NovelToon NovelToon

Mantan Terindah

Pertemuan Pertama

"Kalau kamu tidak nyaman dengan keadaan ini, aku harap bertahanlah satu tahun ke depan. Setelah itu, silakan lepaskan aku, dan lakukan apa yang ingin kamu lakukan." ucap seorang gadis bercadar yang kini tengah duduk di depan cermin, bersiap membersihkan wajah dan membuka asesoris pengantin yang menghiasi jilbabnya.

Beberapa menit yang lalu dia baru saja dipersunting oleh seorang pria yang datang tiba-tiba. Hanya pertemuan keluarga yang memperlihatkan foto laki-laki itu, kemudian untuk pertama kalinya mereka bertemu di hari pernikahan.

Laki-laki yang masih berstelan jas lengkap layaknya seorang pengantin itu menoleh saat mendengar suara lembut itu. Sejak pertemuan pertama beberapa jam yang lalu, baru sekarang dia mendengar suara gadis bercadar yang dinikahinya tanpa cinta itu.

"Kenapa harus menunggu satu tahun?" bukankah kita tidak saling mengenal? Aku rasa lebih mudah untuk kita berpisah."

"Pernikahan itu hal yang sakral, bersatunya kita diikat karena ijab dan kabul di hadapan Allah dan manusia, bahkan malaikat. Mari kita mencoba membangun rumah tangga ini dalam kurun waktu setahun itu, anggaplah ini ikhtiyar kita dalam mensyukuri nikmat pernikahan ini, agar tidak dicap sebagai hamba yang kufur." gadis itu menghela nafas menjeda ucapannya.

"Kalau kamu tidak nyaman, berusahalah untuk menyamankan diri dalam ketidaknyamanan ini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi selama setahun nanti, tapi setidaknya kalau kamu bersedia kamu sudah beramal dengan menyelamatkan nama baik keluarga kita."

"Maksudnya?"

"Ya, setidaknya aku tidak terlalu cepat menjadi janda." seloroh sang gadis dengan posisi masih membelakangi laki-laki yang telah sah menjadi suaminya itu.

"Kalau aku jadi janda dalam hitungan hari atau bulan, keluargaku pasti akan menerima dampak negatifnya. Dan aku tidak mau itu, begitu juga keluarga kamu yang begitu terpandang, kalau kamu menjadi duda dalam waktu dekat pasti mereka juga akan terkena dampak negatifnya terutama dampak sosial."

"Benar juga, baiklah kalau begitu." ucap sang lelaki setelah beberapa saat berpikir.

Keluarganya adalah keluarga terpandang, selain pengusaha sang ayah juga tokoh agama yang sangat dikenal masyarakat luas. Dia tidak ingin keluarganya malu karena statusnya yang tiba-tiba menjadi duda di usia pernikahan bahkan kurang dari umur jagung.

"Satu tahun, oke. Satu tahun kita akan menjalani pernikahan ini." sepakatnya.

"Alhamdulillah, terima kasih Kang."

"Panggil apa kamu barusan?"

"Akang, itu adalah panggilan khas sunda. Keberatan kamu aku panggil akang?"

"Eumhh ...ti tidak, bolehlah terserah kamu."

"Terima kasih."

Suasana hening kembali menghiasi kamar pengantin itu, sang pengantin pria asik dengan ponselnya duduk di atas tempat tidur, sementara sang pengantin wanita masih berusaha melepas satu persatu aksesoris yang menempel di jilbab dan pakaian pengantinnya.

"Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu memilih waktu satu tahun untuk kita menjalani rumah tangga ini?" tanya sang pengantin pria memecah keheningan.

"Tahun depan di tanggal dan bulan yang sama adalah bulan Syawal, tepatnya tanggal 10 Syawal. Itu artinya kita berdua terlebih dahulu akan melewati Ramadan dan idul Fitri. Kalau aku hari raya idul fitri masih bersuami setidaknya tidak akan ada lagi yang bertanya kapan nikah? Haha ..."Gadis itu tergelak sendiri dengan alasan yang dikatakannya.

"Kenapa begitu?" sang pria masih tidak faham.

Aku bosan hampir setiap lebaran ditanyain kapan nikah." ucap gadis yang perlahan melepaskan cadarnya itu, kemudian berbalik menghadap ke arah laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya itu.

Deg ...

Cantik, satu kata yang dapat menggambarkan kesan pertama laki-laki itu melihat wanita yang telah halal untuknya. Entah mengapa tiba-tiba rasa gugup melandanya, jantungnya berdebar tak karuan. Untuk pertama kalinya dia melihat wajah wanita yang baru dinikahinya beberapa jam yang lalu membuatnya terpesona.

"Ka kamu kenapa dilepas cadarnya?"

"Kenapa? Tidak apa-apa, kan kita sudah halal, gak apa-apa dong aku lepas cadar, lagian juga aku mau wudu dan salat."

"Aku duluan ya ke kamar mandi, setelah itu kita salat bareng." ujar sang gadis sembari berlalu ke arah pintu kamar mandi, membawa handuk dan juga baju ganti. Meninggalkan laki-laki asing yang telah menjadi suaminya itu dalam keterkejutannya.

Maryam Rengganis, menerima perjodohan yang dilakukan Abah dan Ambunya. Di usianya yang baru menginjak 24 tahun dia harus bersedia dijodohkan dengan putra dari sahabat lama Abahnya.

Karena tidak punya alasan untuk menolak, Maryam pun akhirnya bersedia menerima. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dia terbilang anak yang paling telat menikah. Dua kakak perempuannya bahkan menikah diusia dua puluhan.

Maryam memilih kuliah sambil mengaji di salah satu yayasan yang memiliki lembaga pendidikan hingga perguruan tinggi. Atas kerja kerasnya dalam belajar dia mendapat beasiswa gratis sampai lulus sarjana.

Diusianya yang sudah cukup dewasa untuk menikah, tak jarang saat berkumpul dengan keluarga banyak yang bertanya kapan dirinya akan menikah, mengingat kedua kakaknya menikah lebih muda dari Maryam saat ini. Sungguh hal itu membuat Maryam lama-lama jengah.

Maryam sempat meminta izin untuk melanjutkan kuliah, ada beasiswa S2 yang sedang dikejarnya, namun Abah dan Ambu tidak mengizinkan sebelum Maryam menikah.

Kedua orang tua itu takut putri bungsu mereka terlena dengan pendidikan dan karirnya sehingga enggan atau tidak bersemangat untuk menikah.

Dulu, Abah bukannya tak ingin menyekolahkan anak-anaknya tinggi, tetapi mata pencahariannya sebagai petani dan guru ngaji membuatnya hanya mampu menyekolahkan ketiga putrinya sampai tingkat menengah atas sembari tinggal di pesantren.

Kedua kakak Maryam dipinang oleh putra kiyai tempat mereka mengaji dulu dan kini tinggal di luar kota mengikuti suami-suami mereka.

Pertemuan Abah dengan sahabat lamanya yang kini menjadi pengusaha sukses di Jakarta berujung pada perjodohan Maryam dengan putra sulung sahabatnya itu.

Maulana Malik Ibrahim, lulusan Al-Azhar Mesir, menyelesaikan pendidikan hingga S2 di sana dan enggan kembali ke tanah air karena terlanjur membangun bisnis di sana dengan teman-temannya.

Di usianya yang sudah sangat dewasa sang ayah membuat keputusan tegas menyuruh Ibra untuk pulang dan menikah. Sayangnya Ibrahim belum memiliki calon istri saat itu hingga ayah dan ibunya berinisiatif mencarikan jodoh untuk putra sulung mereka yang menginjak usia tiga puluh tahun itu.

Kepergiannya ke Garut untuk meresmikan salah satu pabrik ternyata berujung pada pertemuan dengan sahabat lamanya yaitu abahnya Maryam.

Komunikasi di antara mereka pun semakin intens, saat Ayahnya Ibra mengetahui jika sang sahabat memiliki putri yang belum menikah terbersit di pikiran kedua orang tua Ibra untuk menjodohkannya dengan sang putra.

Dan hari ini pun terjadi. Dua bulan semenjak kepulangannya dari Mesir Ibra langsung ditodong untuk menikahi gadis yang sama sekali tidak dikenalnya. Dan pertemuan pertama mereka terjadi tepat di hari pernikahan mereka.

Rutinitas Baru

Ibra mengetuk pintu kamar yang malam ini akan menjadi tempatnya tidur. Ucapan salam pun mengiringi langkah kakinya memasuki kamar itu.

Dia baru saja kembali dari Mesjid bersama Abah untuk menunaikan salat Magrib dan baru kembali setelah menunaikan salat Isya.

"Akang, sudah pulang." sapa Maryam yang baru saja mengakhiri salat sunnah ba'da Isya nya.

"Mau makan sekarang?" tanyanya, sejak makan siang di sela-sela resepsi tadi siang mereka berdua memang belum makan lagi.

"Boleh." jawab Ibra.

"Di luar masih banyak orang ya?"susul Inayah,

"Iya." Walaupun acara pernikahan itu digelar sederhana tapi keadaan rumah keluarga Maryam masih tampak ramai. Beberapa tetangga masih hilir mudik membantu beberes, begitu juga keluarga inti Maryam, kedua kakaknya beserta keluarga kecil mereka juga masih berada di rumah itu.

"Besok kita pindah, aku sudah mendapatkan rumah yang akan kita tinggali di Bandung. Maaf aku tidak bisa lama-lama meninggalkan bisnisku di Bandung, banyak yang harus aku urus sendiri di sana."

"Baik, jam berapa kita akan berangkat?" tanya Maryam tanpa ragu, dia tahu ini adalah salah satu konsekuensi yang harus dihadapinya. Sejak awal kedua orang tua Ibra sudah menyampaikan jika Ibra tidak ingin tinggal di Garut. Sebagai orang yang faham agama, Abah dan Ambu tentu dengan legowo melepas putri bungsu kesayangannya untuk ikut pada suaminya.

"Setelah salat Subuh, jam delapan aku ada meeting penting." sahut Ibra, pandangannya tidak lepas dari wajah Maryam yang tampak tenang merespon setiap ucapannya.

"Sepertinya benar kata ayah, dia akan menjadi istri yang patuh " batin Ibra.

"Kalau begitu, ayo sekarang kita makan dulu, lalu bersiap untuk keberangkatan besok." tanpa menunggu lagi keduanya keluar bersamaan, sekilas semua orang melihat hubungan mereka layaknya pengantin baru yang masih malu-malu, tidak ada satu pun yang tahu jika di antara keduanya sudah ada kesepakatan tidak tertulis mengenai pernikahan mereka.

Sesuai dengan yang dikatakan Ibra semalam, sopir keluarga Ibra yang membawa mobil sudah datang menjemput.

Walau pun Maryam sudah sering meninggalkan kedua orang tuanya, bahkan saat kuliah dulu dia hidup jauh dari kedua orang tuanya, namun entah kenapa kepergiannya kali ini terasa menyesakkan dada.

Maryam memeluk erat ambu, sekuat diri menahan agar tak ada air mata yang jatuh saat mereka berpisah. Dia kemudian menyalami Abah dan memeluknya sembari memohon do'a untuk keberkahan rumah tangganya.

Lambaian tangan dan untaian do'a kedua orang tua dan keluarga Maryam mengiringi kepergian sepasang pengantin baru itu.

"Ini kamar kamu, dan sebelah ini kamar aku." Setelah kurang lebih dua jam menempuh perjalanan mobil yang membawa pengantin baru itu tiba di sebuah perumahan elit.

Ibra langsung membawa Maryam ke lantai dua rumah yang akan mereka tempati.

Rumah itu sudah ada seseorang yang menyambut mereka, Ibra memperkenalkannya sebagai asisten rumah tangga. Dengan ramah Maryam pun memperkenalkan diri, selain itu ada seorang pegawai laki-laki juga yang merupakan suami dari ART yang bertugas menjadi satpam di rumah itu.

Setelah dirasa cukup memperkenalkan Maryam dengan para pekerja, kini keduanya tengah berdiri di depan pintu kamar yang ditunjuk Ibra sebagai kamar Maryam.

"Loh, kita tidur terpisah?" tanya Maryam dari balik cadarnya.

"Iya, kenapa? kamu keberatan?" Ibra balik bertanya.

"Iya, kenapa harus berpisah kamar. Kita kan sudah suami istri. Untuk tidur bersama sudah halal untuk kita." ucap Maryam tanpa ragu di balik cadarnya, walau pun telah ada perjanjian di antara mereka tetapi Maryam akan berusaha menjalankan perannya sebaik mungkin sebagai seorang istri.

"Kamu tidak keberatan kita tidur bersama?" tanya Ibra memastikan.

"Tidak, kenapa harus keberatan? Justru berdosa jika kita berpisah kamar."

"Bagaimana kalau aku khilap? Aku juga laki-laki normal, katanya laki-laki tidak perlu cinta untuk dapat meniduri seorang wanita." ucap Ibra dengan tatapan tajamnya.

"Kalau itu dilakukan pada istri namanya bukan khilap tapi kewajiban. Tugas seorang suami bukan hanya memberi nafkah lahir tapi juga nafkah batin salah satunya ya itu." timpal Maryam tegas.

"Kamu tidak akan merasa rugi kalau nanti kita berpisah kamu sudah tidak ..."

"Perawan?"

"Kenapa rugi, itu adalah hak kamu sebagai suami aku, terlepas dari rencana kita setahun mendatang, yang pasti statusku saat ini adalah sebagai istri kamu. Dan aku tidak mau menambah dosa dengan tidak memberikan hak suamiku atas diriku." tegas Maryam.

"Baiklah kalau begitu, kita tidur sekamar." tegas Ibra tanpa bertanya lagi.

Maryam pun memasuki kamar yang menjadi tempat suaminya tidur. Di sana sudah ada satu lemari, yang diperkirakan berisi pakaian Ibra.

"Lemari kamu masih di kamar sebelah, nanti aku minta Mang Tatang untuk memindahkannya ke sini. Sekarang aku mau ganti baju dan pergi ke kantor." Ibra melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu pukul tujuh lebih lima menit.

"Baiklah, kalau begitu biar aku siapkan baju yang akan Akang pakai." Tanpa canggung Maryam berjalan ke arah lemari pakaian Ibra, dibukanya dan dipindainya semua isi lemari itu. Sampai tangannya mengambil kemeja berwarna biru langit dengan dasi yang cocok dan jas hitam.

"Ini, suka? Pertemuan formal kan?" tanya Maryam sambil mengacungkan dua gantungan baju yang akan dipakai Ibra.

"Boleh." jawab Ibra sembari mengangguk, Maryam pun tersenyum di balik cadarnya, dia menyimpan baju itu di atas tempat tidur. Lalu berjalan menuju pintu keluar untuk membiarkan Ibra mengganti bajunya.

"Kamu mau kemana?" tanya Ibra saat melihat Inayah memegang handle pintu.

"Ke luar, silakan kamu ganti baju dulu." jawab Maryam tanpa berbalik, walau pun tadi dia berkata siap menjalankan peran istri sepenuhnya, sejujurnya tangannya bergetar sejak memasuki kamar itu.

"Kamu bantu aku dong, katanya mau jalanin tugas istri, kamu bisa kan pasangin dasi?"

"Iya, baiklah." Maryam tidak ada pilihan, ucapan Ibra cukup menohok, dia pun berusaha mengendalikan dirinya agar terlihat tenang.

Bukan hanya dasi yang Maryam pakaikan, Ibra meminta Maryam membantu dirinya berpakaian sampai memakai sabuk.

Ibra menahan senyumnya, walau pun tangan Maryam begitu cekatan memakaikan dirinya kemeja, celana, sabuk dan sekarang tengah memakaikan dari tapi Ibra masih dapat melihat dengan jelas tangan Inayah yang bergetar.

"Selesai."

"Jasnya?"

"Oiya lupa. Ini!" Maryam memakaikan jas dengan segera, selama membantu suaminya memakai baju tak sedikitpun tatapan Maryam mengarah ke wajah Ibra, sedangkan Ibra dengan leluasa menatap penuh telisik wajah Maryam yang hanya terlihat bagian matanya saja.

"Oke sudah selesai. Aku pergi."

"Kang ..." Ibra yang hendak keluar menghentikan langkahnya, kembali berbalik ke arah Maryam.

"Aku belum salam." ucap Maryam, dia berjalan mendekat ke arah Ibra dan mengulurkan tangannya.

"Hati-hati, fii amanillah." ucapnya lembut setelah mengecup punggung tangan Ibra.

"Iya, a aku pergi, assalamu'alaikum." jawabnya gugup.

"Wa'alaikumsalam." jawab Maryam mengiringi kepergian suaminya.

"Huft ... "Maryam menghembuskan nafasnya kasar, dia sudah bekerja keras pagi ini. Mengendalikan diri dari rasa gugup dan rasa lainnya yang tak biasa.

Mulai pagi ini, semua pekerjaan yang baru saja selesai dilakukannya akan menjadi rutinitasnya setiap hari.

Tekad Maryam

Enam bulan berlalu, Maryam tampak menikmati perannya sebagai seorang istri. Begitu pun dengan Ibra, semua kebutuhannya selalu terpenuhi oleh Maryam. Menikah dengan wanita yang tidak dicintai bahkan baru ditemuinya di hari pernikahan ternyata tidak seburuk yang dibayangkannya.

Sarapan pagi menjadi salah satu momen keduanya untuk menikmati waktu bersama, karena setelah pergi ke kantor Ibra baru akan kembali lepas dari waktu Isya. Dalam kurun waktu enam bulan ini hanya pagi hari waktu mereka bisa bersama.

Maryam yang terbiasa disibukkan dengan segudang kegiatan, awal-awal menikah sempat merasa jenuh, namun seiring waktu dia mulai terbiasa dan seorang Maryam tidak pernah kehabisan kreatifitasnya. Membaca dan menulis menjadi pelampiasan kejenuhannya.

Dalam waktu dua bulan tiga novel online berhasil dirilis dan mendapat sambutan luar biasa dari para pembaca setianya.

Suatu hari Maryam meminta izin pada suaminya untuk pergi ke pusat perbelanjaan karena banyak keperluan pribadinya yang sudah habis. Tanpa sengaja dia bertemu sahabatnya saat SMA dulu, dan mereka pun melanjutkan komunikasi via chat.

Anisa, sahabat Maryam yang berprofesi sebagai pedagang online mengajaknya untuk bergabung. Pekerjaan mereka hanya dilakukan di dalam ruangan, mempromosikan aneka pakaian wanita melalui aplikasi komersial yang sudah banyak dikenal orang.

Maryam sempat ragu apakah dia akan diizinkan untuk bekerja atau tidak, namun mengingat kembali perjanjian tidak tertulis mereka yang akan mengakhiri pernikahan setelah satu tahun Maryam pun menguatkan tekad untuk kembali mulai bekerja.

"Akang, sibuk gak?" Maryam perlahan membuka ruang kerja Ibra setelah sebelumnya mengetuknya dan mendapat jawaban agar dirinya masuk.

Seperti inilah setiap malam yang mereka lalui, setelah pulang dari kantor Ibra kembali masuk ke ruang kerjanya dengan alasan masih ada pekerjaan. Dia baru akan kembali ke kamar mereka setelah Maryam terlelap.

"Lumayan, ada apa?" Ibra menghentikan pekerjaannya, di tutupnya map yang tengah dibacanya lalu di simpan di atas meja.

"Ada yang mau aku bicarakan."

"Tentang apa? Duduklah." Ibra menyuruh Maryam duduk di sopa yang juga di dudukinya kini.

"Minggu kemarin waktu aku ke mall kebetulan bertemu teman lama, dia ... " Maryam pun menceritakan pertemuannya dengan Anisa, tidak lupa dia juga menceritakan pekerjaan Anisa yang berjualan online dan mengajaknya untuk bergabung.

"Kamu gak bakalan capek kalau kerja?" tanya Ibra setelah menyimak penjelasan panjang lebar Maryam.

"Yang namanya kerja ya pasti capek atuh Kang, justru aku jadi merasa kurang produktif kalau dirumah terus. Apalagi pekerjaan rumah hampir semuanya dikerjakan sama Bi Ati. Ya, tapi kalau Akang tidak mengizinkan ya ... gak apa-apa juga." jawab Maryam pasrah dengan keputusan yang akan Ibra berikan.

"Kamu bisa pergi-pergi sendiri, ini bukan Garut loh." Ibra masih tampak meragu untuk mengizinkan Maryam bekerja.

"Akang, aku kuliah tiga setengah tahun loh di Bandung, ditambah kerja paruh waktu juga di beberapa tempat. Belum lagi kegiatan menjadi volunter yang sering keliling Bandung raya ... "

"Cukup." jeda Ibra,

"Baiklah, aku izinkan. Tapi, kamu harus sudah ada di rumah sebelum aku pulang."

"Alhamdulillah, siap Kang!" Maryam tampak senang sekali, bahagianya mendapat izin boleh bekerja seperti mendapat izin kuliah saat dirinya memohon pada Abah.

"Dan jangan lupa, cadarnya dipakai."

"Tentu, Insya Allah." sahut Maryam lagi, dia pun berdiri. Pamit untuk kembali ke kamarnya.

Dalam ruang kerja Ibra merenung, benarkan dengan apa yang sudah diputuskannya. Tapi saat dia kembali mengingat jika selama ini Maryam pasti bosan berada di rumah.

Tok ...tok ...tok ...

Maryam kembali mengetuk pintu ruang kerja suaminya. Dengan sebelah tangan dia memegang nampan penuh hati-hati sementara satu tangannya membuka pintu perlahan.

"Kang, aku bawakan kopi sama sedikit kue yang tadi sore aku bikin. Mudah-mudah bisa menemani akang menyelesaikan pekerjaan akang."

Ibra menganggukan kepalanya ke arah Maryam, dengan senang hati dan wajah penuh senyum Maryam menyimpan kopi dan sepiring kecil kue di meja sofa yang ada di ruang kerja Ibra.

"Taruh di sini saja." Ibra meminta Maryam untuk memindahkan kopi dan kue ke meja kerjanya.

"Iya ..."

Maryam pun kembali mengambil kopi dan kue untuk dipindahkan ke meja kerja Ibra.

"Ini Kang, selamat menikmati."

"Terima kasih."

"Dengan senang hati." jawab Maryam

Maryam pun hendak keluar dari ruang kerja suaminya setelah melihat Ibra menyesap kopi yang dibawakannya. Namun ...

Deg ...

Maryam menghentikan langkahnya saat tanpa sengaja ujung matanya melirik layar laptop milik Ibra.

Foto seorang wanita yang tidak dikenalinya. Yang pasti bukan adiknya Ibra, atau pun uminya, apalagi dirinya.

"Apakah ..." pikiran Maryam berkecamuk, secara cepat logikanya menyimpulkan jika wanita itu adalah seseorang yang berharga dalam hidup suaminya. Bisa jadi, karena perempuan itu yang membuat Ibra tidak nyaman dengan pernikahan mereka.

"Kenapa?" melihat Maryam menghentikan langkah Ibra berhenti sejenak menyesap kopinya,

"Tidak, aku pamit." ucap Maryam lirih tanpa melihat ke arah Ibra yang menautkan alisnya karena heran dengan tingkah Maryam.

"Aduuh, jangan-jangan dia melihat foto ini."Ibra menepuk jidatnya.

Sampai saat ini dia memang belum mengganti wallpaper laptopnya. Sejujurnya, sampai saat ini dia masih menanti seseorang yang sejak awal kuliah di Mesir membuatnya jatuh cinta, namun cinta yang dimilikinya sebatas cinta dalam hati.

Mereka bertemu saat masa orientasi mahasiswa baru dan ternyata mereka satu jurusan bahkan satu kelas, keduanya menjalin pertemanan hingga ketika tingkat dua Ibra memberanikan diri untuk mengungkapkan cintanya.

Sayangnya dia ditolak karena sang pujaan hati ingin fokus kuliah. Ibra pun bersedia menunggu saat sang wanita yang dicintainya itu bilang baru akan membuka hati untuk laki-laki setelah selesai kuliah S1.

Waktu wisuda pun tiba, Ibra dengan hati yang berbunga menyatakan cintanya kembali kepada gadis yang dicintainya itu. Sayangnya, sang gadis memilih untuk melanjutkan S2 dan tidak ingin terganggu dengan yang namanya pacaran.

Ibra pun mengerti, justru merasa bangga dengan prinsip yang dimiliki gadis yang dicintanya itu. Mereka pun sama-sama melanjutkan kuliah S2 namun kali ini berbeda jurusan tetapi masih di universitas yang sama.

Ketika keduanya menyelesaikan pendidikan S2 nya, Ibra yang telah setia menunggu kembali menyatakan cintanya. Sayangnya sang gadis masih ingin melanjutkan study na. Cita-citanya belum tercapai ucapnya kala itu, dan Ibra pun mengerti.

Dia bukan tipe laki-laki yang suka memaksa, dia pun mengatakan jika cintanya untuk gadis itu masih sama, tak ada yang berubah dan Ibra akan menunggu.

Ibra mengisi hari-harinya dengan bekerja, selain mengelola bisnis travel milik keluarganya yang ada di Mesir Ibra pun melebarkan bisnisnya ke bidang kuliner, dalam kurun waktu tiga tahun dia berhasil memiliki beberapa cabang restoran khas Indonesia di sana.

Tak ada hal lain yang Ibra lakukan untuk menghabiskan waktunya selain bekerja dan bekerja, hingga tiba saatnya dirinya dipaksa harus kembali ke Indonesia dan menikah dengan Maryam.

"Maafkan aku, sampai saat ini namamu masih terpatri rapi di relung hatiku " ucap Ibra lirih sembari mengusap layar laptop yang menampilkan wajah gadis yang dicintainya sejak dulu.

Sudah empat bulan Maryam menikmati rutinitas barunya berjualan online. Tanpa melupakan kewajibannya sebagai seorang istri Maryam menjalani aktivitas barunya dengan menyenangkan. Ilmu manajemen yang dipelajarinya saat kuliah menjadi bekal dalam meniti karirnya di dunia perdagangan online itu.

Ibra tidak pernah bertanya apapun mengenai pekerjaannya, apalagi Maryam selalu berada di rumah saat Ibra akan berangkat maupun pulang.

Maryam berangkat ke tempat yang dijadikan Anisa untuk berjualan online sekitar jam sembilan, tentunya setelah Ibra pergi ke kantor dan dia kan kembali pulang ke rumah setelah salat Ashar.

Ibra pun masih rutin setiap bulan mentransfer uang ke rekeningnya sebagai nafkah, padahal semua kebutuhan rumah juga sudah terpenuhi. Tapi kata Ibra itu berbeda, uang yang ditransfer ke rekening Marya adalah untuk memenuhi kebutuhan pribadi Maryam. Maryam pun hanya bisa berterima kasih.

Kelihaian Maryam dalam mengatur alur bisnisnya, Maryam mulai menelorkan idenya dengan membuat brand pakaian muslimah miliknya. Maryam.

Walau pun hubungannya dengan Ibra tak kunjung ada kemajuan namun hal itu tidak menjadi soal buat Maryam. Tekad dalam hatinya semakin bulat untuk dapat berdikari di atas kaki sendiri. Jika sudah waktunya tiba untuk berpisah dengan Ibra setidaknya Maryam sudah mempunyai kehidupan yang layak. Tekad Maryam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!