Tahun ajaran baru sudah berlalu sejak dua bulan lamanya. Murid-murid baru agaknya sudah terbiasa dengan seragam yang mereka pakai. Biasanya, baru sehari dua hari tahun ajaran baru dimulai, mereka tak henti-hentinya membicarakan tentang seragam. Memandangi temannya sambil membandingkan penampilan dirinya. Apakah dirinya lebih keren dari pada temannya itu. Tentu saja, seragam yang mereka pakai sama persis. Namun yang paling menarik adalah lencana emas bertuliskan “Radiant school” yang terpasang di dada bagian kiri masing-masing murid. Lencana emas murni. Mengapa harus emas murni? Tanyakan pada pimpinan sekolah yang digadang-gadang sebagai pendiri sekolah nan megah dan terbaik di seantero kota. Bagaimana dengan biayanya? Lebih baik tidak perlu dibahas sekarang.
Sudah banyak yang mengetahui jika Radiant School menjadi sekolah favorit seluruh penduduk kota. Fasilitas tidak diragukan lagi. Sekolah dengan biaya yang tak main-main memang seharusnya tak mengecewakan. Pengajar yang mumpuni serta sistem pendidikan sangat diperhatikan di sini. Tak heran prestasi pun berdatangan dari siswa yang jika kalah satu tingkat saja, mereka tak tidur tiga hari tiga malam untuk menyiapkan balas dendam di pertandingan selanjutnya. Dan biasanya jika mereka sudah mendapatkan penghargaan bergengsi, kepala sekolah akan sangat memperhatikan mereka. Ya, semua siswa ingin dilihat oleh Mr.Aiden. Orang yang paling berwibawa yang pernah mereka lihat.
Pukul sebelas siang, ketika murid kelas atas sedang menikmati jam kosongnya. Gadis berambut hitam sebahu melangkah lincah melewati beberapa kelas yang lumayan ramai. Sedikit langkah lagi, ia akan mencapai laboratorium komputer.
“Teresa!” Untungnya gadis bernama Teresa itu tidak lupa caranya mengerem.
“Oh, ya ampun Grace, jangan sekarang. Aku harus segera menemui Andreas. Ada yang harus kubicarakan dengan rubah licik itu.”
“Sebentar saja, ini untuk tugas fisikaku. Darimana aku bisa mendapatkan rumus kecepatan sebuah satelit agar tidak terlepas dari gravitasi bumi?”
“Kau harus menyamakan rumus gravitasi Newton dengan gaya sentripentalnya.”
“Ah begitu, lalu…”
“Temui aku di auditorium pukul dua, Grace.”
Teresa kembali melangkah dengan cepat. Ia membuka pintu laboratorium dengan hati-hati. Matanya menyusuri setiap sudut. Tak lama matanya tertuju pada seorang pria yang sedang asyik menggeser-geser mouse sambil mengenakan headphone berwarna hitam. Matanya terfokus pada layar sambil sesekali meracau tidak jelas. Teresa menepuk pundaknya. Anehnya, pria yang ditepuk itu tidak merasa kaget sama sekali. Seolah tahu akan ada orang memperlakukannya seperti itu.
“Ini yang ketiga kalinya Teresa, sudah kubilang aku tidak membuang-buang waktu disini. Lihat mereka,” Andreas memutar matanya menyusuri ruangan yang ramai oleh murid yang juga bermain komputer, “Mereka bermain game online dan aku calon pengembang game online. Aku sedang belajar programming kau tahu.”
“Aku tidak akan kesini kalau itu tidak penting, Andreas.”
“Dua hari sebelumnya kau juga bilang begitu, Teresa,” Andreas berdiri sambil menuntun Teresa berjalan keluar ruangan. Tampak bahwa tinggi badan keduanya berbeda sekitar lima belas sentimeter.
“Kau tahu kalau pemimpin sekolah kita, Mr. Aiden sedang sakit parah kan," Teresa membuka percakapan.
“Iya tahu, langsung ke inti saja.”
“Kepemimpinannya akan digantikan oleh Mr. Bigflower. Kau dengar kan?”
"Tunggu sebentar, sepertinya aku pernah dengar nama itu,” Andreas tampak berpikir sedangkan Teresa memutar mata jengkel.
“Oh iya aku ingat, ini buruk Teresa, sangat buruk.”
Teresa dan Andreas berpandangan, teringat akan pesan yang disampaikan oleh nenek William. Serempak mereka berkata,
“Selama terdengar nama Bigflower, tingkatkan kewaspadaan kalian.”
Seperti yang dikatakan seorang penyair jika masa remaja adalah masa yang paling terkesan. Masa pencarian jati diri. Lihat betapa banyak remaja yang mencari-cari jati dirinya. Ketika remaja akan memutuskan sesuatu, bukan tidak mungkin ia akan berganti keputusan bahkan setelah satu menit keputusan pertama dibuat. Remaja labil, begitu katanya. Satu hal lagi yang dilakukan remaja adalah pergi kesana kemari mencari teman yang dapat mengerti kepribadiannya. Namun yang dilihat oleh Teresa begini, seorang remaja mencari teman yang dirasa dapat berguna baginya, setelah tidak berguna baru mereka acuhkan. Ya, ini salah satu curahan hati seorang Teresa yang sudah benar-benar muak dimanfaatkan oleh sebagian temannya. Sebagai anak pedalaman ia sudah terbiasa dengan sikap mandiri dan…, tunggu, Teresa anak pedalaman kah? serius? anak pedalaman bersekolah di sekolah elite yang demi kodok berjenggot- sangat mahal itu? Ya, kalian tidak salah dengar.
Sepulang sekolah Andreas mengajak Teresa bersantai di Alkana Café. Mentah-mentah, Teresa pun menolaknya.
“Demi apapun, itu sangat membuang waktu, Andre. Dan lagi, kita jangan membuang-buang uang.”
“kalau uang habis, kita tinggal memanen emas ataupun perak bukan begitu Sony?” Andreas mengerling pada seorang pria yang lebih muda setahun darinya.
Ah iya, seperti biasanya mereka berempat, maksudnya Teresa, Andreas, Sony, dan Grace harus menjemput Lia di “Radiant elementary school” yang masih satu komplek dengan sekolah mereka. Lia adalah adik dari Andreas yang berusia 10 tahun. Elementary school sudah mengakhiri aktivitasnya tiga setengah jam yang lalu. Lia menunggu mereka di penitipan anak khusus yang disediakan sekolah. Lia atau Camelia Maxwell dan Andreas Maxwell benar-benar mirip bentuk wajahnya dengan bola mata berwarna coklat terang. Jangan meminta perbandingan karakternya, karena Teresa sendiri sudah menganggap Andreas sebagai rubah licik di awal cerita.
Perjalanan pulang benar-benar sangat panjang, jika dimulai dari kelas dimana Andreas dan Teresa berada, mereka harus melewati kawasan “Radiant high school” lalu melewati taman yang tidak bisa dikatakan taman “biasa saja” karena di dalamnya terdapat mini roller coaster. Roller coaster betulan , kalian tidak salah baca. Lalu melewati kawasan “Radiant junior high school” yang luasnya juga bukan main. Kali ini di depan pagar “Radiant junior high school” tidak ada taman, hanya ada papan kecil bertuliskan “akan disterilkan tanah ini, karena akan dibangun taman dengan bianglala menakjubkan”. Sungguh pesan yang mengharukan dari seonggok papan kecil. Bukannya pihak sekolah tidak menyediakan jalan khusus untuk masing-masing tingkatan sekolah. Toh mau lewat manapun mereka harus berjalan lagi untuk menemui Lia di “Radiant elementary school”. Tidak tahu kalau mungkin 5 tahun ke depan sekolah ini akan punya transportasi sendiri di sepanjang komplek sekolah.
Sudah kebiasaan bagi Grace jika sudah sampai di pagar utama akan meminta izin membeli milkshake di Alkana Cafe sementara yang lain mengawasi apakah ada banyak orang yang akan pergi ke arah utara sekolah. Kawasan utara sekolah memang terlihat asing bagi banyak orang. Satu hal yang unik dari “Radiant school” adalah letaknya yang terpencil dekat hutan gomaku. Karena sebagian besar murid “Radiant School” berasal dari luar kota, suasana seperti sore sekarang pun lumayan sunyi. Bagaimana bisa sekolah elite yang sering menjadi perbincangan berita televisi ternyata terletak di kawasan terpelosok?
Satu-persatu murid berseragam dengan rok atau celana panjang kuning keemasan meninggalkan kawasan sekolah. Ini berarti murid sekolah menengah. Satu-persatu murid berseragam coklat tua juga meninggalkan kawasan sekolah, yang berarti murid sekolah atas. Sementara murid dengan seragam hijau emerald seperti yang dipakai Lia sudah pulang sejak tiga setengah jam yang lalu.
Setelah dirasa sepi dalam arti tidak banyak orang berlalu lalang, mereka, Andreas , Teresa, Sony, Grace, dan Lia berjalan tergesa ke arah utara. Arah utara yang asing bagi sebagian banyak orang. Mereka berjalan dengan percaya diri. Karena disanalah tempat tinggal mereka. Di dalam hutan gomaku.
Seperti kebanyakan hutan lainnya, hutan gomaku juga memiliki cerita mistis. Yang paling terkenal akhir-akhir ini adalah sosok “scary green”, sosok hijau mengerikan yang kadang muncul di sore hari. Tidak banyak orang yang melihat langsung penampakannya, karena kawasan utara sendiri sudah menjadi kawasan asing bahkan tidak ada rumah penduduk dari jarak tiga ratus meter dari mulut hutan.
Setelah berjalan kurang lebih setengah jam dari mulut hutan, tampaklah bahwa benar-benar ada kehidupan. Di sana, berjejer sebanyak lima rumah sederhana. Salah satunya ialah rumah Teresa yang berhimpitan dengan rumah Grace, karena mereka adalah saudara sepupu. Di sampingnya ada rumah Mr. Albert, seorang paruh baya yang tidak memiliki anak. Satunya lagi rumah milik keluarga Frederick dan yang lainnya rumah milik keluarga Maxwell. Rumah-rumah itu berdiri dengan kokoh, dengan alas kayu, dan atap genteng. Sepintas tidak ada yang aneh dengan pemukiman kecil itu, tapi hei orang normal mana yang sengaja membangun tempat tinggal di tengah hutan, jauh dari kehidupan mewah sementara anak-anaknya berlencana emas. Terasingkan dari kehidupan luar? Tidak, justru mereka yang mengasingkan diri dari kejamnya kehidupan luar.
Mari bercerita sedikit tentang maksud kejamnya dunia luar. Empat belas tahun yang lalu proyek pembagunan pusat perbelanjaan besar-besaran sedang dilaksanakan. Tanah yang dibutuhkan tidak main-main luasnya. Sekitar dua puluh hektar. Awalnya proyek berjalan lancar, tapi kemudian terdapat sedikit gangguan. Terdapat tiga rumah berjejer tanpa surat kepemilikan tanah yang tidak mau menjauh dari lokasi proyek. Dimana pun rumah yang tidak memiliki surat kepemilikan tanah akan kalah oleh orang yang membawa proposal dari pimpinan kota tentang pembangunan layanan publik. Dengan akhir yang tragis, tiga keluarga itu pergi, atau digusur supaya lebih terlihat kejamnya. Mereka tidak bisa mengelak, dengan perasaan benci, mereka terus saja menggerutu. Masa bodoh dengan layanan publik. Apakah dengan menggusur dinamakan membangun layanan publik? Siapa sih pimpinan kotanya? Kejam betul membiarkan rakyatnya terlantar.
Singkatnya, karena tiga keluarga tidak menemukan tempat yang bisa untuk ditinggali, mereka kemudian mencari tempat yang jarang di temui. Matahari masih bersinar terang, mereka yang sedang bersantai di mulut hutan gomaku melepas lelah sambil memakan bekal apa adanya. Salah satu dari kepala keluarga masuk ke dalam hutan.
“Kalau lah ada tempat yang tidak membuat kita bertemu dengan orang –orang jahat, aku mau tinggal di situ,” ujar salah seorang wanita muda menggendong seorang anak yang terlelap.
“Ah iya, aku juga ingin pergi jauh-jauh dari kota ini, supaya tak ada lagi ada orang yang terus memamerkan tas bermerek padaku setiap minggu,” ujar seorang wanita lagi sambil mengerucutkan bibirnya.
“Jangan bicara yang tidak-tidak, kalau begitu, tinggal saja kau di dalam hutan bersama trenggiling liar,” suami dari wanita yang menggendong seorang anak berbicara.
Keheningan tercipta selama beberapa menit. Tak lama seorang kepala keluarga yang lebih tua dari tiga keluarga lainnya keluar dari mulut hutan.
“Dari mana saja kau Albert, apa yang kau temukan di sana? tidak digigit trenggiling liar kan?”
“Trenggiling liar matamu, betulan hebat di dalam, kalian tahu? ada sungai yang demi apapun sangat jernih, banyak pohon dengan buah yang ranum. Aku baru saja memakannya satu, maaf tidak membawa banyak karena aku tidak ahli dalam melempar batu.”
“Banyak buah ya? Ayo kita tinggal di dalam hutan sementara, ayolah sayang, aku sudah tiga bulan tidak makan buah nih,” seorang wanita merengek pada suaminya.
“Albert, kau biang keroknya. Di dalam betulan aman atau tidak?”
“Ku pastikan aman deh, kebetulan aku juga menemukan lahan kosong. Kita bisa memulai membangun rumah kayu di sana.”
Yah, bisa dipastikan tiga keluarga itu akan menjalani masa primitifnya. Mengandalkan sumber daya hutan. Para suami memanfaatkan kemampuan kulinya sementara para istri harus jeli meneliti tanaman yang akan mereka masak beracun atau tidak.
***
Malam hari menjadi malam yang seru seketika. Seorang nenek tua sedang duduk bersandar di tiang pondok. Pondok hutan yang dulu dibangun oleh suaminya. Ia menggunakan mantel berbulu. Mantel yang memiliki nilai tinggi pada masanya, sekitar dua puluh tahun yang lalu. Ia tahu tak lama kemudian segerombolan anak anak akan mendatanginya. Meminta membacakan cerita fiksi. Cerita tentang peri pembuat sepatu tak pernah bosan mereka dengar. Namun, kali ini mereka sudah besar, sudah remaja. Cerita fiksi harus sedikit dirombak supaya nilai-nilai kehidupan dapat terserap. Nilai-nilai yang akan membantu remaja menghadapi dunia. Bisikan kebaikan harus senantiasa disampaikan.
Nenek itu, Nenek William. Seorang istri dari Edward William. Kakek William, begitu sebutan Teresa mengenang panggilan kakeknya yang telah meninggal dua belas tahun yang lalu. Jika dihitung, besok adalah tepat kematiannya yang ke dua belas tahun. Setelah diingat-ingat besok juga merupakan hari jadi sekolahnya yang ke dua belas tahun. “Radiant School” berulang tahun, dengan pemimpin sekolah yang baru.
Sony dan Grace datang ke pondok sambil membawa buku. Sementara Teresa asyik memijat pelipis Nenek William.
“Oh nenek, lihat mereka. Keras kepala sekali. Sudah berkali-kali dibilang jangan membaca di luar sini. Di sini sedikit gelap, tidak baik untuk kesehatan matamu tahu.”
“Aku tidak ingin membaca Teresa sayang. Hanya ingin bertanya dan buku ini untuk mencatat jawabannya, bukan begitu Grace?”
“Ya,ya,ya, tidak masalah kalau kau tak mau menjawab. Kita masih punya Nenek William yang tahu segalanya,” Grace menjulurkan lidahnya pada Teresa.
Teresa membuang muka.
“Jadi pertanyaan jenis apa itu nak Sony?”
“Ini tentang Mr. Bigflower…"
Nenek William membeku seketika, lalu tersenyum sangat tipis. Mr. Bigflower menjadi bintang utama malam ini. Perbincangan yang menjadi topik bertahan lama berjam-jam. Mereka bernostalgia. Perbincangan ini mengantarkan mereka alasan kenapa mereka ada di sini. Berita Mr. Bigflower yang akan menguasai “Radiant School” pun tak terelakkan. Namun semakin lama perbincangan ini menjadi gelap, diselimuti kebencian. Nenek William yang dahulu dekat dengan Mr. Bigflower, tidak mau lagi membagi kisahnya, membuat para pendengar juga harus giat mencari topik lain atau berpura-pura masuk ke dalam rumah untuk menikmati makan malam padahal menu sudah habis sejak satu jam lalu. Teresa lalu mengantar Nenek William beristirahat, di dalam rumah. Ibunya yang masih terjaga kemudian akan bergilir memijat kaki Nenek William. Teresa keluar lagi menuju pondok. Iseng dia melihat-lihat rasi bintang. Rasi orion terlihat jelas di pandangannya. Si merah Betelgeuse yang menjadi bintang pertama yang diliriknya, mengingat dia akan Kakek William. Karena Betelgeuse merupakan merek sepatu favorit kakeknya, sepatu boots yang biasa dipakai berkebun dengannya. Saat ia berusia sekitar lima tahun.
Tak ada yang lebih mengasyikkan dari menikmati malam di pondok sendirian sebelum sebatang ranting mendarat di kepala Teresa. Teresa melirik-lirik, lalu pandangannya terpaku di atas sebuah pohon.
“Sudah berevolusi dari rubah rupanya, jadi apa kau? beruk? atau kukang?”
“pilihan yang tidak bagus Tere, omong-omong nenekmu sudah tidur?”
“Sepertinya. Kau merasakannya kan dari tadi ? Kalau nenekku membenci Mr. Bigflower?”
“Tentu. Betul kata nenekmu. Kita perlu waspada terhadap Mr. Bigflorest itu.”
“Ya. Karena jangan sampai ada lagi orang yang kecewa karenanya.”
“Setuju.”
“Omong-omong Andreas, namanya bukan Mr. Bigflorest.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!