Huuuh.... Adila menjatuhkan tubuhnya diatas kasur empuk yang terbuat dari bulu angsa, mengangkat satu persatu kaki keatas, menarik sepatu highheel dan melemparnya kesembarang arah.
Ia memijit pilipisnya yang terasa sakit, jam tidur malam yang hanya dia gunakan beberapa jam saja, membuat matanya berkunang-kunang dan perih.
Masih tidur terlentang, ia merogoh tas jinjing dan mencari sesuatu disana. Berhasil menemukannya, ia angkat selembar kertas itu ke udara.
Getir... menatap angka dua dengan nol yang berderet tujuh buah dibelakangnya, haaah.... harga tubuhnya yang dibayar dalam satu malam.
Cek sebesar dua puluh juta atas nama Aditya Putra Wiriatmaja di sebuah Bank Swasta terkemuka di Indonesia yang memiliki banyak cabang diseluruh negara di Asia.
Ada rasa perih menjalar dan merambat hingga terdalam ulu hatinya.
Sekarang apa bedanya dia dengan wanita malam??? berhasil tidur dengan seorang pria dewasa yang menganggap dia tak ubahnya seorang wanita murahan yang bisa dibeli dengan uang.
Air matanya menitik, namun buru-buru dia hapus... No...No..No... dia Adila Dimitri, tidak akan menangis dan mengemis cinta seorang laki-laki kejam yang sudah merenggut masa depannya. Dia akan melakukan apapun untuk membalas semua sakit hati kepada mantan kekasihnya, Nugie Mahesa.
Suara ketukan pintu membuat perhatiannya teralihkan.
"Masuk..." Teriak Adila.
Simbok muncul dari arah pintu," Maaf Non ganggu. Simbok cuma mau tanya, Non mau makan siang sekarang atau ndak... biar Simbok siapkan."
Adila bangun, duduk bersila dan menggulung rambut panjangnya," Nggak usah, nanti aku makan diluar aja, sekalian ke Rumah Sakit jenguk Dira."
"Kalau gitu Simbok permisi Non." Ucap Mbok Karni seraya keluar dan menutup kamar Adila.
Dengan langkah berat, Adila menggusur kedua kakinya menuju kamar mandi. Rendaman air hangat merilekskan kembali saraf-sarafnya yang tegang.
Badannya terasa remuk, sakit disemua persendian. Hingga sumpah serapah keluar dari bibir merahnya yang ranum berisi.
Adila melirik dua tanda merah berbentuk kecil memanjang disatu bagian sintal dua gundukan miliknya.
Aaarrrggh... Adila menggeram, kiss mark yang ditinggalkan pria itu tadi malam.
Adila memejamkan mata, memori kejadian tadi malam kembali berputar dan menari-nari diatas kepalanya.
Club malam ternama di Surabaya
"Lu mau kan bantuin gue?" Seraya meneguk habis minuman sodanya.
"Emang Lu serius mau lakuin itu?" Nadin balik bertanya.
Adila menyusur rambut," Kapan gue nggak serius, pokoknya lu harus bantuin gue."
Suara bising musik dari seorang DJ membuat Nadin tidak bisa mendengar jelas apa yang Adila katakan. Ia berjalan mendekat dan duduk dikursi putar bersama dengannya.
"Kenapa lu nggak pilih temen cowok yang lu kenal aja sih, temen kuliah atau temen sesama model mungkin?"
Adila mencebik," Lu gila ya, si Nugie kan tahu semua temen-temen cowok gue. itu sama aja boong, dodol."
Nadin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, membenarkan apa yang dikatakan teman absurdnya ini.
"Lu nggak mau bantuin gue?"
"Bukannya gitu Dil, cari cowok baik-baik di Club itu nggak gampang... itu kayak nyari jarum ditumpukan jerami, tahu nggak sih lo..."
"Itu jarum ya.... ini orang, ya beda lah." Seraya mengacungkan tangan memanggil bartender untuk mengisi air sodanya yang sudah kosong.
"Setahun baru bisa nemu gue..."
Adila memutar bola matanya sedikit meremehkan," Masa yang punya Club nggak tahu sih."
"Heh... gue bosnya disini, ngapain juga punya karyawan kalau gue harus perhatiin orang yang masuk kesini atu-atu." Dengus Nadin.
"Intinya lu tetep harus bantuin gue." Ucap Adila seperti harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Nadin memonyongkan bibirnya. Tidak mungkin juga dia bisa menolak permintaan sahabatnya ini. Bagaimanapun dia banyak berjasa saat club malamnya ini hampir gulung tikar karena pria brengsek yang tiada lain pacarnya sendiri membawa kabur semua uangnya.
Jadi bisa dibilang nasib mereka sama, tertipu dengan dua pria tidak bertanggung jawab, yang berhasil memainkan perasaan mereka.
"Lu masih cinta sama si Nugie... ampe lu biasa senekat ini?" Selidik Nadin.
Seketika Adila tertawa, menepuk-nepuk pundak Nadin.
"Cinta lu bilang...," Adila kembali tertawa seperti orang kesetanan,".... semuanya itu bulsit... gue cuma mau buktiin ke dia kalau gue juga bisa kayak dia."
Nadin menggelengkan kepalanya. Dia bisa melihat kesedihan dimata Adila. Walau dia selalu mengelak dan menutupinya, bahkan tidak pernah menangisi hidupnya, Adila tetaplah seorang wanita biasa yang punya hati dan perasaan.
Nadin mengedarkan pandangan dengan menggoyangkan kepala, menikmati musik sembari menelisik satu persatu orang yang berada di sekitarannya.
Perhatian itu langsung tertuju pada salah satu pria tampan yang duduk sendiri dengan memegang satu gelas minuman ditangannya.
Pakaian yang dikenakannya pun sedikit formal, memakai kemeja hitam yang digulung sebatas siku, celana berbahan kain dan sepatu mengkilap dengan warna senada, sepertinya bukan orang biasa.
"Gimana kalau cowok di sana itu?" Tunjuk Nadin yang langsung menyedot perhatian temannya yang sudah di bilang gila.
Adila memperlebar bola matanya, cahaya lampu yang sedikit temaram, membuat ia tidak bisa melihatnya dengan jelas.
"Nggak jelas mukanya... tapi lu yakin?"
"Yakin... soalnya gue baru liat tuh cowok. Dari penampilannya sih kayaknya cowok baik-baik kayak habis ditinggal doinya kawin kuy..." Keduanya langsung tertawa terbahak.
"Lu tau dari mana... Penampilan kan nggak bisa jamin." Jawab Adila dengan melirikan matanya kearah Nadin.
"Lu lupa gue pernah kuliah di jurusan Psikologi. Walau putus ditengah jalan, seenggaknya ilmu yang hanya dua tahun gue pelajari masih nempel disini." Tunjuk Nadin pada bagian otak yang ada dikepalanya sendiri.
"Tapi kok gue nggak yakin selama dua tahun itu kuliah lu bener." Adila sedikit mengangkat sebelah alisnya.
"Ish... dasar model somplak, kayak kuliah lu bener aja."
Nadin langsung menarik Adila dari duduknya,"Cepetan samperin, niat nggak sih lu sebenernya."
Adila langsung membetulkan gaun sexy yang sedikit tertarik melebihi pahanya. Sebenarnya dia sedikit tidak nyaman dengan pakaian minim yang sekarang ini dia pakai.
Tapi tidak ada pilihan lain, setelah bertengkar hebat dengan Nugie di acara fashion show yang disponsori perusahaan periklanan miliknya. Adila langsung pergi ke Club milik sahabatnya ini. Mengacuhkan semua pandangan pria-pria nakal yang menikmati kemolekan tubuhnya.
"Kok gue jadi deg-degan gini ya?" Meraba dadanya sediri.
"Cewek absurd kayak lu itu nggak punya jantung, nggak akan bisa deg-degan." Jawab Nadin asal.
"Koid dong gue." Bentak Adila yang membuat Nadin pura-pura meringis ketakutan.
Dengan langkah pasti Adila melangkahkan kaki menuju sofa yang berbentuk lingkaran.
"Hai Tuan.... boleh aku ikut duduk disini?" Ucap Adila dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin.
Pria itu menoleh, matanya yang sudah merah karena terlalu banyak minum hanya memandangi Adila dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia menenggak kembali minumannya dan meraih botol Wisky untuk mengisinya kembali.
Adila langsung merebut botol Wisky itu," Biar aku yang bantu tuangkan."
Pria itu hanya diam, tidak mengeluarkan sedikitpun suaranya. Adila menuangkan semua Wisky yang hanya tinggal satu gelas lagi.
"Silahkan Tuan."
Pria itu menyandarkan punggungnya, kemudian menenggak kembali minumannya.
"Mau aku ambilkan minuman yang baru, Tuan?"
Sekali lagi, pria itu mengacuhkannya. Adila menjadi kesal, sepertinya pria itu tidak tertarik dengan tubuhnya yang sudah super sexy ini.
Adila menelisik wajah pria dewasa didepannya ini, sepertinya benar apa yang dikatakan Nadin, dia pria baik-baik. Wajahnya juga sangat tampan. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang padat berisi, berbadan tegap, rambut disisir rapi keatas, dahi yang terukir dengan sempurna, ditambah lagi dengan garis rahang yang tegas, Perfect Man.
Pikirannya mulai merajalela kemana-mana, membayangkan bila ia bisa memiliki dan berhasil tidur dengan pria tampan ini, beuuuhh.... air liurnya menetes.
Stupid.... Adila menyumpahi matanya sendiri, mengenyahkan pikiran gilanya. Ingat kembali dengan tujuan awalnya tadi, hanya untuk balas dendam kepada Nugie dan end.
Adila menengok kebelakang punggungnya, meminta bantuan Nadin yang masih setia memperhatikan pergerakan dirinya.
Nadin seolah mengerti isyarat yang Adila tunjukan kepadanya, dan seketika itu juga insting gilanya langsung berkelebat.
Nadin mengibaskan tangan kearah Adila, menyuruhnya untuk mengambil minuman yang sudah dia siapkan untuk pria itu.
"Sebentar ya Tuan, saya ambilkan minuman baru khusus untuk Tuan."
Adila berhambur menuju Nadin yang sudah berdiri didalam mini bar khusus bartender.
"Gila tuh cowok... abnormal kali ya, masa nggak kegiur sama penampilan sexy gue."
Nadin terkikik melihat wajah kesal Adila, kemudian mengambil segelas minuman yang baru saja dia siapkan.
"Nih... pastikan cowok itu minum ini."
Adila memberenggut," Jangan bilang kalau lu kasih sesuatu dalam minuman ini."
"Pinter juga lu..." Seraya mengedipkan sebelah mata.
"Ckk... gue udah pengalaman sama yang beginian...," Menunjuk dadanya,"... gue salah satu korbannya."
Nadin langsung tertawa," Baper lu ya..."
Bagaimana tidak, obat perangsang merupakan celah yang membawa dia pada pendewasaan yang seharusnya tidak ia rasakan diumurnya yang baru menginjak sembilan belas tahun saat itu. Dan karena obat perangsang ini lah, Adila harus merelakan kevirginannya kepada Nugie.
"Sotoy lu."
Adila meninggalkan Nadin yang masih mentertawakannya.
Adila menyodorkan gelas itu langsung ke mulut pria tadi," Diminum Tuan, aku jamin Tuan bakalan suka dengan minuman ini."
Pria itu memandangnya dengan sorot tajam, membuat nyali Adila sedikit menciut. Tapi bukan Adila namanya kalau harus bubar ditengah jalan.
Pria itu menepis tangan Adila, memijit pelipisnya yang seperti kesakitan karena terlalu banyak minum.
Adila semakin mendekatkan tubuhnya, ini bukan perkara sulit merayu pria yang setengah mabuk seperti dia, gumamnya dalam hati.
"Ayo Tuan.... sedikit saja.... Kepala Tuan pasti tidak akan sakit lagi."
Mungkin dewi keberuntungan sedang berada dipihaknya, dengan kasar pria itu mengambil gelas dari Adila, dan menenggak habis minuman itu.
Adila mengangkat ujung bibirnya, Yes....
Sekarang dia hanya tinggal menghitung mundur. Apa yang akan terjadi setelah ini? hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.
Pria itu menyandarkan punggungnya dikursi, melonggarkan ikatan dasi yang menyekik lehernya, bergerak gelisah hingga merubah posisi duduknya berkali-kali.
Adila menutup mata, sedikit melafalkan mantra-mantra gila sebelum melancarkan aksi selanjutnya.
One night stand.... One night stand....
Adila meraba dada pria itu, menyusurkan tangan dibalik kemeja yang sudah terbuka dua kancing.
"Tuan baik-baik saja?" Tanya Adila dengan suara dibuat sesexy mungkin.
Pancingan Adila telak mengenai sasaran, sorot mata tajam pria itu seperti akan membunuhnya hidup-hidup, menarik paksa tangan Adila hingga berdiri, untuk ikut bersamanya.
Dengan senang hati Adila mengikuti langkah kaki pria itu membawanya. Dengan tidak lupa memberikan bulatan jari tangan dan kedipan mata genitnya kepada Nadin.
"Cewek gila." Ucap Nadin dengan menggelengkan kepala sambil tertawa.
Dengan kesadaran yang masih tersisa, pria itu memaksa Adila masuk kedalam mobil dan membanting pintu dengan keras. Membuat Adila terlonjak kaget. Menancapkan gas, mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Tuan mau bawa aku kemana?"
Pria itu membuka seluruh kancing baju dan melempar dasinya kebelakang kursi penumpang. Mungkin libidonya semakin meningkat.
"Tuan mau bawa aku kemana?" Tanya Adila lagi, jujur ada rasa takut yang menggerayangi hatinya.
Mulut Adila komat kamit, kalau ternyata pria ini adalah seorang mafia dan dia mati konyol ditangannya, gua bakalan gentanyagin lu Nadin, Jerit Adila dalam hati.
"Ke rumahku." Jawab Pria itu tiba-tiba, dengan tangan memutar AC lebih besar lagi.
What.... Adila terperangah, matanya membulat sempurna. Dia pikir pria ini akan membawa dia ke sebuah Hotel, Vila mewah atau kemana saja, tapi bukan rumah. Adila menarik ujung bajunya, keki.
Kalau disana ada bininya gimana, bisa dicincang habis gue....
Adila meraup udara AC dalam-dalam, mendinginkan hati yang seketika memanas membayangkan sosok ema-ema berdaster dengan rolan rambut yang berjubel dikepalanya.
Mobil yang ditumpanginya memasuki sebuah rumah bergaya Jawa Modern. Dengan kaki bergetar, Adila menurunkan kakinya keluar. Isi kepala dan hatinya sama sekali bertolak belakang.
Hatinya mengatakan kalau dia harus melanjutkan misinya, sedangkan kepalanya mengatakan kalau dia harus kabur sekarang juga.
"Masuk."
Adila berjinjit kaget. Dengan setengah hati Adila mengikuti jejak kaki pria itu.
Kabur Adila... kabur Adila... ayo kabur...
Jangan Adila... ingat balas dendam lu sama si Nugie, lu pasti bisa... ini hanya sekali
Tanpa diduga, pria itu langsung menarik tangan Adila dengan kasar.
"Sakit Tuan..." Adila meringis kesakitan.
Tapi pria itu sama sekali tidak mendengarkan ringisannya, malah terus-menerus mengusap tengkuknya. Mungkin ingin meredakan panas yang terasa aneh ditubuhnya.
Pintu terbuka setelah pria itu mengedornya beberapa kali. Adila memilih bersembunyi dibalik punggung pria itu.
Tapi hatinya sedikit lega saat benda keras itu terbuka lebar. Sesosok pria jangkung berdiri diambang pintu dengan penampilan santai namun elegan.
T**ernyata bukan bininya
Pria jangkung itu menunduk hormat dengan menyapanya dengan sebutan Pak.... anaknya kali ya??? Dasar peak.... emang yang bawa lu Om-Om gendut, punya anak sebongsor ini.
Adila melongokan kepala, tersenyum manis kearah pria jangkung dihadapannya. Tapi apa yang dia dapat, hanya sebuah sorotan mata iblis yang seperti akan membakarnya hidup-hidup, menyeramkan.
"Hai Tuan..." Adila berusaha menetralkan ketegangan didadanya dengan melambaikan jari-jari lentik kepada pria jangkung itu.
Pria bermuka datar dan dingin ini tak menghiraukan sapaannya. Hanya menelisik dengan mode tatapan tidak suka.
"Jangan ganggu saya malam ini." Ucap Pria itu dengan menarik tangan Adila masuk kedalam rumah.
"Tapi Pak..."
Pria itu mengacuhkan kata-katanya. Fixs... sekarang Adila bisa menebak kalau si Pria jangkung itu adalah asisten atau orang kepercayaan pria ini.
Tapi yang sangat dia yakin adalah Pria jangkung ini bukanlah seorang tukang kebun atau penjaga rumah, karena tampangnya pun bisa dinilai dengan angka delapan koma delapan puluh delapan, angka yang hampir mendekati sempurna.
Masuk kedalam kamar, tubuh Adila dilempar langsung keatas tempat tidur. Adila memekik, ia beringsut duduk dengan bersandar dikepala tempat tidur. Degup jantungnya langsung bertalu-talu.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba dia teringat Nadin.
Cewek absurd kayak lu itu nggak punya jantung, nggak mungkin bisa deg-degan
Sengak memang sahabatnya itu, buktinya sekarang jantung dia melompat-lompat dari gantungannya.
Pria itu membuka seluruh kemejanya, melemparnya ke sofa. Kemudian merangkak naik keatas tubuhnya.
"Tuan boleh saya ke kamar mandi sebentar... sebentar saja.... saya kebelet pipis." Ucap Adila pelan.
Gairah pria itu memang sudah sangat besar, sepertinya obat perangsang yang walau hanya sedikit itu begitu bereaksi pada tubuhnya.
Pria itu menjatuhkan tubuhnya ditempat tidur, memijit pelipis yang sepertinya berdenyut-denyut bercampur dengan nafsu yang sekarang merajai tubuhnya.
Adila menyeret kakinya menapaki lantai, menyambar tas jinjing masuk kedalam kamar mandi.
Tarik buang....tarik buang.... tarik buang....
Tidak sia-sia ia mengikuti kelas yoga yang setiap dua kali seminggu ia ikuti, sangat berguna saat kondisinya seperti ini, tegang.
Adila meraih ponsel dalam tasnya, menyetel kamera yang akan siap merekam semua adegan panasnya malam ini.
Go Adila.... Go Adila... Goooo
Pria itu masih dalam posisinya, tidur terlentang dengan menumpukan lengan menutupi mata.
Adila menelan saliva susah payah, baru menyadari postur tubuh pria itu yang begitu sixpack. Otot tangan menonjol pas tidak terlalu berlebihan, garis perut yang tertata rapih, membaginya menjadi beberapa kotak.
Dan satu lagi, gundukan besar dibawah pusar... sepertinya kuya itu sangatlah besar dan panjang.
Bahu Adila bergidik, tak bisa dia bayangkan kalau kuya itu masuk kedalam inti tubuhnya, Cleb...Wooow.
Adila menonjor kepalanya sendiri, helo Adila saatnya beraksi... jatuh cinta tahu rasa lu!!
Adila buru-buru menggelengkan kepalanya, tidak ada lagi cinta apalagi kepercayaan dengan makhluk yang namanya laki-laki, karena yang mereka miliki hanyalah nafsu bukannya hati.
Adila berjalan perlahan, menyimpan ponsel dengan kamera yang sudah On di meja lampu yang sudah dia buat menyala.
Kemudian dia mematikan saklar lampu, menjadi redup.
Pria itu langsung membuka matanya, memandang Adila dengan tatapan menyerang saat Adila menanggalkan seluruh pakaiannya.
Dengan tidak sabar ia menarik tangan Adila hingga terjatuh ditempat tidur, menyerang dengan ciuman bertubi-tubi diseluruh bagian tubuhnya.
Sesuatu mulai menyusup masuk kebagian inti tubuhnya, membuatnya sedikit menahan nafas saat pria ini menekannya lebih dalam.
Nugie Mahesa.... Gue benci... jerit hati Adila.
Air matanya menitik, turun berselancar seiring hentakan kuat yang pria ini lakukan. Adila mengeratkan tangan dipunggung pria ini, mengikuti setiap gerakan yang pria ini lakukan, hingga ia pun ikut hanyut dalam permainannya.
🚀🚀🚀🚀
Pagi mulai menjelang, Adila terbangun saat kasur yang ditidurinya bergoyang karena sebuah pergerakan. Ia menyipitkan mata, ternyata pria itu beringsut bangun dan duduk dengan mengenakan celana panjangnya semalam.
Adila menyandarkan punggung, menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjang setelah percintaannya semalam.
Adila mengutuki diri sendiri, kenapa semalam dia malah ikut tidur, bukannya segera pulang.
Pria itu mengambil sesuatu dari dalam laci, menulis sesuatu diatas kertas, kemudian menyobeknya.
"Ini bayaranmu." Ucap Pria itu dengan menyimpan kertas diatas meja.
Kemudian meraih kemejanya dan berlalu pergi keluar kamar tanpa melihatnya sedikitpun.
Dadanya terasa sesak, apa begini yang dialami semua wanita malam bila sudah menjual dirinya???
Come on Adila.... tidak ada kata melow dalam kamus hidup lo
Adila memakai semua pakaiannya, dan mengambil ponsel kamera untuk merekam kembali suaranya. Dan satu lagi, membawa cek yang pria itu berikan, lumayan... pikirnya.
Adila bersiap-siap kembali memainkan perannya. Ia keluar dari kamar,dan ternyata pria tadi masih ada didepan kamar dengan termanggu melihat seorang wanita dan bocah kecil yang sama sedang melihat kearahnya.
Adila pun tidak peduli, toh misinya pun sudah berhasil.
"Tuan... saya pulang sekarang, semoga anda puas dengan pelayanan saya semalam, anda sangat luar biasa... saya tunggu callingan anda selanjutnya." Adila mengedipka mata dengan tangan menari-nari diatas dada pria itu.
Pria itu kembali menampakan sifat aslinya, tak sedikitpun mengubris semua perkataannya. Diam mematung.
Ya sudahlah.... Adila berderap menuju pintu keluar. Tentunya dengan sorotan tajam dari pria jangkung tadi malam.
Tidak seperti semalam, Adila pun berani balas menatap pria jangkung itu dengan sengit.
Adila melanggang pergi, menghembuskan nafas lega bisa keluar dengan tujuan yang sudah dia capai.
Selamat tinggal Tuan tampan, terima kasih bantuannya... semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi
Sepatu ketsnya berjalan bebas dikoridor Rumah Sakit yang tampak lenggang. Niat awal berkunjung siang hari, namun apalah daya beratnya mata tak seberat mata kuliah dosen kiler dikampusnya kemarin pagi. Mengistirahatkan mata sejenak hingga tak terasa sore sudah mulai beranjak.
Ponsel yang berderit membuat langkahnya terhenti. Dilihatnya benda pipih itu, Nadin.
"Halo..."
"Lu dimana?"
"Baru nyampe Rumah Sakit."
"Lu bener-bener nekat ya, sumpah gue kira lu cuma nyablak doang."
"Gue lakuin itu karena gue pengen balas dendam sama cowok brengsek yang udah mainin perasaan gue... gue bisa lakuin apa aja buat dia nyesel udah selingkuh dan ngatain gue nggak bakalan laku lagi. Dia itu udah ngerenggut masa depan gue."
"Emang absurd lu... cowok itu beneran cowok yang semalam kan?"
"Iya lah... gue tidur sama cowok yang semalam mabok di club. Obat yang lu kasih ke minuman dia bereaksi walau dosisnya cuma dikit. Tapi lu tahu, besok paginya dia nyangka gue wanita malam yang bisa dia bayar pake duit. Ya udah gue terima aja tuh duit, lumayan lah buat dana talang berobat ade gue kalau bonyok telat transfer. Dan satu lagi perkataan lu bener, kayaknya dia cowok baik-baik dan tajir pula. Jadi gue nggak terlalu nyesel lah lakuin hal gila kayak gitu, dan itu hanya akan berlaku sekali dalam hidup gue."
"Bener-bener gila.... oh iya barusan si Nugie dateng kerumah gue, nanyain lu. Dia nyoba hubungin lu tapi katanya nggak lu angkat."
Adila berjalan mondar-mandir pas mendengar kalau Nugie datang ke rumah Nadin, hanya untuk menanyakan dia. Mau cari ribut lagi dia, pikir Adila.
Adila menyandarkan punggungnya di pilar,"Trus lu udah kasih kan video percintaan gue dan rekaman kata-kata gue yang seolah-olah gue bener-bener tunggu callingan cowok yang booking gue itu?"
"Udah dong, dia kayak syok gitu. Mukanya langsung merah kayak kepiting rebus, hahaha..."
"Haha.... bagus kalau gitu."
"Eh gue tutup dulu ya, kakak tiri gue nelpon nih."
"Oke, ntar gue hubungi lu lagi, thanks ya..."
Adila menatap layar ponselnya yang sudah mati, good job Adila... misi balas dendam lu berhasil.
Kembali ia memasukan ponsel kedalam tas. Adila melihat seorang perempuan cantik yang sepertinya sedang memperhatikanya, namun buru-buru berpaling saat ia balas melihatnya.
Sepertinya dia pernah melihat perempuan itu, tapi dimana..??? Otaknya termasuk kategori pentium satu, lemah alias lambat meloading. Jadi sekeras apapun dia berpikir, dia tidak akan mampu menemukan jawabannya.
Tanpa mau ambil pusing memikirkan perempuan yang entah itu siapa, Adila balik badan melanjutkan perjalanan yang hanya tinggal beberapa meter lagi.
Namun ia langsung tersenyum, tatkala Kakak idaman hatinya muncul dari sebuah ruangan. Kakak tampanku, Dokter Radit... Hmmmffft.
"Kak Radit..." Sapanya dengan riang, memperlihatkan gigi gingsul yang semakin mempermanis senyumannya.
Kalau saja ia tidak segan dengan Radit, sudah jauh-jauh hari dia akan menyatakan cinta, terlebih lagi Tante Rania, Ibunya Radit yang begitu sangat baik kepadanya dan juga Adira. Memperkuat kemunduran hati hanya sebatas jadi pemuja rahasinya saja.
"Adila."
"Kak Radit apa kabar, lama ya nggak ketemu, katanya Kak Radit cuti ya?"
"Iya... sebenernya ini masih cuti, cuma lagi ada perlu jadi mampir dulu kesini."
"Oh... katanya Kak Radit kemarin nikah ya, kok nggak ngundang Dila sih?" Ucapnya manja, padahal dia sempat patah hati saat mendengar gosip para suster yang membicarakan pernikahan Radit dengan salah satu karyawan yang bekerja di Rumah Sakit ini juga.
"Aduh maaf ya, kemarin acaranya memang terburu-buru jadi banyak yang nggak keundang." Jawab Radit sedikit tak enak hati.
"Nggak papa kok, lagian kemarin-kemarin Dila nggak ada disini, lagi ikutan fashion show di Jakarta."
"Wah hebat jadi makin sibuk ya sekarang.... semoga kerjaanya semakin sukses ya."
"Amin... makasih kak."
"Kalau gitu Kakak duluan ya, salam buat Adira. Semoga cepet sembuh."
"Iya Kak makasih, hati-hati ya."
Adila memandang punggung Radit yang semakin menjauh pergi, memegang dadanya yang selalu berdetak cepat bila sedang berhadapan dengan Radit, heemm... kasih tak sampai.
Dia bagaikan potongan tomat didalam burger, mau atau tidak ada pun nggak akan berpengaruh. Tapi Radit bagaikan roti burger, selalu berhasil menumpuk-numpuk hatinya... beuuuh.
Mudah-mudahan Tuhan berbaik hati mempertemukan dirinya dengan laki-laki sesempurna Radit. Sweet dream... itu hanya khayalan cewek absurd disiang bolong.
Adila berderap kembali menuju kamar VIV nomor 102, dimana adiknya Adira terbaring diblangkar didalam sana.
Kembar tapi tak sama. Wajah, sifat, karakter dan kepribadian mereka sangatlah berbeda. Bagaikan bumi dan langit, sangat jauh.
Adila duduk dengan melempar tas gendongnya keatas sofa," Gimana keadaan lu, Dir?"
Dengan wajah yang masih pucat, Adira menatap Adila," Baik, cuma masih lemes." Jawabnya dengan nada pelan.
"Sori tadi malam gue nggak temenin elu, sibuk sama tugas kampus."
Adira mengerutkan keningnya.
"Kenapa.... lu nggak percaya sama gue?" Cebik Adila.
Adira mngedikan bahunya, mengiyakan kata-kata saudara kembarnya itu, yang tiada lain adalah Kakak yang hanya beda lima menit saja.
"Serah lah kalau lu nggak percaya." Sambil menyandarkan punggungnya dikursi.
"Kamu nggak tidur ya semalem?"
Adila kembali menegakan punggunya," Kok lu bisa tahu?"
Adira tertawa kecil seraya memegang perutnya yang baru selesai operasi, terasa sakit karena sedikit terguncang.
"Makanya jangan ketawain gue, sakit kan lu."
"Kapan sih kamu berubah, kalau kamu begini terus kapan kuliahmu bisa selesai."
Adila berdecak," Lu sih enak punya otak encer, lah gue ngedadak beku kalau dipake mikir, apalagi ngadepin dosen kiler. Pengen ngibrit terus bawaannya."
Adira menghembuskan nafasnya," Tapi seenggaknya kamu masih bisa berusaha Dil."
"Udah nggak usah bahas gue... mendingan sekarang lu cepet keluar dari Rumah Sakit, jangan sakit mulu. Bosen gue harus bolak balik mulu ke Rumah Sakit... lu nggak bosen tidur diblangkar sempit kek gini?"
Adira tersenyum, walau kata-kata Adila sedikit kasar, dia tahu kalau Kakaknya itu sangat menyayanginya. Buktinya dia selalu ada dan menjaga dirinya.
"Iya... kata Dokter, lusa jaitannya udah bisa dibuka, jadi aku bisa cepet pulang."
"Beneran... ah senengnya, akhirnya bisa tidur nyenyak dikasur gue yang empuk."
"Emang semalam kamu nggak tidur dirumah?"
Seketika Adila membungkam mulutnya, aduh... keceplosan gue...
"Dil...?"
Adila bangun dari duduk, pura-pura kehausan dengan mengambil sebotol air dari dalam kulkas mini yang tersedia disana.
"Semalam kamu tidur dimana, Dil?" Adira mengulang kembali pertanyaannya.
"Di rumah Nadin." Jawabnya sambil memunggungi Adira.
"Kamu bohong kan?"
Huuuhh.... adik kembarannya ini seperti Mama Laurent, selalu saja bisa meneropong semua kegiatannya. Hush... Adila menepuk mulutnya sendiri, Mama Laurent kan udah mati.
"Adira Dimitri Kusuma Dewi Mangku Bumi Cohyo Adikusumo Diningrat.... gue nggak bohong, oke." Celoteh Adila.
Adira terkikik dengan penambahan nama dirinya yang sangat panjang.
"Nama aku cuma Adia Dimitri ya... udah dibubur merah bubur putih, jadi jangan ditambahin seenaknya gitu."
"Hadeuuh... gue udah susah payah nyari nama bagus itu buat elu... bukannya terima kasih juga."
Adira menggelengkan kepalanya, dia sudah tahu watak saudara kembarnya itu. Dia akan mengalihkan pembicaraan kalau ketahuan sedang berbohong.
"Jadi semalam kamu tidur dimana, Dil?"
Adila memutar bola matanya jengah, percuma rasanya dia harus berbicara berbelit-belit kalau akhirnya Adira akan tetap tahu kalau dia sedang berbohong.
Adila menggeram, tidak mungkin juga dia harus berkata jujur kalau dia one night stand dengan pria dewasa yang tidak dia kenal.
"Kok diem?"
"Oke-oke gue jujur... gue tidur dirumah temen gue yang laen."
"Siapa?"
"Temen model, lu nggak bakal kenal." Kilah Adila.
"Dil... demi aku, jauhi dunia malam. Kamu perempuan, dunia malam itu sangat rawan buat perempuan seumuran kita."
Mungkin sudah ribuan kali Adira mengingatkannya tentang masalah ini, tapi sedikitpun tidak membuat hati Adila merasa terpanggil.
"Gue butuh hiburan Adira...."
"Hiburan yang lain masih banyak Adila..."
"Tapi gue bukan elu, yang nyari hiburan dengan baca Novel atau komix di gramedia."
"Tapi kan masih banyak yang lain, bukan dengan pergi ke Club malam."
"Tapi kan gue nggak pernah mabok, gue cuma minum minuman bersoda doang."
"Aku cuma khawatir dengan keselamatanmu Dil, aku takut kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu."
Kehormatan.... sakit rasanya dia mendengar kata itu. Adila beranjak dari tempat duduk, menjauh dari Adira dengan memilih duduk di sofa panjang. Air matanya mengenang, dan dia tidak ingin Adira melihatnya.
Kehormatan gue udah hilang dari dulu Adira, jerit Adila dalam hati.
"Iya gue akan berusaha."
"Bukan berusaha, tapi dicoba."
"Iya gue coba."
"Janji?"
"Gue nggak bisa janji."
Adira mengusap wajahnya, keras kepala Adila membuatnya seperti ingin mati berdiri. Bingung harus dengan cara apalagi dia bisa mengubah Adila, saudara satu-satunya ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!