...Perkenalkan Namaku Puja....
...Malam ini, untuk kesekian kalinya aku memandangi langit yang sama—langit yang pernah menjadi saksi ketika aku berdiri diam, menatap kepergian papaku, Grilyanto....
...Bukan hanya jasadnya yang meninggalkan dunia ini, tapi juga sebagian dari hatiku yang ikut pergi bersamanya....
...Banyak hal yang belum sempat aku tanyakan, belum sempat aku ucapkan....
...Maka, lewat tulisan ini, aku ingin mengenang beliau. Mengenangnya bukan hanya sebagai ayahku, tetapi sebagai manusia biasa yang punya impian, luka, dan cinta yang tulus....
...Inilah kisah hidupnya, kisah perjuangannya, dan kisah cinta yang tak mudah antara dia dan ibuku—Sri Wiwik Budi. Semoga setiap kata yang ku tulis bisa menghidupkannya kembali, setidaknya dalam ingatanku....
...----------------...
Pada tanggal 30 Maret 1949, di tengah sunyi nya pagi kota Magelang yang masih basah oleh embun, lahirlah seorang bayi laki-laki. Tangis pertamanya memecah keheningan, menjadi saksi akan hadirnya jiwa baru di dunia ini—ia diberi nama Grilyanto.
Grilyanto lahir bukan di tengah kemewahan, melainkan dalam kesederhanaan yang hangat.
Di sebuah rumah sederhana berdinding kayu dan beratap genteng merah, keluarganya menyambut kehadirannya dengan haru.
Sang ibu menggenggam tangan mungilnya, menatap matanya yang masih tertutup rapat, dan tahu bahwa kelak anak ini akan menjalani kehidupan yang tak mudah, namun penuh arti.
Magelang, tempat ia dilahirkan, adalah kota dengan udara sejuk dan lanskap yang tenang.
Gunung-gunung yang mengelilinginya seakan turut menjaga bayi itu. Bayi yang kelak tumbuh menjadi sosok ayah yang sangat berarti dalam hidupku.
Aku tidak pernah melihat secara langsung seperti apa papaku waktu kecil.
Tapi dari cerita Mbah Putri dan foto-foto tua yang kusimpan, aku tahu: dari awal hidupnya, Papa sudah membawa keteguhan yang khas dalam sorot matanya. Sorot yang tidak mudah padam, meski diterpa zaman yang tak ramah.
Masa kecil Grilyanto adalah potongan kenangan sederhana yang hangat, seperti sinar matahari pagi yang mengintip lewat jendela rumah nenek.
Setiap hari tertentu, Mbah Putri selalu mengajak Grilyanto ke pasar.
Dengan tangan mungilnya yang menggenggam ujung jarik Mbah Putri, ia menyusuri lorong-lorong pasar yang riuh oleh suara pedagang dan aroma bumbu dapur. Namun, ada satu tujuan yang paling dinanti: gerobak dawet di pojok pasar.
“Mak, dawetnya satu!” seru Grilyanto dengan semangat, matanya berbinar menatap si penjual.
Setelah menghabiskan dawetnya dengan lahap, kebiasaan anehnya pun muncul.
Dengan polos, Grilyanto memandangi mangkok kosong di tangannya—lalu dengan cepat, “Krak!”, ia jatuhkan mangkok itu ke tanah hingga pecah berantakan.
Semua orang yang melihat langsung tertawa. Penjual dawet pun menggeleng sambil tertawa geli.
“Lagi-lagi, Le... mangkokku korban lagi!”
Dan saat ditanya kenapa ia memecahkannya, ia menjawab dengan mantap,
“Kan mangkoknya udah kotor... buat apa disimpan?”
Lagi-lagi semua orang tertawa.
Dan begitulah, hampir setiap ke pasar, ada saja mangkok yang jadi korban.
Mbah Putri yang tahu kebiasaan anaknya, selalu datang keesokan harinya dengan membawa mangkok baru untuk mengganti milik si penjual dawet.
Tidak ada amarah, hanya gelengan kepala dan senyum lelah yang penuh cinta.
Kisah ini selalu diceritakan Mbah Putri sambil tertawa kecil, dan aku bisa membayangkan wajah papa Grilyanto kecil yang polos namun penuh logika ajaibnya sendiri.
Saat usianya cukup, Grilyanto mulai bersekolah di Sekolah Rakyat—begitulah nama SD pada masa itu.
Bangku dan papan tulis dari kayu, suara kapur yang berdecit, dan sepatu yang seringkali bukan sepatu, melainkan sandal jepit atau kaki telanjang, menjadi teman hari-harinya.
Namun, meskipun hidup dalam keterbatasan, Grilyanto memiliki sesuatu yang lebih berharga yaitu kemauan untuk belajar.
Ia adalah anak yang rajin, tekun, dan sangat menghargai ilmu.
Setiap hari, sebelum matahari benar-benar tinggi, ia sudah duduk rapi di bangku sekolah, buku tulisnya bersih, huruf-hurufnya rapi.
“Grilyanto, lagi-lagi kamu rangking satu ya,” ujar gurunya saat pembagian rapor.
Ia hanya tersenyum kecil, tidak pernah membanggakan diri.
Tapi dari sorot matanya, tampak betul bahwa ia merasa bertanggung jawab untuk tidak hanya pintar, tapi juga berguna.
Anak-anak lain sering iri, tapi bukan dengan kebencian.
Mereka justru banyak yang ingin duduk di sebelahnya, bertanya tentang pelajaran, atau sekadar ingin melihat bagaimana ia menulis dengan begitu rapi.
Di rumah pun begitu. Setiap selesai membantu ibu menimba air atau menyapu halaman, ia langsung duduk dengan buku di pangkuan. Tidak pernah mengeluh lelah.
Seolah sejak kecil, Grilyanto tahu bahwa ilmu adalah bekal untuk masa depan yang lebih baik.
Bagi Mbah Putri dan Mbah Kakung, ia adalah kebanggaan. Dan bagi guru-gurunya, ia adalah anak yang berbeda, bukan karena ia rangking satu, tapi karena semangatnya yang tidak pernah padam.
Grilyanto tumbuh dalam keluarga besar—sangat besar.
Mbah putri perempuan kuat yang telah melahirkan delapan belas anak sepanjang hidupnya.
Namun, zaman dahulu tak sebaik sekarang. Obat terbatas, fasilitas medis sederhana, dan hidup yang keras membuat hanya delapan anak yang bertahan hidup, salah satunya adalah Grilyanto.
Kehilangan sepuluh saudara kandung bukanlah hal yang mudah bagi keluarga mereka.
Setiap kehilangan meninggalkan luka, namun juga menambah kekuatan.
Mbah putri selalu berkata dengan mata yang menerawang, “Anak-anak itu bukan hilang, tapi dititipkan lebih dulu oleh Tuhan.”
Sejak kecil Grilyanto sudah terbiasa membantu Mbah Putri mengurus rumah dan mendampingi adik-adiknya belajar.
Di saat anak-anak lain masih sibuk bermain, Grilyanto justru lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan sekolah atau menemani Mbah Putri berkebun. Ia menyukai ketenangan, namun bukan berarti menutup diri dari dunia.
Meski berasal dari keluarga sederhana, Grilyanto tidak pernah merasa kekurangan.
Ia percaya bahwa kekayaan sejati adalah hati yang lapang dan pikiran yang terus ingin belajar.
Bagi Papa Grilyanto, setiap perjuangan adalah bentuk penghormatan—kepada Mbah Kakung kepada Mbah putri, kepada saudara-saudara yang telah pergi lebih dulu.
Ia tahu bahwa dunia yang akan dihadapi anak-anaknya jauh berbeda dari dunia yang ia jalani dulu.
Tapi nilai-nilai kehidupan tetap sama: kejujuran, ketekunan, dan ketulusan. Maka, setiap pagi sebelum fajar, ia sudah bangun lebih dulu, memastikan rumah terjaga, memastikan semua bisa berjalan dengan baik.
Anak-anaknya mungkin tidak selalu paham apa yang telah ia korbankan, apa yang ia tahan, dan apa yang ia simpan dalam hati.
Dan seperti Mbah putri dulu, Papa Grilyanto percaya bahwa hidup adalah titipan. Maka selama ia diberi waktu, ia akan terus menjaga, terus berjuang, dan terus mencintai—dengan caranya sendiri.
Masa remaja Grilyanto dimulai dengan langkah yang tegap dan keyakinan yang semakin kuat.
Saat ia diterima di Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota, semua keluarganya bersyukur dan bangga.
Bagi anak desa seperti dia, melanjutkan ke jenjang SMA adalah sebuah pencapaian luar biasa.
Setiap hari ia berjalan kaki atau naik sepeda tua ke sekolah, melewati jalan berbatu dan sawah-sawah luas.
Di tengah keterbatasan itu, semangat belajarnya tak pernah surut. Ia tetap menjadi siswa teladan selalu berada di peringkat atas, dikenal guru-guru sebagai anak yang cerdas, sopan, dan sangat bertanggung jawab.
Meski belajar dengan penerangan lampu minyak dan buku pinjaman, ia tak pernah mengeluh.
Justru, ia sering membantu teman-temannya memahami pelajaran, terutama matematika dan sejarah dua mata pelajaran yang paling ia kuasai.
Di masa inilah, pemikiran dan kepeduliannya terhadap sekitar mulai tumbuh.
Ia aktif dalam kegiatan sekolah, ikut organisasi, dan sering dipercaya menjadi pemimpin kelompok.
Banyak teman sekelasnya yang mengatakan bahwa Grilyanto “terlihat lebih dewasa dari usianya.”
Namun, di balik keseriusannya belajar, Grilyanto tetaplah remaja biasa.
Ia suka bermain kelereng saat istirahat, menonton wayang kulit saat malam Jumat, dan sesekali mencuri pandang ke gadis-gadis kelas sebelah—meski tidak pernah berani menyapa.
Masa SMA menjadi masa pembentukan karakter. Ia bukan hanya tumbuh menjadi anak pintar, tapi juga menjadi pribadi yang tegas, bijaksana, dan penuh rasa tanggung jawab sebuah cerminan dari ayah yang kelak sangat aku rindukan.
Di antara hari-hari yang dipenuhi pelajaran dan tugas sekolah, tak sedikit gadis yang diam-diam memperhatikan Grilyanto.
Wajahnya yang tenang, sikapnya yang sopan, dan kepandaiannya membuatnya terlihat berbeda di mata teman-teman perempuan.
Salah satu dari mereka bahkan pernah dengan berani menyapa lebih dulu, menawarkan buku, atau berpura-pura bertanya soal pelajaran yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. Tapi Grilyanto hanya tersenyum tipis, menjawab singkat, lalu buru-buru pamit. Bukan karena tidak sopan dia hanya tak terbiasa dekat dengan hal-hal yang terlalu “lembut.”
Bagi Grilyanto, bermain sepak bola di lapangan belakang sekolah jauh lebih menarik daripada duduk di bawah pohon membicarakan perasaan.
Sepatu dilepas, celana digulung, dan tubuh penuh peluh itulah dunianya. Bola menjadi pelarian dari hal-hal yang membuatnya canggung.
Setiap kali gadis itu mencoba mendekat, Grilyanto selalu punya alasan untuk menjauh. Entah pura-pura sibuk, ikut kerja kelompok, atau tiba-tiba mengajak teman-temannya bermain bola.
“Grilyanto itu aneh,” keluh salah satu teman si gadis.
“Tampan iya, pintar iya… tapi dingin banget!”
Padahal bukan dingin. Grilyanto hanya belum tertarik dengan cinta.
Hatinya masih dipenuhi impian, beban tanggung jawab, dan cita-cita besar. Baginya, cinta bisa menunggu. Tapi masa depan? Itu harus dikejar sekarang.
Hari itu, matahari belum terlalu tinggi saat bel berbunyi menandakan jam pelajaran usai.
Suasana kelas mulai riuh, kursi bergeser, dan anak-anak berhamburan ke luar.
Tapi tidak dengan Grilyanto. Ia diminta tetap tinggal oleh salah satu guru yang paling ia hormati. Pak Harun, guru sejarah yang terkenal bijaksana.
“Grilyanto, duduk sebentar. Bapak ingin bicara.”
Grilyanto menurut. Ia duduk kembali di bangkunya dengan sopan, membetulkan letak dasinya yang agak miring.
Pak Harun menatapnya sejenak, lalu bertanya dengan nada tenang,
“Kamu sudah pikirkan, setelah lulus nanti mau ke mana?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi seketika membuat dada Grilyanto terasa berat.
Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan itu akan datang. Dan ia tahu, jawabannya tidak semudah menyebutkan sebuah nama kampus.
Grilyanto menunduk sebentar. “Kalau boleh jujur, Pak... saya ingin kuliah. Tapi saya juga tahu kondisi di rumah.”
Pak Harun mengangguk pelan. Ia sudah mengenal keluarga Grilyanto, tahu perjuangan dan keterbatasan yang menyertainya.
Tapi ia juga tahu bahwa di depan matanya sekarang duduk seorang anak yang istimewa, anak yang pantas mendapat kesempatan lebih dari sekadar ijazah SMA.
“Kamu punya potensi besar, Gril,” ujar Pak Harun lembut. “Dan kalau kamu mau, Bapak siap bantu carikan beasiswa. Tapi kamu harus yakin dulu dengan pilihanmu.”
Grilyanto terdiam lama. Dalam pikirannya, wajah ibu dan adik-adiknya perlahan muncul.
Ia ingin kuliah, iya. Tapi ia juga tidak ingin menjadi beban. Di usianya yang masih muda, ia sudah mengenal baik artinya tanggung jawab dan pengorbanan.
“Aku akan pikirkan baik-baik, Pak,” jawabnya pelan.
Dan itulah titik awal dilema dalam hidup Grilyanto, antara mimpi dan kenyataan, antara melanjutkan pendidikan atau segera bekerja demi keluarga.
Malam itu, Grilyanto duduk di beranda rumah. Langit Magelang bertabur bintang, dan angin malam berembus pelan, menyapu rambutnya yang mulai memanjang.
Di pangkuannya ada buku tulis kosong, namun pikirannya penuh.
Ia mengingat kembali pertanyaan Pak Harun tadi siang.
“Setelah lulus, mau ke mana?”
Dan dalam hati kecilnya, sebenarnya ia sudah tahu jawabannya sejak lama.
Grilyanto ingin kuliah. Ia ingin menjadi seorang apoteker.
Dunia kesehatan dan obat-obatan selalu membuatnya penasaran.
Ia sering bertanya-tanya bagaimana satu butir pil bisa menyembuhkan penyakit, atau bagaimana tanaman bisa diolah menjadi ramuan.
Sejak kecil, ia tertarik pada botol-botol kecil di lemari obat dan suka membaca labelnya.
“Farmasi…” bisiknya malam itu, seolah sedang membuat perjanjian dengan dirinya sendiri.
Namun ia tahu, jalan ke sana tidak akan mudah. Biaya kuliah, tempat tinggal, dan kebutuhan harian bukan hal kecil.
Apalagi di rumah, ibunya masih harus mengurus adik-adik. Tapi Grilyanto bukan tipe yang mudah menyerah.
Keesokan harinya, ia kembali menemui Pak Harun. Dengan nada tegas namun penuh hormat, ia berkata.
“Pak, saya ingin kuliah di jurusan farmasi.”
Pak Harun tersenyum, mata tuanya tampak berbinar.
“Kalau begitu, kita akan cari jalan. Tuhan selalu memberi jalan pada mereka yang sungguh-sungguh.”
Dan sejak hari itu, mulailah babak baru dalam hidup Grilyanto.
Ia mulai mencari informasi tentang kampus, beasiswa, dan cara agar impiannya tak hanya berhenti sebagai angan.
Ia belajar lebih giat, bertanya lebih banyak, dan menabung sedikit demi sedikit.
Di tengah kesederhanaan, lahirlah tekad yang besar. Dan semua itu dimulai dari satu kata yang ia ucapkan dengan mantap “Farmasi.”
Setelah pulang dari sekolah dan memberanikan diri menyampaikan pilihannya kepada Pak Harun, Grilyanto tahu satu hal lagi yang harus ia hadapi: izin dari ibu.
Malam itu, ia duduk bersama ibunya di dapur yang hangat oleh aroma kayu bakar dan suara jangkrik dari luar rumah.
Sang ibu, seorang perempuan tabah yang sudah melewati begitu banyak kehilangan dalam hidupnya, sedang mengaduk bubur jagung sambil sesekali melirik anak bungsunya yang tampak gelisah.
“Ibu…” panggil Grilyanto pelan.
Ibunya menoleh, masih dengan sendok di tangan.
“Iya, Le?”
“Saya… mau kuliah. Mau ambil jurusan farmasi.”
Hening sesaat. Suara kayu yang terbakar jadi satu-satunya bunyi di ruangan itu.
“Mau jadi apoteker?” tanya ibunya akhirnya, dengan suara yang dalam.
Grilyanto mengangguk. “Iya, Bu. Tapi saya tahu, kalau saya kuliah, saya belum bisa bantu di rumah. Belum bisa kerja.”
Ibunya tak langsung menjawab. Ia menatap wajah Grilyanto, anak yang sejak kecil tak pernah banyak meminta, tak pernah menyusahkan, dan selalu punya pandangan jauh ke depan. Hatinya bergetar.
Ia lalu menaruh sendok, menggenggam tangan anak lelakinya itu, dan berkata pelan tapi penuh keyakinan:
“Kalau itu jalan yang kamu pilih, Ibu restui. Grilyanto harus jadi orang yang bermanfaat. Jangan khawatirkan Ibu. Ibu kuat.”
Mata Grilyanto panas, tapi ia tahan agar tak menetes. Dalam hatinya, restu itu terasa seperti pelita di malam gelap. Ia tahu, dengan doa ibu dan tekadnya sendiri, tak ada yang tak mungkin.
Di sudut dapur sederhana itu, seorang ibu melepaskan anaknya untuk pergi mengejar mimpi—bukan karena tak ingin menahan, tapi karena cinta sejati adalah ketika kau rela melepaskan seseorang demi masa depannya.
Hari ujian itu datang juga.
Dengan kemeja pinjaman dan sepatu mengilap hasil semir malam sebelumnya, Grilyanto berangkat ke kota dengan sepeda ontel, membawa satu tas berisi alat tulis dan satu hati yang penuh harap.
Ia mendaftar di sekolah farmasi negeri yang terkenal di Jawa Tengah—tempat impian yang selama ini hanya ia lihat lewat brosur pinjaman dari perpustakaan sekolah.
Di ruang ujian, ia duduk tenang. Soal demi soal ia baca, pikirkan, dan jawab sebaik mungkin.
Ia keluar dari ruang itu dengan keringat dingin, namun juga dengan sedikit keyakinan,
“Mungkin cukup untuk lulus,” bisiknya dalam hati.
Beberapa minggu kemudian, pengumuman hasil seleksi pun tiba. Grilyanto datang ke papan pengumuman dengan langkah cepat tapi hati-hati. Matanya menyisir nama demi nama… sampai ke baris terakhir.
Tidak ada.
Namanya tidak ada. Ia tidak lulus.
Sejenak dunia terasa sunyi. Orang-orang di sekitarnya ada yang bersorak gembira, ada pula yang menangis. Grilyanto hanya berdiri diam, menatap papan pengumuman seperti kosong, lalu perlahan-lahan melangkah pergi.
Sepanjang perjalanan pulang, ia menunduk. Langit sore tampak kelabu. Jalan yang biasa dilaluinya kini seperti mengejek.
Sesampainya di rumah, ibunya sedang menjemur pakaian.
Melihat Grilyanto datang tanpa senyum, sang ibu langsung tahu.
“Belum rezeki, Le?” tanyanya lembut.
Grilyanto mengangguk pelan. Ia berusaha menahan air mata, tapi gagal. Ia menangis, bukan hanya karena gagal ujian, tapi karena ia merasa mengecewakan ibu yang sudah memberinya restu dan harapan.
Namun sang ibu memeluknya erat, mengusap punggungnya sambil berkata:
“Gagal itu bukan akhir. Tapi awal dari jalan yang baru. Ibu tetap bangga sama kamu.”
Dan di pelukan itulah Grilyanto belajar, bahwa dalam hidup, bukan hasil yang selalu jadi ukuran… tapi seberapa kuat kita bisa bangkit dan mencoba lagi.
Kegagalan itu tak hanya mengecewakan Grilyanto. Ia juga perlahan menggerogoti semangat dalam dirinya. Hari-hari yang biasanya ia isi dengan membaca atau membantu ibunya, kini berubah.
Grilyanto mulai sering nongkrong di warung kopi pinggir jalan bersama teman-teman lamanya.
Mereka berbincang ringan, kadang bercanda, kadang hanya duduk diam sambil melihat lalu lintas desa. Waktu berlalu begitu saja, tanpa arah.
“Ikut ke kota yuk, lihat-lihat kerjaan,” ajak salah satu temannya suatu hari.
Grilyanto hanya mengangguk malas. Tidak ada lagi cahaya antusias dalam matanya.
Ia merasa lelah, bukan hanya karena gagal masuk kuliah, tapi karena impiannya terasa seperti jauh sekali, seolah tak mungkin ia capai lagi.
Di rumah, sang ibu mulai cemas. Tapi ia tak pernah marah. Ia hanya memperhatikan dari jauh, menyiapkan makanan, menyisakan senyum, dan menunggu waktu yang tepat untuk bicara.
Suatu malam, saat Grilyanto baru pulang dan duduk termenung di beranda, sang ibu datang membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di sebelahnya, lalu berkata pelan:
“Kalau kamu berhenti berusaha, yang rugi bukan cuma kamu, Le. Tapi juga orang-orang yang percaya kamu bisa.”
Grilyanto tak menjawab. Tapi kalimat itu menancap kuat di dadanya.
Ia tahu, tak selamanya ia bisa duduk diam seperti ini. Ada waktu untuk berduka. Tapi akan datang juga waktu untuk kembali berdiri. Ia hanya belum tahu… kapan.
Namun malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia meminum teh dari tangan ibunya sampai habis.
Dan mungkin, dari situ… semangatnya perlahan mulai menyala kembali.
Setelah berminggu-minggu terjebak dalam rasa kecewa, Grilyanto akhirnya mengambil keputusan yang sederhana tapi penting, ia tidak bisa terus diam.
Suatu pagi, ia berpamitan pada ibunya.
“Bu, aku mau coba cari kerja di kota. Kalau ada rezeki, mungkin bisa sambil daftar kuliah lagi nanti.”
Ibunya hanya mengangguk, tapi matanya berkaca-kaca. Ia tahu, anak lelakinya kini memilih jalan hidup yang keras—berjuang sendiri di kota yang asing, demi masa depan yang lebih baik.
Dengan bekal seadanya dan tas lusuh di punggung, Grilyanto berangkat ke kota.
Kota itu tidak besar, tapi bagi seorang anak desa, tetap terasa riuh dan membingungkan. Ia mulai menyusuri gang demi gang, bertanya dari warung ke toko, dari bengkel ke apotek.
Setelah beberapa hari, ia menemukan sebuah rumah kos sederhana di belakang pasar.
Kamarnya sempit, hanya cukup untuk kasur tipis, satu gantungan baju, dan meja kecil. Tapi bagi Grilyanto, itu sudah cukup. Itu bukan rumah—tapi tempat menanam harapan baru.
Siangnya, ia berkeliling lagi mencari pekerjaan. Banyak pintu yang ditutup, banyak penolakan yang ia terima.
Tapi akhirnya, sebuah toko obat kecil menerimanya sebagai penjaga gudang dan pembantu toko.
“Bisa angkat kardus? Bisa sapu dan catat stok?” tanya pemilik toko.
Grilyanto mengangguk mantap. “Bisa, Pak.”
Dan dimulailah hari-hari barunya. Bangun pagi, membersihkan toko, membantu mencatat nama-nama obat, bahkan sesekali bertanya tentang khasiat obat dari label-label yang menempel.
Diam-diam, semangat lamanya tentang farmasi mulai hidup kembali.
Ia belum kuliah. Ia belum jadi apoteker. Tapi ia sudah kembali melangkah dan setiap langkah, sekecil apa pun, mendekatkannya pada impian yang dulu hampir ia kubur.
Hari-hari Grilyanto di toko obat berjalan penuh kesabaran.
Setiap sore, setelah menyapu dan membereskan kardus-kardus stok, ia akan duduk di belakang toko, menulis sesuatu di buku catatannya—kadang tentang obat-obatan, kadang tentang rindu rumah.
Sampai suatu hari, saat ia baru selesai makan siang, seorang tetangga kos mengetuk pintunya.
“Gril! Ada surat panggilan kerja buat kamu!”
Dengan kening berkerut dan jantung sedikit berdebar, Grilyanto membuka amplop cokelat itu.
Matanya membelalak saat membaca logo di atasnya Perumtel. Perusahaan telekomunikasi milik pemerintah.
Surat itu berisi pemberitahuan bahwa ia diterima sebagai pelayan 108—bagian layanan informasi telepon.
Ia hampir tak percaya. Beberapa bulan lalu, saat masih berjuang mencari pekerjaan, ia mengirimkan lamaran ke beberapa tempat, termasuk Perumtel, tanpa banyak harapan. Dan kini, panggilan itu datang saat ia mulai merasa nyaman di rutinitas toko obat.
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit gelap tak berbintang, hanya suara jangkrik dan kendaraan sesekali yang melintas di kejauhan menemani kesunyian.
Di ujung gang kecil, sebuah warung telepon masih buka, lampu neon yang temaram menggantung di atas pintunya. Grilyanto berdiri di dalam bilik sempit, memegang gagang telepon dengan tangan yang sedikit bergetar, antara gugup dan bahagia.
“Bu… aku diterima kerja di Perumtel,” ucapnya pelan, nyaris berbisik. Namun kalimat itu terdengar tegas, seperti menegaskan pencapaian yang telah lama dinantikan.
Di seberang sana, suara perempuan paruh baya terdengar tercekat. Ibunya terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan suara yang sarat emosi,
“Alhamdulillah, Le… itu rezeki. Jangan disia-siakan.”
Ada kelegaan dalam suara itu, seperti beban lama yang perlahan terangkat. Air mata yang mengalir di pipi Grilyanto tak bisa ia tahan.
Bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang begitu dalam. Perjalanan panjangnya menapaki kehidupan, dari kampung ke kota, kini mulai menemukan titik terang.
Keesokan harinya, matahari pagi menyinari kota dengan hangat. Grilyanto mengenakan kemeja putih yang telah disetrika rapi, celana bahan abu-abu, dan sepatu hitam mengilap.
Di tangannya tergenggam map berisi dokumen penting, dan di wajahnya tergambar semangat baru. Ia berdiri di depan gedung kantor Perumtel, gedung tinggi berwarna putih dengan logo besar yang mencolok di bagian atasnya. Ini adalah hari pertama ia memulai babak baru dalam hidupnya.
Setelah mengisi daftar hadir dan menyelesaikan beberapa formalitas administrasi, Grilyanto diperkenalkan kepada beberapa karyawan senior.
Senyum dan sambutan hangat mereka sedikit mengurangi rasa gugup yang ia rasakan. Salah satu karyawan, Pak Bambang, yang tampaknya sudah cukup lama bekerja di sana, mengajaknya berkeliling.
“Mari, Mas Grilyanto. Sebelum mulai kerja, kita kenalan dulu sama lingkungan kantor,” ujar Pak Bambang sambil tersenyum ramah.
Mereka berjalan melewati lorong-lorong panjang dengan dinding berhiaskan poster kampanye layanan dan jadwal operasional.
Ruangan demi ruangan diperlihatkan, mulai dari ruang pelayanan pelanggan, pusat data, hingga ruang teknisi tempat kabel dan perangkat jaringan tertata rapi.
“Ini semua bagian dari sistem yang nanti akan Mas bantu rawat dan jaga. Kerja di sini bukan cuma soal gaji, tapi juga soal tanggung jawab,” kata Pak Bambang sambil menunjuk ke ruangan pusat kendali, tempat beberapa petugas serius memantau layar komputer.
Grilyanto mengangguk, menyimak dengan saksama. Dalam hati, ia berjanji akan memberikan yang terbaik.
Ia tahu, di balik pekerjaan ini, ada harapan ibunya yang menggantung. Ada masa lalu yang ingin ia perbaiki, dan masa depan yang mulai terbuka perlahan.
Hari itu ditutup dengan sesi perkenalan bersama seluruh staf di ruang rapat.
Suasana hangat dan kekeluargaan terasa kental. Meski baru pertama kali, Grilyanto merasa seolah ia telah menjadi bagian dari keluarga besar Perumtel.
Dan saat senja mulai turun, ia melangkah keluar dari gedung dengan langkah mantap. Hari pertama sudah ia lewati.
Masih banyak yang harus dipelajari dan dijalani. Tapi ia tahu, ia tidak sendiri. Ia membawa doa ibunya, harapan dari kampung halaman, dan semangat untuk terus maju.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!