Suara sirine ambulance yang berbunyi nyaring memenuhi pendengaran setiap pengemudi bahkan para pejalan kaki.
"Telah terjadi kecelakaan di tol ... km 35, kecelakaan diduga terjadi karena salah satu truck yang bermuatan pasir oleng dan menabrak pembatas jalan, disusul beberapa mobil yang berada berlawanan arah menjadi salah satu kecelakaan yang menewaskan setidaknya lima orang ..."
Di tempat lain, tayangan televisi memperlihatkan seorang wanita tengah membacakan berita mengenai kecelakaan di sebuah tol, beberapa pengunjung rumah sakit terlihat fokus melihat berita tersebut. Nampak seorang wanita dengan kepala yang masih dibalut perban berlari menuju ruang ICU (Intensive Care Unit) tanpa menggunakan alas kaki.
Brak!
Ia mendorong pintu keras, menghampiri brangkar pasien tergesa.
"Bangun, Yah. Ayah, bangun."
"Rafa, bangun, sayang. Ini Bunda, nak,"
Wanita itu mengguncang dua pria yang berbaring di atas brangkar dengan tangisan pilu, namun tidak ada sahutan dari keduanya.
"Jangan tinggalin Bunda sendirian, hiks, hiks," raungnya tergugu. "Tuhan, jangan ambil mereka dariku, aku tidak bisa hidup tanpa mereka," airmata terus mengucur deras di kedua pipinya yang putih melihat dua orang yang dicintai terbujur kaku.
Tubuh wanita itu luruh dilantai dengan isak tangis yang memilukan, tak berapa lama kedua matanya terpejam. Ia pingsan.
...***...
Lima tahun kemudian...
Stella Ayu Ghani, orang-orang biasa memanggilnya —Stella. ia seorang janda muda berumur 25 tahun. Perawakannya tinggi semampai, rambut lurus panjang, cantik dan anggun, tak sedikit yang mengira bahwa Stella masih gadis dan belum menikah. Padahal ia sudah pernah melahirkan.
Stella memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang di tengah padatnya lalu lintas, hari itu ia bermaksud mengunjungi dua pria yang teramat dicintai.
Beberapa menit kemudian ia sampai di tempat tujuan. Stella memperhatikan wajahnya di cermin, menaikkan kain panjang guna menutupi kepala, setelahnya ia meraih buket bunga di kursi samping dan keluar dari mobil.
Ia berjalan memasuki gapura bertuliskan "Pemakaman Umum", sebuah area luas yang di isi gundukan rapi di kanan kiri. Ia melewati jalan setapak guna menghindari gundukan dengan rumput hijau yang ditata rapi. Stella terduduk di antara dua gundukan bertuliskan nama Hari dan juga Rafa. Ia mengusap dua batu nisan tersebut dan tersenyum. "Hai, dua pria kekasih Bunda, apa kabar hari ini?" sapanya seperti biasa.
Stella akan berdoa dan bercerita semua hal dengan keduanya meskipun tak ada sahutan. Berbagi kisah dan kasih yang ia lalui pada dua pria yang sangat berarti di hidupnya. Tak mudah baginya melepaskan suami dan anak yang amat sangat ia cintai kembali ke sang pencipta, namun ia tak bisa terus bersedih meskipun bayang-bayang kebersamaan mereka sering melintas.
Entah sudah berapa lama ia terduduk nyamam di sana, entah sudah berapa cerita yang ia tuang dalam pusara tersebut, langit yang terang tiba-tiba perlahan redup, Stella mendongak memperhatikan awan yang menggelap, ia gegas berpamit pada mendiang suami dan anaknya untuk pulang.
Langit sangat tak bersahabat dengannya hari itu, Stella sudah pastikan tidak akan tiba di parkiran dalam keadaan kering sebab hujan sudah lebih dulu merintik di atasnya. Ia memilih berteduh di pendopo kecil di tengah-tengah makam, yang biasanya digunakan untuk tahlilan dan tempat menyimpan keranda. Tiba di pendopo ia terkejut melihat seorang pria yang juga bernasib sama sepertinya, namun hal tersebut setidaknya membuat dirinya lega karena tak harus berada sendirian di makam.
Jujur saja, siapa yang tidak takut berada di tengah-tengah tempat berkumpulnya para jasad dengan keadaan hujan deras disertai angin juga kilat, sepertinya tidak ada yang bisa bertahan lama di tempat menyeramkan seperti itu.
Stella mencuri tatap pria di sampingnya, tinggi dan atletis, sepertinya pria itu pekerja kantoran, bisa dilihat dari pakaiannya yang menggunakan seragam kemeja serta jas hitam, namun wajahnya tidak begitu jelas, ia berharap pria itu orang baik.
Waktu berlalu dan hari semakin gelap, bahkan hujan belum juga ingin berhenti menjatuhkan bulir-bulir dari langit. Udara kian menusuk, Stella menggosok-gosok kedua tangannya, menempelkan pada pipinya untuk memberi rasa hangat. Ia menoleh saat mendengar pria itu tengah bertelepon untuk minta dijemput.
Dan benar saja, tak lama kemudian, datang seorang pria berpakaian sama seperti pria di sampingnya, kemeja hitam dibungkus jas hitam, serta celana hitam. Pria itu membawa payung dan menyerahkan salah satunya pada pria di sampingnya.
Stella menggigit bibir bawahnya, kalau pria itu pergi, berarti tandanya ia sendirian. Tentu saja ia takut. Jalan satu-satunya adalah berlari menerobos hujan, biarlah ia basah kuyup asal tidak di makam sendirian, pikirnya.
Namun siapa sangka, pria di sampingnya menawarkan Stella untuk berbagi payung dengannya.
"Mau ikut pulang denganku, Nona?"
Stella nampak sungkan. "Ah, tid —"
Srek srek.. kriyettt... !!
Belum sempat Stella menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba suara di belakangnya membuatnya menoleh terkejut, ia menelan salivanya alot.
"Bagaimana?" ulang pria di sampingnya.
Tak bisa menghindar dan menolak, Stella tak ingin sendirian di tempat menyeramkan, sebenarnya ia amat tidak enak menerima tawaran berbagi payung pria tersebut, tapi jika menolak ia akan basah kuyup dengan jarak parkiran yang cukup jauh. Pada akhirnya ia mengangguk setuju untuk berjalan beriringan dengan pria asing tersebut. Sementara pria yang satunya berjalan di belakang mereka.
Suasana hening sampai di parkiran, setelah Stella menunjukkan tempat parkir kendaraannya, ia gegas masuk dan berucap terimakasih kepada sang pria yang dibalas anggukan.
Stella menutup pintu mobilnya dan bernafas lega. "Untung saja dia orang yang baik," gumamnya tersenyum.
...***...
Sandyaga Van Houten, pemilik Houten Group, perusahaan raksasa dengan cabang hampir di seluruh penjuru dunia, mulai dari hotel, restoran, furniture, sekolah, rumah sakit, club dll. Seorang miliarder dengan sejuta pesona. Tampan, kaya, famous, hampir semua mengenal siapa Sandy.
Apalagi setelah istrinya meninggal, ia semakin terkenal dengan julukan duda tampan. Banyak wanita yang berusaha mendekatinya, namun tidak pernah ia merespon, karena fokusnya hanya kepada putra tunggalnya —Aiden Van Houten. Sandy hanya akan menikah kalau putranya yang menginginkan seorang ibu.
Sore itu, Sandy bermaksud mengunjungi makam istrinya, membawakan bunga mawar putih kesukaan mendiang sang istri. Tak terasa rintik hujan mulai turun, ia memilih singgah di pendopo makam guna menghindari hujan, beberapa detik berikutnya, hujan turun sangat deras.
Tiba-tiba datang seorang wanita berpakaian serba hitam yang berlari ke arahnya, Sandy lekat memperhatikan wanita itu, sampai akhirnya wanita itu berdiri di ujung pendopo sebelah kirinya.
Beberapa kali terlihat wanita itu menggosok-gosok tangannya, sepertinya kedinginan. Dilihat dari gelagatnya yang sering terkejut kala petir menyambar, bahkan sering menengok ke belakang berulang kali kala mendengar suara-suara ranting yang tertiup angin. Sandy pastikan kalau wanita di sampingnya ketakutan.
Hari semakin gelap, Sandy melirik jam tangannya, ia melihat langit yang sepertinya masih betah mengguyur bumi. Ia merogoh saku celana dan mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang. "Bawakan dua payung untukku," ucapnya melirik ke arah wanita di sampingnya.
"..."
"Aku berada di dalam pendopo makam."
"..."
Tut.
Tak berapa lama orang suruhannya datang memberikan payung untuknya.
"Bukankah aku bilang dua, Vin?" ucap Sandy menatap dingin ke arah Alvin yang merupakan tangan kanannya saat hanya satu payung yang diberikan padanya.
"Maaf, Tuan. Saya pikir dua beserta saya, hehe," jawab Alvin menyengir, sedangkan Sandy memutar bola matanya.
Sandy menoleh pada wanita di sampingnya, terlihat sedang gelisah dengan menggigit bibirnya berulang kali, ia tahu kalau wanita itu ketakutan. "Mau ikut pulang denganku, Nona," tawarnya kemudian.
Wanita itu menoleh. "Ah, tid —"
Srek srek.. kriyettt... !!
Wanita di hadapannya tersentak mendengar suara ranting yang beradu tertiup angin.
"Bagaimana?" ulangnya memastikan. Dan dibalas anggukan dari wanita itu.
Sandy menunggu wanita itu bergabung berbagi payung dengannya. 'Wanita ini lumayan tinggi,' Sandy membathin. Tingginya kira-kira sedagunya, padahal wanita itu tidak memakai heels. Wajahnya juga cantik jika dilihat lebih dekat.
Sesampainya di parkiran, Sandy mengantarkan wanita itu sampai di mobil, setelah masuk ke dalam, wanita itu mengucapkan terimakasih dan dibalas anggukan oleh Sandy, selanjutnya Sandy berbalik menuju mobilnya sendiri, berlalu meninggalkan makam diikuti mobil Alvin di belakangnya.
.
.
.
"Lo harus datang, Ste."
"Iya, gue usahain, Rin."
"Oke, gue tunggu, kalau gitu gue pergi dulu ya. Bye, Ste." lambaian Erin dibalas anggukan oleh Stella.
Stella membolak-balikkan undangan di tangannya, disana tertulis acara ulangtahun Vini, putri dari sahabatnya Erin. Sebenarnya dia malas untuk datang, karena disana pasti banyak anak-anak. Hal itu mengingatkan dirinya dengan mendiang Rafa.
Stella menghembuskan nafas panjang, beranjak dari cafe tempatnya bertemu dengan Erin, dia memutuskan untuk ke mall mencari kado untuk keponakannya itu.
***
Suasana kediaman Erin sangat ramai. Beberapa tamu sudah hadir, rumah Erinpun disulap dengan berhiaskan balon-balon yang lucu, anak-anak saling kejar-kejaran, memeriahkan acara.
Setelah memberikan kado untuk Vini dan berbincang-bincang dengan Erin, Stella memutuskan untuk pulang saja, karena sebenarnya dirinya kurang enak badan.
Saat berjalan keluar rumah, tak sengaja dirinya melihat anak kecil yang duduk sendirian di kursi taman samping rumah Erin. Stella berniat menghampiri.
"Hai," sapa Stella tersenyum melambaikan tangan, saat berada di depan pria kecil yang sedari tadi menundukkan kepalanya.
"Boleh Aunty duduk di sini?" tanyanya lagi, setelah tak mendapat sahutan.
Pria kecil itu lantas mengangguk lesu.
"Nama kamu siapa, sayang?" tanya Stella mengintip kearah pria kecil di sampingnya yang masih betah menunduk.
"Aiden," jawab pria kecil itu hampir berbisik.
Stella mengangguk. "Kenapa enggak masuk ke dalam? Teman-teman kamu sedang bermain di dalam loh."
"Aiden nggak mau kesana," tolak Aiden cepat.
Stella menyernyit. "Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Di sana semua bersama Mommy, sedangkan Aiden tidak punya Mommy," jawab Aiden memainkan kedua jarinya yang bertaut.
Stella terkesiap. "Memangnya Mommy Aiden kemana? Kalau boleh Aunty tahu."
"Kata Daddy, Mommy ada di surga. Waktu Aiden tanya dimana surga, Daddy bilang tempatnya jauh, Aiden tidak bisa kesana," jawabnya murung.
Stella terenyuh mendengar jawaban pria kecil di sampingnya, dia jadi teringat Rafa.
"Terus, Aiden kesini sama siapa?"
"Sama Aunty Fara, tapi Aunty Fara bilang ada urusan, jadi Aiden di sini sendiri, nanti dijemput Pak Udin."
Terlihat jelas wajah sedih dari Aiden, kalau dilihat-lihat sepertinya usia Aiden tidak beda jauh dengan Rafa, seandainya Rafa masih hidup.
"Mau Aunty temenin ke dalam?" usul Stella kemudian, merasa tidak tega melihat wajah murung pria kecil nan menggemaskan di sampingnya.
Aiden mendongak. "Bagaimana dengan anak Aunty?"
Stella tersenyum. "Sama seperti Mommy Aiden, anak Aunty juga ada di surga," jawab Stella mendongak menatap langit.
Aiden ikut mendongak. Dia memilin ujung bajunya, "Apa Aiden boleh memanggil Aunty, Mommy?" tanyanya gugup.
Stella terkesiap, detik berikutnya kedua ujung bibirnya terangkat. "Bagaimana kalau Bunda Stella?"
Aiden menoleh. "Bunda Stella?" ulangnya tak mengerti.
Stella mengangguk. "Iya, nama Aunty, Stella, dulu anak Aunty juga manggil Aunty, Bunda," terang Stella tersenyum melihat wajah pria kecil yang ternyata sangat tampan dan menggemaskan, dengan bola mata yang lebar juga bulu mata lentik.
Aiden berbinar, "Oke, Bunda," sahutnya antusias.
"Yuk," ajak Stella mengulurkan tangan dan disambut Aiden.
Stella menggenggam tangan Aiden, menuntunnya menuju kediaman Erin, mengikuti acara sampai selesai.
*
Beberapa jam kemudian acara usai. Setelah berpamitan dengan Erin dan juga Vini, Stella menggendong Aiden keluar rumah, mencari keberadaan sopir pribadi yang bertugas menjemput Aiden.
"Itu Pak Udin." tunjuk Aiden saat melihat Pak Udin berdiri di samping mobilnya.
"Tuan Muda," sapa Pak Udin menunduk hormat, membukakan pintu untuk Aiden.
"Bunda, Aiden pulang dulu ya?" pamitnya tersenyum riang.
Sedangkan Pak Udin nampak kebingungan, kenapa tuan mudanya memanggil perempuan di depannya dengan sebutan Bunda? Dan kemana Fara? yang notabene calon ibu sambung Aiden.
"Iya, sayang. Aiden hati-hati ya?" balas Stella mencubit pipi Aiden gemas.
Stella tersenyum dan menganggukkan kepalanya, saat Pak Udin menunduk hormat padanya.
Aiden membuka kaca mobilnya, melambai ke arah Stella. "Dah.. Bunda.."
Stella membalas lambaian Aiden, setelah mobil agak jauh stella menghelas nafas dan berbalik menuju mobilnya.
*
"Pak Udin?" panggil Aiden ketika di dalam mobil.
"Ya, Tuan."
"Pak Udin tahu rumahnya Bunda Stella nggak?"
"Bunda Stella?" gumam Pak Udin mengingat. "Siapa itu, Tuan Muda?"
Aiden mendengus. "Bunda Stella, Pak Udin, yang tadi gendong Aiden," balasnya ketus.
Pak Udin menggeleng. "Bapak tidak tahu, Tuan."
"Hufftt.." Aiden menekuk bibirnya. "Bapak tahu nomor hpnya?" tanyanya lagi.
Lagi-lagi Pak Udin menggeleng. "Tidak, Tuan," cicit Pak Udin pelan. Merasa tak enak melihat wajah muram anak majikannya, dari kaca spion.
***
Di tempat lain, Sandy sedang bertemu dengan klien penting di salah satu restoran ternama di Jakarta.
Sebenarnya tadi dia bersama Fara -kekasihnya- mengantar putra semata wayangnya ke acara ulangtahun teman sekolahnya.
Tapi, belum sampai menginjakkan kaki di rumah teman Aiden, Alvin sang asisten mengabari kalau ada janji dengan klien. Seandainya tidak penting, pasti Sandy akan menolak dan memilih menemani sang anak, tapi ini adalah kolega bisnis dari luar negeri, yang jarang berkunjung ke Indonesia. Jadi mau tidak mau dirinya harus menemuinya, dan meninggalkan Aiden bersama Fara.
Lewat lima menit Sandy selesai dengan urusan bisnisnya, dia melihat Fara, sang kekasih yang juga berada di restoran yang sama dengannya, bersama teman-temannya.
Kalau Fara di sini lalu Aiden dimana? Apakah acaranya sudah selesai? Tapi ini baru satu jam dia meninggalkan mereka. Dan yang dia tahu acara ulangtahun seperti itu akan lebih dari satu jam, pikirnya.
Sandy bergegas menghampiri Fara. "Fara, dimana Aiden?" tanyanya to the point.
Fara cukup terkejut melihat kehadiran Sandy di sini, dia sedikit gugup.
"Aiden masih di rumah temannya, sayang." Fara berusaha bersikap biasa saja dengan bergelayut manja di lengan Sandy.
"Kenapa kamu di sini? Bukannya menemani Aiden di sana?" hentaknya meninggikan suaranya.
Fara terkesiap, bahkan tangannya terlepas sendirinya dari lengan Sandy.
"Ta-tadi aku ada pemotretan mendadak, sayang. Jadi aku tinggal Aiden sebentar, lagian aku juga sudah menelepon Pak Udin untuk menjemputnya, bela Fara tergagap, dia takut melihat kilat kemarahan di mata Sandy.
Tanpa menjawab ucapan Fara, Sandy segera berlalu meninggalkan Fara. Merogoh saku jasnya, mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.
"Halo, Ma. Aiden dimana?" ucap Sandy ketika sambungan terhubung.
"Bukannya Aiden pergi ke acara ulang tahun temannya? Sama kamu dan Fara 'kan, San?"
"Sandy ada meeting penting, Ma —"
"Omaaa..." terdengar suara anak kecil di seberang yang diyakini adalah suara anaknya.
"Sandy, Mama butuh penjelasan dari kamu!"
Tut
Sambungan di tutup sepihak, Sandy menghela nafas lelah, pasti Mamanya akan memarahinya setelah ini.
***
"Omaa" teriakan Aiden menggema di rumah mewah kediaman Van Houten.
"Oma, tadi Aiden ketemu Bunda Stella, dia baik sama Aiden, Oma," tutur Aiden antusias.
"Bunda Stella? Siapa dia, sayang?" tanya Laras -Ibunda Sandy- seraya memangku cucunya.
"Tadi Aiden ketemu Bunda waktu di rumah Vini, dia temenin Aiden waktu Aunty Fara ninggalin Aiden di sana sendirian, Oma," jawab Aiden dengan wajah bahagianya.
Laras tersentak "Aunty Fara ninggalin kamu sendirian sayang"
Aiden mengangguk "iya oma katanya Aiden pulang bareng pak Udin" jelas Aiden dengan polosnya
"Oma, Oma," Aiden menggoyang-goyang lengan Laras yang terbengong.
"Ya, sayang?"
"Oma, Bunda Stella baiiikk banget. Kata Bunda, Aiden boleh makan coklat, tapi enggak boleh banyak-banyak. Nanti ompong kayak nenek-nenek," Aiden terkikik. "Bunda juga bilang, Aiden boleh berteman sama semua orang, enggak boleh pilih-pilih," sambungnya riang.
Terus saja Aiden membicarakan tentang Bunda Stella yang Laras tidak tahu siapa dia, dan bagaimana rupanya. Tapi menurut cerita Aiden sepertinya wanita itu orang baik.
***
"Ma, dimana Aiden?" tanya Sandy ketika memasuki rumah.
"Apa maksudnya dengan kamu meninggalkan Aiden sendirian di acara seperti itu Sandy?" cecar Laras menatap tajam putra semata wayangnya.
"Maafkan Sandy, Ma."
"Lalu? Dimana Fara?"
"Dia ada pemotretan, Ma," jawab Sandy lesu.
"Bagus. Perempuan itu lebih memilih pekerjaan ketimbang mengurus anak kamu. Ingat ya Sandy, kamu menikah bukan untuk kamu sendiri, tapi mencari sosok ibu untuk Aiden," tutur Laras mengingatkan.
"Sandy tahu, Ma."
"Lalu?"
Sandy menghembuskan nafas panjang. "Nanti Sandy akan bicara dengan Fara," putusnya final.
"Ingat pesan Mama." tuntut Laras berlalu menuju kamarnya, meninggalkan Sandy yang berdiri di posisinya.
***
"Lo ada masalah apa sama Sandy Far?"
Fara menoleh ke arah kiri, melipat kedua tangannya. "Huh! Ini gara-gara anaknya si Sandy. Sandy ninggalin gue di acara ulangtahun anak-anaknya itu, gue bosen 'kan harus ikut acara begituan, bahkan sebenarnya gue nggak suka sama anak-anak, merepotkan," sungutnya kesal.
"Gue tinggal aja tuh anak di sana, biar nanti dijemput sama sopor pribadinya, biar gue bisa seneng-seneng di sini sama kalian. Eh, tahunya, Sandy malah meeting di sini juga, sial!" sambungnya memaki.
"Heh, lo lupa? Pacar lo itu duda dengan satu anak, kalau lo mau bapaknya lo juga harus nerima anaknya, dong?" sahut wanita di depannya yang berpakaian mini berwarna pink.
"Kalau saja Sandy bukan orang kaya dan tampan, gue pasti mikir dua kali buat jadi istrinya," balasnya pongah.
Wanita di sampingnya tergelak. "Putusin aja, udah."
"Enak aja lo, susah payah gue dapetin dia, sekarang lo nyuruh gue putusin, gue nggak mau," tolaknya tegas.
"Iya, lo juga nggak jelek-jelek amat Far, banyak lah yang mau sama lo."
"Sialan lo, gue emang cantik," hentaknya kesal. "Cowok emang banyak, tapi nggak ada yang setajir Sandy," sambungnya menyeringai.
"Lo harus pura-pura baikin anaknya kalau gitu," usul yang lainnya.
Fara menyeringai, mengetuk meja dengan kukunya. "Ya, gue akan berusaha."
~••~
Satu minggu kemudian.
Stella mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rata-rata menuju butik miliknya. Udara pagi ini cukup cerah, tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan, tapi siapa yang tahu karena walau kadang pagi cerah, siangnya hujan turun dengan deras.
Sebenarnya sudah terlalu siang untuk dikatakan pagi, karena sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, tak biasanya Stella berangkat ke butik sesiang ini.
Tiba-tiba dirinya teringat dengan Aiden, bocah laki-laki tampan nan menggemaskan yang mengingatkan dirinya akan putranya yang telah tiada.
Sudah seminggu dia tidak bertemu dengan pria kecil menggemaskan itu, dirinya jadi rindu.
'Bukankah dia teman sekolahnya Vini?' gumamnya dalam hati.
Ujung bibirnya terangkat saat terlintas sebuah ide. Membelokkan setir mobilnya ke kanan, bermaksud melewati sekolah Vini yang otomatis juga sekolah Aiden, dia berharap bisa bertemu atau sekedar melihat dari jauh pria kecil itu.
Stella menghentikan mobilnya tepat di depan sekolah Aiden, tatapannya meluas mencari keberadaan pria kecil yang dia cari.
"Sepertinya sudah sepi, apa sudah pulang ya?" gumamnya mengetuk-ngetuk kukunya pada setir mobil.
Dia melirik jam tangannya. "Tapi ini masih terlalu pagi, seharusnya belum jam pulang sekolah," sambungnya lagi.
Kembali meluaskan tatapannya, hingga matanya memicing melihat objek di depannya, itu dia yang dia cari, senyumnya terukir di wajah ayunya. Membuka seat belt, Stella bermaksud menghampiri.
"Hai ganteng," sapanya tersenyum ramah.
Aiden mendongak. "Bunda?" pekiknya terkejut juga senang, melihat Stella berdiri di depannya.
Aiden segera berlari dan melompat ke gendongan Stella. "Aiden kangen sama Bunda," ucapnya memeluk leher Stella erat.
Stella terkekeh kecil, mengelus punggung Aiden. "Bunda juga kangen sama Aiden," balasnya.
Menarik diri. "Bunda kenapa di sini?" tanyanya dengan tangan yang masih melingkar di leher Stella.
"Bunda sengaja pengen ketemu Aiden," goda Stella menciumi seluruh wajah Aiden. Membuat Aiden terkekeh geli.
"Kenapa Aiden di sini sendirian, hem?" tanya Stella mengambil duduk kursi dengan memangku Aiden.
"Aiden nunggu Daddy."
Stella mengangguk. "Hem.. baiklah, Bunda akan menemani Aiden sampai Daddy datang, oke?" usul Stella mengedipkan sebelah matanya.
"Oke, Bunda," jawab Aiden senang, memberi isyarat dengan jarinya membentuk huruf O.
Sudah lima belas menit Stella dan Aiden menunggu, namun yang ditunggu belum datang juga. Aiden juga sudah terlihat lelah.
Akhirnya Stella berinisiatif bertanya kepada gurunya saja. Stella menggandeng tangan kecil Aiden menuju gedung sekolah.
"Lho, Aiden kok belum pulang?" tanya guru Aiden yang diketahui bernama Dewi pada nametagnya ketika melihat Aiden memasuki ruang guru.
Tatapan Bu Dewi mengarah pada Stella. "Anda siapa, Nona?"
"Ini Bunda Stella, Miss," jawab Aiden. Sedangkan Bu Dewi nampak bingung, karena tidak pernah melihat Stella sebagai orang dekat Aiden.
Melihat kebingungan wanita di depannya, Stella berujar, "Begini, Bu, saya teman dari orangtua Aiden," bohongnya. "Aiden dan saya sudah menunggu hampir setengah jam, tapi Daddy dari Aiden belum juga datang. Apa boleh jika saya yang mengantar Aiden pulang?" tanya Stella hati-hati menatap sang guru.
"Saya akan tinggalkan kartu nama saya, jika anda ragu," sambungnya melihat sang guru yang terdiam.
Stella membuka tasnya dan memberikan kartu namanya kepada Bu Dewi.
"Eh, iya, silahkan, Nona," jawab Dewi menerima kartu yang disodorkan Stella.
"Oh ya, Bu. Boleh saya tahu alamat rumah dari Aiden, karena saya baru pulang dari luar negeri beberapa minggu yang lalu, jadi agak lupa," ujar Stella tersenyum canggung. Karena sejujurnya dia tidak tahu dimana rumah Aiden.
Bu Dewi terkesiap, agak ragu dengan Stella, takut jika terjadi sesuatu dengan anak didiknya, tapi tak urung dia memberikan alamat rumah Aiden pada Stella.
Setelah mengucapkan terimakasih, Stella dan Aiden keluar meninggalkan area sekolah.
Sepanjang perjalanan, Aiden terus saja mengoceh tentang sekolahnya, Stella sangat antusias mendengarkan, sesekali menjawab atau menyahut ucapan Aiden.
Andai saja anaknya masih ada, mungkin dia juga akan berceloteh seperti Aiden, bathin Stella tersenyum kecut.
Mobil Stella sampai di kediaman Aiden, Aiden membuka kaca mobil dan berteriak pada satpam karena tak kunjung membuka gerbangnya.
"Pak Joko, buka gerbangnya," teriaknya nyaring.
Joko selaku satpam terkejut, melihat anak majikannya berada didalam mobil yang asing, dia segera bergegas membuka pagar.
"Aiden, tidak boleh berteriak kepada orang yang lebih tua, sayang," nasehat Stella.
"Maaf, Bunda," sesal Aiden menunduk.
Stella tersenyum mengelus kepala Aiden, kembali menekan gasnya memasuki kediaman Aiden.
Aiden menggandeng tangan Stella, mengajaknya masuk ke dalam rumah, rumahnya sangat besar, pilar-pilar besar dan tinggi. Stella pastikan Aiden berasal dari keluarga yang sangat kaya.
"Omaaa," teriak Aiden ketika membuka pintu.
"Aiden, kalau masuk rumah harus berucap salam, sayang," tegur Stella.
"Maaf, Bunda," Aiden menutup mulutnya.
"Ayo, kita salam," ajak Stella kemudian.
"Assalamualaikum," ucap keduanya bersama.
"Wa'alaikumsalam," seorang maid menghampiri dan terkesiap melihat tuan mudanya bersama wanita. Terlebih lagi mendengar tuan mudanya berucap salam. Hal yang jarang terjadi di rumah sebesar ini.
"Moly, Oma dimana?" tanya Aiden memasuki rumah dengan masih menggandeng tangan Stella.
"Nyonya besar sedang keluar, Aden."
"Saya Stella, Bi," ucap Stella memperkenalkan diri, saat melihat kebingungan Moly.
"Dia Bundanya Aiden," sahut Aiden polos membuat Moly kian terkejut.
"Bunda angkat," Stella menimpali.
Moly menatap keduanya dengan tatapan bingung, bahkan saat keduanya saling tatap dan tersenyum bahagia.
Dia tersadar. "Oh, mari silahkan duduk, Nona," ucapnya kemudian.
"Bunda, Aiden lapar," ujar Aiden ketika berhasil menarik Stella duduk di sofa ruang tengah.
"Bibi sudah menyiapkan makanan untuk Aden," Moly menyahut.
Aiden menggeleng. "Tidak mau, Aiden mau masakan Bunda," tolaknya.
"Aiden mau Bunda masakin?" tanya Stella yang langsung diangguki Aiden.
"Baiklah, tapi Aiden ganti baju dulu ya?"
"Ayo, Bunda. Temenin Aiden ganti baju di atas." Aiden menarik tangan Stella agar beranjak.
Stella berjongkok menyamai tinggi Aiden. "Aiden, Bunda di sini sebagai tamu, tidak boleh masuk kamar Aiden, Aiden ganti baju sama Bibi aja ya? Biar Bunda masakin buat Aiden," ucap Stella mengelus tangan kecil Aiden.
Aiden terdiam menekuk wajahnya.
"Kalau cemberut nanti gantengnya hilang loh," goda Stella menoel pipi Aiden.
Senyum Aiden merekah, kepalanya mengangguk.
"Moly, ayo," ajaknya melihat Moly yang terbengong di tempat.
"Eh, iya, Tuan Muda."
Sebelum naik ke lantai dua, Moly memanggil salah satu maid untuk membantu Stella memasak, serta menunjukkan arah dapurnya.
Aiden duduk di pantry melihat Stella yang tengah memasak, sesekali bertanya tentang nama sayuran atau bumbu yang ada di depannya.
Moly beserta maid lainnya tersenyum melihat interaksi keduanya. Seperti ibu dan anak sungguhan.
Setelah selesai memasak, Stella menyuapi Aiden dengan telaten, hingga piring Aiden bersih.
"Bi, kapan Oma-nya Aiden pulang?" tanya Stella disela kegiatannya menemani Aiden mengerjakan PR.
"Biasanya siang, Nona. Kalau boleh tahu, kenapa anda yang mengantar Aden pulang, Nona?"
"Tadi enggak sengaja ketemu di sekolah, Aiden nungguin jemputan, tapi enggak datang-datang. Akhirnya saya antar dia, kasihan dia sudah nunggu lama," terang Stella mengelus kepala Aiden.
"Terimakasih, Nona. Sudah mengantarkan Tuan Muda pulang," ucap Moly tulus.
"Iya, Bi. Sama-sama."
Sudah lebih dari waktu Dzuhur, namun tidak ada tanda-tanda Oma dari Aiden pulang, bahkan PR Aiden sudah selesai dikerjakan.
Sebenarnya Stella tidak nyaman berada di rumah orang lain, sedangkan yang punya rumah tidak ada.
"Hoahmmm." Terlihat beberapa kali Aiden yang menguap lebar.
"Aiden mengantuk ya?"
"Iya, Bunda. Bunda temenin Aiden tidur ya?" pinta Aiden dengan mata yang sudah sayu.
"Kita tidur di sana ya, sayang?" tunjuk Stella pada karpet bulu tebal panjang hampir mirip tempat tidur, yang berada di samping pintu kaca yang menghubungkan dengan kolam renang. Karpet itu sendiri mengarah pada televisi besar di depannya.
"Bunda bisa nyanyi?" tanya Aiden ketika sudah berbaring di samping Stella.
"Mau Bunda nyanyiin?"
"Iya, Bunda."
"Oke."
Stella mulai menyanyikan lagu pengantar tidur seraya menepuk-nepuk paha Aiden. Tak selang berapa lama Aiden sudah tertidur pulas.
Stella memandangi wajah di sampingnya, dia tersenyum melihat wajah polos Aiden.
Kemudian dia bangkit, menata guling di sisi Aiden dan berpamitan pada Moly untuk pulang.
***
Sebelumnya.
Dewi sebagai guru pengajar di sekolah Aiden telah menelepon orangtua Aiden, memberitahukan bahwa sekolah pulang lebih pagi, agar segera menjemput Aiden di sekolah.
"Fara, tolong jemput Aiden sekarang," titah Sandy saat sambungan teleponnya terhubung.
"Memangnya Mama dimana, sayang? Bukankah jam pulang Aiden masih lama?"
"Aiden pulang pagi. Aku ada meeting penting, Mama sedang arisan."
"Tapi—"
"Jemput dia sekarang!" titah Sandy mutlak, tak ingin dibantah.
"Baik, aku akan jemput Aiden sekarang."
Tut.
Karena masih ada beberapa sesi pemotretan, Fara lupa menelepon Pak Udin untuk menjemput Aiden.
Alhasil ketika Pak Udin sampai di sekolah, Aiden sudah tidak ada di sana. Pak Udin bertanya kepada sang guru, dan ternyata Aiden sudah pulang diantar seorang wanita bernama Stella. Bahkan perempuan itu meninggalkan kartu namanya pada sang guru.
Pak Udin tidak asing dengan nama tersebut, namun segera memilih untuk pulang dan mengecek keadaan tuan mudanya.
Ternyata benar, tuan mudanya sudah sampai di rumah, Pak Udin segera menelepon guru Aiden guna memberitahu bahwa Aiden sudah tiba di rumah dengan selamat.
Pak Udin sempat menengok ke dalam rumah, memastikan wanita yang mengantar tuan mudanya. Ternyata orang yang sama waktu di acara ulangtahun dulu.
Dia bernafas lega. Mungkin wanita itu benar-benar baik. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan anak majikannya, tidak bisa dia bayangkan bagaimana nasibnya.
~••~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!