NovelToon NovelToon

Uncle Arthur, Kau Nakal Sekali

Aku Juga Lelaki!

...“Semua saudara Oliver lelaki. Aku tak percaya jika gadis manis itu dititipkan pada lelaki lain.” — Arline Franklin...

...🌸...

...“Aku juga lelaki. Kau pikir aku ini wanita?!” — Arthur Franklin...

Di sebuah perkantoran yang ada di kota Los Angeles, seorang pria dengan mata biru sedang menatap lekat ke arah layar laptopnya. Mata biru yang dipadukan dengan alis tebal itu memberikan kesan kuat, tegas dan berani. Fokus pria itu tak bisa diganggu jika ia sedang bekerja. Kecuali ….

Drttt. Drttt. Drttt.

Berulang kali ponsel yang ada di samping laptop itu bergetar, namun ia tak terusik. Sampai ada sebuah notifikasi yang membuat ia harus kembali menghubungi penelefon yang tadinya tak ia gubris.

^^^"Aku membutuhkanmu. Tolong hubungi aku segera. Ini penting!"^^^

Berkat pesan singkat dari pengirim yang bernama Arline itu, dengan sigap Arthur menyambar ponselnya dan bergegas menghubungi wanita itu.

^^^“ARTHUR!!!”^^^

^^^“SUSAH SEKALI MENGHUBUNGIMU. KAU PIKIR HANYA KAU SAJA YANG SIBUK?”^^^

^^^“AKU INI JUGA SIBUK. TAPI TAK SESULIT ITU ORANG-ORANG MENGHUBUNGIKU!”^^^

^^^"BAGAIMANA JIKA INI PANGGILAN DARURAT KARENA AKU KECELAKAAN ATAU TERKENA MUSIBAH?"^^^

^^^"KAU BENAR-BENAR ARTHUR!"^^^

Mendengarkan ocehan tersebut, Arthur Franklin, pria dengan wajah tampan yang sering di sebut bagaikan dewa yang turun ke bumi, ia menjarakkan ponsel dari telinganya. Meskipun mendengarkan ocehan dengan nada cempreng dari kakak kandungnya, tetap saja ekspresi wajahnya datar.

Sudah biasa, pikir Arthur saat itu. Siapa lagi yang akan mengoceh kalau bukan Arline Franklin. Satu-satunya saudara yang tersisa sejak kedua orangtuanya sudah tiada.

“Ada apa?” tanya Arthur tenang sambil kembali mendekatkan ponsel ke telinganya.

^^^“Minggu depan Hailey ke LA. Titip—”^^^

“Tidak. Aku sibuk,” sela Arthur tanpa basa basi.

Walaupun belum mendengarkan sepenuhnya apa yang dikatakan oleh Arline, hanya dengan mendengarkan keponakan tirinya itu ke kota yang sama dengannya saja, sudah cukup membuat ia malas. Pria 31 tahun itu menyandarkan punggung lebarnya ke sandaran kursi.

^^^“Sesulit ini aku meminta bantuan darimu?” ^^^

^^^"Tolonglah. Dia ini anak yang baik. Aku yakin dia tak akan pernah menyusahkanmu."^^^

^^^"Sesekali kau juga harus berinteraksi dengan keponakanmu ini."^^^

Arthur memutar malas kedua bola matanya. Tangannya yang sejak tadi memegang pena, kini pena itu ia mainkan dengan jari. Sambil sesekali ia mengetuk pelan benda itu ke permukaan meja kerjanya.

^^^"Andai aku memiliki saudara yang lain, aku pasti tak akan menyusahkanmu.”^^^

“Aku tak suka keramaian,” tegas Arthur dingin.

^^^“Bagaimana dengan apartemen yang ada di—”^^^

“Ok. Dia tinggal di sana,” potong Arthur lagi. Ia mulai duduk dengan tegap dan berniat menyudahi percakapan. Tangan kanannya sudah bersiap-siap ingin bermain dengan keyboard laptopnya.

Namun Arline belum ingin menyudahi percakapan mereka. Karena bukan itu inti dari percakapan mereka saat itu.

^^^“Titip Hailey. Dia anak yang baik. Aku tahu dia tak akan melakukan hal yang membuatmu pusing. Hanya saja, aku khawatir jika dia tinggal berjauhan denganku dan Oliver.”^^^

Benar tebakan Arthur. Tak mungkin gadis itu hanya dibiarkan tinggal sendiri di Los Angeles. Tentu saja gadis itu dititipkan padanya dengan alasan hanya dia keluarga Arline satu-satunya. Tapi … yang menjadi masalah adalah, Hailey itu bukan anak kandung Arline. Melainkan anak tiri Arline. Tentu saja mereka tak terikat hubungan apa-apa? Kenapa tak meminta bantuan pada keluarga Oliver saja? Bukankah Hailey itu anaknya Oliver?!

“Memangnya, Oliver—”

^^^“Semua saudara Oliver lelaki. Aku tak percaya jika gadis manis itu dititipkan pada lelaki lain."^^^

Sanggah Arline santai.

Mendengarkan ucapan Arline, seketika Arthur terbelalak. Ia mengerjapkan matanya sesaat dan tertawa perlahan. “Aku juga lelaki. Kau pikir aku ini wanita?!”

^^^“But I trust you, Arthur.”^^^

^^^"Setidaknya, kau masih waras. Aku tak yakin pria di luar sana tetap waras jika diberi wewenang untuk menjaga Hailey."^^^

Arthur memijat pelan dahinya yang mendadak pusing karena ucapan Arline. Padahal, wanita itu tahu bahwa pria 31 tahun itu hidup berdampingan dengan pekerjaan, wanita dan alkohol. Tiga hal yang tak bisa dipisahkan darinya. Wanita. Ya ... tiada hari tanpa wanita untuk melampiaskan gejolak buasnya itu.

“Ck! How can you trust me, Arline?” tanya Arthur sambil berdecak sebal. Bagaimana bisa saudaranya itu percaya padanya. “I’m a man. Dan … kau tahu ‘kan kalau aku ini …."

"Haaa ... sudahlah."

...🌸...

Seminggu kemudian.

Saat ini, kota yang dikenal dengan julukan La-la-land itu sedang menghadapi musim panas. Untungnya cuaca di sore itu sudah mulai adem dan tak begitu panas.

Arthur terlihat tenang di dalam mobil kesayangannya, Porsche 918 Spyder. Pria itu menghirup udara sore itu di tengah-tengah padatnya lalu lintas. Ia menunggu dengan sabar satu per satu kendaraan maju sambil melirik jam mewah yang melingkar di tangannya.

Tak akan terlambat, pikirnya saat itu. Pesawat yang gadis itu naiki juga akan landing sekitar setengah jam lagi. Dia harus melewati imigrasi, lalu harus menunggu bagasi.

Tanpa terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Karena lalu lintas yang padat di sore itu, Arthur pun terlambat tiba di bandara. Sementara pesawat yang Hailey naiki sudah mendarat sejak satu jam yang lalu.

“Shit!” umpat Arthur kesal. Tak biasanya ia terlambat seperti ini. Karena dia bukanlah pria yang suka bermain dengan waktu. Sebaliknya, ia membuat waktu yang menunggu dirinya selama ini.

Pria dengan jas hitam dan kemeja putih itu berlari masuk ke arah bandara dan menuju ke arah pintu kedatangan. Matanya menelisik ke seluruh area yang ada di sana. Mencari sosok yang bernama Hailey di balik kerumunan. Dan bodohnya, ia lupa seperti apa wajah gadis itu. Karena ia pernah bertemu dengan gadis itu sekali, saat pernikahan Arline dan Oliver di Vienna. Itu pun ia hanya sebentar di Vienna, karena ia harus segera kembali ke LA demi pekerjaan.

“Sial! Mana aku tahu seperti apa wajahnya?!” rutuk Arthur kesal. Ia pun merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Kemudian ia bergegas menghubungi Arline.

“I’m late,” ucap Arthur yang berusaha untuk tetap tenang.

^^^“Arthur! Oh my god! Kamu ini! Dia itu perempuan! Bagaimana kalau dia tersesat? Oh Tuhan, apa yang harus aku katakan pada Oliver.”^^^

“Seharusnya dia baik-baik saja. Karena dia sudah dewasa bukan? Kirimkan aku fotonya. Aku lupa seperti apa wajahnya.”

Arline langsung mematikan ponsel tanpa mengatakan apa-apa. Kemudian, ada sebuah notifikasi pesan yang masuk.

Ting!

“Uncle Arthur?”

Suara merdu seorang gadis bertepatan dengan suara notifikasi karena ada sebuah foto yang dikirimkan oleh Arline. Arthur membalikkan badannya ke belakang, ke arah suara yang memanggil namanya sesaat tadi. Sementara ibu jarinya sibuk menekan layar untuk membuka pesan yang dikirimkan Arline.

...🌸...

...🌸...

...🌸...

...Bersambung …....

Jangan Menyusahkanku!

...“Aku harap kau tak menyusahkanku selama di sini. Karena waktuku terlalu mahal untuk hal-hal yang tak menguntungkan.” — Arthur Franklin...

Di saat Bandara Internasional Los Angeles sedang padat dengan manusia, di saat yang sama Arthur memandang silih berganti ke arah layar ponsel dan gadis yang ada di depannya. Pria dengan ekspresi wajah yang datar itu menatap tajam ke arah ponsel dan Hailey silih berganti.

Entah kenapa, sesaat ia sempat terpaku dengan darah yang berdesir begitu menatap wajah Hailey. Wajah yang sangat indah tanpa riasan tebal. Hanya riasan tipis agar tak terlihat pucat.

"Hailey Owen? Apa memang seperti ini sejak setahun yang lalu? Atau memang aku yang tak pernah melihatnya sedekat ini?" batin Arthur terpana.

Di saat yang sama, ponsel Hailey bergetar. Gadis itu pun mengangkat panggilan tersebut.

“Yes, Mom.”

^^^“Sudah bertemu dengan Arthur?”^^^

“Sudah. Aku sudah bertemu dengan Uncle Arthur,” sahutnya lembut.

Entah seperti apa panggilan antara Hailey dan Arline berakhir, kini ponsel tersebut sudah tak lagi berada di telinga Hailey.

Hailey Owen. Gadis berambut coklat muda dengan mata yang bulat serta hidung mancung, membuat ia terlihat seperti bidadari yang tak ada duanya. Gadis yang kini berusia 19 tahun itu berjalan mendekat ke arah Arthur. Ia tersenyum dengan ceria sembari mendongak ke atas, karena Arthur yang sangat tinggi darinya.

“Uncle, apa kau kesulitan mencariku? Maaf—”

“Di mana kopermu?” tanya Arthur sambil melempar pandangan ke arah lain dan mencari-cari di mana trolly yang membawa barang gadis itu.

Senyum ceria gadis itu mendadak hilang. Ia menjadi sungkan dan merasa bersalah pada Arthur. Yah … mungkin karena ini pertemuan kedua ia dan Arthur. Lagi pula, mereka tak sedekat itu.

Hailey menoleh ke arah belakang sambil menunjuk ke arah trolly yang membawa beberapa koper miliknya. “Di sana.”

Hailey kembali menoleh ke arah Arthur. "Uncle sudah mak—"

“Okay. Ayo pulang.”

Arthur memotong pembicaraan sambil mengatakannya dengan dingin dan melengos menuju ke arah trolley tersebut. Kemudian ia mendorong trolly tersebut menuju ke arah parkiran. Sementara Hailey, gadis itu menyamakan langkah kakinya yang kecil dengan langkah kaki besar milik Arthur.

Hailey dibuat setengah berlari mengejar langkah besar pria itu. Ia hanya bisa mendengus sebal. Pasalnya, ia juga terpaksa menerima jemputan pria itu.

“Andai Arline mendengarkanku! Tak perlu aku berjalan seperti anak itik yang mengekori induknya!” geram Hailey sambil menggigit bibirnya menahan kesal. Ia menatap kesal ke arah punggung Arthur yang saat itu sedang mendorong trolly.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan karena terpaksa berpacu langkah dengan pria dingin itu, Hailey akhirnya bernafas lega. Pasalnya ia sudah tiba tepat di depan mobil milik pria itu.

Arthur memindahkan semua koper Hailey, sementara gadis itu masuk ke dalam mobil mewah tersebut dan duduk dengan tenang. Saat Arthur sudah selesai dan masuk ke dalam mobil, pria itu masih diam seperti sebelumnya. Tak ada satu patah kata pun yang terucap saat itu.

Hailey memberanikan diri untuk kembali berkomunikasi dengan pria dingin di sebelahnya itu. “Uncle … terima kasih karena sudah menjemputku.”

“Hm.”

“Apa kampusku jauh dari tempat tinggalku?” tanya Hailey ragu-ragu. Pasalnya Arline tak memberitahu di mana apartemen yang akan ia tempati saat kuliah di LA.

Arthur yang semula tenang dan fokus menatap ke depan, saat itu juga alisnya menyatu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Tentu saja Hailey membenci ekspresi pria itu. Ekspresi yang membuat ia berspekulasi sendiri, bahwa pria di sampingnya itu terusik karena kehadirannya.

“Haaa … I hate this guy! Kalau memang tak suka dan keberatan, kenapa harus datang menjemputku?! Memangnya aku ini anak kecil? Aku sudah dewasa dan—”

“Kuliah?” sebuah pertanyaan yang membuat Hailey berhenti memaki Arthur di dalam hati.

Pria itu bertanya dengan suara baritonnya yang berat.

“Yes. Kuliah. Apa Arline tidak memberitahumu?” Hailey menoleh ke kanan, ke arah Arthur yang sedang sibuk mengemudi tanpa sedikitpun menoleh ke arahnya sejak tadi.

“Ck!” bukannya menjawab pertanyaan Hailey, Arthur malah berdecak sebal?

Hailey semakin dibuat kesal sejadi-jadinya. Ia tak menyangka, pria yang sempat membuat ia terpana saat pernikahan ayah dan ibu tirinya, kini menjadi pria yang paling ia benci. Padahal, ia berniat untuk memiliki hubungan yang baik dengan Arthur. Tapi sikap dingin dan frontal pria itu membuat ia kesal dan marah.

“Kau akan tahu sendiri nanti,” jawab Arthur sesimple mungkin. Setelah mengatakan hal tersebut, tak ada lagi percakapan antara keduanya.

Hailey sibuk menatap ke arah luar jendela sambil mengumpat dan mengutuki Arthur di dalam hati.

“Pantas saja Arline mempercayaiku pada pria menyebalkan ini. Ternyata … dia memang tak acuh pada perempuan! Lagi pula, apa yang harus dikhawatirkan kalau aku tinggal dengan pamanku yang lainnya? Tak mungkin ada hal-hal gila yang terjadi padaku dan mereka,” keluhnya dalam hati.

Perjalanan panjang melelahkan pun berakhir. Pasalnya, Porsche 918 Spyder yang mereka tumpangi, kini sudah berada di parkiran apartemen. Keduanya pun turun sambil mendorong koper ukuran besar di kedua belah sisi kiri dan kanan tangan mereka. Karena Hailey membawa 4 buah koper besar dari Vienna.

Mereka tiba di sebuah apartemen yang akan Hailey tempati selama beberapa tahun ke depan. Dan tentu saja ia menempati tempat itu sendiri, tanpa siapapun.

“Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku,” ucap Arthur singkat.

Merasa tak ada lagi yang perlu ia lakukan, selain menjemput Hailey ke bandara, Arthur pun memutuskan untuk tak berlama-lama di sana. Ia melirik jam mewahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sebaiknya ia bergegas kembali ke apartemennya untuk melanjutkan dinas malam dengan Selena.

Pria dengan tinggi 189 cm itu pun berjalan menuju ke pintu untuk pergi meninggalkan Hailey. Namun, langkahnya mendadak berhenti tanpa menoleh ke belakanh. “Tapi … aku harap kau tak menyusahkanku selama di sini.”

“Karena waktuku terlalu mahal untuk hal-hal yang tak menguntungkan,” imbuhnya dengan suara baritonnya yang tenang dan mencekam, membuat Hailey menggigit bibir sambil mengepalkan tinjunya saat itu juga.

Usai mengatakan hal tersebut, Arthur beranjak pergi meninggalkan Hailey sendirian. Pria dingin itu tak peduli apakah di apartemen itu ada makanan atau tidak? Apakah gadis itu akan baik-baik saja saat penyesuaian di Los Angeles? Bahkan, ia tak memberitahu seperti apa Los Angeles bagi gadis muda sepertinya.

“Aku harap kau membusuk sendirian. Hanya wanita bodoh dan gila yang mau dengan pria sepertimu!” umpat Hailey dengan penuh kebencian.

Arthur menunggu lift sambil merogoh ponsel disakunya. Kemudian ia membuka pesan dari Selena.

^^^"Kau di mana? Aku sudah di lobby apartemenmu."^^^

"I'm coming," balasnya singkat pada Selena.

...🌸...

...🌸...

...🌸...

...Bersambung …....

Belum Dewasa

..."Inilah kenapa aku benci anak yang belum dewasa! Menyusahkan!" — Arthur Franklin...

Seminggu telah berlalu dan seminggu juga Hailey telah berada di Los Angeles. Gadis itu benar-benar mandiri tanpa harus menyusahkan Arthur. Ia berkelana ke sana ke sini dan belajar melakukan apapun sendiri di kota besar itu.

"Selagi aku memegang uang, apapun tak menjadi masalah," pikir Hailey sambil bersiap-siap untuk ke kampus.

"Hari ku benar-benar tentram tanpanya! Fiyuh!" Hailey menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum girang di depan cermin.

Gadis itu mengenakan rok di atas lutut berwarna coklat muda, dipadukan atasan polos berwarna putih. Kemudian ia meraih tas yang berisikan Ipad dan beberapa alat tulis di atas kasur.

Hailey menatap pantulan dirinya di depan cermin sambil sesekali membetulkan poninya ke samping. Merasa puas dengan penampilannya hari ini, ia pun bergegas menuju ke depan pintu untuk memakai sepatu. Lalu, ia membuka pintu.

"Semoga dia tak pernah datang— ... la ...," ucapan Hailey terhenti saat ia melihat sosok yang sangat tak ingin ia temui. Namun dilanjutkan lagi tanpa ia sadari. "... gi."

Arthur. Kini pria itu berdiri tepat di depannya lengkap dengan stelan jas navy dengan kemeja putih di dalamnya. Tampilan pria itu benar-benar memukau. Seperti itu lah ia berangkat ke kantor setiap harinya.

"Siapa maksudmu?" tanya Arthur dengan suara yang dingin. Kepalanya sedikit terangkat dengan angkuh bersamaan alis yang naik sebelah.

"Oh ... itu," Hailey mendadak salah tingkah. Kemudian ia melihat ke arah luar apartemen sambil berusaha mencari akal. Gadis itu menjulurkan kepalanya keluar sambil melihat ke kiri dan ke kanan. "Anjing. Hehe."

"Aku harap dia tak pernah datang lagi," imbuhnya terkekeh pelan sambil mencengkeram tas yang menggantung di bahunya dengan kuat.

Arthur mengerutkan dahinya, menatap Hailey dengan tatapan menyelidiki. "Anjing?"

"Iya. Anjing. Dog," ucap Hailey sambil tersenyum paksa dengan mata yang berkedip-kedip.

"Selama aku di sini—"

"Uncle ... ada apa? Aku sudah terlambat. Boleh kita lanjutkan bicaranya nanti?" sela Hailey sambil berusaha keluar dari apartemen dan berniat ingin meninggalkan pria itu. Ia benar-benar malas jika mood paginya berantakan karena pria tak punya hati itu.

"Aku pergi dulu ya, Uncle," ucap Hailey sambil melambaikan tangannya ke arah Arthur. Kemudian ia bergegas melengos ke lift tanpa menoleh sekalipun ke belakang.

Gadis itu menekan tombol lift dengan tergesa-gesa. Hingga akhirnya lift pun terbuka. Kemudian ia masuk dan menekan tombol tutup secepat mungkin.

"Please, please, please. Aku tak ingin—"

Bisikan pelan Hailey mendadak terhenti saat lift yang hampir tutup itu kembali terbuka. Ternyata Arthur yang menekan tombol lift dari luar.

"Sial! Dia benar-benar membuatku kesal!" rutuk Hailey dalam hati.

Di saat yang sama, Arthur melangkah masuk ke dalam lift. Lift yang berukuran kecil itu mendadak pengap dan hawanya dibuat semakin panas di musim panas itu.

"Arline menyuruhku mengantarkanmu," ucap Arthur tenang. Ia mengatakannya tanpa menoleh sedikitpun pada Hailey.

"Aku bisa sendiri."

Arthur tetap diam dan tenang. Ia tak memberikan respon apapun pada Hailey. Benar-benar seperti robot. Tapi robot masih sangat berguna ketimbang dia. Karena robot masih dapat mendengarkan perintah. Sedangkan dia?! Persis seperti robot rusak!

Pagi yang panjang berkat Arthur pun berakhir, saat Porsche 918 Spyder berhenti di depan kampus di mana Hailey melanjutkan pendidikannya. Hailey berniat keluar dari mobil, namun tiba-tiba saja ia membutuhkan tisu untuk menyeka keringat keringat di tangannya. Kalau bukan karena pria itu, tak mungkin tangannya berkeringat dingin.

"Uncle, ada tisu?" tanya Hailey sambil matanya melihat seisi mobil. Namun tak ia temukan tisu di sana.

"Tidak— ... hei!" Arthur melotot saat Hailey mendadak membuka laci dasboard mobilnya. Pasalnya, di dalam sana ada banyak harta karun yang ia simpan.

Mata Hailey membulat saat melihat ada begitu banyak alat kontrasepsi pria yang masih baru di dalamnya. Tak hanya alat kontrasepsi saja, bahkan ada cairan pelumas dan juga ada beberapa alat permainan s3x di dalam sana. Sekujur tubuhnya di buat bergetar karena shock dan kaget.

"Puas?" tanya Arthur dengan suara yang mencekam. "Puas membuang-buang waktuku yang berharga?!"

Hailey kesal dengan perlakuan pria itu. Mana dia tahu kalau dia akan menemukan harta karun seperti itu di dalamnya. Ia pun langsung menutup dashboard mobil dengan keras, kemudian melepaskan seatbelt.

"Terima kasih atas tumpangannya. Kirimkan saja berapa biaya yang harus aku bayarkan untuk waktu Uncle yang terbuang sia-sia itu?!"

Hailey bergegas keluar dari mobil tersebut dan membanting dengan keras pintunya. Arthur pangsung memukul stir mobilnya dengan sangat keras. Ia merasa sangat kesal akan perbuatan Hailey yang menurutnya lancang itu.

"Inilah kenapa aku benci anak yang belum dewasa! Menyusahkan!" geram Arthur lagi.

Hari ini adalah hari terakhir pertemuan Hailey dan Arthur. Arthur benar-benar tak lagi pernah mengusik Hailey meskipun Arline terus memintanya untuk sesekali menghampiri gadis itu.

Kehidupan Hailey dan Arthur berjalan seperti biasa. Arthur melanjutkan kegilaannya dengan pekerjaan, wanita dan alkohol. Sementara Hailey, ia mulai nyaman dengan kehidupan kampusnya di LA.

...🌸...

Tujuh bulan kemudian.

Arthur terlihat sedang menatap fokus ke arah laptopnya. Jemarinya yang besar itu tengah sibuk berdansa di atas papan keyboard. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 5 sore.

Ting!

Mata elang pria itu melirik ke arah notifikasi di ponselnya.

^^^"Malam ini, apa kau punya waktu luang?"^^^

Sebuah pesan masuk dari Adeline. Karyawan baru yang memang sempat membuat Arthur tertarik. Dengan cepat pria itu membalas.

"Kenapa?"

^^^"Bagaimana kalau kita pergi dinner bersama?"^^^

"Aku tak menyukai keramaian."

^^^"Bagaimana kalau di hotel?"^^^

"Apartemenku lebih nyaman."

^^^"Okay. Kirimkan aku alamatnya."^^^

Mendapatkan lampu hijau dari mangsa yang ia incar, sebuah seringai tampil di wajah dingin Arthur. Ia tak sabar menunggu saat di mana ia bisa mencicipi tubuh wanita itu. Tak perlu ia mengeluarkan tenaga untuk gombalan murahan untuk mendapatkan wanita yang ia inginkan. Karena wajah dan posisinya di perusahaan saja sudah cukup membuat wanita manapun tertarik padanya.

Pria itu bangkit dari duduknya. Ia bersiap-siap untuk pulang dan menantikan malam yang panas bersama Adeline. Tapi tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangannya.

Tok! Tok! Tok!

Sesaat kemudian Rossa, sekretarisnya masuk ke dalam ruangan. Di belakang wanita dengan penampilan cantik dan seksi itu, ada sosok yang tak asing di matanya.

"Ada Nona Hailey yang ingin bertemu," ucap Rossa sambil membiarkan Hailey masuk ke dalam ruangan.

Arthur memberikan isyarat tangan kepada Rossa untuk meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan tersebut.

"Ada apa?" tanya Arthur sambil membetulkan dasinya. Kemudian pria itu berjalan mendekat ke arah Hailey. "Lima detik. Karena aku harus pergi."

"Tolong ambil perawanku," ucap Hailey tanpa basa basi.

...🌸...

...🌸...

...🌸...

...Bersambung .......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!