NovelToon NovelToon

Second Chances

01

...Hallo semuanya, selamat menikmati ceritanya. Maaf atas ketidaknyamanannya karena perombakan yang mendadak, dan apabila kalian melihat cover dan alur yang sama di author yang bernama cakefavo, itu authornya sama ya guys, yaitu aku. Aku ganti akun karena aku gak bisa login di akun sebelah huhu, semoga kalian lebih menikmati alur ceritanya yang baru ya, terima kasiihhhh (⁠๑⁠•⁠﹏⁠•⁠)...

...────୨ৎ────...

03 February 2023

Suara tawa anak kecil menggema di setiap sudut rumah. Dave Blythe, putra John dengan kekasihnya—Ariel Dealova. Usianya saat ini menginjak satu tahun, mata Dave yang bulat dan cerah mirip dengan John, sementara bibirnya yang penuh dan manis sangat mirip dengan Ariel. Keeyara yang saat itu sedang memeriksa email perusahaannya mengangkat kepala saat melihat pemandangan bahagia di depannya. John mengangkat Dave ke udara, membuat anak itu tertawa dengan gembira, dan itu membuat Keeyara merasa sedikit iri melihat kebahagiaan keluarga itu.

Bagaimana jadinya jika dialah yang melahirkan seorang putra untuk John? Apakah semuanya akan berubah dan John akan memperlakukannya lebih baik lagi? Keeyara menunduk kembali, memperhatikan bekas luka di kedua lengannya yang kini telah memudar menjadi warna keunguan. Keeyara segera menarik lengan bajunya untuk menutupi luka-luka tersebut.

"Sepertinya Dave mengantuk, ayo biar Mama dan Papa menemanimu tidur." ucap John sambil memeluk erat putranya itu, bahkan John tidak perlu repot-repot melirik Keeyara saat dia berjalan melewatinya, dan sekali lagi hal itu membuat hati Keeyara hancur.

Apa yang bisa diharapkan dari perjodohan ini? Pernikahan yang tidak dimulai dengan cinta, bahkan John selalu bersikap keras kepadanya. John hanya mencintai Ariel Dealova, wanita yang telah mencuri hatinya. Ariel adalah seorang gadis yang cantik dan polos, dengan kecantikan alami yang memikat. John jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat Ariel bekerja keras sebagai penjaga toko roti di Prancis.

Kini, jarum jam menunjukan pukul 00.00, sementara badai mengamuk di luar, petir sesekali menyambar dengan suara yang menakutkan. Pintu kamar Keeyara terbuka dengan suara deritan pelan, seseorang memasuki kamarnya dengan langkah diam-diam saat wanita itu sedang tertidur lelap, bayangan seseorang terlihat di dinding, dan tak lama kemudian suara teriakan Keeyara terdengar keras, membangunkan John yang sedang tertidur lelap.

Saat jam menunjukan pukul 1 malam, suasana rumah sakit terasa sibuk dan menegangkan. John mengikuti langkah beberapa perawat yang mendorong ranjang pasien, wajahnya tetap dingin dan kosong saat melihat tubuh istrinya terbaring di sana. Salah satu perawat memberikan Keeyara oksigen, wajahnya memerah dan melepuh parah akibat luka bakar.

"Untuk keluarga, harap menunggu di luar." ucap seorang dokter, dokter itu segera memasuki ruang operasi, sementara John hanya bisa terdiam sambil memandangi pintu yang mulai tertutup secara perlahan-lahan.

"Sayang, bagaimana dengan Keeyara?" suara lembut Ariel membangunkan John dari lamunannya. Pria itu menoleh ke samping, melihat istri keduanya tengah menatap pintu operasi yang tertutup dengan kekhawatiran yang terlihat palsu.

"Apa yang terjadi?"

Ariel terdiam sejenak, lalu tak lama kemudian ia menundukan kepala sambil terisak pelan. "Sayang maafkan aku... aku hanya membela diri. Saat itu aku pergi ke dapur untuk mengambil air panas, aku ingin mengompres Dave yang sedang demam, tapi Keeyara menyeret ku ke kamarnya dan mengancam akan membunuhku dan Dave jika aku tidak pergi dari rumahnya." rahang John seketika mengeras, telapak tangannya terkepal erat, memperlihatkan buku-buku jarinya yang memutih. Pandangannya kembali tertuju pada pintu operasi dengan sekilas rasa kesal dan amarah di kedua matanya yang bewarna abu-abu tua.

"Tapi kau baik-baik saja, kan?" tanya John saat kembali menatap Ariel dengan khawatir, dengan hati-hati John memegang kedua pergelangan tangan Ariel, seolah-olah dia takut merusak sesuatu yang sangat berharga, dia memeriksa tubuh Ariel dengan gerakan lembut, meskipun amarah masih membara di dalam dirinya.

"Aku baik-baik saja, tapi kau tidak perlu memarahi Keeyara, aku tahu aku hanya pengganggu bagi kalian berdua-"

"Shhh, jangan berbicara omong kosong, kau bukan orang seperti itu, aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini." ucap John dengan lembut, menarik Ariel ke dalam pelukannya yang hangat.

Beberapa jam kemudian, Keeyara keluar dari ruang operasi dengan wajah yang terbungkus perban putih bersih. Dia masih belum sadarkan diri akibat efek obat bius, sementara John masih setia menemaninya. Berbeda dengan Ariel yang sudah pulang satu jam sebelumnya.

Tidak menunggu lama, Keeyara perlahan-lahan menggerakkan kelopak matanya. Pertama-tama yang dia lihat adalah langit-langit kamar rawat inap yang berwarna putih, pandangannya masih kabur. Rasa sakit masih terasa di otot-otot wajahnya yang rusak, Keeyara menoleh ke samping dan melihat John yang sedang memperhatikannya dengan wajah dingin.

"John-"

Satu pukulan menghantam wajah Keeyara, rasa sakit yang semakin terasa dan kini berlipat-lipat ganda. Keeyara terkejut dengan perlakuan suaminya sendiri, meskipun dia sudah sering mengalaminya. Tapi apa alasan di balik pukulan itu? Keeyara tidak mengerti.

"Kau sengaja mengancam Arriel untuk pergi meninggalkan aku? Kau lupa dirimu sendiri, dia yang memberiku seorang anak, tidak seperti kamu yang bahkan tidak bisa hamil, Keeyara!" perkataan John mengalahkan rasa sakit di wajahnya, sangat kasar dan menusuk.

"Mengancam apa? sejak kapan aku mengancamnya?" tanya Keeyara dengan suara yang sedikit gemetar, air mata menggenang di matanya membuat pandangannya kembali kabur.

"Jaga ucapanmu di depan Ariel dan juga Dave, mereka keluargaku sekarang. Mereka lebih berharga darimu."

Keeyara tertawa getir, menghapus air mata yang jatuh ke pipinya dengan telapak tangan. "Wah... mulutmu tajam sekali, John. Kau melukai hatiku dengan kata-katamu, tapi apakah kau benar-benar lebih percaya pada wanita itu daripada istrimu sendiri yang di anggap sah di mata publik dan negara?"

John terdiam, tidak langsung menjawab, sementara Keeyara menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya terasa perih dan sakit, jauh melebihi rasa sakit di wajahnya. "Kau berhasil membuatku semakin jahat dalam ceritamu dan Ariel. Aku memang tidak bisa memberimu seorang anak, tapi apakah kau harus bersikap seperti ini? Kau menyiksaku, menghancurkan hatiku. Kau bahkan tidak perlu repot-repot untuk memahami perasaanku." kali ini, Keeyara tidak sanggup menahan rasa sakit yang dia pikul, dia menangis dengan pilu di depan John yang hanya diam membeku. John tidak menunjukkan rasa bersalah, sebaliknya dia menikmati memperlakukan Keeyara seperti binatang.

"Kenapa kau membuat semuanya begitu sulit?" pertanyaan John membuat Keeyara terdiam, menatapnya dengan tatapan yang tak terartikan.

"Kau hanya perlu diam, menikmati hidupmu. Kau tidak seperti Ariel yang selalu menghadapi kesulitan sepanjang hidupnya. Kenapa kau sangat membencinya? Kau tidak tahu bagaimana dia berjuang keras hanya untuk bertahan hidup, sedangkan kau sudah dimanjakan sejak kecil. Aku hanya ingin membahagiakan Ariel, karena hanya dia yang telah memberiku kehidupan yang aku inginkan. Kau...? Jika perjodohan itu tidak terjadi, mungkin aku akan menjadikannya sebagai istriku satu-satunya," lanjut John.

Keeyara terdiam, air matanya berjatuhan. Udara di ruangan itu terasa sesak, membuatnya sulit bernapas. "Kenapa kau hanya memikirkan dirimu sendiri, Keeyara?"

Wanita itu tertawa getir, menunduk sejenak sebelum menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap John.

"Mungkin karena aku egois."

Itu tidak benar, dia selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain di atas kebahagiaannya sendiri. Bahkan ketika itu menyakitinya, tapi anehnya orang-orang di sekitarnya selalu mengecewakannya.

"Ya, kau memang egois. Mulailah bersikap baik kepada istriku." kata John dengan dingin, lalu pergi meninggalkan ruangan. Keeyara memperhatikannya yang langsung menghilang di balik pintu yang tertutup. Demi Tuhan, siapa sebenarnya dia? Dia juga istri dari seseorang bernama John Reonard.

02

Beberapa minggu berlalu sejak Keeyara keluar dari rumah sakit, dia semakin mengisolasi diri dari dunia luar, mengurung diri di kamar dan hanya melamun. Dia merasa malu pada dirinya sendiri, wajah yang dulunya cantik sekarang disebut-sebut sebagai monster.

Sore itu, dia sedang memasak di dapur, mempersiapkan makanan untuk kedatangan rekan-rekan bisnis John. Berbeda dengan Ariel yang sedang mondar-mandir sambil sesekali menggerutu pelan.

"Keeyara, kau tidak mencuci bajuku? Aku sudah bilang untuk mencucinya. Aku harus memakai apa sekarang jika baju itu kotor?!" rengekan Ariel yang terus-menerus seperti suara anjing yang menggonggong di tengah malam, namun Keeyara tidak mendengarkannya dan terus mempersiapkan makanan di atas meja makan.

"Keeyara, percepat! Mereka akan datang dalam beberapa menit lagi!" teriak John dari lantai atas, sambil membenarkan dasinya.

"Keeyara, aku sedang berbicara kepadamu!" nada suara Ariel naik satu oktaf, membuat wanita itu terdiam dan menghela napas lelah.

"Kau memiliki tangan, bukan? Itu bajumu, kenapa aku yang harus mencucinya?" balas Keeyara dengan dingin, membuat Ariel merengut dan menghentakkan kakinya di lantai seperti anak kecil.

Tak lama, John memasuki ruang makan, tatapannya langsung tertuju pada Keeyara. "Kenapa kau memarahi istriku seperti itu? Turuti saja apa yang dia minta. Untung kau masih bisa tinggal di sini dan aku memberimu makan dan semua hal yang kamu butuhkan. Selesaikan semuanya cepat!"

Ariel langsung tersenyum puas saat pria itu membelanya, membuat Keeyara mengepalkan tangan. Ia mulai membuka celemeknya, memperhatikan bajunya yang kini terlihat lusuh dan kotor karena noda saus. John memperhatikan penampilannya dengan tatapan jijik, seolah-olah wanita itu hanyalah seorang gelandangan yang tinggal di dalam rumahnya.

"Kau ini seorang wanita, seharusnya menjaga penampilanmu. Lihat saja kamu sekarang... wajahmu telah rusak, bahkan penampilanmu saja sudah tidak menarik lagi. Jika semuanya sudah beres, pergilah ke kamarmu dan jangan berani-beraninya untuk keluar, apalagi sampai rekan-rekanku melihatmu," kata John dengan nada sarkastik, membuat hati wanita itu mencelos saat mendengarnya.

"Sayang, jangan seperti itu... Keeyara juga masih istrimu..." timpal Arriel dengan suaranya yang lembut dan manis, Keeyara juga melihat bagaimana wanita itu melingkarkan tangannya di lengan John.

"Siapa juga yang ingin membawanya jika penampilan dan wajahnya seperti itu? Dia akan mempermalukan aku. Maka dari itu... kau ada di sini bersama ku, untuk melengkapiku dan juga untuk selalu berada di sisiku." balas John sambil tersenyum, melingkarkan lengannya di bahu Arriel dan mencium keningnya dengan mesra. Keeyara hanya tersenyum getir, dia melemparkan celemeknya ke kursi lalu segera pergi meninggalkan ruang makan, membuat Arriel semakin puas.

Di dalam kamar, Keeyara menarik napas dalam-dalam, mengisi kembali paru-parunya yang terasa kosong. Dadanya terasa nyeri, setiap hari dia harus menyaksikan adegan romantis antara John dan Arriel, dan itu selalu membuatnya merasa cemburu.

Perlahan, wanita itu berjalan menuju meja rias, duduk di kursi sambil memperhatikan peralatan make-upnya yang kini sudah tidak terpakai lagi. Pandangannya menjadi buram saat dia menahan air matanya, Keeyara memandangi bayangan wajahnya di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang kini kemerahan, sebagian mengelupas dan melepuh akibat luka bakar itu.

Keeyara segera mengambil ikat rambut dan mulai mengikat rambutnya menjadi kuncir ekor kuda, dia pun mengambil foundation dan secara perlahan mulai memakaikannya di wajahnya. Setiap gerakannya sangat efisien saat ia mengolesi wajahnya dengan riasan, hingga beberapa menit kemudian ia kembali menatap bayangan dirinya sendiri di cermin, bahkan sekeras apapun ia berusaha untuk menutupi luka tersebut lewat riasan, luka itu masih tetap terlihat.

"Ah ini istri anda? dia sangat cantik sekali..."

"Bagaimana anda bisa menemukan istri secantiknya, Tuan John?"

"Saya sangat iri sekali, anak anda juga sangat mirip sekali dengan anda, Tuan John..."

Keeyara mendengar pembicaraan rekan-rekan bisnis John dan tangisannya langsung pecah. Ia menutup mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara isakan, tubuhnya gemetar hebat saat dia berusaha melawan semua rasa sakit yang mulai menggerogoti hatinya.

Semua luka baru yang dia dapatkan di sekujur tubuhnya, mata sayu, lingkaran hitam di bawah matanya, dan rambutnya yang rontok adalah bukti jika dia sedang tidak baik-baik saja. Di saat semua orang memiliki sandaran dan pelukan dari seseorang, di sinilah Keeyara... hanya bisa menangis dan memeluk dirinya sendiri di kegelapan kamarnya.

"Tuhan... bisakah Kau membawaku? Aku sangat lelah menjalani hari-hariku. Hidupku menjijikan dan memuakkan, kenapa aku tidak bisa mati saja?"

Keesokan harinya, di siang hari yang terik, Keeyara duduk di samping makam sang Ibunda. Ukiran atas nama Zhanna tertulis sangat indah di batu nisan. Sambil membelai batu nisan tersebut, Keeyara tersenyum tipis.

"Aku harap Ibu masih mengenaliku dengan wajahku sekarang..." bisik Keeyara sambil menyimpan setangkai bunga mawar di dekat batu nisan Ibunya.

"Ibu... semenjak Ibu tidak menemaniku, Ibu tahu apa yang terjadi padaku? Ku kira aku akan menangani masalahku dengan baik, namun ternyata aku salah besar. Aku tidak bisa meyakini diriku sendiri jika semuanya akan baik-baik saja, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk menangani itu, aku dengan bodohnya menahan semuanya dan membiarkan semuanya memburuk." Keeyara mulai berbicara, membayangkan jika Ibunya sedang duduk di depannya sambil tersenyum hangat saat mendengarkan keluh kesahnya.

"Aku berpikir akan lebih baik untuk menemui Ibu daripada harus menjalani hidup seperti ini. Aku sudah tidak sanggup lagi karena merasa lelah, dulu aku selalu memiliki energi dan bersemangat, namun kali ini tidak ada. Banyak sekali orang di dunia ini, tapi aku selalu merasa sendirian." suaranya kini bergetar, air mata jatuh ke pipinya.

Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk membuat Keeyara segera menyeka air matanya, ia pun mengeluarkan ponselnya dan memeriksa pesan masuk dari asisten pribadinya, William Arshaka. Kedua pupil matanya melebar saat membaca setiap kata per kata yang dikirimkan oleh laki-laki itu, ia pun langsung bangkit dan segera pergi setelah berpamitan kepada sang Ibunda.

Di perusahaannya, Keeyara berlari menuju lift, mengabaikan semua mata yang tampak terkejut saat melihatnya. Bahkan saat dia sudah berada di dalam kotak yang pengap itu, Keeyara mengabaikan bisikan dari beberapa karyawannya.

Satu menit kemudian, pintu lift terbuka, Keeyara pun segera keluar dan berlari menuju ruang rapat. Langkahnya cepat dan terarah, bahkan ia tidak lagi peduli dengan pergelangan kakinya yang mulai sakit karena dia berlari menggunakan high heelsnya yang mahal.

"Rapat dewan darurat ini mengenai pergantian CEO dan pemegang saham terbesar di Fushion Group." ucap asisten pribadi John, Caesar Lombardi, membuat beberapa dewan yang telah hadir dalam rapat itu terdiam.

Seorang pria yang memiliki perut buncit dan berkacamata memberanikan diri untuk mengangkat tangan. John yang melihatnya memberinya anggukan kecil untuk menyuruhnya mengeluarkan suara.

"Bukankah pemilik Fushion Group adalah Nona Keeyara Jaslene? Apakah Anda sudah mendapat izin darinya, Tuan?" John tersenyum tipis, membenarkan posisi duduknya di kursi dan menautkan jari-jarinya di atas meja sambil menatap satu per satu orang yang ada di dalam ruangan tersebut.

"Saya sudah mendapatkan izin darinya, saya mengerti jika kalian mencemaskan perusahaan yang saat ini sedang berada di situasi yang genting. Saya memanfaatkan kesempatan ini untuk mengubah rasa asam menjadi manis. Mulai sekarang, Vogue Verse Group akan mengambil alih Fushion Group."

Bisikan demi bisikan terdengar cukup keras di ruangan tersebut, membuat John tampak puas. Ia pun mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan saat ia kembali berbicara.

"Tentu saja saya akan memberikan para eksekutif perlakuan yang lebih baik, saya yakin ini akan menjadi sangat luar biasa saat kalian bekerja sama dengan saya."

Para dewan perusahaan saling menatap satu sama lain, merasa sangat tergiur dengan tawaran John. Perlakuan khusus... siapa yang akan menolak itu? John melirik ke arah Caesar dan memberinya anggukan kecil, membuat laki-laki itu berdehem. Sementara itu, William masih terlihat santai saat mengawasinya dari sudut ruangan, tampak tenang sambil sesekali memeriksa arloji di pergelangan tangannya untuk mengecek waktu.

"Baiklah mari kita segera memungut suara dengan mengangkat tangan bagi mereka yang menyetujui pergantian CEO." ucap Caesar di depan microphone, sambil memperhatikan orang-orang di sana.

Tidak butuh waktu lama, untuk semua orang yang ada di sana mengangkat tangan mereka, menyetujui pergantian pemimpin perusahaan tersebut tanpa ragu-ragu. John puas dan langsung menyeringai, namun seringainya tidak bertahan lama saat pintu ruang rapat terbuka lebar, memperlihatkan Keeyara yang memasuki ruangan tersebut dengan napas terengah-engah. William merasa lega saat wanita itu datang, dia pun segera menghampirinya dan berdiri dengan percaya diri di samping Keeyara, menunjukkan kesetiaannya.

"Pimpinan Jaslene," bisik orang-orang yang ada di sana.

03

Suara tamparan terdengar cukup keras, membuat semua orang di ruangan tersebut terkejut dan membelalakkan mata. Pimpinan mereka... telah menampar suaminya sendiri di depan umum. Kedua mata Keeyara berkilat penuh amarah, namun hal itu tidak membuat John mundur. Sebaliknya, dia tersenyum, mengabaikan rasa perih di pipinya.

"Perusahaan ini aku bangun dengan usahaku sendiri, aku bahkan bertumpah darah untuk membangun semuanya, tapi kalian..." Keeyara memperhatikan para dewan perusahaan yang kini menundukan kepala mereka karena malu.

"Semua yang telah kalian lakukan di perusahaan ini bahkan tidak aku ungkapkan. Korupsi, penggelapan dana, penyalahgunaan jabatan, dan bahkan pelecehan seksual di tempat kerja," Keeyara memukul meja di depannya keras-keras, membuat semua orang tersentak. Ruangan berubah menjadi hening, dipenuhi ketegangan yang tak terucapkan.

"Dan kalian langsung menyetujui ajakan orang lain hanya dengan iming-iming perlakuan khusus? Apakah aku akan membiarkannya?"

"Orang lain? Aku ini suamimu, Keeyara. Kau sendiri yang sudah menandatangani dokumen pengalihan jabatan itu," balas John dengan santai.

Keeyara mengambil dokumen di atas meja dan merobeknya dengan marah, merasa tertipu. John mengangkat sebelah alisnya, namun dia tidak bisa menyembunyikan senyum sinisnya saat melihat reaksi keras istrinya itu.

"Istriku... bukankah akan lebih baik bagimu untuk berdiam diri di rumah sementara suamimu mengurusi semuanya? Pekerjaanmu biar aku yang tangani, kamu hanya perlu duduk manis dan mempercantik diri. Apa pun yang kamu inginkan, aku akan memberikannya kepadamu," ujarnya dengan nada mengejek.

Keeyara menghembuskan napas, menatap John dengan pandangan tidak percaya, lalu melangkah maju mendekatinya. Wajahnya hanya beberapa inci dari John, tatapannya tajam seperti silet.

"Kau pikir aku wanita yang hanya bisa mengurus pekerjaan rumah? Maaf, tapi itu bukan cara kerjaku dan juga bukan gayaku, John. Aku tidak seperti Ariel, wanita yang rela merentangkan kakinya demi perhatian seorang bajingan sepertimu, mengubah gaya hidupnya menjadi seolah-olah dia adalah nona kaya yang memiliki banyak harta. Tapi apakah kau tahu? Dia masih Ariel si jalang, dan seumur hidupnya dia akan selalu dikenal sebagai wanita yang sama."

"Keeyara, kau-"

"Dan kau. Kau juga sama, kau seorang bajingan dan jalang yang hanya di tutupi oleh gender mu saja. Yang gatal mencari-cari wanita yang rela untuk memuaskan nafsumu, kau tidak jauh seperti seekor anjing yang sedang birahi, dan itu sangat menjijikan." Keeyara sengaja menekan setiap kata-kata yang di ucapkannya dan itu berhasil memancing reaksi dari John, namun pria itu masih berusaha untuk mengendalikan diri agar tetap tenang. Wanita itu kini berbalik, menatap semua orang di ruangan itu dengan pandangan meremehkan, ia pun berjalan menuju pintu, diikuti oleh William dari belakang.

"Menjijikan, mengapa orang-orang yang pantas mati malah berumur panjang? Dia seharusnya mati karena sudah mengotori bumi." gumamnya cukup keras, sedangkan wajah John kini sudah merah padam karena marah, memperhatikan istrinya yang telah menghilang dari pandangannya.

Di malam hari, dengan tenang Keeyara menyetrika bajunya di ruang tamu. Ariel menghampirinya dan melemparinya baju-baju baru yang belum di setrika. "Jangan lupakan bajuku, baju John dan juga baju Dave, setrika yang benar." katanya dengan nada mengejek sebelum pergi ke dapur untuk membuat susu.

Keeyara menatap tumpukan baju itu tanpa ekspresi, pandangannya beralih dari setrika panas ke arah dapur tempat Ariel berada. Dengan perlahan, ia menarik kabel setrika dan bangkit, membawa setrika panas itu di tangan kanannya. Ariel, yang sibuk mengaduk susu untuk ia berikan kepada putranya, tidak menyadari langkah Keeyara yang mendekatinya dari belakang.

Saat Ariel berbalik karena merasakan sentuhan lembut di pundaknya, rasa panas dan sakit menjalar di pipi kirinya begitu Keeyara menempelkan setrika itu di sana, membuat Ariel menjerit dan menangis kencang. Keeyara melangkah mundur dan menjatuhkan setrika itu ke lantai. Senyuman puas tersungging di bibirnya saat melihat Ariel yang kini duduk di lantai sambil memegangi wajahnya yang terasa sangat sakit, tatapannya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atau belas kasihan.

"Mengerti, bukan? Itulah yang aku rasakan saat kau menuangkan air panas kepadaku."

Dari belakang Keeyara, John muncul dengan langkah cepat. Matanya melebar saat ia menyaksikan situasi yang mengerikan di depannya, Ariel yang terus menjerit kesakitan sementara Keeyara memandanginya dengan tatapan penuh kepuasan. Rasa amarah membakar dadanya, dan tanpa ragu, John mendekati Keeyara. Dengan satu dorongan keras, ia mendorong wanita itu ke samping. Membuat Keeyara yang tidak siap menghadapi serangan mendadak itu, terjatuh dengan kepalanya yang membentur ujung meja makan dengan keras.

"Wanita sialan, apa yang telah kamu lakukan?!" bentak John sambil berlutut di samping Keeyara dan menarik kerah baju yang di kenakan oleh wanita itu, Keeyara hanya tertawa geli, namun dahinya mulai mengeluarkan darah segar.

"Jawab aku, dasar pelacur!" teriak John.

Wanita itu memandangi wajah suaminya yang kini memburam, bukan karena air mata, melainkan akibat benturan yang menggetarkan kesadarannya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri dan pusing, hingga beberapa detik kemudian, semua yang dilihatnya menjadi gelap.

Jam demi jam berlalu. Perlahan, Keeyara membuka kedua matanya. Ia menatap langit-langit ruangan yang bercat putih tulang, aroma antiseptik yang menyengat menusuk hidungnya. Dengan penuh ketidakpastian, ia melirik ke samping, melihat punggung tangannya yang terhubung dengan selang infus. Rasa panik mulai menguasai dirinya. Dalam sekejap, Keeyara duduk dan dengan cepat melepaskan selang infusnya.

Ketika kakinya menyentuh lantai yang dingin, sebuah kilasan cahaya menarik perhatiannya. Di sudut matanya, ia melihat ponsel dan kunci mobil John yang tergeletak di atas nakas. Tanpa berpikir panjang, nalurinya untuk melarikan diri mengalahkan segala keraguan. Ia meraih barang-barang tersebut dan segera berlari meninggalkan ruangan rawat inapnya, hatinya berdebar kencang dalam ketegangan yang tak terlukiskan.

Sementara itu, saat John memasuki kamarnya untuk memeriksa sang istri, jantungnya seketika berdegup kencang melihat tempat tidur tersebut kosong. Rasa panik melanda dirinya, dan tanpa berpikir panjang, ia segera berlari keluar ruangan. Langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit yang dipenuhi oleh suara riuh pasien dan keluarga yang menunggu. Dalam keadaan cemas, John berusaha menenangkan pikirannya, namun ketidakpastian membuatnya semakin gelisah.

Akhirnya, ia tiba di resepsionis. Dengan napas yang masih terengah-engah, ia memukul meja marmer di depannya dengan penuh ketidak sabaran, "Di mana istriku?!" tanyanya dengan nada mendesak, berharap mendapatkan jawaban yang bisa meredakan kecemasan yang menggerogoti hatinya.

"Cek kamera pengawas, istriku menghilang, cepat!!"

Disisi lain, Keeyara berlari menuju tempat parkir, mencari mobil John dengan penuh kecemasan. Begitu mendapatinya, dia segera membuka kunci mobil tersebut dan melesat masuk ke dalamnya. Dengan tangan yang gemetar, dia berusaha memasang sabuk pengaman, dan setelah berhasil, tanpa membuang waktu lagi, dia mengemudikan mobilnya keluar dari basement.

Wanita itu memaksimalkan kecepatan mengemudinya, tak peduli jika dia akan dikenakan denda. Kepalanya masih terasa sakit dan pusing, tetapi rasa sakit itu justru memicu adrenalin dalam dirinya, membuatnya semakin menekan pedal gas dan menambah kelajuan mobil.

Di tengah perjalanan yang penuh ketegangan, tiba-tiba ponselnya berdering. Melihat nama William tertera di layar, Keeyara tidak berpikir panjang. Dengan cepat, dia mengangkat telepon itu, berharap suara William bisa memberinya sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang melanda pikirannya.

"William-"

"Nona, nona ada dimana-"

Suara William terputus, di gantikan oleh suara bariton yang sangat di kenalinya, Ayahnya—Dante Russo. Dengan begitu kasar, pria itu mengungkapkan kata-kata makian kepadanya.

"Anak tidak berguna, bagaimana bisa kamu melakukan hal bodoh seperti itu?! Ariel terluka karena tingkah laku mu yang bodoh, sialan! untuk apa aku membesarkanmu jika yang kau lakukan hanya terus mempermalukan ku?! dasar anak tidak tahu diri, mati saja kau! aku tidak membutuhkan anak bodoh sepertimu!"

Saat Ibu bertanya apakah aku membenci Papa, seharusnya saat itu aku menjawabnya. Aku sangat membencinya, dia tidak memiliki peran apapun dalam hidupku. Saat aku membutuhkan dukungan... dia tidak pernah ada untukku. Ketika aku selalu menangis di malam hari dan berharap hubunganku dengannya akan baik, karena itulah satu-satunya yang aku inginkan.. namun aku tahu, jika itu hanyalah mimpi bagiku.

Keeyara langsung menutup panggilan tersebut, dadanya terasa sesak. Dia menangis pilu sambil memukuli roda kemudi, air mata mengalir deras yang membuat pandangannya kabur. Wanita itu segera menarik napas dalam-dalam dan menjambak rambutnya sendiri. Rasa pusing kembali mengusiknya, tetapi ia semakin mempercepat laju mobilnya. Tanpa sadar, ia melewati lampu lalu lintas yang sedang bewarna merah. Dari belokan kiri, sebuah truk melaju cepat ke arahnya. Sebelum ia sempat menghindar, truk itu menabraknya, menyeret mobil suaminya hingga beberapa meter jauhnya dari tempat awal ia tertabrak.

Aku salah... mengapa dunia selalu menghakimiku tanpa tahu kebenaran di balik kisah hidup yang aku miliki? Melihat semua orang yang mencaci makiku, apakah mereka tahu apa yang telah aku jalani selama ini? Bagaimana aku hidup... bagaimana aku melawan kekhawatiranku dan bagaimana aku di perlakukan.

Namun...

Saat aku berkata jika aku ingin mati... Aku hanya ingin dunia menjadi baik-baik saja untukku.

Nafas Keeyara terputus-putus saat melirik salah satu mobil Porsche yang terkena dampak dari tabrakan tersebut; mobil itu tampak hancur. Karena jendela mobilnya yang berwarna hitam pekat, ia kesulitan melihat orang di dalamnya. Darah mengalir segar di pelipis Keeyara, dan kondisi di dalam mobil pun begitu berantakan. Asap mulai mengepul ke udara, pandangannya terasa kabur, dan ia mulai merasakan kantuk.

Tapi semoga di tengah perjalanan hidupku selanjutnya... tidak akan ada lagi hal yang membuatku ingin berhenti untuk hidup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!