan pesan. Szasza sangat senang sekali ketika ia mendapat pesan pagi tadi dari kekasihnya meminta untuk bertemu di kafe S sepulang sekolah. Namun szasza agak sedikit heran, kenapa kekasihnya kali ini tidak menjemputnya di sekolahan seperti biasanya kalau ingin mengajaknya ke suatu tempat atau hanya sekedar mencari makan. Tapi walau demikian szasza mengiyakan dan tidak lupa mengirim pesan kepada mamanya memberi kabar bahwa ia telat pulang karena diajak makan oleh teman.
Masih dalam keterdiaman yang cukup lama, sampai akhirnya.
" Kita makan saja dulu, sza. Setelah itu ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. " ujar kekasihnya saat pelayan datang membawa makanan- minuman yang sudah dipesan sebelumnya szasza sampai di kafe S ini. Kekasihnya sudah tahu benar makanan-minuman kesukaannya.
Setelah pelayan selesai menata pesanan diatas meja, kekasihnya mengambil sendok-garpu yang ada disisi piring sajiannya, & bersiap menyantap makanan tersebut.
Szasza hanya diam. Ia lalu menyandarkan punggungnya disandaran kursi kafe sambil menatap lurus wajah kekasihnya yang kini sedang serius menyantap makanan yang dihadapannya. Szasza merasa ada yang aneh dan beda dengan sikap kekasihnya belakangan ini. Ia melihat saat ini kekasihnya agak sedikit acuh dengan caranya menyantap makan, tanpa sedikitpun kekasihnya melihat kearahnya yang jelas-jelas szasza sedang memperhatikannya.
"Kak...apa tidak sebaiknya bicarakan saja sekarang, kalau aku harus menunggu selesai makan, aku semakin lama pulang, aku takut mama akan khawatir karena aku hanya mengatakan sedikit terlambat pulang." ujar szasza akhirnya karena tidak sabar menunggu apa yang ingin disampaikan oleh kekasihnya.
Kekasihnya meletakkan sendok-garpu yang ditangannya dan mengambil gelas yang sudah berisi air putih, diteguknya pelan-pelan.
"Sebelumnya aku minta maaf...mungkin ini akan sangat mengejutkan dan menyakitkan tapi aku harus mengatakan hal ini kepadamu. Aku ingin kita putus." ucap kekasihnya sambil menatap szasza datar.
Szasza terkejut mendengar keputusan kekasihnya itu. Ada rasa tidak percaya, ia berharap ini hanya mimpi saja. Ia mencubit lengannya. Sakit. Jadi ini bukan mimpi. Seketika ada rasa sesak di dada. Szasza menarik napas perlahan untuk membuang rasa sesak itu.
" Kenapa ?" hanya itu yang keluar dari mulut szasza karena tidak sanggup berkata-kata.
" Mantan kekasihku meminta kembali, dan aku tidak bisa menolak karena terus terang aku memang masih mencintainya."
" Baiklah kalau memang keputusan kakak seperti itu." tanpa mengatakan apa-apa lagi, szasza beranjak dari duduknya dan berlalu pergi sambil menahan airmata di kedua pelupuk matanya.
Szasza berjalan keluar tanpa dengan sedikit tertunduk. Hingga dipintu keluar ia menabrak seseorang yang ingin masuk kedalam kafe.
bukk
" Maaf..." ucap szasza pelan dan berlalu pergi meninggalkan kafe tanpa melihat lagi orang yang ditabraknya.
Szasza masih berusaha menahan agar airmatanya keluar dari pelupuk matanya. Ia tidak ingin orang lain melihat dirinya menangis.
" Kau tidak boleh menangis, sza..." batin szsza menguatkan dirinya sendiri sambil terus berjalan menuju halte bus dekat kafe. Sesampai di halte, szasza memberhentikan taxi yang kebetulan sedang lewat. Szasza langsung masuk ke dalam taxi dan duduk di kursi belakang supir. Tanpa lupa menyebutkan alamat tujuan. Airmata szasza sudah tak terbendung lagi. Ia menangis dalam taxi sambil sesekali ia memejamkan mata.
" Kenapa sesakit ini kalau putus cinta. Apakah karena aku terlalu mencintainya. Inilah kenapa dari dulu aku tidak pernah mau menjalin hubungan. Kenapa kau tega sekali kepadaku, bukankah kau yang meyakinkan aku hingga akhirnya aku mau menerimamu. Kau jahat, setelah kau dapatkan hatiku, tanpa perasaan kau ungkapkan hal yang menyakitkan itu padaku." batin szasza hingga airmatanya terus mengalir membasahi pipinya.
" Tidak, kau tidak boleh menangisi hal bodoh ini. " batin szasza sekali lagi sambil mengusap kasar pipinya yang basah karena airmata.
" Ya, aku tidak boleh menangis. Bagaimana nanti kalau mama curiga karena melihat mataku yang sembab." batinnya. Sekali lagi szasza mengusap mata dan pipinya. Ia mengeluarkan bedak Compact dalam tas, dan mengusap tipis bedak tersebut kepipinya untuk menghapus jejak airmata sambil mengerjakan matanya agar tidak terlihat sekali oleh mamanya kalau ia habis menangis. Szasza tidak ingin timbul banyak pertanyaan dari mamanya karena akan sangat sulit menjawab nantinya.
" Nona...sudah sampai." ucap sang sopir memberitahu bahwa sudah sampai, tepat di depan rumahnya.
" Ia pak. Terima kasih." szasza mengeluarkan uang dan memberikan kepada sopir.
Szasza membuka pintu taxi, dan menutup kembali pintu taxi setelah ia keluar dari taxi tersebut.
Szasza melangkah masuk kedalam halaman rumahnya, sesampai depan pintu, szasza mengetuk pintu.
" Mah ..." szasza memanggil mamanya.
Tidak lama kemudian, pintupun terbuka. Nampak mamanya tersenyum. Szasza meraih lengan mamanya dan mencium punggung lengan. Szasza melangkah masuk ke dalam.
" Papa sudah pulang, Mah ?" tanya szasza sambil menunggu mamanya menutup pintu.
" Belum. Tadi papa kirim pesan hari ini lembur jadi pulangnya agak malam. " jawab mama.
"Lalu bagaimana denganmu, apa sudah kenyang setelah di ajak makan temanmu...?" tanya mama dengan senyum menggoda.
" Sudah kenyang Mah..." jawab szasza berbohong.
" Jadi Mamah tidak perlu siapkan kamu makan kan? " ucap mama lagi.
" Tidak usah, Mah dan terima kasih..." ucap szasza tersenyum sambil mencium kedua pipi mamanya.
" Sza, mau mandi setelah itu langsung tidur ya, Mah."
" Ya sudah sana."
Szasza melangkah menuju kamarnya. Di dalam kamar, szasza meletakkan tas sekolahnya diatas meja belajarnya. Dan duduk di kursi yang ada depan meja belajar. Kembali ia teringat kejadian dan kata-kata menyakitkan yang kini menjadi mantan kekasihnya. Szasza menarik napas panjang untuk membuang rasa sesak yang masih membuncah di hatinya. Setelah cukup lama terpaku karena berkelut dengan kesedihan, szasza bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah kamar mandi. Mungkin dengan mandi akan menjernihkan pikiran dan perasaannya.
Sementara di kafe S.
Bima yang bertubrukan dengan szasza tadi sedang duduk bersama Rio dan Fatur temannya. Saat ke dua temannya bersenda gurau, sedang ia hanya terpaku diam sambil tangannya tanpa henti memainkan sedotan dalam gelas yang berisi jus.
Melihat hal itu, ke 2 temannya merasa aneh, karena sejak kejadian di pintu tadi, Bima lebih banyak diam.
" Bima...Lo kenapa sih, sejak masuk tadi diam aja. Ada apa...?" tanya Rio
Sementara di kafe S
Bima yang bertubrukan dengan szasza tadi sedang duduk dengan Rio dan Fatur temannya. Saat ke dua temannya bersenda gurau, sedang ia hanya terpaku diam sambil tangannya tanpa henti memainkan sedotan dalam gelas yang berisi jus.
Melihat hal itu, ke 2 temannya merasa aneh karena sejak kejadian di pintu tadi, Bima lebih banyak diam.
"Bima... Lo kenapa sih, sejak masuk tadi diam aja. Ada apa...?" tanya Rio.
Ia nih, kenapa sih...?" tanya Fatur sambil mengernyitkan dahi karena merasa heran dengan sikap Bima.
Bima sontak kaget dengan pertanyaan ke 2 temannya. Bima tidak langsung menjawab pertanyaan ke 2 temannya tapi sedotan yang sejak tadi hanya di putar-putar kini ia masukkan ke dalam mulutnya dan menyeruput jusnya.
Setelah di rasa tenggorokannya basah oleh jus tersebut, barulah Bima menatap ke 2 temannya.
" Gue ga kenapa-kenapa, memangnya ada apa ?" tanya balik Bima kepada 2 temannya itu.
Bima sengaja bertanya balik, supaya tidak terlihat oleh ke 2 temannya bahwa ia sejak tadi memikirkan wanita yang bertabrakan dengannya tadi. Entah kenapa saat melihat wajah wanita itu, ada perasaan yang aneh di hatinya.
" Di tanya malah tanya balik. Lo itu sejak masuk ke kafe tadi, cuma diam aja. Pasti ada yang lo pikirin. Katakan. Jangan bohongi kita. "ujar Fatur sedikit kesal karena Bima bertanya balik.
"Udah gue bilang, ga kenapa-kenapa, memangnya ga boleh kalo gue diam aja. Lagian gue lagi males ngobrol. " elak Bima dengan meyakinkan ke 2 temannya bahwa ia tidak apa-apa, dan berusaha menutupi kebohongannya, karena Bima tidak ingin ke 2 temannya mengetahui yang sebenarnya, bisa runyam jadinya, habislah nanti dijadikan bahan ejekan oleh ke 2 temannya ini. Seorang Bima telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Benarkah dirinya jatuh cinta. Tapi Bima menampik pikiran itu. Dirinya belum yakin benar. Karena selama ini, dirinya termasuk acuh kepada semua wanita. Tapi bukan berarti ia tidak menghargai wanita. Tidak terpikirkan olehnya keinginan memiliki kekasih seperti teman-temannya. Rio dan Fatur juga sudah memiliki kekasih, hanya dirinya yang masih berstatus jomblo. Bukan tidak laku. Dirinya termasuk pria yang di idolakan di sekolahan, siapa yang tidak kenal dengan Bima Prasetyo. Tampan dan pandai di segala kurikulum. Dan dia bintang di lapangan basket. Tidak sedikit wanita sekolah tergila-gila dan bahkan ada yang sampai berani terus terang mengungkapkan perasaan pada dirinya. Bima dengan sopan menolak.
" Apa lo mikirin cewek yang nabrak lo tadi ya..." seloroh Rio yang membuat Bima tersontak mendengar celoteh Rio.
" Wah ia tuh, benarkan yang dikatakan Rio..." ujar Fatur membenarkan pernyataan Rio.
" Apaan sih, jangan suka menduga pikiran orang, lo tuh bukan paranormal..." ujar Bima menangkis pernyataan Rio dan Fatur.
" Sudah sore, kita pulang aja. " ujar Bima kembali. Bima segera beranjak dari duduknya, dan berjalan menuju kasir untuk membayar minuman. Rio dan Fatur akhirnya ikut beranjak dari duduknya melihat Bima pergi begitu saja meninggalkan mereka yang masih kesal karena tidak puas dengan jawaban Bima yang sepertinya menutupi sesuatu. Mereka paham betul bagaimana Bima. Tapi di sisi lain, merekapun tidak bisa memaksa kehendak agar Bima mau bercerita. Mungkin nanti tanpa di minta Bima pasti akan terus terang.
Merekapun pergi menuju pintu kafe setelah Bima selesai membayar di kasir.
Di parkiran motor kafe S, Bima, Rio dan Fatur menghampiri motor mereka masing-masing. Tanpa berkata-kata apapun, mereka sibuk memakai jaket dan helm. Setelah itu mereka duduk diatas motor masing-masing.
" Rio..Fatur..gue duluan ya."
" Ok..Bim. " ujar Rio dsn Fatur bersamaan.
Bimapun langsung melajukan motor besarnya ke jalan disusul oleh Rio dan Fatur.
Di persimpangan jalan mereka berpisah.
Sesampainya depan rumah besar bergaya Eropa klasik dan bercat putih, Bima memelankan laju motornya, sambil menyapa ramah security yang sedang berjaga di pintu gerbang rumahnya.
" Sore pa Pardi..."
" Sore den Bima..."sambut pa Pardi melihat anak majikannya sudah pulang sambil membungkukkan tubuhnya.
" Pulangnya sore sekali, den."
" Ia, pa Pardi. Tadi habis latihan basket dan mampir ke kafe dengan Rio dan Fatur. " jawab Bima sambil tersenyum ramah.
" Bima masuk ke dalam ya pa Pardi."
" Ia, den..." kembali pa Pardi membungkukkan tubuhnya.
Melihat kebiasaan pa Pardi yang selalu membungkukkan tubuhnya seperti itu membuat Bima menggelengkan kepalanya. Sebenarnya Bima tidak begitu suka dengan kebiasaan pa Pardi seperti itu, berungkali ia menegurnya jangan lakukan hal seperti itu. Itu hanya memberikan kesan bahwa terlalu merendahkan diri.
" Maaf den Bima, pa Pardi tidak bisa merubah kebiasaan, dan ini hanya sebagai wujud hormat pa Pardi sebagai bawahan kepada majikan saja, den." jawab pa Pardi ketika itu.
Bima memasukkan motornya ke dalam garasi. Dan turun dari atas motor setelah memutar kontak kunci motornya.
Bima melangkahkan kakinya ke dalam rumah melalui pintu tembusan dari ruang garasi.
Bima langsung melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Bima tahu pada jam saat ini, papa, mama dan mas Denni pasti belum pulang dari kantor. Keluarga yang sibuk. Tapi walaupun mereka sehari-hari sibuk dengan rutinitas, papa dan mama tidak pernah lupa kewajiban mereka sebagai orang tua. Kasih sayang tetap mereka curahkan kepada kedua anaknya. Bimapun tidak pernah merasa kehilangan dan memprotes kesibukan papa dan mamanya.
Bima membuka pintu kamarnya dan menutup kembali setelah ia sudah masuk ke dalam kamar. Bima menaruh tasnya di rak khusus untuk tas. Disana tertata beberapa tas ransel miliknya. Dan ia menaruh kunci motor dan hp diatas nanas yang berada di sisi ranjang tidur. Setelah melepaskan sepatu dan kaus kakinya, Bima merebahkan tubuhnya dengan posisi kaki yang menggantung di ranjang. Kedua tangannya ia sisipkan di belakang kepalanya sebagai bantalan kepalanya. Ia menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang menerawang kembali saat di kafe tadi. Terlintas kembali wajah wanita yang bertabrakan dengannya.
" Ah kenapa wajahnya masih mengganggu pikiranku. " batin Bima.
" Benar kata Rio dan Fatur, ada apa denganku."
Bima mengusap-usap wajahnya berkali-kali, berusaha menghilangkan bayangan wajah wanita yang di kafe tadi.
"Maaf..." kembali terngiang ucapan maaf dari wanita itu masih dengan wajah yang tertunduk, mungkin karena merasa bersalah. Padahal kesalahan bukan murni dari wanita itu, karena kesalahan ada pada dirinya juga karena pada saat melalui pintu ia berjalan sambil bersenda gurau dengan Rio dan Fatur. Walau wanita itu dengan wajah tertunduk, Bima masih bisa melihat jelas wajahnya.
" Sial, kenapa jadi begini..." ujar Bima kesal.
Bima bangun dari rebahannya. Bima melihat jam diatas nakas. Sudah pukul 18.00. Ia harus mandi. Bima beranjak dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar mandi.
Pukul 20.00, di ruang makan, Bima, papa Sonny, mama Andin dan mas Denny sedang menikmati makan malam.
" Bima bagaimana sekolahmu ?" tanya mama disela santapannya
Bima yang sedang memasukkan makanan dari sendok kemulutnya seketika mengangkat wajahnya dan melihat ke arah mamanya.
" Baik, mah..." jawab Bima setelah terlebih dahulu memasukkan makanan dan mengunyahnya.
" Beberapa bulan lagi ujian akhir semester kan..." tanya mama lagi
" Iya, mah..."
" Mama dan papa ada rencana setelah kamu lulus sekolah, kamu harus melanjutkan studymu ke luar negeri seperti mas Denny dahulu. Supaya kamu bisa membantu mengelola perusahaan papa bersama mas Denny. " ujar mama menjelaskan rencana studynya.
" Baik, mah. Bima nurut saja rencana mama dan papa. " ucap Bima sambil tersenyum.
Mendengar hal itu papa Sonny dan mama Andin tersenyum senang karena keinginan mereka untuk meminta Bima melanjutkan study keluar negeri diterima dengan baik oleh Bima.
" Bagaimana denganmu, Denny. " kini papa yang bertanya kepada mas Denny yang sejak tadi hanya diam.
" Bagaimana dengan perusahaan cabang saat ini. " lanjut papa
" Semua berjalan dengan baik, pa..." jawab mas Denny
" Pesan papa, kamu harus jaga dengan baik perusahaan-perusahaan yang sudah menjalin kerjasama dengan perusahaan kita. Lakukan yang terbaik agar perusahaan-perusahaan tersebut merasakan kenyamanan dan saling menguntungkan. Dengan demikian perusahaan kita akan berkembang dengan baik. Papa percayakan itu kepadamu. " ujar papa.
" Iya, pa. Denny janji tidak akan mengecewakan papa dan mama. " ujar mas Denny tersenyum penuh keyakinan.
" Mama juga ada rencana setelah Bima lulus nanti, mama ingin berhenti bekerja." ujar mama.
" Sudah waktunya mama beristirahat dan menghabiskan waktu di rumah, mama sudah kangen ingin berkebun. Lagipula sudah ada Denny yang membantu menangani perusahaan papa, iyakan pa..." lanjut mama tersenyum simpul sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah papa.
Melihat hal itu, papa Sonny tertawa.
Sementara Bima dan mas Denny tersenyum.
" Iya, mah. Mama kalau mau berhenti
sekarangpun boleh tanpa perlu menunggu Bima lulus ko, mah. " ujar papa disela tawanya.
" Justru papa lebih senang mama diam di rumah menjadi nyonya Sonny. Papa kan tidak pernah memaksa mama supaya ikut bekerja mengurus perusahaan kita, mama saja yang bersikeras ingin bekerja, dengan alasan bosan di rumah. " lanjut papa lagi meledek mama.
Sementara mama hanya menutup wajahnya dengan kedua tangannya ketika mendengar seloroh papa.
" Papa nih..." ujar mama malu.
Kamipun tertawa bersamaan menambah kehangatan suasana ruang makan.
Selesai makan, Bima kembali ke kamarnya. Sedang papa dan mas Denny ke ruangan kerja sekaligus perpustakaan keluarga. Mungkin ada hal pekerjaan yang ingin dibicarakan oleh papa dan mas Denny. Sementara mama ke dapur membuatkan kopi dan kudapan untuk papa.
Di kamar, Bima mengambil hpnya yang terletak diatas nakas. Dan ia berjalan menuju sofa dan membaringkan tubuhnya di atas sofa.
" Siapa wanita itu..."batin Bima masih mengingat kejadian di kafe sore tadi sambil melihat apakah ada notifikasi yang masuk di hpnya.
Entah kenapa ada perasaan beda ketika melihat wajah wanita itu. Hingga sampai saat ini bayangan wajahnya tidak lepas dari pikiran dirinya.
Bima bangun dari sofa, dan ia mengambil remote home theatre yang berada diatas meja disisi sofa. Tidak lama kemudian terdengar alunan musik kesukaannya dari home theatre tersebut.
Kembali Bima membaringkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan matanya dan menikmati alunan musik.
" Bisakah aku bertemu dengannya lagi, tapi dimana. Apa aku harus ke kafe itu lagi nanti dan mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi. Sepertinya wanita itu suka ke kafe itu. Ya, sepulang pertandingan besok, aku akan mampir ke kafe tersebut. Siapa tahu aku bisa bertemu lagi dengannya. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berkenalan dengannya. Tapi bagaimana kalau tidak bertemu lagi, apakah aku bisa melupakannya atau pikiranku bisa jadi gila karena memikirkannya. "batin Bima lagi.
" Aahhh..." desis Bima karena frustrasi akibat pikirannya yang berkecamuk oleh wanita tersebut.
Iapun bangun dari sofa dan berjalan menuju ranjang tidurnya. Dengan kasar, ia menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang. Dengan posisi telentang menatap langit-langit kamar, Bima mengambil guling yang ada disisinya dan menutup wajahnya dengan guling tersebut.
Bima terus membolak-balik tubuhnya diatas ranjang, ia sudah berusaha untuk tidur tapi rasanya sulit sekali untuk memejamkan mata. Pikirannya masih terus berkecamuk oleh rasa penasaran.
Bima melihat jam yang diatas nakas. Pukul 01.30.
" Sudah sepagi ini, aku belum bisa juga tidur. "
Bima bangun dari ranjang dan duduk di sisi ranjang. Ia mengusap wajahnya kasar. Ia beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air di wastafel. Dan ia menatap wajahnya sendiri pada kaca wastafel sambil menghela napasnya pelan untuk mengusir kegundahan hatinya. Tak berselang lama, Bima mengambil handuk kecil yang tersampir di sisi wastafel. Bima keluar dari kamar mandi dan menutup kembali pintu kamar mandi. Dan kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
" Bima...Bima...Bima..." panggil mama Andin berulang-ulang sambil mengetuk pintu kamar Bima.
Mamapun menekan handle pintu setelah beberapa kali memanggil nama Bima tapi tidak ada sahutan dari dalam kamar. Pintupun terbuka karena tidak dikunci oleh Bima.
ceklek
" Pintunya tidak dikunci.." gumam mama sambil mengerutkan keningnya.
Mama berjalan masuk ke dalam kamar dan mendapati anaknya masih terlelap dengan tidurnya. Mama menggelengkan kepalanya dan berjalan menghampiri ranjang tidur Bima. Dan duduk di sisi ranjang.
" Bima bangun...Sudah siang..." ujar mama sambil menepuk bahu Bima pelan.
" Bangun Bima, nanti kamu terlambat ke sekolah. "
ujar mama lagi masih tetap menepuk-nepuk bahu Bima.
Bimapun terbangun. Matanya agak menyipit dan mengulekkan tubuhnya dengan posisi kedua tangannya keatas kepala. Setelah pandangannya sudah sempurna, ia melihat ke arah mamanya yang masih duduk di sisi ranjang yang sedang tersenyum memandang anaknya.
" Mama..."
" Ayo cepat bangun, sudah siang, dan lekas mandi setelah itu turun untuk sarapan. Papa dan mas Denny sudah menunggu di ruang makan." ujar sambil beranjak dari sisi ranjang sambil berjalan menuju jendela kamar. Mama membuka tirai jendela kamar. Dan matahari pagi masuk menyeruak ke dalam kamar setelah tirai jendela sepenuhnya terbuka.
Bima melihat jam di atas nakas. Pukul 06.30.
" Gawat, sudah siang..." gumam Bima langsung terlonjak bangun dari ranjang tidurnya dan dengan langkah yang terburu-buru ke arah kamar mandi. Melihat itu, mama Andin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Sebelum menutup pintu kamar mandi, Bima menoleh ke arah mamanya.
" Mah...katakan pada papa dan mas Denny, tidak perlu menunggu Bima, sarapan saja lebih dulu. Mungkin Bima tidak sarapan, Bima harus cepat-cepat, supaya tidak telat sampai ke sekolah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!