"Okaa-san!! Chikokuda!!"
Hikori menggeser pintu Shoji dengan keras, dia terlambat sebab semalam menemani temannya bermain vidio game. Dengan segenap kekuatan ninja dia berlari dengan handuk dipundaknya.
"Hiko, pelan kan langkah mu! Kalo sudah mandi cepat sarapan," nyonya Kazoi terkejut dengan kelakuan anaknya yang melintas tepat didepannya.
"Ha'i!" Teriakan Hikori terdengar dari arah kamar mandi sedangkan sang ibu hanya bisa pasrah dengan menggelengkan kepalanya.
*****
"Hiko! sarapan yang benar jangan buru-buru," Hikori tak peduli dengan perkataan ibunya, dengan sekali tegukan susu putih sudah kandas diminum olehnya.
"Gomen okaasan, aku kesiangan aku takut bus sekolah keburu berangkat, yosh! ittekimasu...." Hikori berlari Keluar rumah tangannya melambai pada ibu tercinta.
"Ck anak itu, itterasshai," nyonya Kazoi tersenyum membalas lambaian tangan Hikori, dia kembali masuk ke dalam rumah tidak lupa pula mengunci pintunya.
*****
"Untung masih keburu," Hikori duduk di paling belakang bus sambil mengatur nafasnya yang memburu.
"Yo! Hikori," sapa seorang siswa kepadanya.
"Ne, Ichi," Hikori membalas sapaan dari anak yang bernama Ichi atau lebih tepatnya Urayashi Ichi.
"Oh, ya, Hiko nanti kita lanjutkan game yang semalam."
"Jika tidak ada tugas."
"Baiklah-baiklah terserah kau saja," ucap Ichi mengalah.
Obrolan mereka berlanjut sampai tidak terasa bus telah berhenti di SMA terbaik di Tokyo.
"Oi! Matte Ichi-san," Hikori berlari menghampiri Ichi yang mendahuluinya.
"Kau lama sekali, ayo cepat," Ichi merangkul pundak Hikori.
Mereka mulai berjalan kelas mereka, XI-B dimana kelas mereka berada. Hikori duduk dipojok kanan dekat jendela sedangkan Ichi duduk didepan Hikori.
"Hiko, jangan lupa nanti pulang sekolah kita harus kumpul ekskul voli," Ichi berbalik untuk mengobrol dengan Hikori.
"Ha'i, aku tak akan lupa."
Beberapa menit setelah Hikori berbicara guru yang mengajar mereka datang.
Kurang lebih tiga jam mereka belajar bel istirahat akhirnya tiba.
"Hikori kita makan di atap," ajak Ichi pada Hikori.
"Aku lupa membawa bekal, bisakah kita ke kantin dulu?" Karena terlambat Hikori sampai lupa membawa bekalnya padahal sebelumnya Hikori belum pernah lupa dengan bekal makan siangnya.
"Tentu saja, ayo cepat," Ichi menarik tangan Hikori agar mempercepat langkahnya.
Sesampainya mereka di kantin Hikori memesan onigiri dengan cola, tak mau membuang waktu mereka langsung bergegas menuju atap.
"Ichi-san kita makan disini saja," mereka berhenti di tempat yang teduh dan lumayan jauh dari keramaian.
"Yosh suwarou," mereka mengeluarkan makanan masing-masing.
"Itadakimasu!" Seru mereka secara bersamaan.
"Ne~ Hiko apa kau sudah mengerjakan tugas bahasa?" Ichi angkat bicara setelah mereka menyelesaikan makannya.
"Hm, sepertinya belum," Hikori menjawab dengan wajah yang sedang berpikir.
"Sebaiknya kau kerjakan hari ini karena besok harus dikumpulkan," Ichi memberikan saran dengan tangan yang sibuk membereskan kotak bekalnya.
"Iya aku memang berencana mengerjakannya nanti malam," Hikori bangkit dari duduknya menuju tempat sampah yang berada tak jauh dari tempatnya.
"Yo! Hikori," Morikawa Miyo teman satu club Hikori datang menghampiri dengan dua teman dibelakangnya.
"Ne, Miyo-san, Suikari-san, dan Nao-san," Hikori membalas sapaannya.
"Oi! Hikori kau membuang sampah lama sekali!!" Mikan berteriak dari tempat duduknya.
"Minna-san sebaiknya gabung saja dengan kami," saran Hikori disambut baik oleh mereka.
"Ha'i Hiko-kun," Miyo menjawab dengan semangat.
Mereka kembali ke tempat Ichi berada beberapa menit mereka mengobrol bel tanda istirahat selesai telah berbunyi.
Dengan sedikit basa-basi mereka kembali lagi ke kelas masing-masing.
Tak lama Hikori dan Ichi masuk, guru yang mengajar datang langsung memulai pembelajaran.
Tet.. tet.. tet...
Bel terakhir akhirnya berbunyi entah kenapa suara itu bagaikan angin surga untuk mereka ibarat dipenjara lalu dibebaskan mereka berhamburan keluar kelas menyisakan murid yang mendapatkan piket hari ini.
Hikori dan Ichi tidak ingin lama-lama didalam kelas mereka langsung menuju ruang khusus untuk ekskul voli.
"Konnichiwa minna-san," sapa mereka saat memasuki ruangan itu di sana sudah banyak anak-anak lain yang sedang duduk disembarang tempat.
"Ichi! Hikori! Kemari," Yasuhiro mengajak mereka untuk bergabung dengan kumpulan para senpai, terdiri dari lima anggota yaitu Yasuhiro, Shin ketua klub voli laki-laki, Isamu, Masayuki dan Ryota.
"Ha'i senpai," ichi menjawab dengan mengandeng tangan Hikori menuju kearah mereka.
Mereka membicarakan apa yang akan dilakukan hari ini setelah mendapatkan kesepakatan mereka berencana akan melakukan latihan-latihan kecil yang tidak terlalu berat dan kebetulan hari ini Anami dan Kishima sensei tidak datang karena ada halangan.
16.42
Mereka melakukan latihan sampai lupa waktu karena karena cukup lelah dengan latihan kali ini dan teringat tugas yang belum dikerjakan. Hikori dan Ichi berinisiatif untuk menghentikan latihan untuk hari ini.
"Senpai aku lupa belum mengerjakan tugas bolehkah aku pamit duluan?" Dengan dalih mengerjakan tugas Hikori pamit pada Shin.
"Hikori memangnya kau punya tugas apa?" Yasuhiro tiba-tiba menghampiri mereka dengan wajah yang tak senang.
"Membuat puisi senpai," Hikori tak sepenuhnya berbohong dia memang sudah jenuh dan lelah tapi dia tak mengindahkan bahwa benar dia belum mengerjakan tugas bahasa.
Mendengar jawaban Hikori, Yasuhiro tersenyum senang.
"Ichi apa kau juga belum mengerjakan?" Yasuhiro melirik kearah Ichi yang berada dibelakang Hikori.
"Aku sudah mengerjakannya senpai."
"Baiklah kau pulang duluan, aku akan membantu Hikori mengerjakan tugasnya," tentu saja perkataan Yasuhiro mengundang kecemburuan Ichi.
"Ya! Senpai tau gini aku gak akan mengerjakannya kemarin," Ichi kesal karena tumbenan Yasuhiro membantu orang lain karena biasanya dia menjadi masalah bagi orang lain.
"Jangan banyak bicara cepat pulang sana," Yasuhiro mengusir kembali Ichi dengan wajah cemberut dia pamit untuk pulang duluan.
"Dan kau Hikori ikut aku," tanpa banyak bicara Hikori mengikuti Yasuhiro ke kursi penonton.
"Mana, aku minta bolpoin dan kertas," mendengar perintah Yasuhiro, Hikori mengambil kertas beserta bolpoin di dalam tasnya.
Beberapa menit Yasuhiro menuliskan puisi barulah dia selesai.
"Nah Hiko sudah selesai," Hikori mengambil kertas yang disodorkan oleh Yasuhiro.
"Tomino no jigoku?" Gumam Hikori tanpa banyak bertanya dia memasukkan kertas dan bolpoin ke dalam tas.
"Arigatou senpai," Hikori berterima kasih sambil ber-ojigi.
"Tidak masalah, malah aku senang bisa membantumu," Yasuhiro menyengir dengan tangan yang merangkul pundak Hikori.
"Kalo begitu aku pulang duluan senpai," Hikori mengangkat tangan Yasuhiro dari pundaknya.
"Kau yakin tak mau pulang bersama?"
"Ah, tidak senpai sepertinya kalian akan lama aku pulang duluan saja," Hikori mencoba untuk menolaknya secara halus karena dari lubuk hati yang paling dalam dia sudah capek ingin mengistirahatkan tubuhnya.
"Hah baiklah aku tak bisa memaksa, kalo begitu hati-hati dijalan Hikori-chan," dengan wajah kesal karena sebutan Yasuhiro yang menambahkan suffix Chan dibelakang namanya dia melenggang pergi dari ruang klub voli.
to be continued
"Tadaima," Hikori membuka pintu rumahnya sambil menyimpan sepatu ditempatnya.
"Okaerinasai," nyonya Kazoi datang menyambut anak laki-lakinya.
"Hiko apa kau mau makan dulu?"
"Ie okaasan aku mau langsung istirahat," Hikori melangkahkan kakinya ke kamar miliknya.
"Aku penasaran dengan puisi yang dibuat Yasuhiro senpai dari judulnya sudah aneh apa dia berniat mengerjai ku, hah lebih baik aku baca dulu sekarang daripada nanti aku ditertawakan karena puisi aneh ini," rambut yang masih basah dengan handuk dengan mengantung dileher dia berbicara dengan dirinya sendiri.
Hikori mengambil kertas yang berisikan puisi didalam tasnya.
"Tomino no jigoku," lagi-lagi dia membaca judulnya Hikori masih tidak paham kenapa Yasuhiro memberikan judul yang sangat aneh menurutnya.
"Tak apalah aku akan membacanya," Hikori mulai membacanya dalam hati.
"トミノ の事後 (tomino no jigoku)
_
Saijo yaso
_
Ane wa chi wo haku, imoto wa hihaku.
Kawaii tomino wa tama wo haku.
Hitori jihoku ni ochiyuku tomino.
Jigoku kurayami hana mo naki.
Muchi de tataku wa tomino no aneka.
Muchi no shubusa ga ki ni kakaru.
Tatake yatataki yare tataka zutotemo.
Mugen jigoku wa hitotsu michi.
Kurai jigoku e anai wo tanomu.
Kane no hitsu ni, uguisu ni.
Kawa no fukuro ni yaikura hodoireyo.
Mugen jigoku no tabishitaku.
Haru ga kitesoru hayashi ni tani ni.
Kurai jigoku tanina namagari.
Kagoni yauguisu, kuruma ni yahitsuji.
Kawaii tomino no me niya namida.
Nakeyo, uguisu, hayashi no ame ni.
Imouto koishi to koe ga giri.
Nakeba kodama ga jigoku ni hibiki.
Kistunebotan no hana ga saku.
Jigoku nanayama nanatani meguru.
Kawaii tomino no hitoritabi.
Jigoku gozarabamo de kitetamore.
Hari no oyama no tomebari wo.
Akai tomehari date niwa sasanu.
Kawaii tomino no mejirushini."
(Translate diakhir chap)
"Nani kore! Kenapa puisi ini aneh sekali aku benar-benar tidak bisa memahami isinya," Hikori masih bingung dengan puisi ini, dia kembali membacanya pelan-pelan dengan suara yang lantang.
Baru setengah puisi yang dia baca tiba-tiba telinga Hikori mendengung keras. Dia tidak dapat mendengar apapun bahkan suara sendiri. Dia menutup telinganya merasakan sakit yang amat sangat.
Darah mengalir dari hidungnya kepalanya terasa berputar-putar, keringat dingin membasahi tubuh. Hikori, dia ambruk merasakan sakit di telinganya.
"AARRGGGHHHH!!" Setengah kesadaran sudah terenggut Hikori cepat-cepat meremas puisi buatan Yasuhiro melemparnya ke tong sampah.
Setelahnya darah berhenti mengalir, keringat berhenti bercucuran, kepala berhenti berputar, telinga pun berhenti berdengung. Tapi mata mulai memberat, kegelapan menghampirinya kesadaran Hikori telah direnggut sepenuhnya.
Nyonya Kazoi terkejut dengan teriakan Hikori. Dia yang berada di taman belakang cepat-cepat menghampiri kamar anaknya.
Alangkah terkejutnya dia melihat Hikori yang terkapar tak berdaya diatas futonnya. Darah di hidungnya sedikit mengering.
"Hiko-Kun bangun," ibunya mengguncangkan tubuh Hikori, namun Hikori enggan untuk membuka matanya.
Dia berjalan ke dapur untuk membawa lap dan air, dia kembali lagi ke kamar Hikori. Mengelap darah dari hidungnya dan tangan Hikori. Dia membiarkan Hikori terbaring begitu saja setelahnya ia kembali melanjutkan kegiatan berkebunnya.
17.50
Hikori bangun dari tidurnya merasakan sedikit pening di kepalanya. Dengan cepat dia bersiap-siap ke sekolah. Puisi yang dibuangnya diambil kembali ingin menunjukkan kepada Ichi.
"Okaasan ohayou,"Hikori menyapa ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.
"Ne ohayou Hikori-kun, kemarin kenapa kau berteriak?" nyonya Kazoi menyapa balik anaknya sambil menata makanan dimeja makan.
"Aku hanya kaget karena darah tiba-tiba mengalir dari hidungku," Hikori tersenyum canggung karena berbohong.
"Jangan berteriak seperti itu lagi! Okaa-san khawatir."
Hikori tersenyum cengengesan. "Gomen ne okaa-san."
Selesai dengan sarapannya Hikori segara bergegas menuju sekolah.
"Hiko apa bekalnya sudah dibawa?" seperti biasa nyonya Kazoi mengantarkan Hikori ke depan rumahnya.
"Sudah, Okaasan aku berangkat," Hikori melambaikan tangannya pada sang ibu.
"Ne, Hikori hati-hati dijalan," setelah melihat Hikori menjauh nyonya Kazoi langsung pergi kedalam rumah.
Tidak seperti sebelumnya sekarang Hikori tengah menunggu bus sekolah bersama teman satu sekolahnya. Beberapa menit bus datang mereka langsung berhamburan masuk ke dalam, masih sedikit lama dari jam keberangkatan Hikori memilih untuk mendengarkan musik dengan headphone yang tersambung dengan handphonenya.
Terlena dengan lagu yang didengarnya Hikori tak sadar seorang setengah jam sudah berlalu. Setelah benar-benar berhenti semua murid segera keluar.
Tak mau berlama-lama Hikori berjalan ke kelasnya.
Sungguh heran melihat Ichi yang sudah duduk di kursinya. "Ohayou, Ichi-san tumben sekali kau sudah berada disekolah," Hikori duduk menyimpan tasnya dibawah.
"Tadi aku diantar oleh aneki ku," terjawab sudah rasa penasaran Hikori, Ichi itu salah satu siswa yang sering terlambat jadi tak heran kan kalo Hikori heran dengan keberadaan Ichi.
"Oh, ya, Hiko aku ingin melihat puisi yang dibuat Yasuhiro senpai kemarin."
"Kebetulan aku ingin tahu puisi apa ini," Hikori menyerahkan selembar kertas yang rusak karena remasannya.
Ichi sangat terkejut setelah membaca judul dari puisi itu tanpa basa-basi dia langsung merobek kertas itu didepan Hikori tak tanggung-tanggung dia hanya menyisakan kertas-kertas kecil yang berserakan di atas meja Hikori.
"Apa yang kau lakukan?"
"Hei! Hiko apa kau gila dari judulnya saja semua orang sudah tau kalo puisi ini adalah puisi terkutuk."
"Maksud mu? Memang kemarin aku mengalami kejadian yang aneh, saat membaca puisi itu dengan lantang aku merasakan telinga ku berdengung dan hidungku mengeluarkan darah."
Ichi membulatkan matanya, puisi ini memang bukan untuk main-main.
"Ini adalah puisi terkutuk Hiko! Saat kau membacanya dengan lantang atau mendengarnya lebih dari tiga kali kesialan akan menimpa dirimu! Sebaiknya kau berhati-hati."
"Aku harus bagaimana?" Tanya Hikori cemas.
"Pulang sekolah pergilah ke kuil berdoa pada Kami-sama untuk dijauhkan dari kesialan."
"Eh, Hiko apa kau tahu kalau puisi ini adalah salah satu urban legend?" Ichi tahu kalau sahabatnya itu besar di Jerman dan dia yakin keluarganya belum pernah menceritakan urban legend.
"Aku tidak tahu."
"Puisi Tomino merupakan puisi terkutuk yang sangat ditakuti. Konon Tomino adalah gadis kecil yang cacat suatu hari dia menuliskan sebuah sajak puisi untuk diperlihatkan pada orangtuanya, tapi karena isi puisinya sangat aneh orangtuanya memarahi dan menghukum tomino, lalu mengurung tomino di gudang sempit dan tak diberi makan. Dalam keadaan kelaparan akhirnya tomino meninggal, selang beberapa hari kemudian orang tua tomino mati dengan tak wajar."
Hikori membulatkan matanya mendengar cerita dari Ichi, kalo benar ini adalah puisi kutukan kenapa Yasuhiro memberikan puisi itu padanya, apa mungkin dia punya niat jahat terhadap Hikori?
"Kau sudah membuat puisi yang baru?" Hikori menggeleng lemah.
"Buatlah sekarang aku akan membantumu,"
Hikori mengambil kertas dan bolpoin di tasnya setelah berterimakasih pada Ichi. Hikori mulai berpikir kata yang pas untuk setiap bait di puisinya.
...TBC...
Neraka Tomino
Kakak yang memuntahkan darah, adik yang meludahkan api.
Tomino yang lucu meludahkan permata yang berharga.
Tomino meninggal sendirian dan terjatuh ke dalam neraka.
Neraka kegelapan, tanpa dihiasi bunga.
Apakah itu kakak Tomino memegang cambuk?
Jumlah bekas luka berwarna merah sangatlah mengkhawatirkan.
Dicambuk dan dipukul sangatlah mendebarkan,
Jalan menuju neraka yang kekal hanyalah salah satu cara.
Mohon bimbingan ke dalam neraka kegelapan,
Dari domba emas, dan dari burung bulbul.
Berapa banyak yang tersisa dari dalam bungkusan kulit,
Disiapkan untuk perjalanan tak berujung menuju neraka.
Musim semi akan segera datang ke dalam hutan serta lembah,
Tujuh tingkat di dalam gelapnya lembah neraka.
Dalam kandang burung bulbul, dalam gerobak domba,
Di Mata Tomino Yang Lucu Meneteskan airmata .
tangisan burung bulbul, dibalik hujan dan badai
Menyuarakan cintamu untuk adik tersayangmu.
Gema tangisanmu melolong melalui neraka,
serta darah memekarkan bunga merah.
Melalui tujuh gunung dan lembah neraka,
Tomino yang lucu berjalan sendirian.
Untuk menjemputmu ke neraka,
Duri-duri berkilauan dari atas gunung
menancapkan duri ke dalam daging yang segar,
Sebagai tanda untuk Tomino yang lucu.
"Senpai! kenapa kau tega memberikan puisi terkutuk itu padaku!" tak terima dengan kejadian puisi Tomino Hikori datang memarahi Yasuhiro yang sedang duduk di pinggir lapang.
"Kau kenapa Hiko datang-datang langsung marah," dengan tanpa dosanya Yasuhiro bertanya seolah tak pernah berbuat salah.
"Jika kau berniat mencelakaiku jangan begitu caranya!" Kerasnya suara Hikori mengundang seluruh pemain menghampiri mereka ya kecuali satu Suikari yang betah duduk dengan komik ditangannya.
"Aku tak mengerti dengan yang kau katakan," Yasuhiro bangkit menghadap Hikori.
"Kemarin kau membuatkan puisi untukku walaupun sebenarnya kau tahu kalau puisi itu adalah puisi terkutuk!" Bukannya melerai pertikaian yang lain hanya melihat tak berani angkat bicara.
"Ohh yang itu, ayolah Hikori kenapa kau sampai marah aku kan hanya bercanda," Yasuhiro mengganggap puisi itu sebagai guyonan dia tidak berpikir kalau dari puisi itu ada satu nyawa yang dipertaruhkan.
Bukannya mereda amarah Hikori makin menjadi dengan pernyataan Yasuhiro. "Kau bilang itu becanda? Apa kau juga menganggap bahwa nyawaku adalah bahan candaan?!"
"Hei kalian, sudah hentikan! kita ini keluarga tak baik jika bertengkar hanya karena masalah seperti ini kalian itu sudah SMA bukan anak kecil lagi, aku mau kalian minta maaf sekarang," Shin yang baru masuk tak sengaja mendengar suara Hikori yang sedang marah, tak ingin tau awal permasalahannya dia langsung melerai mereka berdua.
"Kenapa aku harus minta maaf? Aku tidak salah, jika ada orang yang pantas disalahkan itu Yasuhiro senpai."
"Aku minta kalian minta maaf, Yasuhiro kau minta maaf pada Hikori dan Hikori minta maaf juga pada Yasuhiro"
"Gomen," Yasuhiro minta maaf walau tak rela, dia merasa bahwa Harga dirinya sedang diinjak-injak.
"Hai senpai, watashi mo gomennasai," sama seperti Yasuhiro, Hikori juga tak rela untuk minta maaf pada senpai nya.
"Nah seperti ini kan lebih baik," Shin memang tak suka keributan apalagi jika keributan itu ada di anggota yang dipimpinnya.
"Menurutku ini tak lebih baik, aku tidak suka melihat mereka akur," Fujiwara Haya yang merupakan anggota club voli perempuan kecewa pertunjukan dadakan yang menurut dia menarik berakhir damai.
"Haya-chan tak baik berkata seperti itu," Mori Saki ketua club voli perempuan menegur prilakunya Haya.
"Hai wakatta," Haya membalas ucapan Saki dengan malas.
"Kau ini," ucap Saki.
"Hei semuanya dengar kemari! Hari ini Anami dan kishima sensei tak bisa hadir kembali, mereka menyuruh kita untuk pulang!" Shin berteriak untuk memberitahu kan kawan-kawannya.
"Jangan pulang lah di rumah gak ada kegiatan," Yasuhiro menyerukan pendapat nya.
"Benar kata Yasuhiro lagipula di rumah aku bosan," Haya menyetujui permintaan Yasuhiro.
"Terus kalo kalian tidak ingin pulang ke rumah, kita mau ngapain disini?"
"Bagaimana kalo kita bermain truth or dare," Eri mengusulkan teman-temannya untuk bermain truth or dare yang kebetulan permainan ini sedang hangat-hangatnya dibincangkan di kalangan remaja.
Sedikit perkenalan anggota klub voli, Pertama dari club voli perempuan. Terdiri dari sembilan anggota enam anggota inti dan tiga anggota cadangan. Empat kohai dan lima senpai dipimpin oleh satu pelatih yaitu Anami sensei. Di kalangan senpai ada Mori Saki selaku ketua tim. Lalu Fujiwara Haya, Tanaka Arisu, Watabene Eri, dan Mizuno Yume.
Untuk kohai, ada Morikawa Miyo, Sakuragi Suikari, Inoue Reinoka dan Shimizu Nao.
Untuk anggota laki-laki terdiri dari sepuluh orang dipimpin oleh Kishima sensei. Diketuai oleh Sato Shin, lima senpai dan lima kohai. Dikalangan senpai ada Sato Shin, Taka Yasuhiro, Yuu Isamu, Osamu Ryota, dan Tsukino Masayuki. Untuk kohai ada Kazoi Hikori, Urayashi Ichi, Tsuki Sora, Hajime Rikoaki, dan Kyouya Naichi.
"Aku setuju!" Naichi menjawab dengan semangat.
"Ku rasa itu tidak buruk, aku ikut," Hikori setuju dengan usulan teman perempuannya itu.
Mereka mulai membuat lingkaran dengan satu botol minum di tengah-tengah mereka, semuanya bermain dengan gembira dan diselingi candaan tak terkecuali Suikari yang ikut bermain.
Sudah banyak yang kena sebagian perempuan lebih banyak yang memiliki truth sedangkan laki-laki selalu memiliki dare karena tak ingin dianggap sebagai pecundang.
Karena sudah terlalu lama mereka memutuskan untuk menyudahi permainan, putaran botol terakhir menunjuk pada Hikori, celakanya Hikori malah memilih dare dia tidak tau kalo Yasuhiro sudah menyiapkan tantangan untuk Hikori.
"Tantangan untukmu Hiko, aku ingin kau memainkan permainan Daruma-san," Daruma-san adalah permainan hantu yang tersohor di negara matahari terbit ini, banyak yang menganggap jika permainan ini bisa membawa petaka buruk bagi siapa saja yang memanggilnya.
"Daruma-san?" Ingat Hikori besar di Jerman. Dia baru saja pindah ke tanah kelahirannya satu tahun lalu. Dan selama satu itu dia belum pernah dicekoki hal-hal mistis.
"Omae wa kurutte iru!" Ichi tak tinggal diam ketika temannya dikerjai dengan hal yang mengerikan seperti ini.
"Aku? Aku tidak gila, Hikori sendiri yang memiliki dare, aku hanya memberinya tantangan apa salahku?" Pada dasarnya Yasuhiro anti dengan mengalah.
"Iya benar yang dikatakan Yasuhiro, dia tidak salah, Hiko-kun sendiri yang memilih dare," Haya menimpa ucapan Yasuhiro.
"Tapi Haya-chan itu kan permainan--" perkataan Arisu langsung terhenti berkat bekapan Eri.
"Itu kan permainan yang menyenangkan, sayang sekali aku tak bisa ikut bermain dengan Hiko-kun," Eri menambah perkataan Arisu yang terpotong.
"Hei! Yasuhiro, ganti tantangannya kalo tidak aku akan menghajar mu sekarang," Saki berusaha mengancam Yasuhiro
"Aku tak takut denganmu, kau pikir kau siapa aku akan tetap menginginkan Hikori memainkan permainan Daruma-san, kalo kau tidak mau Hikori! Aku akan mengganggapmu sebagai seorang pecundang selama sisa hidupku," Yasuhiro memang pandai menghasut seseorang, harga diri adalah hal yang paling dijaga oleh pria.
"Baik aku akan melakukan permainan itu, Yasuhiro senpai jelaskan padaku bagaimana cara memainkannya," sebenarnya Hikori ragu dengan permainan Daruma-san tapi tidak punya pilihan dia tidak ingin dicap sebagai pecundang.
"Oi fuzakenna Hikori! Cabut kembali kata-kata mu!" Rikoaki marah dengan keputusan Hikori yang menurutnya sangat tidak menguntungkan.
Rikoaki adalah teman seangkatan Hikori dia percaya urban legend itu nyata, karena dia sendiri pernah mengalami salah satu dari banyaknya urban legend yang ada di negeri sakura.
"Kenapa kau melarangnya Aki-kun? Hikori-kun sedang membuktikan kalau dia bukan pecundang," sahut Yume kakak kelas Hikori dengan rambut pendek sebahu dia selalu memakai bando pita berwarna biru langit.
"Hikori jangan lakukan permainan itu! Aku peringatkan kau jangan pernah memainkannya," ucap Ichi.
"Jadi kau mengakui bahwa kau seorang pecundang?" Yasuhiro menatap Hikori dengan senyum meremehkan.
"Watashi? CK! tidak akan pernah, cepatlah katakan bagaimana cara mainnya."
"Hikori kau serius?" Ichi kembali menatap Hikori tak percaya.
"Iya aku serius."
"Baiklah jika itu mau mu aku tak bisa memaksa, kalo ada apa-apa kau bisa bicara denganku."
"Hai," mendengar jawaban serius dari Hikori, Yasuhiro langsung menjelaskan bagaimana cara mainnya.
Selesai menjelaskan semuanya, mereka memutuskan untuk pulang.
to be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!