Aku adalah mahasiswi yang mengambil jurusan manajemen disalah satu universitas dikota Yogyakarta. Orang memanggilku Sasha. Nama yang paling sederhana saat disebut daripada panggilan lainnya karena namaku sedikit rumit. Sashalissa Chalissasea Halim.
Hari-hariku biasa saja, sampai aku bertemu dengan dia. Dia, seorang mas-mas yang menolongku saat aku terjatuh di parkiran motor.
“Aaakhh..” Pekik suaraku saat aku terjatuh dari motor ketika akan memarkirkannya. Seseorang yang habis memarkirkan motornya berlari kearahku dan menolongku.
“Kamu nggak papa? Sakit nggak kakinya?” Dia menarik tanganku selepas mengangkat motor yang menindih kaki kananku.
“Eh nggakpapa kok mas, cuman lecet dikit hehe.”
“Beneran nggakpapa? Mau dianterin ke klinik kampus dulu nggak?”
“Beneran mas udah nggakpapa.”
“Yaudah lain kali hati-hati ya. Kalo gitu aku duluan.”
“Iya mas.”
Sebenarnya rasa sakit itu tidak seberapa, tapi rasa malunya membuat wajahku tertahan menjadi merah. Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang membuatku memukul kepalaku sendiri.
“Aduh.. lupa!! Kenapa aku nggak ngucapin makasih ya tadi. Oon banget sih kamu Sha. Eh tapi keliatannya mas-mas yang tadi juga lagi buru-buru sih. Tapi kok nggak pernah liat ya? Ah mungkin dari jurusan lain. Parkiran sini kan untuk satu fakultas. Hmm.. yaudah lah”
***
Setelah kelas berakhir, waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Saat itu aku akan bersiap-siap untuk pulang. Kemudian Zizi menghampiriku.
Zizi adalah teman satu kelas denganku. Pertama kami kenal saat ospek dihari pertama. Keadaan mengalir begitu saja dan dia sangat enak diajak ngobrol. Sejak hari itu aku dan Zizi menjadi teman baik.
“Sha, kamu langsung pulang nih?” Kata Zizi.
“Iya nih Zi. Takut diomelin kalo telat”
“Hahaha protektif banget orang tua kamu. Padahal aku mau ngajak jalan kamu loh.”
“Yah..Zi.. kamu nggak bilang sih dari kemarin. Tau gitu kan aku bisa izin dulu ke ayah. Besok-besok deh ya”
“Okelah Sha. Yaudah aku juga mau balik kos aja. Ati-ati ya jangan sampe jatuh lagi diparkiran kaya tadi hahaha.” Dia tertawa sambil berlalu pergi.
“Ah dasar si Zizi. Bahagia banget dia tahu temennya malu saat jatuh tadi. Tahu gitu nggak cerita sama dia.”
Tiba-tiba mataku terbawa kepada satu titik dimana aku tidak bisa mengalihkan pandangan. Aku seperti melihat sosok yang tidak asing lagi bagiku. Dia berjalan kedepan yang lama-kelamaan mendekat ke arahku. Tapi dia berjalan agak menunduk dan sepertinya tidak melihatku. Aku ingat sosok itu. Mas-mas yang tadi siang nolongin aku di parkiran.
“Duh sapa nggak ya.. sapa nggak ya…. masa iya sih aku harus pura-pura nggak kenal trus berlalu aja. Ah gak sopan banget dong. Ah bodo ah, samperin aja”
Ketika Mas-mas tadi berjalan kearahku, dia juga melihatku. Sepertinya mata kita bertemu dan inilah saat yang tepat aku mengucapkan makasih ke dia.
“Eh, m-maaf mas, mas yang tadi kan ya? Makasih ya mas udah nolongin aku tadi siang, malah lupa belum sempet bilang makasih hehe.”
“Oh..kamu. Iya sama-sama. Gimana kakinya, udah sembuh? Trus kamu mau kemana ini?”
“Udah nggakpapa mas. Ini aku mau balik pulang mas, soalnya cuman 2 mata kuliah aja, jadinya cepet. Kalo masnya sendiri?” Ucapku sedikit canggung.
“Aku mau balik juga, abis bimbingan tadi.”
“Oh udah semester akhir ya mas?”
“Iya, jurusan manajemen dan udah semester akhir. Kalau kamu?”
“Oh masnya jurusan manajemen juga? Aku juga jurusan manajemen mas soalnya. Tapi kalau aku maba mas hehe. Masih semester 1.”
“Kita malah belum kenalan ya. Kenalin aku Herdi. Herdiansyah Wijaya.” Mas Herdi sambil mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan denganku.
Sambil menjabat tangannya dan tersenyum, aku bilang..
“Aku Sashalissa Chalissasea Halim mas.”
“Hah? Siapa siapa?” Dia sambil senyum simpul dan merasa heran.
“Panggil aja Sasha mas hehe. Ribet namanya”
“Haha nggak kok, lucu nama kamu."
Begitulah pertemuan pertamaku dengan Mas Herdi. Ternyata dia sudah semester akhir yang menandakan dia juga akan segera lulus. Aku kira... aku bisa berteman dengannya karena satu jurusan, tapi aku aja malah baru banget masuk kuliah.
🎬⚘
Kampus
Hari-hari berlalu dan aku tidak lagi menemukan sosok mas-mas yang aku cari di sudut fakultas ini. Bodohnya, kenapa aku malah jadi kepikiran. Entah bagaimana rasanya aku ingin berteman dengannya karena dia bersikap baik padaku atau….
“Sha..!! Ngapain sih ngalamun aja. Kosong banget tu pandangan kaya lagi mikir negara.”
“Apaan sih Zi, ngagetin aja ih”
“Jangan-jangan bener ya?”
“Hahaha udah ah ayok makan aja, laper kayaknya kamu. Omongannya udah ngelantur kemana-mana” Jari telunjukku mengarah ke Zizi.
“Ayokkk gassss… Sha, makan di tempat baru deket kampus aja yuk. Enak tau tempatnya. Adem, bisa buat makan, nongkrong, sama ngerjain tugas.”
“Boleh deh ayuk. Kamu yang bawa motor ya haha aku capek.”
“Siap tuan putri!”
Layaknya melayani seorang putri, ia memegang bagian pundah bawah sebelah kiri dan menundukkan kepala.
***
Cafe
Ketika sudah masuk dan menunggu pesanan makanan, Zizi pergi ke toilet dan membuatku menoleh kekanan dan kekiri karena bosan. Kaget campur excited ketika aku melihat orang yang aku cari di fakultas ternyata ada ditempat ini. Mas Herdi. Iya, sudah pasti itu dia. Aku masih ingat betul bagaimana wajahnya. Tapi sepertinya dia sedang sibuk dengan temannya. Menyalakan laptop, mengetik, dan sibuk membolak-balikkan buku yang terlihat tebal. Sedang mengerjakan tugas sepertinya.
“Sha, udah belum sih ni makanannya. Laper nih…” Celetuk Zizi saat balik dari toilet.
“Sabar… orang sabar nanti aku sayang.”
“Dih. Mending disayang sama Mamas aku hahaha..”
“Hmmmn…. Iya deh iya yang punya Mamas (pacar).”
“Sha, cepetan kek kamu cari pacar. Biar kita bisa double date gitu.”
“Yaa pengennya sih gitu Zi, tapi males ah ribet. Sama aja pacaran kalo banyak larangannya. Aku nggak yakin mereka bakalan tahan sama wejangan-wejangan dari ayahku yang aneh-aneh. Nggak boleh inilah, nggak boleh itu lah.”
“Hahaha.. udah gede juga, masa segitunya sih. Kok bisa sih Sha ayah kamu gitu banget?”
“Haha iya, panjang ceritanya.” Jawabku seadanya.
Sebenarnya ada suatu alasan yang membuat ayah membatasiku jika aku berhubungan dengan seorang laki-laki. Tapi cerita itu terlalu sakit untuk diceritakan sehingga aku enggan membahasnya dengan sahabatku, Zizi.
Setelah makan dan sudah kenyang, Zizi mengajakku untuk pulang. Rasanya aku masih ingin disini karena ada Mas Herdi yang duduk terpaut jauh diseberang sana.
Aku hanya memperlambat waktu dan berharap Mas Herdi melihatku sebelum aku pergi. Dan ternyata keinginanku terkabul. Berdebar rasanya melihat Mas Herdi berjalan menuju kearah meja kami.
“Sasha.. Sasha kan?”
“Eh iya mas. Mas Herdi ya?” Aku pura-pura terkejut kalau Mas Herdi ada ditempat ini juga.
“Udah lama Sha? Kok aku nggak liat ya.”
“Hehe iya mas, lumayan lama sih mas. Mas Herdi nggak liat karena sibuk nugas kali.”
“Eh kok tau?”
Seketika aku gugup dan mencari alasan.
“Eh, mmm… itu kan Mas Herdi lagi bawa laptop sama buku-buku. Berarti lagi nugas kan ? hehe”
...“Ah ini, iya abis revisi setelah kemaren bimbingan. Oh iya Sha, kenalin ini temen aku Bima.”...
Sesaat kemudian aku juga ngenalin Zizi ke Mas Herdi dan sebaliknya, Mas Herdi mengenalkan temannya kepadaku dan Zizi.
Setelah ngobrol beberapa saat, aku dan Zizi pamit balik duluan karena hari sudah sore, sedangkan Mas Herdi dan Mas Bima temannya masih ditempat itu.
***
Ketika sudah keluar dari tempat makan itu, Zizi sudah menaiki motor, memakai helm, dan sedang sibuk mencari karcis parkir yang disimpannya. Sedangkan aku masih berdiri dibelakang Zizi dan sibuk memakai jaketku. Tiba-tiba Mas Herdi setengah berlari menghampiri dan memanggil namaku. Seketika juga aku menolehnya.
“Sasha..!” Teriak Mas Herdi.
“Eh iya mas, kenapa?”
“Ada yang ketinggalan.”
“Hah? Apa mas?”
Aku sibuk mengecek dompet, ponsel, dan barang lainnnya ditasku. Tapi aku tidak menemukan sesuatu yang rasanya hilang.
Mas Herdi tersenyum simpul dan memandangku.
“Bukan, bukan barangmu yang ketinggalan. Tapi nomor teleponmu. Boleh aku minta nomor kamu?”
Entah mengapa pipiku sedikit hangat dan memerah.
“Oh..aku kirain apa mas. Ini mas 08XX XXXX XXXX.”
“Oke makasih ya Sha. Nanti aku hubungin kamu. Hati-hati ya pulangnya.” Mas Herdi senyum sambil berlalu.
“Ehemm… duh tanda-tanda nih Sha.” Celetuk si Zizi.
“Ck. Apasih. Udah yuk pulang aja. Aku anterin kamu ke kos abis itu aku langsung balik ya”
***
Rumah
Sesampainya dirumah entah mengapa hatiku sangat riang seperti menang lotre. Aku bernyanyi sambil memasuki kamarku.
“Hmm hmm hmm na na na naa…”
“Bu, kenapa tuh Kak Sasha? Kesambet apaan ya dia? Biasanya pulang-pulang mukanya kucel pucet pasi nyebelin. Tapi kok tiba-tiba happy gitu.” Tanya Sandra pada Ibu.
“San..! Aku denger ya kamu bilang apa.” Sahutku dari kamar.
“Hhhh.. nggak tau tuh dek, kakakmu lagi menang lotre kali.”
***
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku membawa ponselku kemana-mana dan berharap Mas Herdi segera menghubungiku. Aku sudah duduk berjam-jam menunggunya. Hingga tak sadar, aku terus memencet-mencet remot tv karena bosannya.
Ketika terasa mengantuk, aku berjalan lunglai menuju kamar dan merebahkan diri sambil mengecek ponselku sekali lagi. Tetap sama, tidak ada panggilan atau pesan yang masuk. Aku tertidur menunggu Mas Herdi menghubungiku dengan perasaan kecewa. Tapi tunggu, kenapa aku harus merasa kecewa?
***
Sementara itu ditempat lain,
"Telfon nggak ya telfon nggak ya.." Ujar laki-laki yang penuh kebingungan saat memegang ponselnya.
🎬⚘
Kampus
Lelah rasanya kuliah dari pagi hingga sore. Hari ini benar-benar padat dan rasanya aku ingin segera pulang merebahkan diri. Sementara itu, sudah 3 hari sejak Mas Herdi meminta nomor ponselku tapi ia tak kunjung menghubungiku juga. Aku pandangi layar ponselku dan membuat moodku semakin jelek. Kulihat jam ditangan sudah menunjukkan pukul 3 sore.
Drrrtttt Drrrtttt….
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku kaget sekaligus merasa senang. Ketika aku membukanya, ternyata itu ibu. Hmm.. kalian sudah pasti tahu bagaimana raut wajahku saat ini.
“Iya, halo bu?”
“Sha, Sha kamu dimana?”
“Di kampus bu, bentar lagi mau pulang. Gimana bu?”
“Adekmu Sha… adekmu!”
“Sandra ?! Sandra kenapa bu, ada apa ??!” Tiba-tiba aku berdiri dari tempat dudukku.
“Adekmu akhirnya mendapatkan bulanannya Sha, nanti kalau pulang nitip pembalut ya.”
“Hmmmmm….. ibu bikin panik aja. Iya nanti aku beliin pas sekalian pulang. Udah dulu ya bu. Assalamualaikum.” Ku tutup telfonku.
Beberapa detik kemudian ponselku kembali berbunyi.
Drrtttt Drrtttt Drrtttt……
Aku langsung mengangkatnya.
“Iya ibuku sayang.. nanti Sasha beliin pembalutnya.. mau yang sayap atau bukan, biar ibu nggak telfon lagi.”
“Halo Sha, ini aku Herdi.”
Whatsssss....!!!
Mataku terbelalak kaget sekaligus malu. Aku menutup mulutku dengan tangan kananku. Kupejamkan mataku sejenak. Entah mengapa rasa malunya naik sampai ubun-ubun.
“Aduh.. maaf ya mas aku kira ibu Sasha mas. Duh jadi nggak enak udah omong yang enggak-enggak." Tanganku sibuk memukul-mukul kepalaku sendiri.
“Haha.. nggakpapa Sha santai. Sekarang kamu lagi dimana Sha? Bisa ketemu sebentar?”
“Mmm.. dikampus sih mas, tapi mau pulang mas.”
“Bisa ketemu sebentar aja Sha, gimana? Aku aja deh yang kesitu. Kamu tunggu situ ya.”
“I-iya mas.”
Aku menunggu Mas Herdi di lobby fakultas. Aku harap saat Mas Herdi datang nanti, ia tak mendengar degup jantungku yang semakin kencang. Rasanya sama sekali tidak nyaman tapi disisi lain juga senang.
Beberapa menit kemudian aku melihat seorang yang berbadan tinggi tegap menuju kearahku. Tingginya kira-kira 175cm atau lebih. Sedangkan saat kita berhadapan kira-kira aku hanya setinggi dadanya atau mungkin dagunya.
“Sha, maaf ya nunggu lama.”
“Enggak kok mas, santai. Ada apa mas kok ngajak ketemu?”
“Ada yang mau aku omongin ke kamu, tapi duduk dulu boleh? Aku ngos-ngosan nih lari kesini.” Ujarnya dengan nafas yang masih tersengal.
“Hahaha.. iya mas.”
Sesaat kemudian, Mas Herdi memulai pembicaraan.
“Maaf ya Sha aku belum ngehubungin kamu kemaren-kemaren. Aku kemaren udah sidang Sha.”
“Hah?? Serius mas?? Kapan?? Yah… akunya nggak tau. Selamat ya mas btw udah lulus. Makan-makan nih haha."
“Boleh, mau kapan?”
“Eh, enggak kok mas bercanda” Jawabku gugup ketika ajakanku di-iyakan oleh Mas Herdi. Padahal cuman sekedar basa-basi.
“Nggakpapa Sha. Aku juga udah niat mau ngajak kamu keluar.”
“Mmm.. tapi mas akunya udah mau balik sekarang.”
“Haha nggak sekarang juga kali Sha.”
Lucu banget anak ini, gemes. Batin Herdi.
“Haha jadi malu. Tapi mas, aku harus izin dulu ke ayahku, dan belum tentu juga sih mas dizinin atau enggaknya. Soalnya ayahku protektif banget kalau tahu aku pergi sama cowok hehe..” Balasku sedikit canggung.
“Oh gitu, nggakpapa Sha aku ngerti. Atau kamu shareloc aja biar aku yang jemput kamu sekalian minta izin ke ayah kamu”
“Eh nggak usah mas nanti ngerepotin.”
“Nggakpapa, nanti kalau udah pulang jangan lupa shareloc ya Sha aku tunggu. Dan lagi, aku ketemu kamu karena aku pengen ngundang kamu dateng ke acara wisuda aku 2 bulan lagi”
“I-iya mas. Aku usahain dateng.” Jawabku sambil tersenyum.
***
Rumah
Ketika sampai rumah, aku senyum-senyum sendiri setelah apa yang terjadi di lobby tadi. Aku berpikir mengapa Mas Herdi mengundangku ke acara wisudanya? Berarti nanti ada orang tuanya juga ya? Yaampun kok jadi deg-degan gini sih.
“Kak, gimana pesanan ibu tadi? Aku mau pake nih.”
“Hah?! Yaampun San aku lupa hahaha.."
“Ih gimana sih Kak. Ibu…ibuuuu! Nih Kak Sasha nggak jadi beliin itunyaaaa ih!”
“Nggak usah gitu-gitu banget napa. Hmmm. Kamu nggak pake kain-kain bekas dibelakang aja San? Biar lebih hemat? Hahaha..”
Sandra melemparku dengan bantal kecil yang berada di sofa ruang tengah.
“Hahaha… iya-iya aku beliin ke toko sebelah bentar”
🎬⚘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!