NovelToon NovelToon

After Break Up

1. Si Tukang Tantrum Yang Kini Penuh Kharisma

...~Sejauh apapun kamu pergi. Jangan lupa untuk pulang~...

Tak terasa usia Gyan Abhiseva Wiguna kini sudah seperempat abad. Lelaki yang pada waktu kecil sering dipanggil Tuan dan si jambul tukang tantrum kini menjelma menjadi lelaki yang penuh kharisma. Tapi, begitu dingin melebihi es kutub. Tak perlu tes DNA lagi, fix dia anak Gavin Agha Wiguna dan cucu dari Ghassan Aksara Wiguna. Suhu es kutub di keluarga singa.

Di usianya yang sudah terbilang dewasa, temannya semakin mengerucut. Sahabat sejatinya sekarang hanya laptop serta secangkir kopi yang asapnya masih terlihat mengepul. Ya, dia tengah memandang serius benda segiempat ditemani secangkir kopi panas di ruangan yang begitu hening. Hanya suara denting jam dinding yang terdengar.

Lelaki itu begitu betah di Singapura. Padahal, kuliah S1 sudah selesai. Dan masih menimbang untuk melanjutkan S2 dikarenakan kesibukannya di Wiguna Internasional Grup. Sudah berkali-kali sang papa juga sang opa memintanya untuk kembali dan masuk ke Wiguna Grup pusat. Tapi, si pemilik pendirian yang teguh itu tak akan pernah goyah dengan keputusan yang sudah dia buat dengan bulat.

Diiming-imingi uang serta aset pun tak mampu membuat Gyan merubah keputusannya. Malah sebuah jawaban yang di luar prediksi terucap dari mulut lelaki penuh bisa tersebut.

"Ternyata kekayaan Wiguna Grup cuma 25% dari kekayaan Gy. Payah!"

Jika, sudah seperti itu sang opa juga papanya tak akan pernah bisa memaksa lagi. Kalimat sarkas yang keluar menandakan dia memang tak mau. Padahal, mereka melakukan itu karena sang mama juga sang Oma merindukan sosok Gyan yang sudah hampir dua tahun tak pernah pulang ke tanah kelahiran. Ketika rasa rindu melanda, mereka yang akan menemui Gyan di Singapura.

Sikap Gyan itu menyimpan tanda tanya besar di hati keluarga. Sayangnya, lelaki itu sangat cerdik. Mampu membuat para singa jantan tak bisa menembus informasi apapun tentangnya.

"Genius sih nih anak," puji papi Restu ketika para singa jantan melaporkan hal yang sama.

Kehidupan Gyan setahun belakangan ini begitu monoton. Kantor-meeting-apartment kantor-meeting-aparment terus menerus. Siklus yang sama setiap hari. Tapi, tak membuat dia merasa jenuh dan bosan.

Seperti sekarang ini, Gyan baru masuk ke unit apartment yang dia huni. Mendudukkan bokongnya di sofa empuk yang berada di ruang tamu. Dasi sudah dia longgarkan. Punggungnya pun sudah bersandar di sofa. Hembusan napas kasar keluar. Perlahan, matanya mulai dipejamkan.

Tak kurang dari satu menit, mata indah itu kembali terbuka. Dia mulai beranjak dari duduknya dan menuju lemari pendingin yang ada di dapur minimalis. Mengambil minuman kalengan yang mengandung sedikit alkohol untuk menghilangkan rasa lelah.

Berdiri di balkon adalah rutinitasnya hampir tiap malam setelah pulang dari kantor. Menatap langit malam yang ternyata lebih indah dari sebelumnya. Minuman beralkohol itu mulai masuk ke tenggorokan. Mampu menghilangkan dahaga, tapi tidak untuk membasahi hatinya yang sudah kering.

Life after Break up tengah Gyan lakukan. Setahun yang lalu, hubungannya kandas dengan seorang perempuan cantik, pintar dan nyaris sempurna. Katanya, perempuan itu tak mau menjadi anak yang durhaka. Dan hubungan mereka berakhir dengan baik-baik (bagi perempuannya). Namun, bisa saja berbeda dengan apa yang Gyan rasakan.

Senyum yang selama setahun terakhir sering melengkung kini sudah tak nampak lagi. Banyak yang berubah dari sosok Gyan setelah dirinya putus dengan sang kekasih.

Getaran ponsel di saku membuat atensi serta pikirannya teralihkan. Nama sang adik yang tertera di sana. Sesibuk apapun dirinya, jika menyangkut adiknya akan selalu meluangkan waktu.

"Kak--"

Gyan akan menjadi pendengar yang baik untuk adiknya. Di mana setiap malam Anggasta atau biasa disebut Gagas akan menghubungi sang kakak untuk menceritakan harinya. Terkadang, rasa rindu kepada keluarga menghampiri. Dia ingin memandang langsung wajah sang adik yang selalu antusias setiap kali bercerita. Namun, ada sebuah janji yang tak boleh dia ingkari.

"Gua akan balik ke Jakarta dengan perempuan yang jauh lebih baik dari lu."

"Kak, bisa enggak Minggu depan Kakak pulang?" Sebuah pertanyaan yang penuh dengan harapan besar. Gyan tak lantas menjawab. Hanya kedua alisnya yang menukik tajam.

"Hadir ya di wisuda Gagas. Gagas ingin foto keluarga lengkap."

Hati Gyan mencelos mendengar kalimat sang adik. Seulas senyum dia ukirkan. Namun, sorot matanya mampu membuat Anggasta membuka suara kembali.

"Kalau Kakak sibuk, enggak apa-apa. Nanti fotonya Gagas edit aja seperti biasa." Senyum penuh keterpaksaan Anggasta ukirkan.

Perih sekali hati Gyan ketika melihat wajah dan kesimpulan dari adiknya. Apalagi, wajah Anggasta menyimpan banyak kesenduan.

"Ya, Kakak bisa."

Sebuah kalimat yang membuat Anggasta terdiam dengan air mata yang sekuat tenaga ditahan. Hubungan persaudaraan mereka begitu erat. Juga ikatan hati mereka berdua pun begitu kuat.

"Beneran?" Air mata sudah menganak.

"Iya."

Air mata akhirnya menetes. Tak malu Anggasta menangis di depan kakaknya karena sudah terlalu lama dia menahan rindu. Memang mereka sering berbincang di sambungan video. Juga sering bertemu di Singapura, tapi Anggasta merindukan momen mereka berdua di kamar yang sama sambil bercerita. Kamar yang sudah sangat sepi karena ditinggalkan sang penghuni.

Gyan meraih foto yang ada di atas nakas di samping tempat tidur. Dia baru saja selesai membersihkan tubuh dan masih mengalungkan handuk di leher. Tangannya mulai mengusap lembut figura yang berisi foto dirinya, Anggasta, mama serta papanya. Rasa rindu mulai menjalar.

"I always Miss you all."

.

H-1 acara wisuda Anggasta, Gyan sudah menuju bandara setelah semua pekerjaannya selesai. Mengudara menuju Jakarta. Tak ada yang menjemput karena tibanya dia di Jakarta sudah tengah malam.

Kedua orang tua serta adiknya ternyata belum tidur menunggu kedatangan dirinya. Bahkan sang Oma rela tidur di ruang keluarga hanya untuk menunggu cucu tercinta.

Pelukan erat nan hangat dari sang mama membuat matanya berembun. Terlebih kalimat mama salju membuat hatinya teriris sembilu.

"Sejauh apapun kamu pergi. Jangan lupa pulang, Kak."

Mulut Gyan terbungkam. Hanya tangan yang semakin mengeratkan pelukan. Papa serta opanya hanya saling pandang dengan wajah datar. Sedangkan Anggasta sudah ikut memeluk tubuh sang kakak juga mamanya.

Kedatangan Gyan membuat semua anggota keluarga singa berdatangan ke rumah besar Daddy Aksa. Semenyebalkan apapun Gyan, tetap dia adalah anggota keluarga yang sangat mereka sayang. Dan senyum yang sudah jarang terlihat kini melengkung dengan begitu lebar karena gurauan para singa jantan juga tingkah para singa remaja.

"Jambulll!!!!!"

Mami Reyn berlari ke arah Gyan dan memeluknya dengan sangat erat. Kata rindu pun terdengar sangat jelas hingga bibir Gyan kembali terangkat. Kebahagiaan begitu menyelimuti hati keluarga singa. Namun, Gyan merasakan ada sesuatu yang kurang. Perlahan dia mengabsen satu per satu singa remaja juga singa kecil. Dan ternyata ada satu yang tak bersama mereka.

"Achel," gumamnya sangat pelan.

"Kenapa bocah tantrum penuh drama itu tak ada? Ke mana dia?"

...*** BERSAMBUNG ***...

Jangan lupa tekan subscribe ♥️ supaya tak ketinggalan ceritanya. Juga jangan bosan tinggalkan komentar biar jadi vitamin penambah semangat.

Bisa kali ya dimulai dengan 50 komentar

2. Tak Menerima Penolakan

Awalnya menolak untuk pergi ke acara wisuda bersama kedua orang tua juga opa dan Oma. Gyan tahu apa yang akan terjadi nanti. Pemaksaan mereka tak bisa dibantah hingga akhirnya dia manut saja.

Hall diadakannya wisuda begitu ramai. Gyan hanya bisa menghela napas kasar. Baru juga turun dari mobil, tatapan para perempuan lapar sudah mampu dia lihat. Inilah yang Gyan tak suka. menjadi pusat perhatian. Bukan salahnya, tapi salah rupanya yang begitu tampan sehingga semua mata tertuju padanya.

Sang mama yang peka akan hal itu mengusap lebih lengan sang putra. Lalu berkata, "sabar dulu ya, Kak."

Gyan memilih membuka aplikasi pesan yang sudah dua tahun ini jarang sekali dia buka. Begitu banyak pesan yang masuk terutama pesan dari singa bujang dan perawan. Sudut bibir sedikit demi sedikit terangkat membaca pesan yang dikirim oleh para singa kecil yang kini sudah tumbuh jadi singa remaja. Senyum itu melengkung dengan sempurna ketika wajah ikan buntal Achel dijadikan stiker.

"Terkadang sebuah luka yang menyakitkan membuat manusia lupa akan caranya tersenyum."

Senyum yang baru saja mengembang kini menghilang mendengar kalimat penuh tamparan dari seseorang yang sangat dia kenal. Ya, sang opa. Gyan memberanikan diri untuk menatap wajah kakeknya. Namun, wajah yang sangat datar ditunjukkan. Dia yang biasanya tak takut, kini terlihat segan dan mulai mengalihkan pandangan karena kebetulan acara sudah dimulai.

Semuanya mulai terfokus pada acara wisuda Anggasta. Dan ketika nama Gafi Anggasta Wiguna disebut sebagai pemilik IPK tertinggi lengkungan senyum penuh kebahagiaan juga kebanggaan terukir di wajah Gyan. Bukan hanya dia, kedua orang tua serta kakek neneknya ikut bahagia dan bangga.

Setelah acara selesai, Anggasta segera menghampiri keluarganya. Memeluk tubuh sang mama dengan sangat erat. Ya, papa Agha selalu mengajarkan untuk mendahulukan sang mama dibandingkan papa.

"Selamat datang di dunia yang sesungguhnya," ucap sang papa dan membuat Anggasta tersenyum. Lalu, berhambur memeluk tubuh lelaki yang telah mendidiknya dengan penuh kesabaran. Padahal, kesabarannya setipis tisu dibagi dua.

Selanjutnya Anggasta berhambur memeluk tubuh sang kakak. Punggungnya ditepuk lembut oleh Gyan.

"Kamu keren."

Perlahan, pelukan itu terurai. Mata Gyan tak bisa berdusta. Sangat menunjukkan kebanggan juga kebahagiaan yang tak terkira.

"Mau hadiah apa?" tanya Gyan tanpa basa-basi. Dia berhak memberikan hadiah untuk adiknya yang sudah bekerja keras.

"Tetap stay di Jakarta."

Permintaan yang tak mendapat jawaban. Bahkan, kedua orang tuanya serta kakek neneknya ikut terdiam.

"Jangan meminta hal yang tidak mungkin Kakak beri. Hidup harus realistis." Gyan menatap serius ke arah Anggasta.

"Di Wiguna pusat sudah banyak menusia-manusia hebat. Dan kamu pun akan masuk ke sana. Tapi, tidak dengan Wiguna Internasional. Setidaknya, ada perwakilan dari keluarga untuk mengurus perusahaan di sana."

Siapapun tak akan ada yang bisa berkutik jika Gyan sudah berkata perihal perusahaan. Pemikirannya yang logis juga cara kerja kerasnya memang sangat memajukan perusahaan yang ada di Singapura. Belum lagi dia juga diminta untuk sedikit membantu AdT. Corp.

Di keheningan mereka, suara yang sangat familiar terdengar.

"Congratulation, Kak Gagas!!"

Mata mereka mulai beralih, termasuk Gyan. Gadis cantik dengan senyum manis sudah menghampiri mereka. Gyan yang sudah lama tak melihatnya sedikit terpana akan gadis itu.

Gadis itu berlari ke arah Anggasta dan tanpa ragu memeluk tubuh adik dari Gyan. Ya, mereka berdua memang sangat akrab dan juga dekat. Beda dengan Gyan. Mereka berdua layaknya musuh bebuyutan.

Rachella Bumintara Ranendra belum menyadari kehadiran Gyan. Setelah pelukannya dengan Anggasta terurai, tubuhnya sedikit menegang ketika melihat Gyan Abhiseva Wiguna yang tak lain teman bertengkarnya tepat di depan mata. Wajahnya yang jauh lebih tampan dari sebelumnya membuat Achel tak bisa mengedipkan mata. Apalagi aura dewasanya begitu terpancar.

Melihat Achel dan Gyan terus bertatap tanpa berkata membuat seulas senyum teramat tipis terukir di salah satu dari mereka.

"Jangan bertengkar dulu, ya," ujar mama Salju dan membuat keduanya segera tersadar.

Di rumah besar sudah banyak yang menunggu mereka. Acara makan-makan sebagai bentuk syukur atas pencapaian Anggasta. Akan tetapi, bukan Anggasta yang menjadi bintang di acara tersebut. Melainkan Gyan.

"Apa lu enggak iri sama Kak Gyan, Kak?" Suara Niko, anak ketiga Apang dan Naira sudah mendekat.

"Dari dulu selalu saja Kak Gy yang jadi peran utama," tambahnya.

Anggasta tersenyum mendengar pertanyaan Niko. Dia menatap Niko dengan begitu serius.

"Denger ya, Ko. Gua sama sekali gak pernah iri sama kakak gua. Opa selalu mengajarkan kepada gua dan yang lainnya untuk tidak iri dan melarang menganggap saudara saingan. Itu akan membuat hubungan keluarga tidak sehat," papar Anggasta dengan sangat santai.

"Kalau Kak Gy terus menjadi bintang, berarti ada nilai plus yang enggak gua dan yang lainnya punya. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Makanya, bukan rasa iri yang harus dipunyai, tapi rasa saling melengkapi yang harus tertanam di diri."

.

Satu per satu keluarga sudah meninggalkan rumah besar. Gyan mulai melangkahkan kaki menuju kamar di lantai dua. Di depan kamar dia berpapasan dengan Achel. Mereka hanya saling pandang tanpa saling menyapa. Gyan memutus pandang dan masuk ke kamar yang sedari kecil dia huni. Sedangkan Achel masih berdiri di sana. Perlahan, kepalanya dia arahkan ke belakang di mana pintu kamar sudah tertutup. Hembusan napas kasar pun keluar dari bibirnya.

Keesokan harinya kembali rumah besar itu didatangi keluarga. Suasana pun begitu riuh. Gyan yang baru turun ke lantai bawah mulai mengabsen satu per satu keluarganya lagi. Dan kembali ada yang kurang, Achel. Dihampirinya seorang remaja yang tengah duduk sendiri sambil memainkan ponsel.

"El," panggilnya kepada Radja Elang Ranendra.

"Em." Sesama manusia kutub duduk bersama.

"Si Achel ke mana?"

Elang segera menatap lelaki yang ada di sampingnya setelah mendengar nama Achel disebut. Namun, itu tak lama. Kembali dia memfokuskan pandangan ke ponsel.

"Dia lagi siap-siap."

"Mau ke mana?" Elang hanya menggedikkan bahu.

Keesokan paginya, Gyan sudah siap untuk kembali ke Singapura. Keluarga sudah harus siap ditinggalkan pemilik tahta tertinggi. Namun, matanya memicing ketika melihat gadis yang dia cari kemarin, pagi ini sudah berada di meja makan bersama kedua orangtuanya dan papi Restu.

"Jam berapa berangkatnya?" tanya sang opa.

"Jam delapan, Opa. Soalnya Gy ada meeting penting selepas makan siang."

Tak ada pembicaraan apapun lagi di sana. Gyan yang sudah selesai sarapan sudah hendak berpamitan. Namun, kalimat sang opa membuat tubuhnya menegang.

"Achel akan pindah kuliah ke Singapura dan tinggal bersama kamu di sana."

Gyan terkejut bukan main mendengarnya. Dia seperti mendapat hadiah yang tidak dia sukai.

"Tapi--"

"OPA TAK MENERIMA PENOLAKAN APALAGI BANTAHAN."

...*** Bersambung ***...

Yuk, coba atuh jangan pelit komen ..

3. Dikira Berubah, Ternyata Masi Sama

Masih sangat tidak percaya dengan perintah sang opa yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Mulutnya terkatup rapat selama berada di dalam mobil menuju bandara. Begitu juga dengan Achel yang ada di sampingnya. Di mana kedua orang tua serta kakeknya tak mengantarkan gadis cantik itu ke Bandara. Membiarkan Achel pergi bersama Gyan Abhiseva Wiguna.

Sesekali Achel melirik ke arah Gyan yang tengah memijat kening. Namun, dirinya tak memiliki keberanian untuk bicara. Dia sangat tahu bagaimana mematikannya bisa yang keluar dari mulutnya jika ada yang mengganggunya.

Mengekori Gyan itulah yang Achel lakukan ketika sudah di bandara. Sebenarnya ini bukan kali pertama dia pergi tanpa orang tua. Akan tetapi, ini kali pertama dia pergi bersama anak sulung papa Agha. Mimik wajah Gyan yang mengandung subtitle membuatnya tak banyak bicara apalagi bertanya.

Gyan sedikit merasa aneh dengan sikap Achel sekarang. Gadis yang biasanya berisik, mendadak sangat anteng. Ketika mereka sudah duduk di dalam pesawat pun Achel hanya diam dengan kepala yang menunduk.

"Lu kenapa?" Bukannya menjawab, tapi malah terisak.

Gyan menghela napas kasar. Dia mencurigai sesuatu karena tak akan mungkin putri mahkota keluarga Ranendra dibiarkan pergi menuntut ilmu tanpa diantar oleh keluarga.

Isakan yang begitu lirih membuat rasa iba hadir. Refleks tangan Gyan menyentuh ujung kepala Achel. Hingga gadis itu menoleh ke arah Gyan.

"Don't sad."

Bukannya mereda, air mata Achel semakin deras mengalir. Naluri seorang kakak pun muncul. Segera dipeluknya tubuh Achel.

"Jangan cengeng."

Achel tak menjawab. Tapi, semakin menenggelamkan wajahnya di dada cucu dari Daddy Aksa. Baju yang digunakan Gyan pun basah karena air mata yang tak mau berhenti. Selama mengudara Gyan terus menenangkan Achel. Bagaimanapun Achel adalah adiknya.

Satu jam mengudara mata gadis itu sudah terpejam. Wajah yang basah terlihat sangat jelas. Dengan begitu pelan dan hati-hati Gyan mengusap lembut sisa air mata di wajah cantik Achel. Melihat Achel seperti itu sedikit membuat hatinya tergelitik.

Ditatapnya Achel dengan begitu lamat. Dia merasa ada yang berubah dari Achel. Terutama sikapnya yang lebih kalem dari sebelumnya.

"Ternyata banyak hal yang udah gua lewatkan. Termasuk perubahan lu."

Gyan terus memantau kenyamanan Achel yang tengah terlelap. Bagaimanapun dia tidak boleh menyiakan kepercayaan opa juga kedua orang tua Achel yang menitipkan gadis itu kepadanya.

Lima belas menit sebelum landing, Achel sudah membuka mata. Dia melihat sekelilingnya. Ketika dia melihat ke arah samping, Gyan sudah menatapnya.

"Udah kenyang nangisnya?"

Pertanyaan Gyan membuat Achel memanyunkan bibir. Ingin rasanya Gyan meremas bibir mungil itu. Achel mulai bangkit dari duduknya dan refleks Gyan mencekal tangan Achel.

"Mau ke mana?"

"Toilet." Tangannya pun segera Gyan lepas.

Menatap wajahnya di cermin toilet. Begitu sembab dan juga jelek. Achel menghela napas begitu kasar. Dia berharap kedua orang tuanya mengantarnya walaupun hanya ke Bandara. Namun, hanya sebuah harapan yang tak terealisasikan.

Achel yang tak jua kembali membuat Gyan sedikit gusar. Dia segera menuju toilet dan Achel baru keluar dari sana.

"Kak Gy mau ke toilet juga?" tanya Achel dengan wajah yang tak sesembab tadi.

"Gua mau cari lu, takutnya lu gak bisa pake toilet pesawat."

Lelaki itupun kembali ke kursinya di mana Achel masih berdiri sambil menatap punggung itu dengan sangat kesal.

"Nyebelin mah tetep aja nyebelin!" gerutunya dengan wajah yang ditekuk.

Baru saja pesawat landing dan ponsel mulai diaktifkan, banyak sekali notifikasi pesan yang masuk ke ponsel Gyan. Dia melupakan jika dia kembali ke Singapura bersama Achel. Gadis cantik itu terus membuntuti Gyan. Langkah Gyan begitu lebar sehingga membuatnya kewalahan. Bahkan dia harus berlari untuk mengejar Gyan. Untungnya dia tak memiliki bagasi yang terdaftar.

Napas Achel tersengal ketika dia sudah duduk di kedai kopi ternama di Bandara. Gyan nampak terkejut dan baru mengingat jika dia tak sendiri.

"Bisa gak sih jalannya santai. Achel capek harus lari ngejar Kak Gy."

Omelan Achel terdengar oleh orang yang ada di balik sambungan telepon.

"Anda sedang bersama siapa, Pak Gyan?"

Gyan tak menjawab. Dia malah menatap Achel yang terus mengoceh. Ketika buku menu dia berikan, Omelan itu akhirnya bisa dihentikan.

Gyan kembali melanjutkan perbincangannya dengan asisten sekaligus sekretarisnya. Achel yang juga sudah mengeluarkan ponsel. Walaupun sesekali menatap Gyan memiliki damage tak main-main.

Setiap kali Gyan menatap ke arahnya, Achel akan berpura-pura memainkan ponsel. Lama tak berjumpa ternyata menghadirkan sebuah kecanggungan di antara keduanya.

Makananan pun sudah datang. Achel sudah melahap roti yang dia pesan. Sedangkan Gyan belum menyentuh kopinya sama sekali. Masih sibuk berbincang serius dengan seseorang. Namun, bibirnya terangkat sedikit ketika melihat pipi kembung Achel yang tengah mengunyah makanan sambil menatapnya dengan sinis.

"Dasar ikan buntal!"

Gyan menyudahi telponnya dan mulai menyesap kopi yang dia pesan. Masih tak ada perbincangan di antara keduanya. Seperti dua orang asing. Padahal, mereka sering bertengkar sedari kecil.

"Gua ada meeting. Cepet habisin makanannya." Tak ada jawaban apapun.

Gyan segera bangkit ketika makanan sudah tak ada di meja. Di tengah perjalanan, Achel yang terus melihat ke arah kaca jendela mobil menunjuk suatu tempat.

"Achel mau makan itu."

Atensi Gyan beralih. Pandangannya mulai mengikuti telunjuk Achel.

"Delivery aja pas nanti udah sampe apart."

"Enggak mau. Achel mau makan di tempatnya. Rasanya beda kalau delivery mah." Tetap bersikukuh.

"Setengah jam lagi gua ada meeting, Chel."

"Bodo! Achel tetap mau makan di sana. Atau Achel akan laporin Kak Gy ke Daddy Aksa." Ancaman mulai keluar dari bibir si putri mahkota. Dia sudah mengambil ponsel dan hendak langsung melapor ke singa pusat. Akhirnya, Gyan menyerah sambil menahan kesal.

Wajah ceria sangat kentara ketika mereka sudah tiba di outlet makanan cepat saji favorit Achel.

"Gua kasih lu waktu sepuluh menit buat ma--"

Kalimat itu terhenti ketika Achel sudah membawa banyak sekali makanan. Tak dia hiraukan lelaki yang menatapnya penuh kekesalan. Memilih duduk di meja yang masih kosong.

Gyan sudah menarik kursi di meja yang Achel duduki. Beru juga beberapa jam Achel sudah mulai berulah. Hingga dia harus menahan amarah.

"Mau?" Dia menawari Gyan yang sedari tadi menatapnya dengan api yang sudah berakibat di mata.

Anak tunggal Regara dan Reyn ternyata masih sama saja. Tetap menyebalkan. Baru saja menatap jam tangan yang melingkar di tangan. Ponselnya bergetar.

"Pak, sudah ditunggu semuanya. Bapak masih di mana?"

Melihat Achel yang masih menikmati ayam crispy kesukaannya dengan lahap membuatnya tak tega jika harus memburu-buruinya.

"Lima belas menit lagi," jawabnya pada orang yang menghubunginya.

Namun, Gyan dibuat melongo ketika salah satu pelayan membawa nampan berisi puding, pie juga es krim dan diletakkan di meja. Tatapan penuh emosi mulai dia layangkan. Emosinya sudah gak bisa dia tahan.

"GUA UDAH DITUNGGU DI TEMPAT MEETING, ACHEL!!!!"

...*** BERSAMBUNG ***...

Setelah membaca budayakan tinggalkan komentar, ya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!