Kita memang tak pernah bisa menerka, akan bertemu siapa dalam hidup ini. Seperti kau dan aku, yang tak pernah berencana untuk saling menghampiri. Kita dipertemukan pada musim yang begitu deras, mencoba berbagi teduh disebuah bangku kosong. Sebelum akhirnya, seseorang membawa kita ketempat yang berbeda. Lalu, musim diwarnai cerita-cerita kecil, kepingan gambar, potongan video, hingga petikan-perikan lagu.
Tak ada yang tahu, akan kemana perjalanan kisah ini. Yang aku tahu, aku hanya tak ingin diantara kita saling melukai, walau sebenarnya, telah ada dua pasang hati yang dalam ambang kelukaan, karena kita.
Aku ingin kau tahu, aku teramat lelah menjalani semua dengan kepura-puraan. Pura-pura tertawa dibalik tangis, pura-pura baik-baik saja, sedang hati lara. Pura-pura bahagia, sedangkan rasa tercabik-cabik. Sebenarnya aku tak ingin lebih jauh menyakiti hati seseorang, hanya karena mu. Bisakah kau beri kepastian untukku? Bisakah kau mulai berani bersuara, jika kita saling membutuhkan, jauh sebelum kita mempunyai rumah masing-masing yang begitu mungil, bahkan rumah yang kita tempati ditempat yang berbeda, kata orang-orang begitu damai, sejuk lagi bersahaja.
Tak ada seorang-pun tahu, betapa sebenarnya kita menaruh bom waktu di masing-masing rumah mungil tersebut. Betapa kita seperti kambing yang berbulu domba. Entahlah apa sebutan yang pantas untuk kita. Yang jelas, Tuhan ikut andil dalam perihal masalah ini. Aku membutuhkanmu, pun sebaliknya, kau juga membutuhkanku.
Aku tak pernah membayangkan, akan ada dalam situasi yang sesulit ini. Karena sejak aku mengenalmu, yang aku impikan hanya masadepan kita, bukan dengan dia atau siapalah itu. Pun denganmu, kau tak pernah menginginkan pernikahan dengan seseorang yang bukan aku.
*****
Suatu hari, aku menerima sebuah pesan berupa lagu berjudul DEALOVA, yang dinyanyikan oleh sang maestro Once Mekel. Jika tidak salah, lagu tersebut dinyanyikan oleh sang legendaris di tahun 2005, sebelumnya lagu ciptaan Opic tersebut dinyanyikan langsung oleh penciptanya.
Entah apa maksudnya, ia mengirimiku sebuah lagu dengan judul tersebut. Mungkin, dia sedang tak nyenyak tidur. Akupun berusaha memutar lagu itu, hingga empat kali. Namun, aku masih belum paham apa maksudnya. Kalau didengar liriknya seperti orang yang sedang berharap, mungkin. Tapi, entahlah. Yang jelas, aku tidak pernah bertanya, apa maksudnya mengiriku lagu tersebut.
Dan semua seakan menjadi sebuah candu bagiku. Aku mulai terbiasa, bahkan bisa dibilang ketergantungan untuk memutar lagu-lagu yang kau kirim lewat sebuah pesan melalui ponsel. Seakan mengiringi bab -bab kisah yang kurangkai.
Lalu, aku ingat perihal ucapanmu, bahwa dalam suatu perjalanan kadang ada pertemuan yang tak pernah kita rencakan.
Akupun mulai bertanya padamu, "apakah ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini?"
Katamu, "kebetulan atau keberuntungan mungkin ada pada mereka yang tak percaya akan sebuah takdir."
Dan, akupun lanjut bertanya lagi, "kalau kamu, percaya apa?"
"Kamu," balasmu.
Akupun diam, menimbang jawaban.
Sekarang lewat tengah malam. Lagu-lagu yang kau kirim masih mengalun lirih, menemaniku dalam sebuah ruang hampa. Padahal hampir tiap hari kita bersama, tapi aku masih saja berjibaku dengan sebuah tanya yang terus saja kau gantung jawabnya.
Dan jika kau percaya kata Seno Gumira A, bahwa menulis adalah suatu cara untuk tetap bicara, maka. Inilah caraku menyampaikan sebuah pesan untukmu.
“Melarikan diri, atau lari dari seseorang?”
Akupun berjingkat, menoleh kearah bangku di sampingku, yang sebelumnya kosong, kini terisi. Pemilik suara itu, --yang bertanya entah pada siapa—seorang lelaki dengan memakai sebuah mantel yang basah kuyub. Tetesannya jatuh satu-satu dilantai, persis dekat kakinya. Akupun bergeser.
“Maaf,” dia menaruh ransel dengan setengah membantingnya, kemudian berusaha melepas mantel yang terbalut basah.
“Hujannya deras sekali,”
Aku hanya mengangguk. Hujan memang mengguyur tak henti sejak pagi tadi. Hingga menjelang sore seperti ini senja pun enggan melirik kemuka bumi.
“Jadi, kau melarikan diri atau sengaja lari dari seseorang?”
Lantas, akupun meliriknya, memastikan dia bertanya kepadaku. Tetapi, jika dia bertanya padaku. Wajahnya tak melihatku. Lelaki itu tengah sibuk mencari sesuatu disakunya. Seketika akupun mulai waspada. Aku pernah satu
bangku di dalam bus jurusan antar kota dengan lelaki bepakaian necis, lalu berpura-pura kehilangan dompetnya.
“Aarrgg, pasti ketinggalan!” Erangnya lirih, aku menggenggam erat tali ranselku, berniat menyingkir kalau dia mulai mengatakan sesuatu.
“Kamu, punya korek?”
Pertanyaan macam apa itu? Aku menggeleng.
“Pasti nggak punya, kan? Nggak apa-apa.” Diapun terlihat membanting kotak kecil putih persegi panjang. Aku baru paham, dia mencari korek api untuk menyalakan rokoknya.
“Kalau saya melarikan diri," tukasnya. “Lari dari kenyataan.” Dia tertawa gelak-gelak. Suaranya seperti sudah pernah kudengar, tapi entah dimana. Aku memang seperti itu, sering dejavu dengan apa yang aku lihat bahkan
aku jalani.
“Bertahun-tahun meyakini hal yang sama, ternyata tidak cukup untuk bertahan. Apalagi ketika tiba-tiba orang yang kau percaya mengatakan ada suatu perbedaan yang mungkin sulit untuk dibangun jembatan. Kamu tahu? omong
kosong macam apa itu?”
Tenggorokanku seketika kering, delapan jam sebelum aku duduk disini, seseorang yang tak ingin aku sebut namanya mengatakan perihal perbedaan kepadaku. Dia bertanya berulang-ulang, apa aku akan pergi lagi, atau tetap tingga. Dia, seseorang yang tak ingin kusebut namanya itu, mengatakan bahwa dirinya khawatir. Semakin lama aku pergi semakin ia tak mengenaliku lagi. Kalimat macam apa itu?
“Rasa seperti ditusuk jarum. Di sini,” lelaki didepan menepuk dadanya.
Ya, tepat aku juga merasakan hal yang sama. Sakit sekali.
Aku pulang, setelah beberapa musim di perantauan. Kubawa lembar-lembar novel serta puisiku yang dimuat media. Kuceritakan padanya bagaimana aku menulis di malam-malam panjang. Bagaimana sakitnya mendapat penolakan. Bagaimana aku berhemat agar bisa membeli kuota.
Ku katakan juga padanya, bahwa tulisanku yang ini, atau yang itu, terinspirasi oleh masa-masa yang kami lewati. Kusodorkan padanya untuk dibaca. Tapi menganggapnya, justru sebuah pertanyaan yang membuatku ternganga, “aku bilang Pak Kades kalau kamu akan pulang dalam waktu dekat," sama sekali diluar
yang aku duga.
“Setelah semua yang dia katakan, saya kira saya tak perlu bertanya apa maksudnya.” Lelaki disampingku membuyarkan lamunanku. Tetapi disaat yang sama juga menggiringku pada ingatan akan seseorang yang tidak mau aku sebut namanya itu.
Kemarin sempat kutanya, apa maksud perkataannya? Kenapa pula harus membawa-bawa Pak Kades? Tetapi, lelaki yang tak ingin aku sebut namanya itu justru melontarkan kalimat begini, “kukira selama ini aku memahamimu,. Ternyata tidak. Mungkin akumemang terlalu jauh, untuk mengimbangi pikiran-pikiranmu.”
Seketika aku merasa kesal. “Maksudmu apa sih?” kembali kusodorkan pertanyaan yang sama. Dan sekali lagi, dia menjawab diluar yang kukira. “Pergilah kalau ingin pergi. Aku tidak akan menahanmu. Aku tidak mau menjadi penghalang apa yang kamu inginkan, sebab aku tidak bisa memberi apa yang kamu impikan. Kita sudah tak perlu berpura-pura lagi.”
“Pura-pura apa?”
Rasa panas menyesaki dadaku, merangsek ke kerogkongan. Sepanjang ingatanku, dia tidak pernah berkata seketus itu padaku. Aku seolah tak mengenalinya lagi.
“Nggak semua hal yang terjadi sesui yang kita harapkan, bukan?” lelaki disampingku, sekali lagi membuyarkan lamunanku.” Manusia terima atau nggak, ya takdir tetap terjadi. Sekarang mungkin saya belum bisa terima, makanya saya lari. Siapa tahu, besok atau lusa saya bisa terima.” Dia terkekeh dengan kata-katanya sendiri.
“Dunia belum berakhir, hanya karena seseorang meninggalkan kita, bukan?” tanyanya lagi.
Kali ini aku mengangguk. Ya, dunia belum berakhir hanya karena seseorang tak mau mempertahankan keberadaanku.
“Hubungan kami mungkin berakhir, tapi saya nggak mau berakhir. Hari saya mungkin retak, tapi badan saya masih utuh. Saya hanya ingin menjadi manusia baik, ingin masuk syurga.” Terlihat, dia mulai tersenyum, senyum yang pedih.
Senyumnya seketika menular padaku. Tentu saja aku juga begitu. Aku ingin jadi orang baik. Dan aku ingin masuk syurga.
“Sebentar.”
Tiba-tiba lelaki itu pergi. Dia tak membawa ransel serta mantelnya. Setelah senyum yang ia tularkan, seketika aku kembali waspada. Jangan-jangan dia meninggalkan barang terlarang di dalam ranselnya. Bagaimana mungkin dia
menitipakan begitu saja barangnya pada orang yang tak dikenal.
Modus kejahatan sekarang macam-macam, bukan? Atau bagaiaman kalau di dalam ransel itu berisi bom, misalnya.
“Tuhan, aku tidak bisa membayangkan, kalau barang itu meledak, lalu aku hancur, lalu masuk berita. Mungkin di headline akan tertulis, ‘seorang penulis menjadi salah satu korban ledakan bom.’ Mungkin media sosial akan heboh. Dan mungkin karyaku akan dicari-cari. Oh Tuhan, tapi aku belum siap meninggal sekarang, aku masih ingin berkeluarga. Punya anak dan cucu.” Aku kembali gelisah, kuedarkan pandangan. Seketika aku dipenuhi kelegaan saat lelaki itu muncul. Terlihat ditangannya ada dua botol mizone.
“Minum.” Dia menawarkan satu untukku, aku menggeleng.
“Hanya minum mizone, jangan khawatir. Saya nggak kasih racun. Kan sudah saya bilang, saya ingin masuk syurga, jadi nggak mungkin ngeracuni orang. Yang ada nanti saya masuk neraka jalur VVIP.” Dia terkekeh. “Udah ambil!”
Aku ikut tertewa. Menerima sebotol mizone itu. Kemudian dia memindahkan botol dari tangan kiri ke tangan kanannya. Sementara aku, memeluk mizone dengan sepuluh jariku.
Untuk beberapa saat kami saling diam. Tepatnya, dia tidak lagi menceritakan tentang kepatahan hatinya. Lelaki itu sibuk meminum mizone.
“Kamu masih takut minum, ya?”
Aku menoleh. Tentu saja aku masih waspada. Bagaimana pun juga dia orang asing ‘kan?
“Kamu pasti curiga pada saya,” tuturnya lagi. Dia kembali menekuri botolnya, sebelum berdiri, dan melempar botol yang telah kosong ketempat sampah. “Tapi itu bagus. Kamu memang harus waspada dengan orang asing.
Apalagi… kamu terlihat sangat berantakan. Maaf. Maksudku terlihat seperti orang yang patah hati.”
Aku ternganga, “bukannya itu, kamu?”
Lelaki itu terkekeh kembali. “Nah gitu dong, bersuara. Dari sejak saya datang, saya hanya bermonolog saja. Saya sampai menduga kamu memang nggak bisa bicara.”
“Maaf..”
“Nggak apa-apa. Nah, tuh kereta saya mau berangkat. Terimakasih telah mau mendengar semua cerita saya.”
Lelaki itu bergegas mencangklong ranselnya. Tak lupa dia meraih mantel basah dan menyampirkan dilengan kirinya.
“Terimakasih mizone-nya.”
Dia mengangguk.”Semoga Tuhan selalu menjagamu.”
Lalu dia pergi, aku pun melihat langkahnya yang panjang-panjang dengan ransel membebani pundaknya. Begitu dia berbelok, aku baru ingat kami bahkan belum selaing kenalan. Harusnya aku tadi menanggapi ceritanya, bukan malah diam dan mencurigainya.
Penyesalan selalu terambat. Aku mengeluarkan buku cacatan kecil dari dalam ransel. Keretaku masih sekitar lima belas menit lagi. Masih cukup buatku untuk menulis premis cerpen, tentang lelaki bermantel basah yang membagi
isi kepalanya denganku, barusan.
“Harusnya, kau bilang ada yang ketinggalan.”
Aku berjingkat, mendongak kaget. Lelaki bermantel basah itu tiba-tiba muncul di hadapanku. Membungkuk, memungut sebungkus rokok yang terletak disampingku duduk.
“Maaf, saya tidak melihatnya.” Tukasku. Aku baru akan bertanya siapa namanya, ketika tiba-tiba merebut buku catatan dan pulpenku. Menulis sesuatu dengan cepat dan menyerahkan kembali sambil sedikit tersenyum.
“Sampai jumpa, gadis aneh.”
Kali ini dia benar-benar berlari.
Aku berdiri menatap langkahnya yang semakin menajauh. “Namanya?” Terikkaku.
Dia menoleh, “Pengelana.” Kemudian berbelok kedalam gerbong.
Aku masih berdiri menatap kereta yang pergi. Merasa menjadi tontonan orang-orang di ruang tunggu. Aku kembali duduk. Ku minum mizone yang tinggal setengah botol. Siapa tadi namanya?
“Pengelana? Maulana?
“Ini sampah kayanya dari kemarin, belum kamu buang-buang, Mhet?”
Aku tengah membaca ketika Rini masuk kedalam kamarku, mencari sesuatu dimejaku. “Ya ampun, kamu mau jadi pengepul sampah, Mhet?”
“Itu bukan sampah.”
“Botol kosong bekas minum kaya gitu, kamu bilang bukan sampah?”
“Itu barang bukti.”
“Barang bukti apa kenang-kenangan?”
Akupun terdiam. Menatap halaman buku yang bertengger didepanku, namun tidak membacanya. “Tidak semua pertanyaan harus dijawab ‘kan?”
Pada awalnya aku memang sengaja menyisakan sedikit mizone di dalam botol tersebut. Agar kalau ada apa-apa denganku, misalnya mendadak pinsan atau keracunan mulutku berbusa. Botol itu bisa menjadi sebuah bukti. Sekali lagi, bagaimana pun juga, bukah hal mudah menerima pemberian orang asing di tempat umum, bagiku.
Namun, hingga seminggu setelah minum mizone di hari hujan itu, aku tetap baik-baik saja. Justru aku berfikir kalau telah berprasangka buruk pada lelaki bermantel basah itu.
“Rini.”
“Hemm?” Rini telah menemukan barang yang sedari tadi dicarinya. Dia meminjam jarum dan benang, dan kini sedang duduk di depan kamarku, untuk menjahit kancing bajunya yang lepas.
“Apa aku terlihat seperti orang yang baru patah hati?”
“Hah? Patah hati dari Korea?” Rini tergelak. “Kamu bahkan terlihat seperti orang yang baru jatuh cinta?”
“Sembarangan!” kedua bola mataku melotot. Meraih boneka koala di sampingku lalu melemparkan kearahnya. “Aku tanya serius, Rin.”
“Seperti apa orangnya?”
“Siapa?”
“Yang ngasih kamu sebotol mizone itu lah? Sampai-sampai sampahnya nggak mau kamu buang. Malah kamu simpan?” Rini mengerling.
“Heh! Denger ya, aku nggak lagi jatuh hati padanya! Kenal aja nggak, kok mau jatuh hati. Aku tuh sengaja nyimpen botol itu, sebagai bukti kalau aku kenapa-napa!” Aku cemberut.
“Lah? Aku nggak tanya seperti itu. Aku kan hanya tanya, orangnya seperti apa? Kok kamu malah sewot. Atau jangan-jangan bener dugaanku, kamu emang lagi jatuh cinta sama dia.”
“Enggaklah, kamu sok tahu.”
“Terus seperti apa?”
Seperti apa?
Aku bahkan tidak terlalu detail mengingat wajah orang tersebut. Karena aku tak memandangnya ketika ia tengah bercerrita. Hanya sesekali menoleh, itupun dia sedang membelakangiku, dan aku juga tidak berani lama-lama
menatapnya. Bukankah memang begitu sebagai bentuk waspada? Lagi pula, ayah selalu berpesan agar aku tidak lama-lama memandang lelaki, terutama matanya. “Bahaya, tundukkan pandanganmu,” begitu pesan beliau.
Tapi aku masih ingat dengan jelas suaranya. Caranya bercerita. Nada bicaranya. Bahkan caranya menertawakan dirinya sendiri. Apalagi upaya memaksaku menerima sebotol mozine darinya.
Aku juga masih ingat jelas, bagaimana dia mencangklong ranselnya, menyampirkan mantel basahnya, dan langkahnya yang panjang-panjang. Lalu saat ia merebut buku catatan dan pulpenku, dan menulis nomor telponnya di sana. Tulisannya begitu rapi, bahkan lebih rapi daripada tulisanku. Meskipun dia menulis nomor sangat tergesa-gesa.
Sampai hari ini, entah sudah berapa kali aku mengamati angka yang tertera di bukuku. Bahkan rasa-rasanya aku telah hafal angka itu diluar kepalaku. Namun, tentu saja aku tidak mungkin menghubunginya lebih dulu ‘kan?
Ya Tuhan. Benar tidak mungkin. Untuk alasan apa? Mengucapkan terimakasih untuk sebotol mizone? Bukankah aku sudah mengucapkan terimakasih atas pemberiannya? Atau minta maaf karena telah berprasangka buruk dan tidak menanggapi segala ceritanya?
Oh, mungkin sekedar bertanya apakah patah hatinya sudah sembuh? Yang ini begitu tidak sopan. Aku jarang menyapa orang asing terlebih dulu –maksudku lawan jenis –jika tidak ada kepentingan. Di media sosial sekalipun, apalagi ini nomor ponsel. Terlalu privasi. Tapi, bisa jadi, baginya memberi nomor ponsel ke orang asing sesuatu yang biasa ‘kan?
Lalu yang dia katakan tentangku itu…
“Eh, Rini, masa katanya aku terlihat berantakan, seperti orang yang baru patah hati.”
“Mungkin itu hanya alasan dia untuk ngasih kamu mizone?”
“Sungguh? Kenapa aku tidak terpikir demikian ya, Rin?”
“Hati-hatilah.”
Aku mengembungkan pipi. Tapi saat itu moodku benar-benar sedang dalam keadaan buruk. Setelah pembicaraan dengan… ya, orang yang tak ingin ku sebut namanya itu. Dan itu adalah pertengkaran pertama antara aku dan
dia, jika tidak, bisa juga disebut perdebatan terburuk yang pernah terjadi sepanjang kebersamaan kami.
Dia memang teman debat pertamaku, tidak mau kalah, tetapi kepadaku dia lebih sering mengalah. Meskipun dia yang benar. Meskipun aku yang salah bicara, mislanya. Tetapi, bahkan pesannya pun tidak muncul di layar ponselku. Aku tidak pernah merasa sekesal itu terhadapanya.
Hingga datang lelaki bermantel basah itu. Yang dengan santai bercerita kalau dia melarikan diri. Lari dari kenyataan. Lalu saat itu kusadari, bahwa aku pun memang sedang melarikan diri, lari dari seseorang.
Dan meski kemudian seenaknya saja lelaki bermantel basah itu mengatakan jika aku terlihat berantakan, tetapi entah kenapa setelahnya aku sedikit merasa tidak terlalu buruk. Apakah karena aku menyadari, bukan
satu-satunya orang yang sedang sakit hati? Atau karena efek sebotol mizone? Oh, sungguh memusingkan.
“Rini, malaikat bisa menjelma sebagai manusiakah?”
“Jadi, kamu pikir yang ngasih kamu sebotol mizone itu malaikat, Mhet? Rini menggeleng-geleng. “Dasar tukang ngayal.”
Siapa tahu, Tuhan mendatangkan dia agar aku tidak terlalu sedih. Bukankah tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini? tapi apa iya, malaikat meninggalkan nomor ponselnya? Entahlah.
“Mheta, apa kamu bertengkar dengan Daffa?” pesan dari ayah. Bagaimana
beliau tahu jika kami sedang bertengkar?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!