NovelToon NovelToon

My Introvert Husband

PROLOG

Sore itu, Seorang perempuan terlihat duduk melamun seorang diri didalam kamarnya. ia duduk dengan memeluk lutut di dekat jendela yang ada di dalam kamar tersebut.

perempuan itu tak lain ialah Kikan. seorang perempuan cantik yang baru saja menginjak usia 23 tahun. Kala itu raut wajah Kikan terlihat nampak bingung. sebab, ia sedang memikirkan keinginan ibunya yang mendesak dirinya agar segera menikah. bukankah ini sebuah keinginaan yang sulit di wujudkan oleh Kikan ? .

Bagaimana mau menikah? sedangkan saat ini tidak ada satupun seorang laki - laki yang mendekatinya! mungkin karna kikan sangatlah berbeda bukan seperti perempuan pada umumnya yang mampu beradaptasi dengan lawan jenisnya.

dia tidak mudah bergaul dan hanya nyaman berteman dengan kelompok kecil saja. Kikan sangatlah pendiam. namun, itu semua berlaku jika di hadapan orang asing maupun orang yang baru saja ia kenal. Lamunan Kikan tiba - tiba membuyar ketika suara ketukan pintu memecahkan keheningan di dalam kamarnya.

"Kikan, kamu sedang apa di dalam, Nak. di luar ada tamu. tolong buatkan minum," terdengar suara teriakan seorang wanita dari luar kamar Kikan. Suara tersebut tak lain ialah suara Ibu Kikan yang bernama Ny. Merry.

Kikan pun beranjak dari duduknya dan membukakan pintu kamar tersebut. seketika itu Kikan mengiyakan perintah Ibunya. entahlah, siapa yang ber-tamu di sore hari seperti ini. Kikan berlalu menuju ke dapur dan mulai membuatkan teh hijau hangat untuk tamu yang di maksud oleh ibunya tadi. Seusai itu, Kikan keluar dari dapur dan menuju ke ruang tamu dengan membawa sebuah nampan yang tertata cangkir berwarna putih berisi teh hijau di atasnya.

Di ruang tamu, Kikan melihat Ibunya sedang duduk dengan seorang wanita paruh baya yang tak asing di kedua matanya. wanita itu menepiskan senyumnya saat melihat Kikan. Kikan juga membalas senyuman wanita itu. Wanita itu tak lain ialah Ny. Lilis, yang tak lain tetangga Kikan waktu di skotlandia.

Ny. Lilis ialah seorang warga negara indonesia yang menikah dengan orang London yang bernama Tn. Robert namun sayangnya suami Lilis meninggal beberapa tahun yang lalu di karenakan sakit. Lilis memiliki dua orang anak laki - laki dan salah satu anak dari Lilis yang bernama Alka ialah teman masa kecil Kikan.

"Silahkan Tante," kata Kikan dengan menyodorkan cangkir berisi teh tersebut di atas meja tepat di depan wanita itu.

"Kamu Kikan?" tanya Lilis. Kikan mengiyakan dan menganggukan kepalanya.

"Wah, sekarang sudah besar kamu ya, Nak. semakin cantik," puji Lilis. Kikan hanya membalas pujian itu dengan tersenyum malu.

"Nak, apa kamu ingat? ini Tante Lilis Mamanya Alka teman kecil kamu waktu kita dulu masih tinggal di Skotlandia?" tanya Ibu.

"Iya Bu, Kikan masih ingat dengan Tante Lilis," ucap Kikan.

"Kikan, kemarilah duduk di samping Tante," pinta Lilis. Kikan mengiyakan dan mendudukan tubuhnya disamping wanita itu.

"Apa kamu masih kuliah atau sudah bekerja?" tanya Tante Lilis seraya memegang bahu Kikan.

"Kikan kuliah sambil bekerja part time Tante, tetapi kuliah Kikan hampir selesai, ini hanya menunggu sidang skripsi saja," jawab Kikan. rasanya ia begitu canggung.

"Apa kamu tidak lelah kuliah sambil bekerja?" tanya Lilis.

"Tidak Tante, kalau saya tidak bekerja kasihan Ibu saya banting tulang sendirian," jawab Kikan.

"Anak pintar. kamu yang berbakti ya, Nak. sama orang tua," tutur Lilis, tangannya bergerak dan memberi sentuhan halus membelai kepala perempuan yang saat ini duduk persis di sampingnya.

Ibu Kikan menatap Kikan dengan begitu haru. karna semenjak 4 tahun yang lalu ketika Ayah Kikan meninggal Kikan terpaksa membantu Ibunya banting tulang kuliah sambil bekerja agar bisa melanjutkan hidup bersama Ibunya.

Kikan ialah anak semata wayang dari Ny. Merry dan Tn. George. Masa kecil Kikan tinggal di Skotlandia. jarang sekali ada yang mau berteman dengan Kikan. karna dulu Kikan sangatlah tertutup dan memiliki wajah yang kurang menarik diantara teman-teman lainnya

dan Kikan selalu saja jadi bahan ejekan dan olok - olokan oleh semua teman – temannya,

terlebih lagi, keluarga Kikan tergolong sangatlah sederhana.

Waktu Kikan berumur 8 tahun ia dan keluarganya harus pindah ke Irlandia tepatnya di kota Dublin. Namun, lambat laun, Kikan ternyata tumbuh menjadi sosok gadis yang cantik dan pintar, namun. ia masih tetap sangat pendiam dan tertutup jika di hadapan orang asing atau orang yang baru saja ia kenal. jadi tak heran, banyak orang yang melihat Kikan terkesan angkuh. padahal sebenarnya tidak demikian.

dan tepat 4 tahun yang lalu, Ayah kikan mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia dan saat itu juga, kehidupan Kikan berubah, ia harus banting tulang membantu sang Ibu untuk melanjutkan hidup dan juga membiayai kuliahnya.

"Oh iya, Kikan. Tante ini baru beberapa hari pindah ke Irlandia, ikut anak – anak Tante di sini. Karna, anak – anak tante sudah lama tinggal di Irlandia. dan tadi, kebetulan sekali waktu tante pergi ke supermarket, Tante bertemu dengan Ibumu. jadi Tante sekalian mampir ke rumahmu," ucap Lilis dengan menepiskan senyumnya.

"Iya, Nak. untung Tante Lilis terlebih dulu menyapa Ibu. jika tidak, ibu tidak akan mengenali Tante Lilis. karna sudah 15 tahun tidak bertemu dan Tante Lilis sangat berubah sekali. sekarang semakin cantik dan awet muda," saut Ibu seraya tak henti - hentinya memuji Lilis hingga membuat perempuan paru baya itu tersipu malu.

"Iya Nyonya Merry, kita sudah lama juga ya tidak bertemu," ucap Lilis. Ibu Kikan pun mengiyakannya.

Kini, ketiga perempuan tersebut sedang asyik saling berbincang satu sama lain hingga melupakan waktu yang sudah hampir menjelang malam. Bahkan, sang senja terlihat membentang diluaran sana. Seketika itu, Lilis mengakhiri obrolan ringan dengan Ibu Merry dan juga Kikan, ia berpamitan kepada Ibu dan anak tersebut.

"Nyonya Merry, Kikan ... Tante pamit pulang dulu, ya. Karna, sudah hampir malam, maaf mengganggu waktu kalian berdua. jika ada waktu silahkan main ke rumah saya ya Nyonya, Kikan," pinta Lilis.

"Iya, Nyonya Lilis. Jika ada waktu senggang saya akan mengajak Kikan untuk bermain ke rumah Nyonya." ucap Ibu.

“Oh iya, Nyonya Lilis. jangan lupa mengabari kami melalui pesan singkat ya jika sudah sampai di rumah,” imbuh Ibu, karna tadi mereka berdua sempat bertukar nomer telepon.

"Baiklah, Nyonya Merry. nanti saya akan mengabari jika sudah sampai rumah," saut Lilis dengan penuh semangat.

"Terimakasih banyak ya, Tante Lilis. sudah mau berkunjung di gubuk kecil kami," ucap Kikan sembari menepiskan senyumannya yang setengah melingkar menghiasi wajah cantiknya tersebut.

"Sama - sama Kikan sayang," saut Tante Lilis, ia pun berlalu keluar dari rumah Kikan dan menaiki mobil miliknya. Lilis sejenak membuka kaca jendela mobil dan melambaikan tangannya kepada Kikan dan ibunya. setelah mobil yang di tumpangi oleh Lilis sudah tak terlihat dari pandangan mata, Kikan mengajak Ibunya untuk masuk kembali ke dalam rumah.

Hati bergetar

Seperti biasa, Kikan dan Ibunya menikmati makan malam

berdua di meja makan yang letaknya ada di belakang berdekatan dengan dapur.

Seusai itu,

Kikan berpamitan kepada Ibunya untuk kembali ke dalam kamar. ia merebahkan

tubuhnya di atas tempat tidur, tempat paling nyaman bagi Kikan untuk melamunkan

segala sesuatu halnya disana. Namun, tiba - tiba pikirannya terlintas akan

sosok teman masa kecilnya yang ia rasa begitu baik di antara teman -

teman  lainnya. teman masa  kecil Kikan yang  tak lain ialah

Alka anak bungsu Tante Lilis.

"Bahkan sudah 15 tahun, sejak hari itu aku tidak bertemu dengan Alka.  bagaimana kabar dia? apa dia sudah memiliki seorang kekasih? apa dia masih ingat denganku?" gumam Kikan. rasanya

pertanyaan - pertanyaan kecil itu begitu  memenuhi pikirannya saat ini.

"Astaga, kenapa aku jadi memikirkandia? Ah sudahlah, lebih baik aku tidur. besok aku harus menyelesaikan pekerjaanku di kantor," gumam nya kembali.

Kikan mematikan lampu kamar dan ia menarik selimut berwarna coklat untuk menyelimuti sekujur  tubuhnya. ia mulai mencoba memejamkan matanya. dan tak butuh waktu lama kikan pun tertidur dengan  di temani dinginnya malam.

 Dan keesokan paginya, Kikan  terlihat keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang terlihat begitu rapi. Blazzer berwarna dark grey yang membaluti tubuh lencirnya itu semakin menambah keanggunan dan kedewasaan  tersendiri bagi siapapun yang melihatnya.

 "Selamat pagi, Ibu." Kikan menyapa Ibu seraya memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya tersebut dari belakang.

 

"Pagi juga, sayang." Ibu membalas pelukan Kikan dan mengecup lembut kening anaknya itu.

Memang benar kata pepatah lama,

tidak ada yang lebih menghangatkan selain pelukan hangat dari seorang Ibu

 

Kikan masih menikmati pelukan hangat itu,

pelukan yang selalu membuat dirinya bersemangat untuk memulai dan melakukan setiap aktivitas

apapun itu. Ibu juga tak henti - hentinya menepiskan senyuman termanis untuk

anak semata wayangnya tersebut.

"Kikan rasa, hari ini Ibu terlihat sangat bahagia sekali, ada apa memangnya, Bu?" tanya Kikan mencoba menggoda Ibunya. dan seketika itu juga ia melepaskan pelukannya.

"Tidak ada apa – apa, Nak. memangnya salah kalau Ibu bahagia?" tanya Ibu, kedua tangannya yang mulai rentan itu mencubit lembut pipi Kikan. Kikan mengangkat wajah Ibunya dan memperhatikan wajah wanita itu dengan begitu seksama.

"Tidak ada yang salah, justru Kikan senang melihat Ibu bahagia seperti ini, bahkan Kikan selalu berdoa, agar Tuhan

mengambil kesedihan dan penderitaan yang Ibu rasakan selama ini, dan menggantinya dengan sebuah kebahagiaan," tutur Kikan. kedua matanya terlihat berkaca – kaca, ia dengan keras menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan Ibunya.

"Anakku, seberapa berat kesedihan maupun penderitaan yang di berikan oleh Tuhan. Ibu akan tetap bahagia jika melihatmu bahagia. bagi seorang Ibu, tidak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini selain melihat anaknya hidup bahagia," tutur Ibu, ia mencoba mendekap kembali tubuh Kikan dan memejamkan matanya dengan begitu terluka. rasanya Ibu Merry belum pernah bisa memberikan kebahagiaan yang layak untuk anak semata

wayangnya itu.

"Kikan selalu bahagia. Ibu adalah kebahagiaan Kikan bahkan  melebihi apapun. Kikan beruntung karna telah  di lahirkan dari rahim Ibu," ucap Kikan lirih. lagi - lagi Kikan harus menahan kesedihannya.

"Anakku, sayang." Ibu lebih mengeratkan kembali pelukannya .

 

"Sudah, Nak. cepatlah berangkat bekerja, nanti kamu akan terlambat," tutur Ibu. dan seketika Ibu dan anak itu sama - sama melepaskan pelukannya.

"Baiklah, Kikan berangkat kerja dulu ya, Bu. Bye Ibu ...." pamit Kikan seraya mencium pipi Ibunya. ia pun berlalu dan melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan rumah.

"Hati - hati ya, Nak, jangan melewatkan makan siangmu," teriak ibu, Kikan pun mengiyakannya dari kejauhan.

Kikan melangkahkan kakinya berjalan menuju kantor, perjalanan Kikan menuju ke kantor tidaklah begitu jauh hanya memakan waktu sekitar 25 menit.

dan setibanya di depan kantor, entah apa yang mengganggu pikiran Kikan waktu itu  hingga dirinya  tidak fokus dan tanpa sengaja ia menabrak seorang laki - laki yang baru saja  turun dari mobil, hingga membuat berkas yang kikan bawa, semua terjatuh berserakan di tanah .

"Lain kali kalau berjalan hati – hati ..." kata laki - laki itu seraya berlalu meninggalkan Kikan.

 "Iya Tuan, maafkan saya," ujar Kikan.

"Astaga , aku memikirkan apa, sih. tadi? Kenapa hari ini sial sekali. padahal ada presentasi di kantor dan semua berkas yang  sudah tersusun rapi jadi berantakan seperti ini," gumam Kikan dengan bibir yang menggerutu kesal. ia mencoba memunguti dan menyusun kembali berkas tersebut. kemudian ia masuk kedalam kantor. namun, sebelum itu, Kikan terlebih dulu absen. Kemudian, ia melangkahkan kakinya menaiki anak  tangga menuju ke ruang meeting yang letaknya ada di lantai atas kantor tersebut.

Kikan terkejut bukan main, rasanya ia terlambat menghadiri meeting tersebut. karna terlihat di dalam ruangan itu sudah ada manager-nya  dan beberapa orang penting di sana. Kikan menarik nafas dalam - dalam agar dirinya terlihat tidak panik.

"Selamat pagi, mohon maaf saya sedikit terlambat."

Kikan menyapa dengan menundukan kepalanya .

 

"Ini sudah siang bukan pagi! apa kamu tidak bisa

melihat jam?" tiba - tiba suara seorang laki - laki yang duduk tepat di

depan Kikan menyaut begitu saja.

 

"Ya Tuhan, ini kan orang yang aku tabrak di bawah

tadi? kenapa orang ini bisa ada di sini?" Kikan bergumam dalam hati.

 

"Astaga, atau jangan - jangan Tuan ini adalah

client yang mau bekerja sama dengan perusahaan ini? Ah, sial. aku harus

bagaimana?" raut wajah Kikan terlihat sedikit takut hingga ia menggigit

bibir bawahnya.

 

"Kikan, kenapa masih berdiri disitu?  cepat

duduklah!  meeting akan segera dimulai,

dan persiapkan segera presentasi design kamu, ini Tuan Reyhans, client kita.

beliau yang mempercayakan design untuk cover produk barunya kepada perusahaan

kita," tutur Tuan Ang. seorang pimpinan sekaligus atasan Kikan

dimana  tempat dirinya saat ini bekerja.

"Ba-baik, Tuan Ang," saut Kikan dengan wajah yang canggung, ia hampir saja mendaratkan tubuhnya untuk duduk di kursi. Namun,

suara Reyhans yang begitu menggelegar mengurungkan niatnya.

"Tunggu, saya sudah tidak tertarik bekerja sama

dengan perusahaan kalian! sama sekali tidak profesional! saya disini menunggu

karyawan anda 10 menit. Seharusnya, kalian sudah persiapkan diri 30 menit

sebelum client kalian datang," seru Reyhans, ia beranjak berdiri dari

tempat duduknya bahkan terlihat jelas kedua alis laki - laki itu menyatu begitu

tajam.

"Tuan Reyhans,  tunggu dulu, saya mohon! ini kami sudah membuatkan perusahaan Tuan design cover terbaik. kami minta maaf sekali, atas keterlambatan karyawan kami. tolong lihat presentasi kami terlebih

dahulu. Lalu, Tuan boleh memutuskan," pinta Tuan Ang.

"Iya, Tuan. saya mohon! saya minta maaf sekali

karna saya terlambat. Karna, rumah saya dari kantor cukup jauh dan tadi dibawah

juga ada sedikit kecelakaan kecil," ucap Kikan ia pun mengatupkan kedua

tangannya berharap laki - laki itu mau berbelas kasian terhadapanya untuk

melanjutkan kerja samanya.

 

"Kamu berjalan berapa menit dari rumah ke kantor?"

tanya reyhans dengan mengernyitkan dahinya, seolah hendak menerkam Kikan hidup

- hidup .

 

"Se-sekitar 25 menit Tuan," jawab Kikan. ia

begitu gugup dan takut.

  "25 menit? Lalu, berangkat jam berapa dari rumah?" tanya Reyhans kembali.

"Jam 7.20 Tuan," saut Kikan lirih. ia masih  menundukan pandangannya ke bawah. Karna, ia merasa bersalah. entahlah, Kikan saat ini benar - benar takut jika laki – laki itu  membatalkan kerja sama hanya karna kesalahan

yang tak sengaja ia lakukan. bisa - bisa dirinya di keluarkan dari perusahaan ini.

"Jadi, kamu hanya menyisihkan waktu 10 menit

untuk tiba dikantor? seharusnya kamu berangkat jam 7.00 dari rumah, coba kamu

jadi karyawan saya, sudah saya pecat kamu!" seru Reyhans. ia membuang

wajahnya ke sembarang arah dengan begitu kesal.

"Iya Tuan, saya minta maaf karna sebelum ke kantor

saya  harus membantu  Ibu saya terlebih dahulu," ucap Kikan

semakin menundukan pandangannya.

"Oh, jadi, kamu mencoba mencari alasan? itu bukan

alasan! entah apapun itu alasannya, kamu harus bekerja secara profesional.

Karna, kamu kerja di gaji!" ketus Reyhans .

"Ah sialan, kenapa aku jadi bilang seperti

itu?  jadi panjang kan urusannya," gumam Kikan dalam hati. ia semakin

menggigit bibir bawahnya hingga terlihat membekas merah di sana.

"I-iya Tuan,  saya minta maaf, saya akan

perbaiki lagi kesalahan saya, agar tidak terlambat lagi," ucap Kikan.

peluh terlihat mengucur melapisi dahinya,

"Kenapa kamu minta maaf kepada saya?

seharusnya  kamu minta maaf kepada atasanmu," tegur Reyhans kembali.

rasanya Kikan benar - benar serba salah waktu itu.

"Tuan Ang, saya minta maaf. saya tidak akan

mengulangi kesalahan fatal ini lagi," ujar Kikan kepada Tuan Ang.

"Iya, Kikan. saya harap, kau tidak mengulanginya

kembali," tutur  Tuan Ang, Kikan pun

mengiyakannya.

"Tuan reyhans, mohon maaf sekali, apa Tuan masih

berkenan untuk melanjutkan presentasi kami?" tanya Tuan Ang dengan begitu

penuh harap seraya menaikan kacamatanya yang sempat menurun tersebut.

"Silahkan, karna, saya masih menghormati anda.  Jadi, saya beri kesempatan presentasi hanya

20 menit," ujar Reyhans,  ia pun duduk

kembali ke kursinya semula.

"Ba-baik, Tuan Reyhans. terimakasih banyak. akan

kami pergunakan waktunya sebaik mungkin," ujar Tuan Ang, ia pun menyuruh Kikan

agar segera  mempersiapkan presentasi

designnya.

"Astaga,

disiplin waktu sekali orang ini. coba saja kalau bukan client penting sudah aku

maki - maki habis tadi, sialan." Kikan mengumpat dalam hati, ia benar -

benar merasa kesal akan sikap Reyhans. namun, setidaknya Kikan merasa sedikit

lega. ia menghela napas dan mengelap keringat yang sempat mengucur di dahinya.

dirinya bergerak cepat untuk mempersiapkan presentasinya

Kikan pun mempresentasikan 7 design miliknya di

hadapan semua orang yang ada di ruangan itu, ia menyelesaikan presentasi tepat

20 menit sesuai dengan permintaan Reyhans. hingga membuat semua orang yang ada

di ruangan  itu begitu terkagum - kagum dengan apa yang telah disampaikan

oleh Kikan .

"Ternyata, memuaskan juga hasil presentasi design

perempuan ini. sangat cerdas, tapi, tetap saja kurang disiplin waktu dan aku

sangat tidak menyukainya," gumam Reyhans dalam hati.

"Tuan Reyhans, sekali lagi saya mohon maaf atas

kejadian yang kurang berkenan hari ini. tetapi setidaknya karyawan kami sudah

berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik. jadi saya akan sangat

menghormati apapun keputusan Tuan," tutur Tuan Ang.

"Deal ... besok akan saya suruh sekertaris saya

mengirimkan kontrak kerja samanya," saut Reyhans. ia beranjak berdiri dari

duduknya seraya merapikan jas yang sama sekali tidak berantakan itu .

"Baik, Tuan Reyhans. terimakasih - terimakasih

banyak," tutur Tuan Ang. dengan senang hati  ia menyodorkan tangan

dan menjabat tangan Reyhans. Reyans berpamitan dan dengan cepat laki - laki itu

melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruangan tersebut.

"Hah, dasar sombong sekali! kenapa ada orang

semacam dia bisa hidup," gumam Kikan dalam hati rasanya mood paginya

begitu kacau karna  laki - laki yang ia anggap begitu menyebalkan itu.

Kikan berjalan menghampiri Tuan Ang yang sedang

berdiri di depan pintu, rasanya ia tidak enak hati karna sudah menciptakan

kekacauan di pagi hari.

"Tuan Ang, saya minta maaf atas kejadian hari ini,"

kata Kikan dengan menundukan kepalanya, ia benar - benar merasa bersalah dan

tidak enak kepada atasannya tersebut.

"Sudahlah, Kikan. tidak usah dibahas. saya sangat

mengerti kondisi kamu! dan selama ini kami selalu puas dengan kinerja kamu,

jadi pertahankan," ujar Tuan Ang sembari menepuk bahu Kikan. Tuan Ang

menyuruh Kikan kembali bekerja dan Kikan dengan senang hati mengiyakan perintah

atasannya itu.

Dibawah senja

Seusai pulang dari kantor, Kikan berjalan kembali menuju ke  arah rumah. ia menyusuri jalan dengan pandangan yang begitu kosong, buliran keringat dan peluh terlihat membasahi dahinya, ia menelan salivanya akan tenggorokannya yang ia rasa begitu kering.  entah apa yang membuat pikiran Kikan begitu terganggu sore itu.

Kikan di kejutkan oleh suara seorang perempuan yang tiba - tiba sudah berdiri di hadapannya saat ini. perempuan itu tak lain ialah Cathrine. sahabat Kikan sejak SMA bahkan Kuliah.

"Astaga, Cathrine. kau mengagetkanku saja," celetuk Kikan, tangan kanannya sontak memegangi dadanya akibat terkejut.

“Maaf, Kikan. aku tadi tidak sengaja melihatmu berjalan sambil melamun makanya aku mengagetkanmu," tutur Cathrine.

"Apa kau sedang ada masalah? aku lihat sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu? " tanya Cathrine penasaran.

"Tidak memikirkan apa – apa, Cath. kenapa kau tiba - tiba ada di sini? " tanya Kikan.

"Aku mau ke rumahmu untuk mengembalikan buku yang waktu itu sempat ku pinjam, dan kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. ini bukunya, terimakasih banyak," ucap Cathrine. ia menyodorkan buku yang ia pegang kepada Kikan.

"Terimakasih kembali. kamu hanya mengembalikan buku ini saja, kan." Kikan bertanya dengan memandang curiga akan szhabatnya yang masih tak bergemming dari hadapannya itu.

"Ehm, ada sesuatu lagi," ucap Cathrine dengan tersenyum pelik.

"Pasti kau mau curhat lagi iya, kan." Kikan sudah bisa menebak apa yang diinginkan oleh sahabatnya tersebut.

"Nah, itu kau tau hehe,  kau memang sahabat terbaikku," tutur Cathrine dengan menyenggolkan bahunya ke bahu Kikan. Kikan menghela napasnya dan menaikan kedua alisnya.

"Baiklah ayo, kita ke rumah," ajak Kikan, Cathrine pun dengan bersemangat mengiyakannya. Kikan tak segan berjalan dengan menggandeng tangan sahabatnya tersebut.

Selama berjalan kaki menuju ke rumahnya, Kikan dan Cathrine tak henti - hentinya mengobrol dan bercanda. ini ialah hal yang biasa yang di lakukan oleh mereka jika mereka berdua bertemu. Karna, Kikan tidak memiliki teman lain lagi selain Cathrine, Cathrine sudah layaknya sahabat sekaligus saudara bagi Kikan. Jadi, tak heran jika mereka begitu akrab.

Setibanya di rumah, Kikan memutar gagang pintu  rumahnya tersebut. ia membuka pintu itu dan mengajak Sahabatnya untuk masuk ke dalam.

"Ibu aku pulang .... " Kikan dengan penuh semangat berteriak namun tidak ada sautan seperti biasa dari Ibunya.

Telinga Kikan menangkap suara seorang wanita yang sedang terbatuk. seketika itu,  Ia langsung menghampiri asal suara tersebut, seraya berteriak - teriak memanggil  nama Ibunya.

semakin lama suara itu semakin terdengar kencang di alat pendengaran Kikan. Cathrine tak kalah mengikuti langkah kaki sahabatnya tersebut dari belakang.

dan kini, langkah kaki Kikan dan Cathrine terhenti tepat di depan kamar tengah

Kedua mata Kikan begitu terkesiap, saat ia mendapati Ibunya sedang duduk di bawah lantai dengan di kelilingi begitu banyak tissue yang terdapat banyak bercak darah berserakan di lantai sekitar sana.

"Ibu," Kikan memanggil nama Ibunya dengan bibir sedikit gemetar.

"Ibu kenapa? " tanya Kikan. Buliran air mata menumpah ruah dari pelupuk matanya.

"Ibu tidak apa – apa, Nak."

"Tidak apa - apa bagaimana? sakit ibu semakin parah. Ayo, Kikan akan membawa Ibu ke rumah sakit," ajak Kikan mencoba membantu Ibunya berdiri dari bawah lantai.

"Kikan, Ibu baik - baik saja, Nak. Ibu hanya batuk biasa dan kurang minum air putih saja," ucap Ibu. napasnya terdengar begitu berat. Ibu mencoba berdiri dengan bantuan tangan Kikan dan juga Cathrine. Kikan membantu Ibunya duduk di atas tepi tempat tidur.

"Tante Merry, Tante sakit apa? ini bukan batuk biasa, Tante. lebih baik Tante pergi periksa ke rumah sakit. biar Cathrine dan Kikan yang mengantar, Tante." Cathrine ikut bertutur.

"Tidak apa - apa, Nak.  Tante hanya kurang enak badan saja," ucap Ibu.

"Bu, Lebih baik kita pergi ke rumah sakit ya, Bu.  Kikan takut jika sakit Ibu parah. Kikan tidak mau Ibu kenapa – kenapa,“ tutur Kikan sembari mengusap air mata yang membasahi wajahnya.

"Kikan, Ibu baik - baik saja, Nak. besok saja kita pergi ke rumah sakit. Ibu ingin beristirahat." seketika itu  Ibu membaringkan tubuhnya dan merubah posisi tidurnya dengan membelakangi Kikan dan juga Cathrine.

Padahal, Ibu Merry merasakan sesak seakan dadanya sedang menumpu sebuah beban, hingga napas yang ia buang terasa begitu berat. Namun, seorang Ibu mana yang tidak terpaksa berbohong hanya agar anaknya tidak khawatir? Bahkan, seorang Ibu rela kelaparan demi melihat anaknya kenyang.

"Ibu, Ibu janji, kan. besok mau pergi periksa ke dokter? " tanya Kikan. lagi - lagi tangannya menepis air matanya yang masih mengalir deras di sana.

"Iya, Nak. Ibu janji," saut Ibu yang masih tidur dengan posisi miring nya tanpa melihat ke arah Kikan.

"Istirahatlah, Bu," Kikan berucap lirih seraya mencium kening Ibunya.  Kikan hendak beranjak dari duduknya dan mengajak Cathrine ke dalam kamarnya.

" Kikan," tiba - tiba suara Ibu mengurungkan niat Kikan.

"Iya, Bu ? " saut Kikan. ia kembali duduk di posisinya semula.

"Ibu sangat berharap, kamu bisa segera menikah. karna ibu takut jika sewaktu - waktu ibu pergi-- " ucap Ibu Merry.

"Cukup, Bu. Ibu kenapa selalu berbicara seperti itu." Kikan seketika langsung memotong perkataan Ibunya. Ibu Merry mengusap air matanya yang sempat terjatuh. Ia beranjak duduk dan membelai wajah anak semata wayangnya tersebut.

"Nak. umur manusia tidak ada yang tau, Ibu takut jika Ibu sudah  meninggal dan kamu belum menikah, tidak ada yang menjaga dan melindungimu, Nak," tutur Ibu dengan mata yang terlihat memerah dan berkaca kaca.

Ya Tuhan, rasanya begitu menyakitkan ketika Kikan mendengar kata - kata itu. Kikan seketika mendekap erat tubuh Ibunya dan menumpah ruahkan air matanya di pelukan ibunya tersebut.

"Tante, jangan berbicara seperti itu," tutur Cathrine. ia bisa merasakan ke-khawatiran yang di rasakan Ibu dari sahabatnya tersebut. Iya benar, kekhawatiran seorang Ibu akan anaknya.

Suara dering ponsel tiba - tiba memecahkan keheningan di dalam ruangan tersebut. Kikan melepaskan pelukannya dan meraih ponsel milik Ibunya yang kala itu tergeletak di atas meja samping tempat tidur. Kikan melihat di layar ponsel tersebut ada satu panggilan masuk dari Lilis.

"Ibu, Tante Lilis menelpon," ucap Kikan memberitaukan kepada ibunya.

"Angkatlah saja, Nak," perintah Ibu. Kikan mengiyakan dan seketika itu ia menekan tombol hijau yang tertera di ponsel itu dan meletakan ponsel tersebut tepat di telinganya.

"Hallo Tante Lilis," sapa Kikan. ia berucap Lirih dan mengusap sisa - sisa air mata yang masih melekat di wajahnya.

"Nak, di mana Ibumu? " tanya Tante Lilis. Suaranya terdengar sangat jelas dari balik ponsel yang saat ini Kikan genggam.

"Ini, Ibu sedang berada di samping Kikan. Ibu sedang tidak enak badan, Tante. apa Tante ingin berbicara kepada Ibu? " tanya Kikan.

“Oh tidak usah, Nak. Tante hanya mau memberi tau. kalau Tante sedang dalam perjalanan menuju ke rumah mu, karna semalam Tante sudah membuat janji dengan Ibumu," ujar Tante Lilis

"Baiklah, Tante. Tante hati - hati di jalan ya," tutur Kikan. Lilis mengiyakannya.

Mereka berdua sama - sama mengakhiri panggilan telepon yang masih berlangsung tersebut. Kikan meletakan Ponsel milik Ibunya ke tempat semula. Kikan dan Cathrine menemani Ibu Merry yang sedang beristirahat di dalam  kamar. kedua mata Kikan yang begitu sendu  tak henti memandangi wajah Ibunya yang sudah mulai menua. kulitnya wajah wanita yang saat ini di belai lembut oleh Kikan  terlihat mengeriput ,

Ada hal - hal yang sangat tidak di sukai oleh dirinya. di mana ketika usianya bertambah, maka, semakin bertamah pula usia Ibunya. tanpa disadari, waktu begitu cepat mengikis manusia dalam kerentanan.

10 Menit kemudian, Suara ketukan pintu dari luar rumah terdengar begitu jelas di telinga Kikan, bahkan seseorang di luar sana mengetuk pintu itu berkali - kali. Kikan yang semula duduk di atas tempat tidur.  kini, beranjak dan melangkahkan kakinya menuju ke depan, bermaksud membukakan pintu tersebut.

Kikan memutar gagang pintu yang melekat di pintu tersebut. Dan saat pintu terbuka, seorang wanita dengan senyum menyeringai wajahnya terlihat berdiri di depan pintu itu. wanita itu tak lain ialah Lilis. Lilis menyapa dan sejenak memeluk tubuh Kikan.

Kikan mempersilahkan tamunya tersebut untuk masuk. Lalu, ia  menutup kembali pintunya, dan mengajak Tante Lilis untuk pergi ke kamar tengah menghampiri Ibunya.

 

"Nyonya Merry ... " suara Lilis menyentak telinga Ibu Merry. hingga membuat wanita yang tengah berbaring itu beranjak duduk.

"Nyonya Lilis, maaf saya tidak tau kalau Nyonya sudah datang." bibir pucat Ibu Merry berucap lirih.

"Tidak apa – apa, Nyonya. wajah Nyonya terlihat sedang tidak baik. apa tidak sebaiknya pergi ke dokter biar saya antarkan?"  tanya Lilis. ia mendudukan tubuhnya di samping Ibu Merry dan menyentuh bahu wanita itu.

"Tidak, Nyonya. saya baik - baik saja. besok saya akan pergi ke dokter bersama Kikan," tutur Ibu.

"Baiklah, Nyonya. sepertinya, untuk pembicaraan kita semalam. kita tunda dulu saja ya, Nyonya. Karna, saya rasa waktunya kurang tepat," ujar Lilis.

"Tidak apa – apa, Nyonya.  lebih baik di bicarakan sekarang saja, kebetulan ada Kikan juga," ucap Ibu.

Kedua mata Kikan bergantian memperhatikan wajah kedua wanita yang saat ini berada di hadapannya dengan begitu bingung. Pembicaraan apa yang terjadi semalam di antara Tante Lilis dan Ibunya? hingga rasanya  benar - benar membuat Kikan  penasaran.

Cathrine yang merasa jika ada sesuatu pembahasan penting di antara Kikan dan Ibunya. Ia seketika itu langsung berpamitan pulang kepada Kikan dan juga Ibunya.

Kikan  mencoba melarang Cathrine untuk pulang terlebih dahulu, namun, Cathrine memaksa karna takut mengganggu mereka. Kikan pun terpaksa mengiyakannya dan mengantarkan sahabatnya tersebut sampai halaman rumah. setelah Cathrine tak terlihat dari pandangan mata Kikan. Kikan pun masuk kembali kedalam rumah dan ia kembali menemui Ibu dan juga Tante Lilis yang sedang menunggunya di dalam Kamar.

"Tante mau membahas apa? " tanya Kikan, ia mendudukan tubuhnya tepat di samping Tante Lilis. namun, Lilis hanya diam saja, kedua matanya sejenak beradu pandang dengan Ibu Merry seolah hendak  menyusun kata - kata  untuk menyampaikan sesuatu kepada Kikan.

"Ehm begini, Nak. Tante dan Juga Ibu kamu berniat ingin menjodohkan kamu dengan anak bungsu Tante, Alka," ucap Lilis. rasanya ia masih tak yakin dengan apa yang baru saja ia sampaikan kepada Kikan.

Telinga Kikan begitu tersentak saat mendengar kata di jodohkan. kedua matanya melebar dengan sangat sempurna. ia menelan salivanya dengan keras seolah apa yang baru saja ia dengar dari mulut Tante Lilis hanyalah sebuah bualan belaka.

"Di jodohkan?" bibir Kikan berucap dengan begitu berat. Ibu dan juga Tante Lilis hanya mengangguk, kedua mata Kikan bergantian memandangi wajah wanita yang saat ini duduk persis dihadapannya. rasanya ia begitu tak percaya dengan semua omong kosong ini. Kikan masih membungkam dan tak bisa berkata seakan ada sesuatu yang tercekat di tenggorokannya.

 

"Bagaimana, Nak?" tanya Tante Lilis. Kikan  memperhatikan sosok wajah dari kedua seorang Ibu itu dengan tatapan yang penuh harap. berharap dirinya untuk mengiyakannya.

"Tapi, Tante. Alka kan pasti sudah mempunyai pilihan calon istri sendiri," kata Kikan mencoba memastikan.

"Belum ada, Nak. Alka dan juga anak sulung Tante sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya, sampai - sampai mereka lupa untuk mencari pendamping hidup. Tante sangat ingin sekali melihat salah satu anak Tante menikah, Tante ingin menjodohkan kamu dengan Alka karna dulu kalian adalah teman dekat. jadi tidak sulit untuk kalian berdua beradaptasi," tutur Lilis. Lagi - lagi hati Kikan seakan memberontak. Dulu (15 tahun yang lalu) yang benar saja? .

"Tapi Tante-- "

"Kikan," suara Ibu memotong perkataan Kikan. ia sudah tau apa yang di maksud dengan Ibunya. Kikan hanya bisa membuang napasnya dengan percuma.

"Apa kamu tidak kasihan dengan Ibumu, Nak?" tanya Tante Lilis. Kedua mata Kikan seketika itu memandang wajah Ibunya yang sudah menua. hati Kikan begitu teriris saat melihat wajah itu.

"Ibumu ingin sekali melihatmu menikah," imbuh Lilis. Kikan memejamkan matanya dan menelan salivanya kembali. Kini, Kikan sudah membulatkan keputusannya.

"Apa Tante sudah membicarakan ini semua dengan Alka? " tanya Kikan. kedua matanya beralih menatap Tante Lilis.

"Kamu tidak perlu khawatir masalah Alka, Alka akan menuruti semua perkataan Tante, Nak. dia sangat berbeda sekali dengan kakaknya," tutur Lilis seraya menyentuh lembut dagu Kikan.

"Baiklah, Tante. sebaiknya Tante bicarakan terlebih dulu dengan Alka. Karna, sekarang situasinya berbeda. apalagi Alka sudah menjadi pengusaha yang sukses. Kikan percaya. apapun yang dilakukan Ibu adalah yang terbaik untuk Kikan. Jadi Kikan akan menurutinya," tutur Kikan dengan menatap wajah Ibunya kembali. kini ia tak mempedulikan kebahagiaan atau keinginannya, yang ia pedulikan hanya bagaimana cara  membuat Ibunya agar bahagia.

Ibu Merry terlihat tersenyum senang saat mendengar keputusan Kikan. begitu juga dengan Tante Lilis. Setelah pembicaraan di antara mereka bertiga  sudah dirasa cukup. Lilis pun berpamitan pulang. Kikan mengantarkan wanita paru baya itu sampai di halaman rumahnya. dan saat mobil yang di tumpangi Tante Lilis sudah tak di jangkau oleh kedua mata Kikan, Kikan pun kembali lagi masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu rumah tersebut dengan begitu erat.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!