NovelToon NovelToon

Nightfall

Hai...

Seorang anak laki-laki berseragam sekolah dasar Cheong Dam dengan mantel kuning jingga tampak menghampiri seorang gadis kecil yang lebih muda darinya. Gadis itu duduk seorang diri di salah satu kursi panjang kecil dalam sebuah halaman bangunan tua besar yang menjulang tinggi.

Sambil memeluk erat sebuah boneka kelinci kecil usang yang memiliki beberapa bercak darah, dia melamun sampai anak laki-laki tersebut berdiri tepat di depannya. Dia mengerjap dan menatap kosong anak bersama seorang pria muda bermantel hitam di sisinya.

“Mau bermain bersamaku?"

Sang Anak bertanya dengan suara dan tatapan yang datar. Namun, alih-alih menjawab, Sang Gadis terlihat takut dan perlahan menundukkan pandangannya.

“Ulurkan tangan, Tuan,” perintah pria yang menggandeng tangan kiri Sang Anak.

Sesaat, Sang Anak tampak bingung tetapi, dengan hati-hati ia mengulurkan tangan kanannya.

“Aku Seo Min Hyuk. Ini Tuan Manager, namanya Sa Kyung Min,” ucapnya dengan nada datar yang sama.

“Halo.”

Sang Pria bernama Sa Kyung Min tersebut berusaha membantu dengan ikut menyapa. Dia berjongkok dan meraih uluran tangan Sang Anak bernama Min Hyuk itu agar bisa lebih dekat dengan gadis kecil di hadapan mereka yang terlihat semakin ketakutan.

“Jabatlah tangan Min Hyuk, dia hanya ingin bermain bersamamu,” bujuk Kyung Min seraya tersenyum tulus.

Sunyi, seolah angin yang menerpa kedua pipi tembam Sang Gadis hingga memerah itu, bisa terdengar. Menunggu cukup lama, Min Hyuk pun semakin menatap lekat gadis yang kedua matanya tampak sedikit membesar karena menahan udara dingin yang hampir menusuk tulangnya.

“Kalau tidak ingin bermain bersamaku, jangan duduk di sini. Kau akan mati kedinginan,” ucap Min Hyuk dengan suara bergetar.

Terlihat jelas jika Min Hyuk berusaha menyembunyikan rasa dingin yang juga menusuk tulangnya dan Kyung Min yang sedari tadi memperhatikan pun segera melepas mantelnya. Dia bermaksud untuk mengenakannya pada Min Hyuk. Namun…

“Gendong dia ke dalam,” perintah Min Hyuk datar.

Sorot mata Kyung Min tampak linglung ketika Min Hyuk tiba-tiba menarik uluran tangan dan menepis mantel pemberiannya. Dia mengerjap usai mendengar perintah Min Hyuk sebelum kemudian memahami keinginannya.

“Tuan…ingin aku memberikannya pada gadis ini?” tanya Kyung Min ragu.

Dan segera, Min Hyuk mengangguk tegas.

“Selimuti dia dengan mantelmu dan bawa dia ke dalam. Kakinya kedinginan,” ucap Min Hyuk.

Langsung saja pandangan Kyung Min teralih pada kaki Sang Gadis yang terlihat gemetar.

“Oh! Kau kedinginan makanya tidak bisa bicara. Maafkan aku, boleh aku membantumu masuk ke dalam? Di sana pasti lebih hangat,” ucap Kyung Min yang berusaha untuk tidak membuatnya takut.

Tetapi, Sang Gadis Kecil tetap diam dan perlahan mengalihkan pandangan pada Min Hyuk yang sudah menatapnya lebih dulu. Seakan mengerti arti dari tatapan Sang Gadis yang mulai berani melihatnya, Min Hyuk pun mengerjap tenang.

“Dia Tuan Baik Hati. Dia hanya ingin menggendongmu. Aku masih kecil, kau pasti berat untukku,” kata Min Hyuk dengan suara seraknya yang khas.

Kembali, gadis kecil itu memandang Kyung Min yang masih tersenyum lembut padanya. Beberapa saat, Kyung Min menunggu dengan sabar sampai gadis itu mengerjap pelan. Berusaha mengerti dan dengan hati-hati dia menyelimuti Sang Gadis menggunakan mantelnya sebelum menggendongnya.

Perlahan Kyung Min melangkah ke dalam bangunan besar tersebut bersama Min Hyuk yang telah menggenggam erat ujung jas cokelatnya. Tidak lama dan Kyung Min pun menurunkan gadis dalam gendongannya bersamaan dengan munculnya sosok seorang biarawati yang berlari ke arah mereka.

“Han Byul, apa kau duduk di luar lagi? Aku mencarimu ke mana-mana, kupikir kau hilang. Anakku, Tuhan memberkatimu,” ucap biawarati tersebut.

Rasa panik juga lega di rasakan Sang Biarawati yang langsung mengusap serta mengecup lembut kedua pipi gadis kecil yang tetap diam tersebut. Dia menggendong gadis kecil bernama Han Byul itu. Tenang dan Han Byul yang diselimuti mantel Kyung Min kini tampak nyaman memeluk erat Sang Biarawati.

“Anda berbicara Bahasa Korea dengan baik,” tegur Kyung Min.

Tatkala terlalu fokus mengusapi wajah Han Byul yang memerah, Sang Biarawati pun tersentak dan seketika mengalihkan pandangan pada Kyung Min.

“Oh! Anda siapa?” tanya Sang Biarawati heran.

Sesaat Kyung Min membungkuk dan sontak membuat Sang Biarawati balas membungkuk walaupun sedikit sulit karena harus menahan berat tubuh Han Byul.

“Aku Sa Kyung Min dan ini temanku, Seo Min Hyuk,” kata Kyung Min memperkenalkan dirinya dan Min Hyuk.

Sejenak Sang Biarawati tampak bingung ketika mengalihkan pandangan ke Min Hyuk yang hanya menatapnya dingin sebelum akhirnya tersenyum pada Kyung Min.

“Oh! Aku Suster Angel Shin. Ibuku berdarah Korea, sebab itu aku bisa menggunakan Bahasa Korea dengan baik. Dan ini Heo Han Byul, dia dulu sering berkunjung ke gereja di samping panti ini bersama Ibunya. Dia anak yang sangat baik, hanya saja dia tidak banyak bicara setelah kehilangan Ibunya dalam kecelakaan awal tahun lalu,” jelas Angel sambil menyingkap rambut yang menutupi wajah Han Byul.

Melihat wajah Han Byul yang begitu polos tengah bersandar pada bahu Sang Biarawati bernama Angel tersebut, Kyung Min pun sempat terdiam. Ada rasa iba yang menghinggapi hatinya usai mendengar penjelasan Angel. Tetapi, sedetik kemudian, dia kembali tersenyum ramah.

“Sudah lama Min Hyuk memperhatikan Han Byul setiap kali lewat sini sepulang sekolah. Dan hari ini kebetulan Min Hyuk pulang lebih awal makanya, kami menyempatkan kemari,” jelas Kyung Min sembari mengusap lembut kepala Min Hyuk.

Dan pandangan Angel teralih lagi pada Min Hyuk yang masih menatapnya tajam.

“Bermainlah bersama Han Byul sepulang sekolah. Dia pasti akan sangat senang jika kau menjadi temannya,” ucap Angel yang lalu beralih kembali pada Kyung Min, “kalian bisa bertemu di gereja sebelah, Suster Kepala tidak membiarkan orang lain sembarangan masuk dan menemui anak-anak di sini. Aku akan membantu mengatur pertemuan mereka,” tambahnya tulus.

Segera senyum semringah mengembang di wajah Kyung Min sedangkan, Min Hyuk masih menatapnya dingin tanpa ekspresi.

“Kalau begitu kami permisi, besok kami kembali dan menunggu di gereja sebelah,” ucap Kyung Min riang.

“Iya, terima kasih. Sampai jumpa, Min Hyuk,” kata Angel seraya melambai dan kemudian mengecup kening Han Byul penuh rasa sayang, “kau tidak ingin melambai padanya?” tanyanya sembari tersenyum lembut.

Tetapi, Han Byul tetap diam. Dia hanya menatap kosong punggung Min Hyuk yang menggandeng tangan Kyung Min dan telah melangkah cukup jauh.

“Aku akan menggendongnya seperti tadi saat sudah besar nanti dan kau, tidak boleh menyentuhnya lagi,” omel Min Hyuk dengan suara yang cukup lantang.

“Siap, Kapten Seo. Oh! Bagaimana dengan mantel, Tuan?” tanya Kyung Min.

“Biar untuknya saja, supaya dia tidak kedinginan lagi. Kau juga memakainya karena kebesaran buatku,” kembali Min Hyuk mengomel.

Omelan Min Hyuk dengan wajah datarnya membuat Kyung Min hanya tertawa geli sembari membantunya untuk naik ke mobil. Sementara, Han Byul yang perlahan di bawa masuk Angel terus melihat ke belakang, memandangi Min Hyuk yang hampir hilang dari pandangan dan semakin menggenggam erat mantel yang menyelimuti dirinya.

Namaku Kim Han Byul. Suster ini, dia yang selalu menjagaku. Dia malaikatku di antara keempat suster yang tampak menakutkan itu. Mereka terkadang memukuli Suster Angel jika dia mulai melindungiku ketika aku tidak sengaja melakukan kesalahan. Aku menyayangi Suster Angel dan kuharap, dia selalu berada di sisiku. Apa kau mau membantuku menyelamatkannya?

Batin Han Byul yang lalu memejam dan mempererat pelukannya pada Angel yang membawanya masuk semakin dalam.

“Han Byul~a, jal sarajyeo uri aegi. Ni omma cheoreom, uri Han Byeoleun naega hangsang jikhyeolgoya (Han Byul, hiduplah dengan baik anakku. Seperti Ibumu, aku akan selalu menjagamu),” bisik Angel dengan suara tertahan.

Sekilas terlihat Angel berjalan pincang sambil menepuk-nepuk pelan punggung Han Byul yang terlelap dalam gendongannya. Dan tanpa dia ketahui, sebulir air mata telah jatuh membasahi kedua pipi Han Byul.

Ketika matahari akan meninggalkan bumi dan senja mengetuk untuk menyambut bulan.

Malaikatku akhirnya tiba dengan sepenuh hati dan Tuhan berkata, itu takdir.

Seo Min Hyuk, aku menunggumu menjemputku di Panti Dolores…

Ttong

Aku, Seo Min Hyuk. Lalu, dua anak kembar di depanku ini adalah Lee Sun Chan dan Lee Sun Hwan. Sementara, gadis berambut pendek yang duduk di antara mereka bernama Song Hui Yun. Mereka bertiga sahabatku sejak duduk di bangku sekolah dasar kecuali, gadis yang duduk di sampingku ini, dia, Kim Ji Yul. Junior yang baru kami kenal di SMA.

Dan sejak kami menginjakkan kaki ke SMA Nam Joon, sosok seorang gadis terus membayangiku. Gadis yang selalu tersenyum dengan kedua mata sayunya dan membentuk lesung pipi di pipi kanannya. Gadis itu bernama, Ttong (Kotoran). Ya, begitulah aku memanggilnya, dia yang selalu menjadi kotoran dalam hidupku. Kotoran yang tidak pernah hilang, sebab aku tidak sekalipun ingin berusaha membersihkannya.

“Haaa…rasanya sepi tidak ada Ji Yul dan Hwan,” keluh Hui Yun seraya menghempaskan diri ke sofa.

Sementara kembaran Hwan, Chan, mengambungkan minuman kaleng ke arah Min Hyuk yang langsung menangkapnya. Chan duduk dan membukakan salah satu tutup minuman kaleng yang ia bawa bersamaan dengan miliknya. Dia menyerahkan minuman yang sudah terbuka itu pada Hui Yun yang bergegas membetulkan posisi duduk dan menyambutnya.

“Apa mereka berkencan?” tanya Min Hyuk dengan wajah datar dan suara seraknya yang khas.

“Tidak tahu,” sahut Hui Yun sembari mengangkat kedua bahunya, “tapi, mungkin saja. Mereka kelihatan serasi,” tambahnya riang.

Sesaat, Chan melirik Min Hyuk yang tampak mengabaikannya.

“Yuna (Panggilan Kecil Hui Yun), dari dulu aku dan Hyuk juga tahu kalau kau menyukai Hwan,” sindir Chan kemudian.

Lagi, Hui Yun mengangkat kedua bahunya usai meneguk minuman.

“Dulunya aku pikir begitu. Tetapi, setelah melewati masa SMA dan menjalani masa-masa kuliah seperti ini. Sudah terlalu banyak laki-laki yang kutemui lebih dari Hwan. Aku akan merugi jika berputar di satu tempat yang sama dan pasti lagi-lagi yang kulihat hanya kalian,” jelas Hui Yun yang lalu tersenyum mengejek.

Min Hyuk tersenyum sinis lalu melemparkan bantal yang ia duduki tepat ke wajah Hui Yun dan beranjak pergi dengan santai.

“Ya! (Hei!)” teriak Hui Yun kesal.

Dia tetap melenggang ke kamar setelah melemparkan kaleng minumannya yang sudah kosong ke tempat sampah tanpa mempedulikan teriakan Hui Yun. Sedangkan, Chan yang hanya bisa menahan senyum geli pun berusaha menenangkan amarah Hui Yun.

“Anak itu selalu kasar. Pantas saja tidak ada wanita yang menginginkannya,” omel Hui Yun yang langsung meneguk habis minumannya.

Chan tetap tersenyum dan kembali menahan Hui Yun yang akan beranjak untuk menghampiri Min Hyuk yang telah cukup lama menutup pintu kamar.

“Aku rasa dia juga perlu waktu untuk mencintai gadis lain sesudah kejadian itu,” tegur Chan yang tampak begitu tenang dan membuat Hui Yun seketika melemah.

“Haaa…entah yang bodoh kita atau dia. Bahkan mulutku sudah hampir hancur karena terus-terusan menasihati hal yang sama padanya,” keluh Hui Yun.

Mendengar keluhannya, Chan pun menghela napas cukup keras seraya bersandar lemas di tempat duduknya.

“Bagaimana caranya menemukan gadis yang dia sukai sejak SD? Bahkan mengenal pun tidak. Aku rasa dia yang bodoh,” ucap Chan lemah.

Sementara, Chan dan Hui Yun mengeluhkan keadaannya, Min Hyuk terlihat berbaring nyaman di tempat tidur sembari mendengarkan perbincangan mereka dengan seksama. Dia memejamkan mata dan meletakkan lengan kanannya ke dahi. Sesaat, terdengar helaan napasnya cukup keras sebelum ia terlelap.

Sedetik kemudian, bayang anak-anak berseragam Sekolah Dasar Cheong Dam tampak jelas di pikirannya. Tiga laki-laki dan seorang gadis tomboy terlihat berlari ke mobil jemputan masing-masing. Satu anak laki-laki yang pendiam di sambut sangat baik dengan sebuah senyuman tulus penuh rasa sabar oleh seorang laki-laki berjas biru yang telah menunggunya.

Begitu pun dengan kedua anak kembar yang saat itu langsung tersenyum memperlihatkan sederet gigi mereka ke arah laki-laki berjaket hijau tua yang tersenyum riang dan membantu mereka masuk ke mobil. Sedangkan, gadis manis tomboy itu tersenyum tipis pada orangtuanya yang begitu bersemangat melihatnya.

Untuk taraf anak kelas tiga sekolah dasar sepertiku, harusnya kejadian ini bukanlah suatu hal yang perlu kuanggap serius. Namun, sosok gadis kecil berkucir kuda itu tampak manis, dia duduk tenang sambil memeluk erat Ibu yang memboncengnya dengan sepeda motor skuter setiap kali jam sekolah berakhir.

PIIP! PIIP! PIIP!

Min Hyuk terbangun dan segera beranjak dari ranjang karena suara alarm jam tangannya yang berbunyi. Dia meneguk segelas air di meja samping tempat tidur untuk menghilangkan kantuknya sebelum meraih kunci motor auto dan mantel biru beserta syalnya.

Bergegas dia keluar kamar dan tanpa menyapa kedua sahabatnya yang tengah asyik menonton sebuah acara televisi, dia pergi meninggalkan apartemen mereka. Sikap anehnya pun mengundang tanya pada Chan dan Hui Yun yang langsung berpandangan. Lama, sebelum akhirnya pandangan mereka teralih pada kalender di dinding.

“Ini bukan peringatan kematian Kakeknya. Dan lagi, kita di Paris. Kalaupun ada hal yang harus di rayakan, bukankah kita bisa menyiapkannya bersama di rumah?” tanya Chan dengan kening berkerut.

“Apa kau pikir dia memiliki teman selain kita berdua dengan sikapnya yang seperti itu,” sindir Hui Yun datar.

“Hahahaha, dasar gadis tengik,” umpat Chan usai tawanya yang tiba-tiba meledak dan tanpa sadar mendorong kepala Hui Yun.

Hanya beberapa detik hingga sebuah bantal melayang dan menghantam cukup keras wajah Chan.

“Diamlah, aku sedang menonton,” bisik Hui Yun datar.

Dan seketika tawa Chan mereda sesudah menyadari jika pelaku penyerangan adalah gadis di sisinya. Sementara itu, Min Hyuk sudah melaju kencang di jalan raya Kota Paris yang begitu megah. Dengan di tutupi mantel, juga syal di leher dan helm yang menutupi seluruh kepalanya, dia melaju menerjang dinginnya angin musim gugur. Sampai setengah jam kemudian…

SELAMAT DATANG DI KUIL MATAHARI

Papan besar yang tergantung di gerbang utama bangunan kuno itu menyambut kedatangan Min Hyuk. Dia berjalan melewati pintu gerbang berjarak sekitar 500 meter dari sebuah kuil yang begitu ramai di datangi beberapa turis dan wisatawan lokal tersebut.

Dia melepas sepatu sebelum memasuki kuil dan menuju tempat persembahyangan. Diam sesaat setelah mengatupkan kedua tangannya, Min Hyuk menghilang dari hingar bingar dunia hanya untuk berdoa.

Apa aku bisa bertemu lagi dengan gadis yang aku sukai?... Tidak bertemu sekarang, bukan berarti kau tidak bisa bertemu dengannya dalam doa. Pergilah berdoa setiap pukul 4.00 sore, ketika matahari akan meninggalkan bumi dan senja mengetuk untuk menyambut bulan. Kalau memang gadis itu takdirmu, dia pasti akan melakukan hal yang sama. Jika dia memang yang terbaik untukmu, maka setiap yang tercipta di atas langit dan bumi akan mempertemukan kalian lewat doa dan lakukan ini karena kau mencintai Tuhan. Sebab segala yang ada dalam hidupmu dan hidupnya adalah milik Tuhan…

Min Hyuk bersujud satu kali usai membuka kedua mata untuk mengakhiri doanya hari itu. Terdiam sejenak sembari memperhatikan sekelilingnya yang mulai tampak sepi dan lalu melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 6.30 sore.

Lima belas menit kemudian, Min Hyuk telah kembali melaju dengan motor autonya. Tidak butuh waktu lama untuk tiba ke apartemen mereka dengan kecepatan yang akan membuat siapapun berteriak histeris jika di bonceng olehnya.

“Kau sudah pulang? Aku masak semur daging kimchi kesukaan kalian. Duduklah, kita makan bersama.”

Langkah Min Hyuk terhenti tatkala mendengar sapaan itu. Dia menoleh ke dapur dan bisa melihat jelas kedua sahabatnya dari ruang tengah yang hanya di batasi sebuah kotak kaca terang berukuran cukup besar berisi berbagai macam peralatan olahraga. Hening, sebelum akhirnya dia melangkah masuk ke kamar dan mengabaikan mereka.

“Apa dia ke kuil lagi?” bisik Chan yang duduk di salah satu kursi meja makan sambil memperhatikan Hui Yun yang sudah sibuk memotong kimchi-nya lagi.

“Kurasa begitu,” sahut Hui Yun sekenanya.

“Tetapi, hari ini bukan peringatan kematian siapapun,” ujar Chan dengan kening berkerut.

“Sejak tiba di Paris dua tahun lalu, dia selalu pergi ke kuil dan pulang pada jam seperti ini,” sahut Hui Yun ketus.

“Tapi, kenapa tadi kau ikut memandangi kalender?” tanya Chan heran.

“Gerak reflek karena kau melihat kalender, mungkin saja ada perayaan kematian keluarga yang aku lupakan. Yang mengingat dengan baik setiap perayaan penting itu, hanya Min Hyuk dan tiga saudaranya. Ingatan mereka sangat baik, bahkan Kakak perempuannya, Min Jee, sampai membuat catatan untuk tanggal-tanggal penting,” jelas Hui Yun.

“Bagaimana denganmu? Kalian, kan, memiliki hubungan darah yang begitu dekat,” kata Chan dengan segala kepolosannya.

Kegiatan Hui Yun langsung terhenti tatkala mendengar celotehan Chan. Dia melirik sinis sambil memegangi garpu yang menancap pada daging bumbu dan sebuah pisau di tangan kanannya.

“Kau ini calon dokter, harusnya kau bisa lihat garis keturunanku seperti apa. Min Hyuk dan para saudaranya menuruni sikap juga sifat Paman Seo yang cukup pendiam, cerdas, teratur dan lemah lembut. Jika dia meniru Bibi Hwang, maka dia akan berakhir sepertiku,” omel Hui Yun seraya mendengus kesal dan kembali memotongi dagingnya.

“Orangtuamu sangat ceria. Mereka memiliki sikap dan sifat yang sama. Paman, Bibi juga orang yang cerdas, lemah lembut, penyayang dan hanya sedikit tidak bisa diam. Tapi, kau ini…”

Segera Hui Yun meletakkan pisaunya dengan kasar hingga memutus ocehan Chan dan menatapnya kesal. Merasa terancam, Chan pun beranjak dari duduknya perlahan. Dan sedetik kemudian…

“Aku mau mandi,” ujar Chan yang seketika melesat ke kamarnya.

“Ya! Lee Sun Chan!” teriak Hui Yun yang begitu kesal.

Karena terburu-buru dan tidak memperhatikan jalan, tanpa sengaja Chan menabrak Min Hyuk yang akan melangkah ke dapur. Mereka pun sempat terdiam sebab sebuah serbet mendarat di wajah Min Hyuk namun, dia yang tenang tidak mempedulikan kejadian tersebut.

Dia membawa serbet itu lalu meletakkannya di meja makan setelah menarik salah satu kursi. Tidak ada sedikitpun kepedulian di tunjukkannya pada Hui Yun yang terdiam memotongi daging dan tampak gugup karena salah mengenai sasaran. Cukup lama mereka saling diam bersama Min Hyuk yang kini terfokus pada game di layar ponselnya. Sampai…

“Makan malamnya siap sebentar lagi. Kau ingin minum jus dulu sambil menunggu?” tanya Hui Yun berusaha memecah keheningan.

Namun, Min Hyuk menggeleng pelan dan mengabaikan Hui Yun yang sempat melirik sinis padanya. Bahkan ketika tiba waktu makan pun dia begitu tenang, hanya sesekali tersenyum tipis melihat Hui Yun dan Chan yang tidak bisa diam.

Bukan sebagai sahabat tetapi, mereka adalah keluargaku, termasuk Ji Yul yang sekarang hadir menambah kegembiraan kami dengan senyum dan tawanya. Walaupun sementara ini kami berpisah dengan Hwan yang memilih tetap melanjutkan studi di Korea dan Ji Yul yang masih harus menyelesaikan masa SMA-nya satu tahun lagi, mereka tetap tempat aku berpulang saat orang-orang tidak menginginkanku. Mereka keluarga keduaku dan berpisah sebentar bukan masalah, aku baik. Ttong, aku harap setelah ini kita bertemu lagi.

Ji Yul dan Sun Hwan

"Ji Yul~a?"

Seseorang menepuk pundak gadis manis dengan jepit rambut pink itu hingga membuatnya tersentak. Dia pun langsung menoleh dan melempar senyum riang tatkala melihat laki-laki yang berdiri di belakangnya.

Seorang Lee Sun Hwan yang tak lain adalah Kakak kembar Chan itu tampak sangat dewasa dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya usai menduduki ayunan di samping Ji Yul. Sejenak dia memperhatikan Ji Yul yang tengah mendorong pelan ayunannya.

“Kau melamun?” tegurnya kemudian.

Senyum lembut terukir di wajah Ji Yul yang sebelumnya terdengar menghela napas pelan.

“Jogeum (Sedikit),” sahut Ji Yul.

“Ada sesuatu yang kau pikirkan?” tanyanya lagi.

“Hwan Oppa? (Kak Hwan?)” tegur Ji Yul sambil memandangi langit malam yang sedikit berkabut.

“Hmm?” sahut Hwan.

Kembali Ji Yul menghela napas.

“Anieyo (Tidak apa-apa),” ujar Ji Yul setengah berbisik.

Jawaban Ji Yul yang aneh membuat Hwan mengerjap cepat dan memandanginya penuh tanya.

“Jangan melihatku seperti itu,” tegur Ji Yul seraya tersenyum lembut, “kau lihat, langit malam ini lebih gelap dari biasanya."

Mendengar ucapannya, Hwan pun mengalihkan pandangan dan akhirnya ikut memandangi langit.

“Kau tidak akan pernah tahu, bagaimana rasanya mencintai seseorang saat kau tahu seseorang itu memiliki seorang yang di cintainya. Dan ketika orang itu juga dalam posisi memiliki seseorang,” kata Ji Yul sembari memejam dan mendorong pelan ayunannya lagi.

Ucapan Ji Yul yang semakin aneh pun seketika membuat pandangan Hwan kembali teralih padanya. Sesaat dia menatap lekat Ji Yul yang kedua matanya tertutup dan keningnya sempat berkerut karena tidak ada lagi kata yang terucap dari gadis di sisinya.

“Kau…sedang menyukai seseorang selain pacarmu?” tanya Hwan yang begitu berhat-hati usai berdiam cukup lama.

Dan perlahan Ji Yul membuka mata lalu tersenyum lembut. Tanpa sepatah katapun, dia beranjak dan membuat Hwan kebingungan.

“Ka, kau mau ke mana?” tanya Hwan yang terdengar khawatir.

“Kita pulang,” sahut Ji Yul tenang, “aku harus pulang sebelum pukul 9.00 malam kalau tidak ingin ada yang datang ke rumah dan mengecek keberadaanku. Aku tidak ingin kau di hajar seperti yang terjadi dua hari lalu,” tambahnya dan lalu melangkah pergi meninggalkan Hwan yang segera beranjak.

“Kim Ji Yul?” tegur Hwan usai membayai langkah Ji Yul, “apa kau tidak ingin putus darinya dan mencari laki-laki lain? Kau seperti seorang tahanan yang harus melakukan wajib lapor 24 jam,” tambahnya yang terdengar kesal.

“Tiga tahun menjalani bersamanya dan itu tidak akan mudah untuk di tinggalkan. Terlebih dia begitu sempurna. Dia menjagaku dengan baik, bahkan selalu menjadikanku prioritasnya. Tidak ada salahnya jika aku harus melakukan apa yang dia inginkan,” jelas Ji Yul pelan.

“Kau masih membelanya setelah semua yang dia lakukan. Kau gila atau bagaimana? Aku tidak tahu kau ini jenis gadis seperti apa,” omel Hwan yang berusaha menahan amarahnya.

“Hubunganku sudah baik sejak kejadian itu. Dia berjanji akan menjauhinya karena kesalahpahaman yang terjadi,” sahut Ji Yul sambil tersenyum riang.

Seketika, Hwan bungkam dan menghela napas keras. Mereka kembali melangkah dan selama perjalanan menuju rumah Ji Yul, keduanya pun saling diam.

“Masuklah, bermimpi yang indah. Berdoa sebelum tidur,” ucap Hwan lembut.

Dan Ji Yul pun tersenyum seraya mengangguk penuh semangat. Dia masuk ke halaman rumahnya dan berbalik menatap lekat mata Hwan setelah menutup pintu pagar rumah yang hanya setinggi pinggangnya itu.

“Aku merindukannya,” ujarnya setengah berbisik.

“Apa kau…menyukai Hyuk?” tanya Hwan ragu.

Kembali, dia tersenyum dan lalu menggeleng cepat.

“Aku masuk. Kau pulanglah,” ucapnya yang kemudian melangkah ke dalam rumah.

Hwan terpaku cukup lama dan pandangan kosongnya tertuju ke kamar Ji Yul yang sesaat kemudian di terangi cahaya lampu ruangan. Namun, tiba-tiba rintik hujan menjatuhi kepalanya, dia tersentak dari lamunan dan bergegas lari ke rumahnya yang hanya berjarak dua rumah dari rumah Ji Yul.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!