"Tante, keluarga tante, bahkan 7 keturunan tante tidak akan pernah menjadi orang kaya, hidup miskin, hingga mengemis kepadaku nantinya!" ucap Ayuna dengan mata mendelik, menahan segala amarah, namun sumpah serapah bisa tercetus begitu saja.
Gadis yang sudah tidak memiliki orang tua, bahkan keluarga besarnya pun ikut memihak sang tante, dengan alasan usaha yang dibangun oleh sang ayah ada sebelum sang ayah menikah dengan ibu Ayuna. Usaha itu diambil oleh keluarga besar sang ayah, mereka berebut menguasai tempat usaha, uang tabungan serta tanah milik sang ayah. Paling parah, malah Ayuna diusir oleh sang tante dari rumah, milik orang tuanya.
Tepat sore ini, Ayuna diusir, dan diberi bekal uang 10 juta saja. Keluarga besarnya tak mau tahu di mana Ayuna akan tinggal. Mereka tak merasa kasihan sama sekali, bahkan tak takut akan sumpah serapah yang diucap Ayuna.
Anak bau kencur saja, doanya tak mungkin dikabulkan Tuhan, bagi mereka itu hanya ungkapan emosi dari gadis kecil yang tak mau hidup serba kekurangan. Ayuna keluar rumah hanya membawa 2 koper besar, dan tas ransel serta dendam dalam hati.
"Sesuai lokasi ya Mbak?" tanya sopir online memastikan tujuan sesuai titik lokasi.
"Iya, Pak!" ucap Ayuna sembari menahan isak tangis. Selama perjalanan, Ayuna hanya memejamkan mata. Bayangan kebahagiaan bersama ibu dan ayah menari di pelupuk mata. Mereka memang hidup sangat bahagia. Sang ayah memperlakukan Ayuna layaknya seorang putri, apalagi Ayuna anak tunggal.
Ayuna pun berpikir sejenak, selama ini sang ayah tak pernah berbuat jahat dengan adik-adiknya. Bahkan beliau selalu membantu kehidupan keluarga mereka, maklum hanya sang ayah yang menjadi pengusaha sedangkan kedua adiknya, Tante Melina dan Om Yasa adalah seorang ASN. Seharusnya sebagai ASN hidupnya terjamin dong, dan kenyataannya harta anak yatim pun dirampas juga. Miris.
"Gak akan berkah!" lirih Ayuna dengan mendekap tas ransel. Di dalam tas itu ada uag segepok dan beberapa berkas penting atas nama Ayuna, seperti buku deposito dan beberapa gram emas atas namanya. Beruntung sang tante tak menggeledah tas ranselnya tadi.
Ayuna pun sampai di depan kos sahabatnya, Ersa. Gadis cantik dan sexi itu sudah menunggu Ayuna. Harap-harap cemas karena Ayuna bilang mau ngekos.
"Gila emang tante lu, anak yatim diusir dari rumahnya sendiri. Kiamat hidup mereka, gue yakin habis ini harta lu gak tersisa karena keserakahan. Padahal mereka udah ASN kok bisa sih setega itu sama ponakan sendiri, emang gaji mereka gak cukup buat biaya hidup. Hem pasti gaya hidupnya setinggi langit tapi uangnya seuprit. Gak usah khawatir Ay, selepas wisuda lu bakal dinikahin pangeran tajir, punya perusahaan gede, dan cakep banget, atau gak dokter ganteng, eh iya sih cowok lu emang tajir sih!" Ersa main nyerocos, Ayuna pusing dibuatnya. Geret koper dengan menahan emosi juga, kenapa secerewet gini sih, tapi Ayuna tak sampai hati mengomel juga. Malam ini, Ersa yang bisa membantunya, bahkan dia pun berhasil membooking kamar kos yang baru 2 hari ditinggal pemilik sebelumnya. Untuk tempat tinggal, Ayuna aman. Meski agak mahal, setidaknya ia tidak menjadi gelandangan.
"Kamar ini memang paling mahal, Ay. Elite, makanya mahal, kamar mandi dalam juga, kalau kamar gue tipe biasa, tapi bolehkan kalau di sana antri gue mandi di sini?" tanya Ersa dengan guyonan khasnya.
Ayuna hanya mengangguk lemah, kepalanya berat sekali. Bahkan setelah melihat kasur kos, ia langsung merebahkan tubuhnya. Baik badan dan otaknya lelah setengah mati. "Udah makan, Ay?" tanya Ersa prihatin.
"Lupa, Er," jawabnya singkat.
"Bersih-bersih dulu napa, gue cari makan dulu deh!" ucap Ersa, tak lama ia pun keluar mencari makan buat sang sahabat, setidaknya nasi goreng depan gang masih buka kayaknya.
Ay, kamu di mana sekarang?
Ayuna tersenyum, melihat notif panggilan dan beberapa chat masuk, dari Rajendra, sang kekasih. Ayuna hanya sempat mengabari kalau dia diusir dari rumahnya, setelah itu tak menyentuh ponsel sama sekali.
"Aku sekarang ngekos, Ndra. Di dekat kampus, satu kos sama Ersa cuma beda kamar!" lapor Ayuna setelah panggilannya dijawab Rajendra. Sang kekasih langsung mengubah panggilan video, tampak Rajendra masih di perpustakaan kampus.
"Udah makan?"
"Lupa, kayaknya belum!"
Terdengar Rajendra berdecak sebal. "Kos buka sampai jam berapa?" tanya Rajendra, gak mungkin ia tenang melihat keadaan sang kekasih sekarang.
"Gak tau, jam 9 malam mungkin, kos Ersa lumayan ketat sih."
"Nikah gimana, Ay. Biar kamu dekat sama aku?" tawar Rajendra dengan wajah serius, Ayuna hanya tersenyum malu.
"Ngapain mikir nikah dulu sih, Ndra. Santai saja kali, nikmati tugas akhir kamu, belum juga jadi dokter."
"Ya gimana aku bisa fokus tugas akhir, Ay. Kamu hidup di kos gara-gara keluarga laknat itu, kalau kamu jadi istri aku tentu gak merasakan hidup sengsara seperti ini."
Ayuna tertawa terbahak, "Nikah gak semudah itu bambang, udah ah biar aku menjalani hidup sederhana seperti ini dulu, biar aku tahu rasanya berjuang itu seperti apa. Selama ini jadi tuan putri, sebentar aja merasakan upik abu kayaknya gak pa-pa juga!"
"Besok aku samperin di kampus, sekarang kamu tidur dulu aja. Sabar ya Ayunaku!" ucap Rajendra manis, ada kelegaan dalam diri Ayuna. Kedua orang tuanya sudah tiada, namun kehadiran Rajendra setidaknya menjadi penghibur serta penguat hidup Ayuna. Entah kalau tidak ada Rajendra, ia bisa melewati masa sulit ini atau tidak.
Tiga bulan yang berat, kedua orang tuanya pergi begitu saja, tanpa ada pamit, tanpa ada ucapan terakhir, bahkan Ayuna hanya berdiri, terpaku ketika kedua jenazah orang tuanya berada di depan Ayuna. Hatinya sangat hancur, langit seolah runtuh di atas kepala Ayuna. Entah berapa kali ia pingsan sebelum pemakaman.
Rajendra dan mamanya terus menopang tubuh Ayuna agar tetap berdiri, bahkan Rajendra turut serta turun ke kubur dan mengadzankan kedua calon mertuanya itu. Sungguh, hidup Ayuna sekarang bergantung pada Rajendra, bukan berarti hidupnya ditanggung Rajendra, tidak. Tetapi keluarga Rajendra dianggap Ayuna sebagai sandaran hidupnya sekarang.
"Semoga kamu, mama dan papa kamu tetap seperti sekarang ya, Ndra. Gak tahu lagi hidupku harus bagaimana kalau kalian menghilang juga!" lirih Ayuna sembari menatap layar ponsel, air mata pun turun seketika. Sungguh hidup Ayuna malam ini terasa kosong, tiba-tiba melayang saja. Jalan takdir seterjal ini kenapa juga Ayuna yang harus merasakan.
"Sabar, Ay!" Ersa datang dengan membawa dua bungkus nasi goreng langsung memeluk sang sahabat. Suara tangisan Ayuna begitu menyayat hati. Siapa juga yang siap menjadi anak yatim piatu, meski sudah berusia 19 tahun begini.
"Lu kuat, lu hebat!" ucap Ersa kembali menguatkan sang sahabat.
"Kamu butuh apa?" tanya Rajendra penuh perhatian. Siang itu, Rajendra memenuhi janjinya kemarin malam untuk menemui Ayuna. Kalau saja tidak di tempat umum, mungkin Rajendra sudah memeluk sang kekasih erat.
Saat ini pun, beberapa makanan dan camilan dipesan Rajendra khusus untuk Ayuna. "Ndra, aku gak selapar ini kali!" ucap Ayuna melongo saat pelayan kantin beberapa kali menyuguhkan aneka camilan.
"Pokoknya kamu makan sekarang, aku gak mau kamu kelaparan. Gak usah sungkan buat minta ini itu ke aku. Anggap kita menjalani rumah tangga mini."
"Gak gitu juga kali, Ndra. Aku gak pa-pa beneran kok! Ersa juga pintar pilih kamar kok, nyaman, bersih juga. Diterima aja lah, Ndra, daripada terus memikirkan kenapa bisa terjadi. Mending cari solusi buat menata hidup ke depan."
"Gak usah sok kuat di depanku, Ay!" Rajendra kesal juga melihat sang kekasih begitu tenang, dan seperti menutupi kondisi sebenarnya. Padahal Rajendra siap bila Ayuna mau berbagi keluh kesah, bahkan untuk menghidupi Ayuna, Rajendra pun mampu.
"Ketahuan deh!" ucap Ayuna dengan senyum miris, ia menunduk sedih. Spontan Rajendra tersenyum tipis lalu mengacak rambut sang kekasih.
"Kita kenal udah sèjak SMA, Ay. Gimana kebiasaan kamu kalau punya masalah aku sudah hafal, please jangan jadi orang gak enakan sama aku. Anggap aku keluarga kamu satu-satunya sekarang."
Àyuna hanya mengangguk saja, sampai detik ini ia belum kepepet, dan tetap berterima kasih atas perhatian yang luar biasa, sungguh perhatian seperti ini sangat dibutuhkan Ayuna sekarang.
"Ayo makan udah gak usah nangis terus!" ucap Rajendra kemudian menyodorkan sesuap nasi rames kesukaan Ayuna.
Ayuna menolak, tak patutlah di depan umum terlalu mesra suap-suapan, Rajendra pun mengiyakan. Keduanya pun makan dengan tenang dengan sesekali mengobrol tentang mama Rajendra dan kesibukan beliau.
"Kayaknya aku mau kerja deh, Ndra!" ucap Ayuna di suapan terakhir. Rajendra pun hampir tersedak mendengarnya.
"Kenapa harus kerja sih?" protes Rajendra.
Ayuna tertawa, ia sudah bisa memprediksi respon sang kekasih, pasti tak setuju. "Ya memang aku harus kerja, Ndra. Gak mungkin aku berdiam diri, sedangkan depositoku bisa dicairkan saat aku usia 21 tahun, uang tabungan dan pemberian tanteku juga pasti buat kuliah, sedangkan makan dan jajan aku juga butuh, Ndra."
"Makan dan jajan aku yang tanggung!" Ayuna menggeleng. "Sekali aja, Ay. Nurut apa kataku."
"Bukan aku gak mau nurut kamu, Ndra. Tapi aku beneran gak mau merepotkan siapa pun. aku ingat pesan ayahku, jangan pernah bangga diberi seseorang, karena suatu saat nanti mereka akan mengungkitnya."
"Ck, aku gak mungkin ungkit-ungkit, Ay."
"Dih, kayak tahu masa depan aja kamu, Ndra."
"Sekarang kalau kamu mau kerja, kamu mau kerja apa? Sedangkan kamu belum lulus kuliah. Apa gak ganggu kuliah kamu juga?"
"Tutor les privat."
"Ke rumah-rumah?"
Ayuna mengangguk. "Masih rencana, baru mau tanya teman yang punya bimbel."
"Cowok?"
Ayuna tertawa, sudah dipredikosi pertanyaan ini akan muncul. "Emang kenapa kalau cowok? Kamu di rumah sakit nanti juga banyak dokter cewek loh, tapi aku gak protes."
"Beda lah!"
"Bedanya?"
"Yah pokoknya aku gak suka aja kalau kamu bergantung pada cowok lain."
"Aku cuma bekerja, Ndra. Antara bos dan pegawai pada umumnya, lagian tidak semua cowok naksir aku kali."
"Daripada begitu mending kamu kerja sama kau."
Ayuna semakin tertawa, gemas juga melihat Rajendra cemburu begini. "Kerja apa?"
"Bikin laporan dan nemenin aku belajar!"
"Makan gaji buta dong aku."
"Ya gak pa-pa, suka-suka bosnya lah."
"Enggak lah, Ndra. Aku beneran gak mau ngrepoti kamu. Pengalaman ditinggal kedua orang tua menjadi titil balik hidupku. Ada mereka aku hidup kayak gak ada beban, bahagia, mulus banget jalan takdirku. Begitu aku ditinggal aku kelimpungan, gak ada sandaran, bahkan harta peninggalan kedua orang tua pun lepas. Diusir kemarin akhirnya membuatku sadar bahwa aku harus hidup mandiri, berdiri di kakiku sendiri. Sempat terpikir aku bisa hidup dengan kamu, dan yakin kamu akan membuatku bahagia, tapi kembali lagi gimana kalau suatu saat kamu meninggalkanku, bukan berarti aku suudzon kamu selingkuh, enggak. Semoga enggak, tapi gimana kalau kamu meninggal? aku bisa apa saat keadaan itu tiba."
Rajendra diam, mungkin meresapi apa yang diucapkan Ayuna. Sangat benar keputusan Ayuna untuk belajar mandiri. "Tapi kamu harus bisa jaga hati kamu buat aku, di mana pun kamu berada!"
Ayuna mengangguk tegas, "Pasti. Lagian nih, Ndra. Hidupku saat ini susah, berat banget, kenapa aku harus cari masalah dengan selingkuh atau bersikap aneh-aneh, bikin tambah susah aja kalau itu sampai terjadi."
"Oke, aku percaya sama kamu!" Rajendra pun pada akhirnya menghargai keputusan Ayuna. Tak berselang lama, ponse Ayuna bergetar. Tertulis nama Arfan, anak tante Melina.
"Angkat saja!" ucap Rajendra, tahu kalau Ayuna enggan mengangkat panggilan itu.
"Iya, halo!" jawab Ayuna tak bersemangat. "Di kantin kampus, ada apa?" jawab Ayuna pendek. Sebenarnya di antara sepupu Ayuna, memang Arfan yang paling baik. Bahkan saat Ayuna diusir kemarin, Arfan sempat membela gadis itu, malah dirinya kena gampar sang ayah.
Usia Arfan satu tahun di atas Ayuna, memang Tante Melina menikah lebih dulu daripada ayah Ayuna. Sekarang Arfan sedang menyusun skripsi, satu kampus dengan Ayuna pula, namun beda jurusan.
"Bisa bicara berdua saja?" pinta Arfan sembari menatap Rajendra, tak suka. Rajendra hanya menghela nafas berat, ingin menemani Ayuna, khawatir intimidasi keluarga masih berlanjut.
"Nanti aku kabari, pamit dulu ya!" ucap Ayuna lebih memilih ikut Arfan, dan Rajendra pun mengangguk.
Rajendra terus melihat keduanya pergi, memang tak ada yang aneh, baik Ayuna dan Arfan hanya berjalan beriringan tanpa ada gandengan atau pelukan ala saudara. Namun tetap saja, Rajendra tak suka.
"Aku bawain kamu motor!" ucap Arfan sembari menyodorkan kunci motor pada Ayuna. "Kamu tinggal di mana sekarang?"
Ayuna hanya menunduk, melihat perhatian Arfan begini sedikit terharu, ternyata masih ada saudara yang peduli dengannya. "Maaf banget mama, papa, dan om Yasa jahat banget sama kamu, Mbak. Aku juga gak bisa berbuat apa-apa."
Ayuna mengangguk saja. "Udah gak pa-pa, Fan. Mau bagaimana lagi. Kita masih terlalu kecil berurusan dengan harta."
"Tapi mama keterlaluan banget, aku gak nyangka saja mama tega mengusir kamu, Mbak."
"Kamu bawa motorku gini gak pa-pa, Fan?"
"Ya pa-pa, Mbak. Tengkar dulu aku sama Ulin (sang adik), dia mengancam akan lapor mama juga, tapi aku gak peduli. Aku kepikiran kamu, Mbak. Selama ini kamu gak pernah hidup kekurangan, tapi karena.."
"Sudah, Fan. Gak usah diterusin, kamu malah emosi kalau bahas keluarga kita. Aku makasih banget udah dikasih motor. Tapi aku gak bisa menjamin kamu selamat dari mama kamu nanti."
"Biarlah. Soal aku gak usah dipikirkan, Mbak. Mama gak bakal tega buat usir aku."
"Makasih ya, Fan. Kamu masih baik sama aku."
Arfan mendongak, melihat langit cerah, diiringi hembusan nafas pendek. "Aku gak baik sama kamu, Mbak. Tapi aku menyelamatkan hidupku nantinya."
Ayuna tak paham.
"Mbak udah nyumpahin keluarga kita, aku takut doa anak yatim piatu langsung dikabulkan sama Allah, makanya sebisa mungkin aku tetap berada di pihak kamu, Mbak."
"Apa?" tanya Ayuna bingung saat Arfan menyodorkan ponselnya.
"Beri nomor rekening Mbak!" sudah keputusan Arfan, diam-diam akan membantu kakak sepupunya ini, meski harus bersitegang dengan sang mama. Ketakutan akan sumpah serapah yang diucapkan Ayuna kemarin begitu dalam, sampai masuk ke alam bawah sadar Arfan. Hatinya berontak, tak mau hidup sengsara hingga nanti, keputusan terbaik adalah mengembalikan harta Ayuna meski tidak semua. Sebisa mungkin Arfan akan mengembalikannya.
"Buat?"
"Transfer kebutuhan kamu lah, Mbak!"
"Ck, buat apa sih, Fan. Gak usah."
"Mbak. Kamu gak pernah hidup susah sejak lahir, Pak Poh selalu mengutamakan kebutuhan kamu, Mbak. Tapi sekarang, kamu hidup sendiri, belum ada pemasukan, uang 10 juta kemarin jelas gak cukup, Mbak."
"Ya memang gak cukup, Fan. Cuma aku juga bakal nyari kerja. Gak mungkin aku diam, nangis meratapi nasib begitu aja."
"Ya makanya buat pegangan kamu sebelum dapat kerja, Mbak. Biarkan mama dan keluarga lain tega sama kamu, tapi aku enggak. Sumpah, Mbak aku sangat takut doamu kemarin dikabulkan sangat cepat kepada kami. Toh aku juga punya hati nurani kali, Pak Poh sering banget kasih barang-barang, bahkan saat aku kuliah pun aku sering dikasih uang jajan, aku bukan tipe orang yang gak tahu terimakasih."
Ayuna hanya diam, mengamati ekspresi sang sepupu, tampak kalau dia memang tulus ingin membantu, hanya saja hati kecil Ayuna enggan berhubungan lagi dengan keluarganya, termasuk Arfan. "Aku gak mau berhutang budi, Fan. Sudah cukup kamu bawa motor buat aku, selebihnya biarkan aku hidup mandiri."
"Kenapa, Mbak? Apa karena Rajendra?"
Ayuna tak paham, kenapa Arfan menyinggung Rajendra dalam permasalahan ini. "Kenapa dengan Rajendra?"
Arfan menggeleng, lalu menunduk sebentar, seolah sulit mengungkapkan tentang Rajendra. "Kamu menolak bantuanku karena sudah mendapat dari Rajendra?"
"Oh itu, gak juga. Rajendra juga mau menanggung hidupku, Fan. Hanya saja aku tolak."
"Alasannya?"
Ayuna mengedikkan bahu. "Aku gak mau berhutang budi dengan siapa pun, meski dengab pacarku sendiri. Sejak kejadian aku diusir, aku sudah tidak percaya dengan orang lain, dan mengharuskan aku untuk hidup di kakiku sendiri."
"Kerja?"
Ayuna mengangguk. "Kerja apa?" tanya Arfan kemudian. "Kamu terlahir menjadi seorang putri loh, Mbak. Yakin kamu mau kerja."
Ayuna tertawa. Putri? Putri yang terbuang iya. "Dulu tuan putri, sekarang upik abu, Fan."
Keduanya pun tertawa, takdir kok ya sekejam ini menimpa Ayuna. Entah kebahagian apa yang akan ia dapatkan kelak, hingga saat ini harus berperang dengan sakit hati dan air mata.
"Karena kamu udah bawa motorku mungkin daftar ojol kali ya, lebih cepat dapat uang ketimbang jadi tutor privat!"
"Aku gak setuju, Mbak. Skill naik motor kamu tuh masih pemula banget, rawan jatuh atau kecelakaan di jalan, Mbak. Lebih baik menjadi tutor privat saja, nanti aku kasih tahu lowongannya, teman-temanku juga banyak jadi tutor privat."
"Nah kalau lowongan kerja begini aku mau dibantu, link pertemananku cetek banget soalnya."
"Beres! Selain tutor, mau kerja apa? Bilang aja, bakal aku bantu, setidaknya tenaga."
"Mungkin jualan online, skin care!"
Arfan mengangguk, "Lebih setuju yang ini sih, apalagi modal wajah udah mumpuni, nanti aku bawakan tripod dan kamera di rumah Mbak."
Ayuna tertegun. "Fan?"
"Kenapa?"
"Kamu melakukan ini gak mau menghancurkan aku lebih dalam lagi kan?"
"Enggak, aku gak sejahat mama. Aku masih punya hati nurani, Mbak. Aku adik sepupu kamu, yang siap sedia membantu kamu. Dan tolong, sebelum minta bantuan ke Rajendra, minta tolonglah kepadaku dulu."
"Sepertinya kamu gak suka dengan dia? Ada masalah apa?"
Arfan menggeleng, "Bukan gak suka, Mbak. Hanya saja aku gak mau kamu bergantung pada laki-laki yang belum tentu jadi suami kamu, Mbak. Khawatir saja dia sudah membantu, eh kalian putus."
"Ya Allah, Fan. Doamu loh!" protes Ayuna tak terima, Arfan pun tertawa. Setidaknya hari ini ia bisa melihat berbagai ekspresi Ayuna. Ternyata gadis itu masih tertawa.
Iya tertawa, terpaksa dan berusaha tertawa. Selebihnya menangis. Ayuna tidak bohong, ia hanya manusia biasa yang gak sanggup hidup sendiri tanpa keluarga, ia juga ingin menjerit memprotes sama Allah kenapa semua dihilangkan. Bukankah sang ayah dulu mencari nafkah dengan cara yang halal, kenapa harus dihilangkan semua.
Sepulang dari kampus, Ayuna hanya bisa merebahkan diri. Menatap langit-langit kamar, otaknya kosong sesaat, ponsel ia biarkan begitu saja meski bunyi notif pesan masuk atau panggilan telepon beruntun. Ayuna hanya butuh introspeksi diri, beristighfar sebanyak mungkin, setidaknya menata hati agar segera menerima takdir dengan lapang dada. Di depan semua orang ia bisa tegar, tapi kalau sendiri begini ya menangis.
Puas menangis, ia pun segera membersihkan diri dan bersiap beribadah menjelang petang. Duduk di atas sajadah menjadi rutinitas baru bagi Ayuna. Hatinya sangat lega setelah mengucap amin. Segala macam harapan, protes dan keluh kesah diutarakan secara langsung kepada sang pencipta. Meski masih ada ragu, namun tak dipungkiri ada ketenangan. Sedih dan tangis mungkin masih ada, tapi ia berjanji esok hari dirinya lebih siap dan segera berbenah diri.
"Iya kenapa, Fan?" jawab Ayuna menerima panggilan dari sang sepupu, setelah sholat isya dan puas curhat sama Allah, Ayuna mulai mengurus ponselnya.
"Dari mana aja, Mbak. Baru angkat telepon, udah berapa kali aku telepon gak ada jawaban," protesnya sedikit marah, ah lebih tepatnya khawatir.
"Ada apa?" tanya Ayuna to the point, ia tak mau membuka banyak aktivitas pada siapa pun, termasuk pada Arfan.
"Jawab dulu, Mbak dari mana?"
"Ck, habis sholat, Fan. Pulang dari kampus aku di kos aja!" jawab Ayuna sedikit kesal. Arfan pun memaklumi, dekat dengan sang pencipta adalah tujuan terbaik di semua situasi, apalagi dalam keadaan terpuruk begini.
"Ponakan teman kuliahku cari guru privat, SMP, mau bahasa inggris sama matematika, boleh tuh dicoba, rumahnya dekat dengan kos Mbak juga. Maunya Jumat sampai Minggu. Udah aku kasih nomor kontaknya di chat wa. Segera hubungi ya Mbak!" lapor Arfan.
Ayuna tersenyum tipis, sangat terharu. Pasti Arfan setelah bertemu tadi siang langsung ekskusi cari lowonga kerja. "Terimakasih, Fan, udah merepotkan kamu."
"Mbak ngomong apa sih, aku gak repot sama sekali kok. Rizekinya Mbak Ayuna aja, pas aku balik ke kampus bertemu temanku minta rekom tutor privat, ponakannya gak mau kalau ke bimbel."
"Ya pokoknya makasih banget, Fan."
"Oke. Sama-sama, ingat kalau butuh apa-apa bilang aku, gak usah sungkan. Hubungi aku dulu!"
"Iya."
"Udah makan malam?"
"Hah?" setiap ditanya makan, pasti Ayuna baru ingat soal makan. "Belum, habis ini mungkin cari makan sama Ersa."
"Gak usah, tunggu aja, habis ini aku mampir ke kos Mbak!"
Tut. Arfan menutup panggilan begitu saja tanpa mau mendengar respon kakak sepupunya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!