NovelToon NovelToon

Suami Dan Anak Ku Bukan Untuk Ku

Benci

seorang anak laki-laki tersungkur ke aspal yang basah akibat guyuran hujan deras, tubuhnya limbung karena dorongan anak laki-laki lainnya. Entah sudah berapa pukulan dan berapa makian yang ia terima, seperti biasa perlakuan tidak menyenangkan itu didapatkannya setiap pulang sekolah.

"Ah... dasar payah! Kenapa masih saja seperti itu, menyebalkan sekali." Gumam seorang gadis cilik dari jauh.

Kepalanya menggeleng berulang kali melihat lelaki yang sepertinya mau mati disana, kakinya terayun selangkah demi selangkah hingga akhirnya ia berlari.

"Berhenti kalian!" Jeritnya hingga membuat gerombol preman cilik itu menoleh padanya.

Lagi.... Wanita kecil itu yang membantunya, seperti sudah tidak asing lagi ketika keributan itu terjadi maka peri kecil itu pun hadir.

"Kau tidak lelah membelanya terus menerus?"

"Kau tidak lelah melakukan ini terus padanya, siapa kalian apa kalian akan menjadi orang jahat ketika besar nanti?"

"Menurutmu dia pantas dibela, berhenti melakukan ini dan biarkan kami dengan urusan kami saja!"

Gadis itu hanya mendengus kesal dan membangunkan bocah lelaki lemah di sampingnya, sebenarnya sudah sangat malu ia terhadap gadis di hadapannya.

"Pergi kalian! Jangan lagi melakukan ini, kalian tidak boleh menyakiti dia terus menerus!"

"Alah.... Lemah ya lemah saja, kau tidak perlu membelanya!"

"Sebaiknya kau jangan berteman dengan dia, dia hanya akan menyusahkan hidup mu saja!"

"Aku bilang pergi sekarang juga! Sekali lagi kalian lalukan ini sama Raja, aku akan buat kalian dikeluarkan dari Sekolah ini."

Empat sekawan itu menatap jengkel pada anak lelaki yang sudah sangat kesakitan karena ulah mereka, dengan mulut yang terus mengejek korbannya mereka pergi meninggalkan keduanya.

"Terimakasih, Claire."

"Terimakasih terus saja terimakasih, apa tidak ada yang bisa kamu lakukan setelah kejadian ini terulang terus dan terus?" Omelnya seraya berjalan sedikit menjauhi lelaki itu.

Claire adalah anak kelas 4 SD, sedangkan lelaki yang dibantunya itu Raja yang duduk dikelas 6 SD. Entah apa yang dimakan Raja setiap harinya, karena sepertinya apa pun itu tidak membuatnya bertenaga.

Claire rasanya sudah muak dengan perkelahian yang tanpa perlawanan itu, Claire merasa jika Raja adalah adik kelasnya bukan kakak kelasnya. Lagi pula bagaimana bisa seorang wanita selalu melindungi seorang lelaki, bukankah itu tidak seharusnya terjadi.

"Claire...."

"Diamlah, apa kau tidak mendengar cerita ku selama ini? Aku sudah katakan jika seorang laki-laki itu harus kuat, kau harus lawan mereka bukankah kau ini sudah lebih besar dari pada aku?"

"Maaf, Claire. Aku sudah berusaha untuk itu, tapi tidak mampu melakukannya sampai sekarang."

Lagi Claire mendengus kesal, lelaki di hadapannya memang lemah pantas saja gerombolan itu terus membully nya setia hari. Claire menarik tangan Raja untuk segera pergi saja, gerimis sepertinya tidak mau berhenti sampai saat ini.

Claire mengantarkan Raja pulang ke rumahnya, dengan begitu Claire bisa memastikan jika brandal cilik itu tidak mengganggu Raja lagi. Sampai di depan gerbang rumah Raja, Claire melepaskan genggaman tangannya, rasanya sekarang sudah aman untuk meninggalkan Raja.

"Masuklah, ceritakan semua pada Papa kamu. Minta saran dia harus seperti apa kamu menghadapai preman kecil itu!"

"Kenapa kamu seperti ini?"

"Seperti ini apa?"

"Kamu terus saja membantu ku, kamu tidak takut sama sekali bahkan meski mereka pernah membuat kamu terluka juga."

Claire mendelik, lalu apa yang harus dilakukannya jika melihat seseorang yang sedang kesusahan. Claire enggan menjawab dan memilih pergi begitu saja meninggalkan Raja, melihat punggung yang semakin menjauh itu membuat mata Raja panas.

Claire tidak tahu jika setiap Claire membantunya, itu membuat Raja sedih. Raja merasa terluka sendiri, merasa dirinya sama sekali tidak berguna. Bagaimana bisa seorang Claire yang jelas umurnya dibawah Raja justru selalu bisa membantunya, sedangkan Raja jangankan untuk membantu Claire, untuk menyelamatkan dirinya sendiri pun tidak mampu.

*

"Claire, kamu sudah pulang, seragam kamu basah ayo ganti baju dulu Nak."

"Iya Bu sebentar ya aku ganti baju dulu."

Tak perlu waktu lama Claire kembali Setelah berganti pakaian, berkumpul bersama papa dan mamanya di meja makan. Setelah kehujanan sepertinya memang enak makan makanan yang hangat, Claire tersenyum ketika Papanya tersenyum padanya.

Cukup lama mereka bersama menikmati hidangan yang disiapkan sang mama, hingga akhirnya Papa memulai pembicaraan. Claire tidak tahu jika ternyata mereka akan pindah kota meninggalkan rumah yang selama ini mereka tinggali.

"Kenapa kita harus pergi?" Tanya Claire yang benar-benar tak pernah membayangkan hal tersebut.

"Sekolah ku belum selesai jadi bagaimana kita bisa pergi? Aku tidak mau pindah Sekolah, Sekolah yang sekarang membuatku nyaman" Tambah Claire tanpa ragu.

"Claire kita itu tidak bisa tinggal di rumah ini lagi, kita akan pindah besok sebaiknya sekarang kamu siapkan pakaian kamu yang mau dibawa, urusan sekolah biar Papa sama Mama yang urus nantinya kamu akan mendapatkan sekolah yang terbaik sama seperti sekolah yang sekarang."

Claire termangu mencerna semua kalimat yang didengarnya, apa bisa seperti itu tapi kenapa Claire justru teringat sosok Raja. Jika Claire tidak ada untuk selamanya, siapa yang akan membantu Raja ketika brandal cilik itu menyakiti Raja lagi.

Claire menatap kedua orang tuanya bergantian, tapi bagaimana pun Claire tidak bisa membantah orang tuanya. Claire belum bisa melakukan semuanya sendiri, jelas saja Claire masih sangat atau bahkan akan selalu sangat membutuhkan orang tuanya.

"Claire." Panggil Ellena sang Mama.

"Kapan kita pergi?"

"Besok siang, besok pagi kamu masih bisa ke Sekolah. Kamu bisa pamit dulu sama teman-teman kamu di sana, tapi kami tidak bisa merubah keputusan."

Claire tersenyum tipis seraya mengangguk, sepertinya Claire bisa menemui Raja terlebih dahulu. Claire harus bisa memperingatkan lelaki itu untuk menjadi kuat, Raja tidak boleh selamanya jadi lelaki lemah.

"Ya sudah, aku ke kamar dulu ya mau bereskan barang dulu."

"Iya, maaf ya kalau Papa sama Mama mengganggu kenyamanan kamu."

"Tidak apa-apa." Tandas Claire seraya berlalu meninggalkan meja makan.

Sampai di kamar Claire terduduk di tempat tidurnya, kemana Claire akan pergi kenapa Claire tidak pertanyakan itu. Tapi apa itu penting untuk Claire, lagi pula selagi orang tuanya ada bersama Claire maka semua pasti akan baik-baik saja.

Claire mengangguk pasti lantas membereskan semua barang sesuai perintah orang tuanya, Claire meraih buku kecil dan pencilnya. Tangan mungilnya itu berhasil membuat kata demi kata hingga menjadi rangkaian kalimat, Claire tersenyum setelah kembali membacanya.

"Semoga saja lelaki lemah itu bisa mengerti maksud tulisan ini, tulisan aku tidak jelek kan kalau kayak gini." Gumam Claire dan kembali meneruskan kegiatan merapikan barangnya.

*

Bel Sekolah tanda istirahat telah tiba, semua murid berhamburan ke setiap penjuru Sekolah untuk menikmati waktu istirahatnya. Claire memilih duduk di halaman belakang kelasnya, Claire malas makan atau melakukan kegiatan lainnya dihari terakhirnya saat ini.

"Kamu sakit?" Suara yang didengarnya membuat senyum Claire merekah.

"Kenapa di sini?" Tanya Raja seraya ikut duduk.

"Tidak apa-apa, mau saja."

Raja mengangguk dan memberikan satu cup minuman rasa anggur pada bocah cilik di sampingnya, Claire kembali tersenyum lantas menerima minumannya. Beberapa saat keduanya sama-sama diam bertahan dengan pikiran masing-masing, hingga akhirnya Claire menoleh dan menatap beberpa luka yang masih terlihat di wajah Raja.

"Lukanya masih sakit?"

"Sedikit, tapi sudah bukan masalah."

"Kamu sudah bicara dengan Papa kamu, bagaimana pendapatnya tentang kamu yang selalu saja lemah?"

Tak ada jawaban, Raja hanya merespon dengan senyuman saja. Claire mengangguk dan merogoh saku bajunya, Claire mengeluarkan kotak kecil yang disiapkannya untuk Raja.

"Terima ini."

"Ini apa?"

"Kamu boleh membukanya ketika nanti sampai di rumah, kamu harus mengerti apa maksudnya dan kamu harus melakukannya."

Raja diam dengan menatap Claire, ingin Raja membuka kotaknya sekarang tapi Claire melarangnya. Setelah cukup berbincang akhirnya mereka kembali ke kelas, Raja tidak tahu jika Claire justru langsung pulang karena harus melakukan perjalanan yang sudah dijadwalkan.

Sepulang sekolah kejadian serupa terjadi lagi, langkah Raja di hadang oleh preman cilik itu. Raja hanya bisa menunduk tanpa berani menatap mereka, melihat lemahnya Raja justru membuat mereka bangga dan tertawa lepas.

"Sekarang tidak akan ada yang membelamu lagi, malaikat penolong mu sudah tidak ada lagi."

"Apa maksud mu?"

"Dasar bodoh! Kau fikir dia akan selalu membela mu, dia pasti lelah berteman dengan lelaki lemah seperti dirimu."

Keributan itu terjadi begitu saja, seperti biasa Raja hanya pasrah menerima perlakuan tidak baik itu. Tapi pikiran Raja justru tertuju pada Claire, benar sekali wanita itu tidak datang membantunya kali ini.

"Rasakan itu dasar lemah, teruslah menjadi seperti itu karena kau sangat lucu dan menggemaskan. Ingatlah, siapa pun tidak ada yang mau membantu mu karena hanya wanita bodoh itu yang rela membantu mu dan melukai dirinya sendiri. Menyedihkan!"

Mereka meninggalkan Raja begitu saja setelah puas dengan segala tingkah sok hebatnya itu, entah akan tumbuh jadi apa mereka semua jika kecilnya saja seperti itu. Raja mengeluarkan kotak yang diberikan Claire tadi, Raja tidak bisa menunggu sampai di rumah hingga Raja membukanya sekarang.

"Untuk Raja. Sampai kapan pun kamu tidak akan menjadi kuat jika dirimu tidak menginginkan itu, jadi lemah itu bukanlah dosa, tapi jadi kuat itu pilihan. Kamu bukan hidup untuk hari ini saja, jatah hidup mu pasti panjang diberikan Tuhan."

"Untuk Raja. Hari ini harus jadi hari terakhir kamu menjadi lemah, besok dan seterusnya kamu harus memilih untuk menjadi kuat. Karena Raja, aku tidak bisa membantu kamu lagi setelah hari kemarin, aku akan pergi karena aku harus pindah rumah dan itu artinya kita tidak akan bisa bertemu lagi."

"Untuk Raja. Aku tidak akan tahu seperti apa hidup kamu setelah hari ini, dan aku juga tidak tahu seperti apa hidup aku setelah hari ini. Suatu hari jika kita bertemu lagi, aku mau melihat Raja yang kuat, Raja yang hebat. Karena saat itu aku yang akan membutuhkan bantuan kamu, kamu harus janji ya harus jadi Raja yang kuat."

Tak terasa air mata Raja menetes begitu saja, kenapa Raja tidak membukanya lebih awal mungkin Raja bisa berterimakasih untuk terakhir kalinya. Jika saja Raja membuka lebih awal, mungkin juga Raja bisa menahan Claire untuk tidak pergi.

"Aku janji, jika besar nanti aku akan menemui kamu dengan Raja yang kuat." Gumam Raja seraya mengusap air matanya.

Lukanya bertambah dan sakit sekali, Raja bangkit dan berjalan lemah menuju rumahnya. Kemana Claire pergi kenapa dia tidak menuliskan tujuan kepergiannya, kenapa dia pergi apa karena lelah harus terus menolong Raja yang lemah selama ini.

"Maaf dan terimakasih Claire, suatu hari kita akan bertemu lagi. Aku janji aku akan jadi penolong kamu dalam hal apa pun, hanya aku!"

Bukankah Harus

Hari ini Raja kembali masuk sekolah seperti biasa, Raja sudah merenungkan semuanya semalaman hingga membuatnya bergadang. Memang benar Raja tidak bisa bergantung pada siapa pun, sekarang Raja benar-benar sendiri karena Claire tidak ada lagi di Sekolah yang sama dengannya.

"Hey bodoh!"

Teriakan itu membuat langkah Raja terhenti, Raja diam tanpa menoleh untuk melihat pemilik suara itu. Tak berselang lama, Raja bisa melihat 3 pasang kaki yang berdiri di sampingnya.

"Apa kau sedih karena Malaikat mu sudah tidak ada?"

"Hahaha harusnya dia pergi sejak lama, tidak perlu merepotkan diri untuk membantu lelaki lemah seperti dirimu!"

"Dia baru sadar jika membantu mu adalah hal percuma."

Mereka masih kelas 6 SD tapi kenapa kelakuannya sangat buruk, apa orang tua mereka tidak mendidik dengan benar. Raja merasa guru di Sekolah sudah mengajar dengan benar, tapi kenapa ada murid yang seperti ini.

"Kenapa kau diam saja, kau tidak melihat kami di sini?" Tanyanya seraya mendorong bahu Raja.

Kali ini dengan segenap keberaniannya Raja menatap 3 orang di hadapannya, sorot matanya sangat berbeda dari biasanya. Raja harus kuat, Raja harus berani, menjadi lemah bukan dosa tapi menjadi kuat itu pilihan.

Tulisan Claire terus berputar dibenaknya, selama ini mungkin memang Raja sudah sangat salah karena selalu diam dengan perlakuan tidak baik mereka. Tapi sekarang tidak akan lagi, Raja sekarang tidak akan lemah lagi karena Raja sekarang telah menjadi kuat.

"Berani kau menatap kita seperti itu!"

Tiba-tiba saja perkelahian terjadi diantara mereka, kali ini keributan itu terjadi di lapangan Sekolah bukan di luar Sekolah. Sontak saja itu membuat kebisingan seisi Sekolah, Raja membuktikan jika mereka tidak bisa merendahkan dirinya lagi.

Pukulan demi pukulan Raja berikan pada mereka secara bergantian, mereka yang biasa merasa paling kuat kini justru sangat lemah. Mereka habis dipukuli oleh Raja yang hanya seorang diri, hingga akhirnya beberapa guru datang dan menengahi perkelahian mereka.

"Hentikan, apa yang kalian lakukan?!" Bentak satu guru laki-laki.

Nafas Raja memburu, emosinya sangat tinggi saat ini. Tangannya yang terluka sama sekali tak diperdulikannya, Raja merasa puas karena bisa memukuli mereka semua.

"Raja, apa-apaan kamu?"

Raja tidak sekali pun mendapatkan pukulan dari ketiga anak itu, entah setan apa yang membantu Raja menjadi kuat. Raja benar-benar berbeda sekarang, Raja sudah bisa berubah seperti keinginan Claire.

"Besok, suruh orang tua kalian ke Sekolah. Ibu perlu bicara dengan mereka!"

Raja tak menjawab dan memilih pergi begitu saja, tidak masalah besok Raja akan datang bersama dengan orang tuanya. Guru itu juga meminta hal yang sama pada ketiga murid yang jadi korban pemukulan Raja, berbeda dengan Raja yang santai, mereka justru ketakutan ketika guru meminta orang tua mereka untuk datang.

*

Sesuai dengan permintaan guru kemarin, pagi ini Raja datang bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka memasuki ruangan guru, rupanya disana sudah ada mereka semua yang datang lebih dulu.

"Silahkan duduk Bapak sama Ibu."

Para orang tua itu menatap Raja dengan jengkel, mereka merasa sangat kesal dan ingin memaki anak tersebut. Raja melirik mereka semua setelah duduk berjajar dengan semuanya, sekilas Raja tersenyum tanpa menunjukan rasa bersalahnya sama sekali.

"Baik, saya di sini memangil Bapak dan Ibu untuk datang dikarenakan keributan yang terjadi kemarin. Untuk orang tua Raja, saya meminta maaf karena harus melakukan pertemuan ini sekarang."

"Sama sekali bukan masalah Bu, silahkan saja lanjutkan." Ujar Herman dengan santainya.

"Jadi kemarin Raja membuat kegaduhan dengan memukuli teman-temannya, Bapak bisa lihat sendiri kondisi mereka saat ini."

Herman menatap korban pemukulan anaknya itu, responnya hanya mengangguk tenang tanpa berniat meminta maaf. Jelas saja itu membuat para orang tua itu semakin kesal saja, mereka berfikir jika anak dan orang tua itu memang sama-sama tidak memiliki sopan santun.

"Pak, tolong ya diajarkan Anaknya harus bisa jaga emosi!"

"Begini nih jadinya kalau Anak dibebaskan begitu saja, sok hebat memukuli temannya sendiri."

"Bagaimana tanggung jawabnya sekarang?"

Herman sepertinya enggan menimpali kalimat itu, biarkan saja mereka mengoceh sesuai dengan keinginan mulutnya masing-masing. Raja hanya tersenyum simpul dengan keadaan saat ini, tidak ada rasa takut sama sekali yang singgah di hatinya untuk permasalahan yang dibuatnya dengan sengaja.

"Tolong tenang Ibu, kita di sini untuk cari solusi."

"Solusi apa Bu, buktinya mereka diam saja seperti itu. Mereka pasti tidak mau bertanggung jawab, padahal Anaknya sendiri yang berbuat ulah!"

Herman mendadak membenarkan posisi duduknya lebih tegap lagi, ia juga sempat merapikan dasinya yang sedikit tidak nyaman. Herman lantas menatap Raja, apa yang terjadi pada anaknya selama ini bukankah lebih buruk dari semuanya.

"Katakan, apa mereka yang selalu memukuli kamu setiap pulang sekolah?"

Raja menatap mereka semua yang seketika menunduk, senyumnya kembali terlihat tapi kini sedikit lebih angkuh. Raja mengangguk pasti membenarkan pertanyaan Herman, Raja akhirnya buka suara dengan menceritakan apa yang kerap terjadi padanya sepulang sekolah.

"Tidak mungkin, Anak ini pasti berbohong!"

"Jangan menuduh Anak saya pembohong, kenapa tidak tanyakan saja sejauh mana kejujuran Anak kalian semua?" Tegas Herman.

Selama ini Herman sudah diam saja dengan ulah mereka semua, setiap hari melihat anaknya babak belur tentu saja membuat emosi Herman memuncak. Herman tidak membenarkan perbuatan Raja kali ini, tapi Herman juga sedikit merasa bangga untuk keberanian Raja menyelamatkan dirinya sendiri.

Perdebatan terjadi antara mereka, Herman sama sekali tidak mau mengalah atas semua lontaran yang diucapkan untuk memojokan Raja. Meski begitu brandal cilik itu tidak sama sekali membela diri, mereka bahkan tidak mau membuka suara untuk membantah atau menerima semua pernyataan Raja.

"Sudah sudah, tolong tenang jangan ribut seperti ini. Saya di sini mencoba memperbaiki keadaan, jadi tolong kerjasamanya."

"Anak saya sudah mengatakan semuanya dengan jujur, lalu apa lagi yang harus dijelaskan. Raja seperti itu karena mereka semua yang memulai, saya yang menyaksikan sendiri Anak saya babak belur setiap pulang sekolah!"

"Pak-"

"Saya sudah diam selama ini, lalu apa yang dilakukan pihak sekolah untuk perbuatan yang selalu terjadi pada Anak saya. Dia terluka setiap hari, apa kalian tidak curiga jika keesokan harinya Raja sekolah dengan keadaan luka-luka?"

Kini Herman tak lagi bisa menahan emosinya, Herman bisa saja melaporkan pihak sekolah atas tuduhan kelalaian. Tapi Herman memilih diam, ia hanya berusaha menenangkan Raja dan terus memberinya motivasi, meski sesekali Herman juga memaksa Raja untuk melawan.

Mereka semua diam, sesekali mereka melirik anak mereka dan meminta penjelasan untuk setiap kalimat Herman. Mereka sama sekali tidak tahu dengan apa yang selalu terjadi setiap pulang sekolah, anak mereka selalu pulang seperti biasanya tanpa ada yang mencurigakan.

"Kenapa kalian diam saja, malu kalian karena ternyata anak kalian adalah biang masalahnya. Lalu siapa yang seharusnya pandai mendidik Anak, apa kalian sudah sehebat itu dalam mendidik mereka semua sampai mereka bisa jadi brandalan sejak dini seperti itu?"

"Jaga bicaranya ya Pak, Anak saya-"

"Anak saya apa, Anak Anda hebat karena bisa memukuli Anak saya setiap hari. Jadi itu yang kalian ajarkan pada mereka, menjadi preman sejak kecil?!"

Cekcok kembali terjadi, kali ini anak-anak itu mulai ikut menambah keributan. Mereka mulai memaki Raja hingga membuat Raja naik darah, dengan satu kali pukulan Raja berhasil membuat satu temannya tersungkur.

Sontak saja itu membuat para orang tua semakin geram, guru yang ada pun tidak bisa melerai keributan saat ini. Hingga datang beberapa guru lainnya dan berhasil melerai mereka semua, Herman menarik Raja duduk dan mengusap punggunggnya.

"Cukup ya Pak, saya sudah lihat sendiri ulah Raja barusan terhadap temannya sendiri."

"Ibu akan tetap biarkan murid seperti ini ada di Sekolah, dia bisa saja melakukan hal yang lebih buruk lagi."

"Sudah diam, diam semua biarkan saya bicara terlebih dahulu!"

Mereka diam, Herman hanya tersenyum ketika Raja menatapnya. Sedikit pun Herman tidak akan memarahinya, biarkan saja Raja sudah cukup bersabar menghadapi mereka semua.

"Pak Herman saya tidak bisa membiarkan ini terus menerus, saya khawatir jika Raja akan selalu melakukan hal kasar seperti itu."

"Lalu apa yang mau Ibu lakukan?"

"Dengan berat hati, saya harus mengeluarkan Raja dari Sekolah."

Ketika Dewasa

Tepat pukul 7 malam Claire sampai di kediamannya, dengan membawa 1 koper besar dan satu tas kecil yang tergantung di pundaknya. Claire menekan bel agar bisa memasuki rumahnya, malam ini Claire kembali ke rumah setelah 4 tahun tinggal di negara orang.

Sesaat menunggu Claire tersenyum ketika pintu terbuka dan menunjukan sosok Ellena, dengan segenap rasa rindunya Claire memeluk sang mama dengan erat. Selama ini mereka hanya berkomunikasi lewat ponsel, dan itu tak sempurna mengobati kerinduan mereka.

"Kamu sudah kembali, terimakasih Tuhan." Ucap Ellena seraya menangkup wajah Claire.

"Papa mana, Mama sehat kan?"

"Mama sehat, tapi Papa kamu sakit."

Ucapan Ellena seketika menghilangkan senyum Claire, sejak kapan dan kenapa Ellena tidak mengatakan itu sebelumnya. Claire dibawa ke kamar dimana Dirga terbaring, Claire menggeleng dan memeluk Papanya yang sedang duduk bersandar di sofa.

"Kamu sudah datang." Ucap Dirga lemah.

"Papa sakit apa, sudah ke Dokter?"

"Papa kamu harusnya dirawat di Rumah sakit, jantungnya bermasalah."

Mata Claire seketika berembun, sejak kapan Dirga memiliki masalah jantung. Apa saja yang Claire tidak tahu tentang keluarganya sendiri, kenapa selama ini tidak pernah ada kabar buruk apa pun yang didengarnya.

Tanpa banyak basa-basi Claire meminta Ellena untuk membantunya membawa Dirga ke Rumah Sakit, meski Dirga sempat keras menolak tapi Claire tak peduli. Jika dokter mengatakan harus dirawat seharusnya mereka menurut saja, dokter lebih tahu apa yang harus dilakukan pada pasiennya.

*

"Saya akan urus administrasinya dulu, tolong tempatkan Papa saya di tempat terbaik."

"Baik, Bu."

Claire mengusap lengan Ellena, biarkan saja Claire masih memiliki uang untuk perawatan Dirga sekarang. Claire tidak mau keluarganya menderita karena sakit, Claire pulang untuk berbahagia bukan bersedih karena ada yang sakit.

"Dokter menyarankan untuk rawat inap selama satu minggu."

"Tidak masalah, ikuti saja apa yang Dokter katakan."

"Baik, silahkan ditanda tangani. Sebelumnya boleh saya meminjam tanda pengenal Ibu, saya perlu mendata."

Claire memberikan KTPnya, kini Claire sudah berusia 21 tahun sehingga ia sudah memiliki kartu tanda pengenal. Claire menandatangani semuanya, hingga pembayaran pun selesai dan Dirga bisa dirawat dengan tenang.

"Terimakasih Sus."

"Iya, sama-sama Bu."

Claire memilih untuk duduk sebentar saja sebelum kembali ke ruang rawat Dirga, kepulangannya malam ini sangatlah tidak sesuai, harapan. Claire merasa tubuhnya sangat lelah setelah perjalanan jauhnya, tapi sayang Claire belum bisa istirahat karena keadaan Dirga.

"Mama berhutang penjelasan, kenapa menyembunyikan keadaan Papa." Gumamnya.

"Claire, belum selesai?"

"Mama, sudah selesai. Aku duduk sebentar saja kaki ku terasa pegal."

"Kamu pasti lelah, seharusnya kamu istirahat saja di rumah."

Claire menggeleng pasti menolak perkataan Ellena, Claire langsung mencecar Ellena dengan pertanyaan yang ada di benaknya. Sepertinya Ellena juga tidak bisa berbohong sekarang, karena sudah terlalu lama Ellena menyimpannya sendiri.

Ellena menjelaskan jika sakit Dirga berawal dari perusahaan yang bermasalah, Dirga mengalami kerugian besar karena gagalnya beberapa proyek. Perusahaan berhutang sangat besar dan Dirga tidak mampu mengatasinya, 4 tahun ditinggalkan Claire, hanya dua tahun saja semua berjalan baik dan dua tahun sisanya Dirga benar-benar dibuat depresi.

"Ya Allah, Mama kenapa gak bilang sama aku?"

"Mama mau kamu selesaikan sekolah kamu, itu juga keputusan Papa kamu."

"Lalu sekarang bagaimana, Perusahaan masih berjalan?"

"Tidak, Papa sudah menghentikan semua aktivitas Kantor. Sekarang Papa harus membayar hutang yang ada, tapi Papa tidak mampu."

Claire bersandar seraya memejam matanya, jika Claire tahu itu sejak awal pasti Claire akan memilih pulang. Claire bisa menunda kuliahnya saja sampai keadaan membaik, kenapa Dirga dan Ellena harus memaksakan semuanya seperti itu.

Claire kembali membuka mata ketika mendengar isakan Ellena, Claire memeluk Ellena mencoba menenangkannya. Sekarang Claire sudah kembali, Claire akan mencoba membantu mereka dengan sekuat tenaganya.

"Beberapa kali Papa masih kirim aku uang, itu uang dari mana?"

"Itu simpanan Papa kamu, dia tidak mau kamu harus lelah bekerja di sana. Papa kamu cuma mau kamu fokus belajar, bukan bekerja seperti yang kamu katakan."

Claire mengusap punggung Ellena, Claire memang bekerja paruh waktu di tengah kuliahnya. Tapi sungguh itu tidak membuatnya lelah, Claire menjalaninya dengan perasaan bahagia, harusnya Ellena dan Dirga fokus dengan bebannya di sini.

"Sudah, Mama jangan nangis. Papa akan sembuh, dan aku akan bantu perbaiki semuanya."

"Semua terlalu berat Claire, Papa kamu saja tidak mampu."

"Tidak, semua masalah pasti ada solusinya. Kita akan cari solusinya sama-sama, Mama jangan khawatir."

"Ada jalan untuk mengakhiri ini semua, Claire."

Claire mengurai pelukannya, mengusap air mata Ellena dengan lembut. Claire tersenyum dan menggenggam kedua tangan Ellena, Claire tidak mau orang tuanya bersedih sekarang.

Jika memang ada jalan makan Claire harus tahu jalan seperti apa itu, Ellena balik menggenggam tangan Claire. Dengan masih sedikit terisak, Ellena mengatakan jika Claire harus menikah dengan seorang pengusaha sukses, langkah itu adalah cara paling ampuh untuk membantu Dirga.

"Menikah?"

"Iya, Sayang. Ada satu perusahaan besar yang siap membantu Papa kamu, tapi mereka mau agar Putranya menikah sama kamu."

Claire menarik tangannya dari genggaman Ellena, apa ini, Claire jauh-jauh kuliah untuk mengejar masa depan sesuai keinginannya. Menikah bukan fokus utama Claire, menikah belum jadi hal penting bagi Claire saat ini, Claire tidak mau mengambil jalan itu.

Ellena berusaha meyakinkan Claire jika jalan ini adalah yang terbaik, meski tidak saling mengenal tapi waktu yang akan mendekatkan mereka. Ellena mengaku sudah pernah bertemu dengan pengusaha itu, dan rasanya tidak buruk untuk disandingkan dengan putri semata wayangnya itu.

"Aku gak mau, Ma. Aku akan cari jalan lain untuk membantu Papa."

"Gak bisa Claire, tempo yang diberikan untuk Papa melunasi hutang hanya tinggal 2 bulan lagi. Kamu mau apa dalam waktu sesingkat itu, sekali pun kamu cari kerja dan dapat pekerjaan itu tidak akan bisa melunasi hutang Papa kamu."

Tak ada jawaban, Claire diam dengan tatapan kosongnya saat ini. Fikirannya tak terarah kalimat Ellena mengacaukan semua list mimpi yang sudah Claire rangkai, Ellena tidak boleh mengacaukannya begitu saja.

Ellena kembali meraih tangan Claire, bukankah hanya Claire harapan mereka saat ini tidak ada yang lain lagi. 2 tahun Dirga sudah berjuang untuk semuanya, tapi hasilnya tidak sesuai harapan dan yang ada justru Dirga sekarang sakit parah.

"Aku gak mau Ma, biarkan aku memikirkan ini terlebih dahulu. Ada, aku yakin ada jalan lain selain dari pada aku harus menikah."

"Claire, dengan itu kamu bisa membuat Papa kamu tenang. Dokter selalu mengatakan jika Papa kamu tidak boleh berfikir terlalu keras, tolong Claire hanya kamu harapan kami sekarang."

*

Pagi hari Claire mendatangi satu Perusahaan yang sedang membuka lowongan pekerjaan, Claire mencoba untuk langsung datang tanpa melakukan kontak person terlebih dahulu. Perkataan Ellena sangat mengganggu Claire, pernikahan terasa sangat menakutkan untuk Claire yang memang belum siap.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"

"Siang, saya membaca di sini sedang ada lowongan pekerjaan. Saya mau mencoba melamar, saya baru pertama melamar kerja."

"Baik, mohon menunggu."

Claire mengangguk dan terdiam seraya mengamati sekitar, hingga resepsionis itu mengatakan Claire harus langsung datang ke lantai 8. Claire mengangguk dan berlalu begitu saja, tidak ada yang mengantarnya karena Claire yang memutuskan akan datang sendiri.

Setelah lift itu mengantarkan Claire, kini Claire sudah sampai di lantai 8 tempatnya di depan pintu bertuliskan pimpinan Brian. Claire menarik nafasnya dan menghembuskannya tenang, lantas mengetuk pintu tersebut.

"Masuk."

"Permisi."

Claire tersenyum ramah ketika melihat penghuni ruangan tersebut, sosoknya tampak dewasa ya sekitar kepala 3. Claire mendekat dan mengutarakan tujuan kedatangannya, Claire mengaku tidak membuat janji apa pun karena langsung datang saat tahu ada lowongan pekerjaan.

"Saya sedang membutuhkan sekretaris, bisa lihat data diri kamu?"

"Silahkan, Pak. Ini sudah lengkap semua."

Claire memberikan mapnya, membiarkan Brian membaca isinya dengan sempurna. Claire sangat berharap bisa diterima bekerja saat ini juga, meski kemungkinan kecil untuk melunasi hutang Dirga, paling tidak Claire sudah berusaha.

"Cukup bagus, tapi kamu tidak ada pengalaman."

"Saya akan berusaha mengerjakan pekerjaan saya dengan baik, Pak."

"Saya tidak sesantai yang kamu kira kalau soal pekerjaan, saya sudah sering berganti sekretaris karena mereka tidak sanggup bekerja dengan saya."

"Tidak masalah, saya akan mencoba berbeda dari mereka."

Brian tersenyum dingin, tatapannya pun terlalu sulit diartikan, memangnya seperti apa bekerja dengan dia sampai tidak ada yang betah. Tapi Claire butuh pekerjaan itu sekarang, Claire harus membuktikan Claire akan bisa membantu orang tuanya tapi dengan jalan lain.

"Baiklah, kamu bisa langsung bekerja besok."

"Hah- serius?"

"Kalau kamu mau, silahkan saja."

"Saya mau Pak, saya mau, saya akan berusaha bekerja dengan sangat baik."

Brian mengangguk saja dan mempersilahkan Claire untuk pergi, besok mereka akan bertemu kembali tentunya. Ketika sudah di luar ruangan Claire mengepalkan kedua tangannya, senyumnya begitu puas karena bisa mendapatkan pekerjaan dengan sangat mudah.

Gaji sekretaris mungkin saja tinggi, atau Claire bisa mengejar lembur dan lain sebagainya untuk memperbanyak hasil uangnya. Claire harus yakin jika langkahnya tidak akan sia-sia, Claire hanya ingin menjadi dirinya sendiri sesuai keinginannya bukan di aturan orang lain.

*

Meski sudah mendapatkan pekerjaan, Claire tidak memutuskan langsung ke rumah Sakit atau pun pulang ke Rumah. Claire memilih untuk bersantai terlebih dahulu di Cafe terdekat dari Perusahaan yang baru ia datangi, menikmati waktunya sesaat dengan ketengan yang ia ciptakan sendiri itu akan sangat menyenangkan.

Claire memilih tempat duduknya dan langsung memesan beberapa menu hidangannya, selama menunggu Claire memainkan ponselnya. Hatinya sedikit lega karena langkah pertamanya sukses tanpa hambatan, Claire hanya harus meneruskannya dengan sangat baik.

"Masih lama gak ya, ke toilet dulu deh." Gumam Claire yang akhirnya meninggalkan tempatnya.

Toilet adalah tujuannya dan Claire langsung melesat kesana, beruntung toilet tidak terlalu ramai sehingga ia bisa langsung masuk. Seusainya Claire menyempatkan diri bercermin, merapikan make-up dan penampilannya.

"Masih cantik." Ucapnya penuh percaya diri.

Kakinya terayun kembali ke luar, pasti pesanannya sudah datang sekarang. Ponsel itu tetap menjadi fokus Claire, sehingga ia mengabaikan jalan yang dilewatinya.

Brukk...

"Aw." Gumam Claire yang nyaris terjengkang.

Beruntung seseorang menahan tangannya, Claire sigap mundur dan membungkuk hormat seraya berterimakasih.

"Maaf, saya tidak memperhatikan jalan."

"Tidak masalah, silahkan."

"Terimakasih, permisi."

Claire melewatinya begitu saja dan kembali ke mejanya, benar saja pesanannya sudah tersaji di sana. Claire langsung menikmatinya dengan penuh ketenangan, besok Claire akan sibuk dan semoga saja hasilnya bisa membantu dirinya dan keluarganya.

Ditengah makannya tiba-tiba Claire melihat sosok Brian bersama dengan seorang wanita, cantik, sexi dan serasi sekali bersanding dengan Brian. Claire menggeleng, orang sukses pasti mudah mendapatkan wanita seperti apa pun yang diinginkannya.

"Apa kau tidak bisa melihat!" Bentakan itu kembali memantik perhatian Claire. Claire melihat Brian yang memarahi lelaki yang sempat bertabrakan dengan dirinya di depan toilet.

"Kau membuat pakaian Istri ku kotor, dasar bodoh!"

"What, Istri?" Gumam Claire setengah tak percaya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!