Debby Arina Suteja, di usianya yang ke-32, merasakan kesunyian yang telah lama menjadi teman setianya. Pagi ini, di sebuah kafe dengan aroma kopi yang menenangkan, ia menanti Hendro Ryu Handoyo. Dua tahun kebersamaan telah menumbuhkan harapan di hatinya. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat membayangkan kehadiran kekasihnya.
Waktu berlalu perlahan, cangkir kopi di hadapannya mulai mendingin. Pintu kafe berdering, namun bukan sosok Hendro yang muncul. Seorang wanita dengan hijab lebar dan gamis panjang berdiri di hadapannya. Raut wajahnya tegang, matanya menyiratkan amarah yang membara.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, wanita itu melangkah cepat mendekati Debby. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Debby, membuatnya terhuyung kaget.
"Kau! Pelakor!" bentak wanita berhijab itu, suaranya meninggi hingga menarik perhatian beberapa pengunjung kafe.
Debby memegangi pipinya yang terasa perih. Matanya membulat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "A-apa maksudmu?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Jangan pura-pura bodoh! Kau merebut suamiku!" Suara wanita itu penuh dengan emosi. Air mata mulai menggenangi pelupuk matanya. "Hendro itu suamiku! Sudah dua tahun kita menikah!"
Debby terperanjat. Jantungnya berdebar kencang, seolah baru saja jatuh dari ketinggian. Selama ini, Hendro tidak pernah sekalipun menyinggung tentang pernikahan. Semua terasa palsu, ilusi yang selama ini ia nikmati seorang diri.
"Tidak mungkin..." bisik Debby lirih, menggelengkan kepalanya tak percaya. "Hendro... dia tidak pernah bilang..."
"Tentu saja dia tidak akan bilang! Kau pikir dia akan dengan mudah mengakui perselingkuhannya?" Wanita itu tertawa sinis, air matanya kini mulai menetes. "Kau hancurkan rumah tanggaku! Kau..."
Debby merasa dunianya runtuh seketika. Rasa malu, marah, dan sakit bercampur aduk menjadi satu. Ia menatap wanita di hadapannya, mencoba mencari kebohongan di matanya, namun yang ia temukan hanyalah kepedihan yang mendalam.
"Saya... saya tidak tahu," ucap Debby akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Air matanya pun mulai menetes tanpa bisa dicegah. Ia telah menjadi bagian dari sebuah kebohongan besar, tanpa menyadarinya. Penantiannya hari ini berubah menjadi kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan. Cinta yang ia kira tulus, ternyata berakar pada pengkhianatan.
****
Langkah Debby terasa berat saat memasuki lobi apartemennya. Pikirannya masih berkecamuk, bayangan tamparan dan ucapan wanita berhijab itu terus berputar di benaknya. Kenyataan bahwa Hendro telah menikah selama ini terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Ia merasa bodoh dan tertipu.
Saat berbelok di koridor menuju unitnya, tanpa sengaja Debby bertabrakan dengan seseorang. Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Seorang pria muda, diperkirakan berusia sekitar 25 tahun, berdiri di hadapannya. Ia mengenakan pakaian olahraga yang basah oleh keringat, rambutnya sedikit acak-acakan, namun memancarkan aura segar. Debby tersentak kaget, lamunannya buyar seketika.
"Maaf, Mbak. Anda tidak apa-apa?" tanya pria itu dengan nada khawatir. Suaranya terdengar ramah dan lembut di telinga Debby yang masih dipenuhi hiruk pikuk emosi.
Debby mengerjapkan matanya, menatap wajah pemuda itu. Ada ketulusan terpancar dari sorot matanya. "Ah... iya, tidak apa-apa," jawab Debby pelan, berusaha mengumpulkan kesadarannya.
Pria itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang entah mengapa membuat jantung Debby berdebar sedikit lebih cepat. "Syukurlah. Saya Agus Setiaji," ulurnya memperkenalkan diri. Tangannya terulur dengan sopan.
Debby menerima uluran tangan itu, merasakan kehangatan jemari Agus sekilas. "Debby," jawabnya singkat.
Agus memperhatikan raut wajah Debby yang tampak murung. "Anda terlihat sedang tidak baik. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Debby menggeleng lemah. "Tidak, terima kasih. Saya hanya sedang tidak enak badan." Ia tidak mungkin menceritakan kejadian di kafe tadi kepada orang asing yang baru ditemuinya. Rasa malu masih terlalu kuat mencengkeramnya.
"Baiklah kalau begitu. Kalau butuh sesuatu, jangan ragu untuk memberitahu saya. Saya tinggal di unit sebelah," ujar Agus sambil menunjuk ke sebuah pintu tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Terima kasih," balas Debby lagi, mencoba tersenyum tipis.
Setelah berpamitan, Debby melanjutkan langkahnya menuju apartemennya. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Di tengah kekalutan dan rasa sakit yang mendera, interaksinya dengan Agus meninggalkan sedikit kehangatan. Wajah ramah dan perhatian tulus dari pria muda itu sejenak mengalihkan pikirannya dari kenyataan pahit yang baru saja ia alami. Sosok Agus, dengan kesederhanaan dan kebaikannya, tanpa disadari telah menorehkan kesan di benak Debby yang sedang terluka. Ia tidak menyangka, di hari yang penuh keterkejutan ini, ia akan bertemu dengan seseorang yang membuatnya merasa sedikit lebih baik.
****
Sore menjelang, bel apartemen Debby berdering. Dengan enggan, ia membuka pintu dan mendapati Hendro berdiri di hadapannya. Wajah pria itu tampak kusut, ada guratan penyesalan di sana.
"Debby, kita perlu bicara," ujar Hendro dengan suara rendah, mencoba melangkah masuk namun Debby menahannya di ambang pintu.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Hendro," jawab Debby dingin, tatapannya kosong. Rasa sakit dan malu akibat kejadian di kafe pagi tadi masih terasa begitu nyata.
"Sayang, dengarkan aku dulu. Aku dan istriku akan segera bercerai. Ini semua akan selesai," kata Hendro, berusaha meraih tangan Debby namun segera ditepis wanita itu.
"Selesai katamu? Kamu pikir semudah itu? Kamu berbohong padaku selama dua tahun! Kamu membuatku terlihat seperti wanita murahan di depan istrimu!" Nada suara Debby meninggi, emosinya mulai terpancing.
"Bukan begitu, Debby. Aku mencintaimu. Pernikahanku dengannya sudah tidak bahagia sejak lama. Aku hanya..."
"Cukup, Hendro! Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi. Pergi!" Debby menunjuk ke arah pintu dengan tangan gemetar.
Hendro tidak menyerah. "Debby, kumohon. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."
"Kesempatan? Kamu pikir aku tidak memberimu kesempatan selama ini? Kamu sudah mengambil semuanya dariku! Harga diri, kepercayaan... pergi!" air mata Debby mulai menetes lagi.
Pertengkaran mereka semakin sengit, suara mereka meninggi hingga terdengar ke unit-unit lain. Hendro terus berusaha membujuk Debby, sementara wanita itu tetap pada pendiriannya.
Tiba-tiba, pintu unit sebelah terbuka. Agus muncul, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan melihat keributan di depan pintu Debby.
"Ada apa ini?" tanya Agus, mendekat dengan nada khawatir.
Hendro menoleh, menatap sinis pada Agus. "Ini bukan urusanmu, anak muda."
Debby, yang merasa terpojok dan lelah berdebat, tanpa sadar melangkah mundur dan berdiri di belakang punggung Agus. Ia merasakan sedikit rasa aman berada di sana, di belakang sosok pria yang baru dikenalnya itu.
Agus menatap Hendro dengan tatapan tenang namun tegas. "Sepertinya Mbak Debby tidak ingin berbicara dengan Anda saat ini. Sebaiknya Anda pergi."
Hendro tertawa sinis. "Siapa kau berani menyuruhku pergi?"
"Saya tetangganya. Dan saya tidak suka melihat keributan di sini," jawab Agus tanpa gentar.
Debby menggenggam ujung kaus Agus dari belakang, merasa sedikit terlindungi. Kehadiran Agus entah bagaimana memberikannya keberanian untuk menghadapi Hendro.
"Pergi, Hendro. Kumohon," ucap Debby lirih dari balik punggung Agus.
****
Hendro menatap Debby dengan amarah dan kekecewaan bercampur aduk. Setelah menghela napas kasar, akhirnya ia mengalah. "Baiklah. Tapi kita belum selesai, Debby." Ucapnya sebelum berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua.
Setelah Hendro menghilang dari pandangan, Agus menoleh ke belakang, menatap Debby dengan tatapan lembut. "Anda baik-baik saja, Mbak?" tanyanya pelan. Debby hanya mengangguk lemah, air matanya masih belum berhenti mengalir. Kehadiran Agus di saat yang genting itu meninggalkan kesan yang mendalam di hatinya.
Malam itu, Hendro pulang ke rumah dengan raut wajah gelap. Naura, istrinya, menyambutnya dengan tatapan dingin. Suasana di antara mereka terasa tegang sejak Naura menceritakan pertemuannya dengan Debby di kafe.
"Kau melabrak Debby," ucap Hendro datar, tanpa nada tanya.
Naura menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Dia merusak rumah tangga kita, Mas! Bagaimana mungkin aku diam saja?" suaranya bergetar menahan tangis.
Tanpa menjawab, Hendro melangkah mendekati Naura. Sebuah tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipi wanita itu, membuatnya terhuyung ke samping. Naura memegangi pipinya yang terasa perih, menatap Hendro dengan tatapan tak percaya. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah.
"Kau tidak seharusnya melakukan itu," desis Hendro dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah di matanya. Ia lebih terlihat marah karena Naura telah menemui Debby.
"Aku istrimu, Mas! Apa salahku?" lirih Naura, hatinya hancur melihat perubahan sikap suaminya. Pria yang dulu begitu lembut dan penyayang kini tampak begitu asing dan kejam.
"Salahmu adalah mencampuri urusanku," jawab Hendro ketus. Ia sama sekali tidak peduli dengan air mata istrinya. Pikirannya kini hanya tertuju pada Debby.
Naura terisak, tidak menyangka suaminya akan melakukan kekerasan padanya hanya karena ia berusaha mempertahankan rumah tangganya. Di sudut ruangan, seorang anak kecil berusia satu tahun terbangun mendengar keributan dan mulai menangis.
Hendro bahkan tidak menoleh ke arah tangisan putranya. Ia justru menatap Naura dengan tatapan tajam. "Aku akan mengurus perceraian kita secepatnya."
Ucapan Hendro bagai petir di siang bolong bagi Naura. Ia terperangah, hatinya semakin hancur mendengar kata-kata itu. "Apa? Mas... anak kita masih kecil," ucapnya dengan suara tercekat.
"Aku sudah tidak bahagia denganmu, Naura. Sejak dulu," jawab Hendro tanpa emosi. Kebohongan yang selama ini ia tutupi akhirnya terungkap sepenuhnya. Ia tidak hanya mengkhianati Naura dengan berselingkuh, tetapi juga tidak pernah mencintainya dengan tulus.
Naura menggelengkan kepalanya tak percaya. Selama dua tahun pernikahan mereka, ia selalu berusaha menjadi istri yang baik, ibu yang penyayang bagi putra mereka. Namun, semua usahanya terasa sia-sia di hadapan pengakuan dingin Hendro.
"Jadi, selama ini... semua ini bohong?" tanya Naura dengan suara lirih, menahan isaknya.
"Ya," jawab Hendro singkat, tanpa sedikit pun penyesalan. Ia kemudian berbalik, meninggalkan Naura yang terisak di ruang tamu bersama tangisan bayi mereka. Hatinya telah sepenuhnya tertambat pada Debby, tanpa mempedulikan kehancuran yang ia tinggalkan di belakangnya. Malam itu menjadi awal kehancuran bagi rumah tangga yang selama ini dibangun Naura dengan penuh cinta dan pengorbanan.
****
Keesokan paginya, Debby bersiap untuk berangkat kerja. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian kemarin sore. Ia berharap bisa melupakan sejenak kekacauan ini dan fokus pada pekerjaannya. Saat membuka pintu apartemennya, ia terkejut mendapati Hendro sudah berdiri di depan.
"Debby, kita perlu bicara," kata Hendro dengan nada memohon, menghalangi Debby untuk keluar.
Debby menghela napas. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Hendro. Semuanya sudah jelas kemarin." Ia berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya masih terasa perih.
"Kumohon, Debby. Dengarkan aku sekali ini saja. Aku ingin menjelaskan semuanya," Hendro mencoba meraih tangannya, namun Debby menarik tangannya menjauh.
"Menjelaskan apa lagi? Kamu sudah berbohong padaku selama ini. Kamu sudah menikah dan punya anak. Apa lagi yang perlu dijelaskan?" suara Debby mulai meninggi, menunjukkan rasa frustrasinya.
"Aku akan menceraikan Naura. Sungguh. Aku hanya ingin bersamamu," ujar Hendro bersikeras, mencoba mendekat lagi.
"Jangan mendekatiku!" Debby mundur selangkah. "Kita tidak punya hubungan apa pun lagi, Hendro. Semuanya sudah berakhir."
Hendro tampak tidak terima. Ia berusaha menahan Debby agar tidak pergi. "Tidak, Debby. Aku mencintaimu. Kita bisa melewati ini bersama."
Debby menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak bisa, Hendro. Kamu sudah menghancurkan semuanya. Tolong pergi."
Situasi mulai memanas. Hendro terus berusaha membujuk Debby, sementara Debby berusaha menghindar. Tiba-tiba, pintu unit sebelah terbuka lagi. Agus muncul, tampak heran melihat keributan di pagi hari.
"Ada apa lagi ini?" tanya Agus, menghampiri mereka.
Hendro menoleh dengan tatapan tidak suka. "Ini bukan urusanmu."
Namun, Agus tidak gentar. Ia melihat raut wajah Debby yang tampak tertekan. Tanpa ragu, ia berdiri di samping Debby.
"Mbak Debby sepertinya tidak ingin bicara dengan Anda. Sebaiknya Anda pergi," kata Agus dengan nada sopan namun tegas.
Hendro menatap Agus dengan geram. "Kau lagi? Jangan ikut campur!"
Debby merasa sedikit lega dengan kehadiran Agus. Ia berdiri di belakang pemuda itu, merasa terlindungi sekali lagi.
"Hendro, kumohon pergi," pinta Debby dengan suara lirih namun penuh harap.
Melihat Debby berada di belakang Agus dan ketegasan di mata pemuda itu, Hendro akhirnya menghela napas kasar. Ia menyadari bahwa ia tidak akan bisa memaksa Debby saat ini.
"Baiklah," ucap Hendro dengan nada kesal. "Tapi ini belum berakhir." Ia kemudian menatap Debby dengan tatapan penuh harap sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Setelah Hendro menghilang dari pandangan, Agus menoleh ke arah Debby dengan tatapan khawatir. "Anda tidak apa-apa, Mbak?" tanyanya lembut.
Debby mengangguk lemah. "Terima kasih, Agus. Sekali lagi kamu menolongku." Ia merasa bersyukur atas kehadiran tetangganya itu. Di tengah kekacauan hidupnya, Agus hadir sebagai sosok yang memberikan rasa aman dan perlindungan.
****
Naura, dengan hati hancur dan air mata yang tak kunjung kering, memberanikan diri menghubungi mertuanya, Reksa dan Nirmala. Ia menceritakan segala perlakuan Hendro, mulai dari perselingkuhannya dengan Debby, tamparan yang ia terima, hingga ucapan Hendro yang ingin segera menceraikannya. Ia juga tak lupa menyinggung tentang cucu mereka yang masih berusia satu tahun dan kini harus menyaksikan kehancuran rumah tangga orang tuanya.
Reksa dan Nirmala mendengarkan cerita Naura dengan wajah penuh keprihatinan. Nirmala beberapa kali mengusap dadanya, tak menyangka putra yang selama ini mereka banggakan tega melakukan hal sekeji itu pada menantunya. Reksa hanya bisa terdiam, rahangnya mengeras menahan amarah mendengar perbuatan Hendro.
"Kami akan ke sana, Naura," ujar Nirmala akhirnya, suaranya bergetar. "Kamu jangan khawatir, Nak."
Tak lama kemudian, Reksa dan Nirmala tiba di rumah Naura. Mereka memeluk menantunya dengan penuh kasih sayang, mencoba memberikan kekuatan di tengah keterpurukannya. Saat mereka sedang berbincang, pintu rumah tiba-tiba terbuka. Hendro berdiri di ambang pintu, terkejut melihat kehadiran kedua orang tuanya di sana.
"Ayah? Ibu? Sedang apa kalian di sini?" tanya Hendro dengan nada heran bercampur khawatir.
Reksa menatap putranya dengan tatapan kecewa. "Kami di sini karena Naura menceritakan semuanya. Apa benar apa yang sudah kamu lakukan padanya, Hendro?"
Hendro menghela napas. "Ini urusanku, Yah."
"Urusanmu katamu? Ini juga urusan kami! Naura itu menantuku, cucu kami ini juga anakmu! Bagaimana bisa kamu setega ini?" Nirmala tidak bisa lagi menahan emosinya.
"Aku tidak mencintai Naura lagi, Bu. Aku mencintai Debby," jawab Hendro dengan lantang, tanpa sedikit pun keraguan di matanya.
Ucapan Hendro bagai petir di siang bolong bagi Nirmala. Ia terperangah, tak menyangka putranya akan mengucapkan kata-kata itu di hadapannya dan Naura. Rasa shock dan kecewa bercampur aduk hingga membuatnya limbung.
"Hendro..." lirih Nirmala sebelum akhirnya pandangannya menggelap dan ia jatuh pingsan.
Melihat Nirmala pingsan, Hendro justru menunjukkan reaksi yang tak terduga. Alih-alih panik atau khawatir, ia malah melayangkan tatapan tajam pada Naura.
"Ini semua gara-gara kamu!" bentak Hendro, menunjuk Naura dengan nada penuh amarah. "Kalau saja kamu tidak mengadu pada Ibu, semua ini tidak akan terjadi!"
Reksa yang sedang memangku Nirmala menoleh dengan wajah merah padam. "Apa katamu, Hendro? Ibumu pingsan karena ucapanmu sendiri!"
"Tidak, Yah! Ibu shock karena mendengar kebohongan Naura!" elak Hendro, bersikeras dengan egonya. Ia sama sekali tidak melihat kesalahannya dalam situasi ini. Baginya, Naura adalah biang keladi dari segala permasalahan.
Naura yang masih terisak hanya bisa menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar tuduhan Hendro. Hatinya semakin hancur melihat betapa butanya suaminya terhadap penderitaan orang lain, termasuk ibunya sendiri.
"Kebohongan apa, Mas? Semua yang aku katakan benar. Kamu yang berbohong padaku, kamu yang berselingkuh!" balas Naura dengan suara bergetar.
"Diam kamu!" sentak Hendro. "Seharusnya kamu malu sudah membuat ibuku seperti ini!"
"Aku yang malu? Seharusnya kamu yang malu, Hendro! Kamu sudah menghancurkan rumah tangga kita, menyakiti istrimu, dan sekarang menyalahkan aku atas kondisi ibumu!" air mata Naura kembali membanjiri pipinya.
Reksa berusaha menenangkan Nirmala yang mulai siuman perlahan. Setelah memastikan istrinya sedikit lebih baik, ia kembali menatap Hendro dengan tatapan dingin.
"Hendro, Ibu pingsan karena mendengar pilihanmu yang lebih memilih wanita lain dibanding istrimu sendiri. Jangan memutarbalikkan fakta," ujar Reksa dengan suara tegas namun terkendali.
Namun, teguran sang ayah tidak membuat Hendro berubah pikiran. Justru, kejadian ini semakin memantapkan keyakinannya bahwa ia harus segera berpisah dari Naura.
"Justru karena ini aku semakin yakin, Yah. Aku dan Naura memang tidak bisa lagi bersama. Aku akan tetap pada keputusanku untuk bercerai," ucap Hendro dengan nada final.
Mendengar ucapan Hendro, Naura kembali terisak. Hatinya benar-benar remuk mendengar suaminya begitu teguh ingin meninggalkannya, bahkan setelah melihat ibunya pingsan. Reksa hanya bisa menghela napas berat, merasa kecewa dan marah pada putranya. Adu mulut kembali terjadi di antara Hendro dan Naura, namun Hendro tetap bersikeras dengan keinginannya untuk bercerai, seolah tidak ada lagi ruang untuk kompromi atau pertimbangan perasaan orang lain. Keputusannya untuk bersama Debby telah membutakan hatinya dari nilai-nilai keluarga dan rasa empati.
****
Hari itu di kantor terasa begitu panjang bagi Debby. Pikirannya terus berkecamuk, bayangan wajah Hendro dan pengkhianatannya berulang kali muncul. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri karena telah tertipu begitu lama. Konsentrasinya buyar, pekerjaannya terbengkalai. Akhirnya, dengan berat hati, ia memutuskan untuk memblokir semua nomor telepon dan akun media sosial Hendro. Ia ingin benar-benar mengakhiri ilusi tentang pria itu.
Saat jam kantor usai, Debby berjalan gontai menuju halte bus di depan gedung kantornya. Langit sore tampak mulai menggelap. Ia berdiri sendirian, menunggu bus yang terasa datang begitu lambat. Angin bertiup pelan, menerpa rambutnya yang tergerai.
Tiba-tiba, suara deru motor mendekat. Sebuah sepeda motor berhenti tepat di depannya. Debby mendongak dan terkejut melihat Agus duduk di atas motornya, tersenyum ramah padanya.
"Mbak Debby belum pulang?" sapa Agus dengan nada ceria.
Debby sedikit terkejut. "Ah, Agus. Belum. Sedang menunggu bus."
"Sudah sore. Bus biasanya penuh kalau jam segini. Mau bareng saya saja? Kebetulan arah rumah kita sama," tawar Agus dengan sopan.
Debby terdiam sejenak. Ia merasa sedikit ragu, namun di sisi lain, ia juga merasa lelah dan tidak ingin berlama-lama menunggu sendirian di halte. Sosok Agus yang selalu ramah dan membantu membuatnya merasa nyaman.
"Tidak merepotkan?" tanya Debby akhirnya.
Agus tertawa kecil. "Tentu tidak, Mbak. Justru saya senang kalau bisa membantu." Ia mengulurkan helm berwarna hitam kepada Debby. "Pakai ini ya, demi keamanan."
Debby menerima helm itu dan memakainya. "Terima kasih, Agus."
"Sama-sama. Mari," ajak Agus.
Debby naik ke boncengan motor Agus. Aroma parfum maskulin yang segar tercium samar-samar dari tubuh Agus. Ia merasa sedikit canggung namun juga merasa ada kehangatan yang berbeda saat berada dekat dengan pemuda itu.
Selama perjalanan, Agus sesekali bertanya tentang kabarnya. Debby menjawab seperlunya, masih belum siap untuk berbagi tentang masalahnya. Namun, kehadiran Agus dan obrolan ringan mereka sedikit mengalihkan pikirannya dari Hendro.
Ketika mereka tiba di depan apartemen Debby, ia merasa sedikit enggan untuk berpisah. Ada rasa nyaman dan aman yang ia rasakan selama bersamanya.
"Terima kasih banyak ya, Agus. Sudah mau mengantarkanku," ucap Debby tulus sambil mengembalikan helm.
"Sama-sama, Mbak Debby. Lain kali kalau masih menunggu bus, jangan ragu untuk menyapa saya kalau saya lewat," balas Agus dengan senyumnya yang khas.
Debby mengangguk. "Pasti."
Setelah Agus pergi, Debby berjalan menuju apartemennya. Perjalanan singkat bersamanya sore ini memberikan sedikit ketenangan di hatinya yang sedang bergejolak. Kehadiran Agus, tanpa disadarinya, mulai menumbuhkan harapan baru di tengah kekecewaan yang mendalam.
****
Mentari pagi menyambut kedatangan Naura dan Marcella di sebuah rumah sederhana namun asri di luar kota. Rumah itu adalah kediaman orang tua Naura, Subeni dan Haryati. Suasana pedesaan yang tenang sedikit berbeda dengan hiruk pikuk Jakarta yang selama ini menjadi latar belakang kehidupan Naura.
Subeni, seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih, sedang menyiram tanaman di halaman depan ketika melihat seorang wanita turun dari taksi sambil menggendong seorang bayi. Ia mengerutkan kening, menyadari itu adalah putrinya, Naura. Namun, keheranannya bertambah karena Naura datang seorang diri, tanpa Hendro.
Haryati, yang mendengar suara mobil dari dalam rumah, segera menghampiri pintu. Ia terkejut melihat Naura berdiri di ambang pintu dengan mata sembab dan Marcella dalam gendongannya.
"Naura? Ya ampun, Nak. Kamu kenapa? Mana Hendro?" tanya Haryati dengan nada khawatir, langsung memeluk putrinya.
Subeni menghampiri mereka dengan raut wajah cemas. "Iya, Nak. Ada apa ini? Kenapa kamu datang sendiri?"
Naura hanya bisa terisak dalam pelukan ibunya. Marcella di gendongannya tampak bingung melihat ibunya menangis. Haryati membawa Naura dan cucunya masuk ke dalam rumah. Setelah menenangkan Marcella yang mulai rewel, Haryati dan Subeni duduk berhadapan dengan Naura di ruang tamu.
Dengan suara lirih dan sesekali terisak, Naura menceritakan semua yang terjadi dalam rumah tangganya. Ia mengungkapkan perselingkuhan Hendro dengan seorang wanita bernama Debby, perlakuan kasar Hendro padanya, hingga keinginan suaminya untuk bercerai. Ia juga menceritakan bagaimana Hendro lebih membela selingkuhannya dibanding dirinya dan anak mereka.
****
Subeni dan Haryati mendengarkan cerita Naura dengan wajah yang semakin lama semakin tegang. Haryati beberapa kali mengusap air mata yang ikut menetes di pipinya. Subeni mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras menahan amarah. Mereka tidak menyangka pernikahan putri mereka yang selama ini tampak baik-baik saja menyimpan luka yang begitu dalam.
"Jadi, Hendro... dia tega melakukan ini padamu, Nak?" tanya Subeni dengan suara berat, sarat akan kekecewaan.
Naura mengangguk lemah. "Dia bilang... dia mencintai wanita lain, Ayah."
Haryati memeluk Naura erat. "Ya Tuhan... tega sekali anak itu. Setelah apa yang sudah kamu berikan untuknya, untuk keluarga ini..."
Subeni berdiri dari duduknya, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. "Tidak bisa dibiarkan ini. Kita harus bicara dengan Hendro."
Naura menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Ayah. Aku sudah tidak ingin lagi berhubungan dengannya. Aku hanya ingin menenangkan diri di sini bersama kalian dan Marcella."
Haryati mengelus kepala Naura dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, Nak. Kamu dan Marcella bisa tinggal di sini selama yang kalian mau. Kami akan selalu ada untukmu."
Subeni mengangguk setuju. "Jangan pikirkan apa pun dulu, Naura. Istirahatlah. Biar kami yang memikirkan langkah selanjutnya."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!