NovelToon NovelToon

Dinikahi Om Dari Sang Penghianat

Bab 1 Pengkhianatan dan Kehancuran

Langit sore tampak mendung ketika Alya menapakkan kaki keluar dari pintu kampus.

Di tangannya, tergenggam dua kotak makanan kecil yang ia bungkus sendiri dari rumah.

Hari ini ulang tahun Raka, kekasihnya selama tiga tahun terakhir. Sebenarnya ia berencana membuat kejutan kecil di kos Raka, sekaligus membawakan makanan favorit pria itu, ayam bakar madu dengan nasi uduk buatan tangannya.

Langkahnya ringan, penuh semangat dan rasa sayang. Ia yakin, Raka akan bahagia. Lagipula, akhir-akhir ini mereka jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.

Raka sibuk magang di perusahaan pamannya, sementara Alya tengah menyiapkan tugas akhir. Tapi cinta mereka, setidaknya menurut Alya, tetap kuat.

Ia menaiki ojek online menuju kosan Raka. Sepanjang perjalanan, ia sibuk membayangkan wajah terkejut Raka saat melihatnya datang tiba-tiba.

Alya memang tipe perempuan yang tidak suka memamerkan kemesraan di media sosial. Ia lebih suka memberi cinta dalam diam dan perbuatan.

Setibanya di depan kos Raka, ia sempat ragu. Haruskah ia mengirim pesan dulu? Tapi niat kejutan ini akan sia-sia. Ia pun memutuskan langsung naik ke lantai dua, tempat kamar Raka berada.

Suasana sepi. Tak banyak penghuni kos lain yang tampak. Hari ini memang hari Sabtu, banyak yang pulang ke rumah.

Saat ia hendak mengetuk pintu, suara tawa perempuan terdengar dari dalam. Jantungnya berdetak cepat.

“Ah, pasti Raka sedang nonton bareng temannya,” pikir Alya

Namun, suara berikutnya membuat langkahnya terhenti.

“Aku nggak nyangka kamu ninggalin Alya cuma buat aku, Rak...”

"Itu suara Mira." pikir Alya dalam hati

Alya menahan napas. Mira adalah sahabat terdekatnya. Seseorang yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Gadis itu bahkan sering menjadi tempat Alya curhat, terutama soal Raka.

Saat itu dunia Alya seakan runtuh saat suara Raka membalas dengan tawa kecilnya.

“Kamu lebih menggairahkan, Mir. Lagian Alya terlalu polos, kayak anak SMA. Aku bosan.” jawab Raka tanpa beban dan tanpa tau jika gadis yang ia hina ada di depan pintu kamarnya.

Kepala Alya seperti disambar petir. Kotak makanan di tangannya jatuh ke lantai dengan suara berdebam pelan. Ia menutup mulutnya, menahan tangis yang mulai mengalir tanpa bisa dicegah.

Ingin rasanya ia berteriak, membuka pintu itu, dan menampar keduanya. Tapi tubuhnya membeku. Ia merasa seperti hantu yang tak kasat mata, menyaksikan dua orang yang paling ia percaya menusuknya dari belakang.

Dengan langkah goyah, ia mundur perlahan. Ia tak ingin mereka tahu ia pernah datang. Langkahnya membawa ia menjauh dari kosan itu, dari kenangan dan rencana manis yang telah ia bangun selama ini.

Sedangkan didalam ruangan itu, Raka dan Mira. dapat mendengar suara barang yang jatuh, mereka untuk segera keluar dan melihat sudah tidak ada siapapun.

Yang ada hanya makanan rang yang tumpah dan itu membuat mereka tau siapa yang ada di depan pintu tadi.

Mira dan Raka saling pandang dengan wajah penuh keterkejutan.

Malam harinya Alya mengunci diri di kamar kosnya. Ia memandangi foto-foto Raka dan Mira di ponselnya. Semua tampak palsu sekarang. Tawa mereka, pelukan hangat, janji-janji tentang masa depan. Air matanya mengalir tanpa henti.

Hatinya hancur, tapi amarah mulai tumbuh dalam diam.

“Kalau mereka pikir aku akan diam saja, mereka salah.”ujar Alya marah

Keesokan harinya,

Alya memutuskan untuk menghapus semua jejak Raka dan Mira dari hidupnya. Ia keluar dari semua grup pertemanan yang ada nama keduanya. Ia berhenti mengangkat telepon dari nomor tak dikenal. Bahkan ia meminta pindah bimbingan skripsi agar tak lagi satu kelompok dengan Mira.

Tapi luka itu masih ada. Perihnya tak hilang begitu saja. Lebih dari sekadar dikhianati, Alya merasa dirinya dihina—oleh orang yang paling ia percaya.

Hujan tak kunjung reda malam itu. Di dalam kamar kosnya yang sempit, Alya duduk memeluk lutut di pojok tempat tidur. Sudah lebih dari tiga jam ia menangis tanpa suara. Matanya bengkak, wajahnya pucat, dan jiwanya hancur berkeping-keping.

Pengkhianatan Raka dan Mira seperti racun yang meresap pelan ke dalam hatinya. Sulit dipercaya. Sulit dimengerti.

Mereka berdua adalah orang yang ia cintai dan percayai sepenuh hati. Tapi ternyata justru mereka yang menusuknya dari belakang dengan cara paling kejam.

"Aku ini... bodoh banget, ya?" bisiknya pelan.

Di sampingnya, ponsel terus bergetar. Puluhan pesan dari Raka dan Mira masuk silih berganti.

“Alya, ini nggak seperti yang kamu pikirkan.” ujar Raka

“Alya, tolong jawab, aku bisa jelaskan!” ujar Raka yang tanpa henti menghubunginya.

“Kita nggak berniat nyakitin kamu, sumpah.”ujar Raka dan Mira.

“Kita juga kaget kenapa bisa sampai kejadian begini...” ujar Mira.

“Please, jangan jauhi aku, Ly...” ujar Raka

Alya mematikan ponselnya. Ia muak. Bahkan sekarang mereka berani mengemis pengertian, seolah-olah semua ini hanya sebuah “kesalahan kecil”.

"Tidak. Ini bukan kesalahan. Ini adalah pilihan. Dan mereka memilih untuk mengkhianatinya." ujar Alya dalam hatinya

...----------------...

Beberapa hari kemudian, kabar hubungan Mira dan Raka menyebar ke kalangan teman-teman.

Beberapa terlihat terkejut, beberapa hanya tersenyum sinis, tidak sedikit yang mencibir di belakang.

“Kayaknya Alya terlalu polos, pantas aja ditinggal,” ucap salah satu teman sekelas dengan nada meremehkan.

Alya mendengarnya. Tapi ia memilih diam.

Setiap kali ia berjalan di lorong kampus, rasanya semua mata mengarah padanya. Ia merasa telanjang—bukan secara fisik, tapi secara emosional. Semua orang tahu betapa hancurnya dia. Mereka mungkin berpura-pura peduli, tapi Alya tahu, mereka hanya ingin menonton drama kehidupannya.

Di tengah tekanan itu, satu hal paling menyakitkan justru datang dari orang tuanya.

“Alya, kamu harus sabar. Mungkin Raka memang bukan jodohmu. Tapi kamu jangan terlalu keras kepala. Namanya anak muda, kadang khilaf.” ujar ibunya

Ibunya bicara lembut, tapi justru membuat Alya ingin berteriak.

" Khilaf?, Menghancurkan kepercayaan selama tiga tahun disebut khilaf?" tanya Alya tidak habis pikir.

Tapi tidak ada jawaban dari sang ibu dan justru sambungan telpon pun terputus begitu saja.

Alya tersenyum miris. Ia tahu, orang tuanya tidak sepenuhnya memahami apa yang ia rasakan. Dunia mereka berbeda. Di dunia Alya, cinta dan kepercayaan adalah fondasi. Dan fondasi itu sudah runtuh.

Satu-satunya tempat Alya merasa aman adalah sebuah kafe kecil di pojok kota. Tidak banyak orang tahu tempat ini. Kafenya tenang, dengan pencahayaan hangat dan musik klasik yang lembut. Pemiliknya adalah seorang wanita tua yang ramah, yang tak banyak bertanya.

Di sanalah Alya menghabiskan waktu hampir setiap sore. Ia duduk di sudut ruangan, membawa laptop, pura-pura sibuk menulis tugas akhir, padahal pikirannya masih penuh luka dan dendam.

Bersambung

Bab 2 Menghilang dari Dunia Mereka

Setelah beberapa kunjungan ke kafe itu, Alya dan pria tersebut mulai saling menyapa. Namanya Davin. Ia tidak banyak bicara. Tapi cara bicaranya tenang dan berwibawa. Awalnya, Alya hanya menganggapnya sebagai pelanggan tetap seperti dirinya. Namun perlahan, ada yang berbeda dari pria itu.

Mereka mulai berbincang ringan—tentang cuaca, buku, bahkan soal kopi.

“Anak kuliah?” tanya Davin suatu sore.

Alya mengangguk. “Semester akhir.”

“Kamu terlihat seperti seseorang yang menyimpan banyak luka,” ujar Davin tiba-tiba.

Alya menoleh, terkejut. Ia tertawa kecil, pahit. “Kelihatan ya?”

“Tidak semua orang bisa menyembunyikannya. Tapi kamu cukup kuat untuk tetap berdiri.”

Alya tak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia merasa kalimat itu adalah pelukan yang sangat ia butuhkan.

Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu. Bukan karena sengaja janjian, tapi karena kebiasaan yang membawa mereka ke tempat yang sama. Davin tak pernah bertanya terlalu dalam. Ia hanya mendengarkan saat Alya sesekali membuka cerita.

Tanpa disadari, Alya mulai merasa nyaman. Untuk pertama kalinya setelah pengkhianatan itu, ia bisa tertawa. Bukan tawa penuh kepura-puraan, tapi tawa yang tulus.

Hingga suatu malam, Alya bertanya dengan hati-hati, “Boleh tahu... Bapak kerja di mana?”

Davin tersenyum tipis. “Aku memiliki beberapa perusahaan. Tapi aku lebih suka hidup tenang, jauh dari keramaian.”

“Wah... Keren juga ya,” ujar Alya, mencoba bercanda.

Davin hanya mengangkat bahu. Tapi kalimat berikutnya membuat Alya terdiam.

“Kadang yang terlihat tenang, justru menyimpan badai paling besar.” ujar pria yang bernama

Malam itu, setelah berpisah dengan Davin, Alya duduk termenung di kamarnya.

Ia baru Alya menyadari satu hal, perlahan, seseorang sedang menambal luka di hatinya.

Dan orang itu bukan teman, bukan sahabat, apalagi mantan kekasih. Tapi hanya seorang pria asing,

...----------------...

Dua minggu telah berlalu sejak Alya memutuskan semua kontak dengan Raka dan Mira. Ponselnya kini sepi dari pesan-pesan basa-basi, panggilan tak penting, dan drama buatan. Ia menonaktifkan akun media sosialnya, memblokir banyak nomor, dan mulai menjalani hari-hari dalam diam yang penuh luka.

Dunia Alya menjadi sunyi. Tapi justru dari sunyi itulah ia mulai menemukan ketenangan.

 Tidak ada lagi sandiwara, tidak ada lagi kepura-puraan bahwa semuanya baik-baik saja. Ia tidak perlu tersenyum palsu, tidak perlu menahan tangis di kamar mandi kampus. Ia hanya perlu jujur pada satu orang, dirinya sendiri.

Saat Alya memutuskan untuk pindah bimbingan ternyata tidak semudah itu, karena bimbingan skripsi bukan perkara mudah.

 Dosen pembimbing sebelumnya sempat menolak keinginan Alya, menganggap alasannya tidak profesional.

Tapi dengan usaha keras dan sedikit campur tangan dari kepala jurusan yang kebetulan menyukai kerja keras Alya selama ini, permohonan itu disetujui.

Kini Alya berada di bawah bimbingan seorang dosen wanita, tegas dan teliti, tapi tidak suka mencampuri urusan pribadi mahasiswa. Persis seperti yang ia butuhkan.

Di lingkungan kampus, nama Alya memang tidak sebesar Mira. Mira dikenal aktif, populer, dan punya banyak koneksi. Tapi Alya tahu satu hal yang tidak dimiliki Mira, yaitu ketulusan dan ia tak akan menukar itu dengan popularitas semu.

 

Suatu siang, Alya sedang duduk di taman kampus, membaca jurnal untuk tugas akhir. Suasana cukup tenang hingga suara tawa yang sangat familiar menyusup ke telinganya. Ia menoleh sekilas.

Mira dan Raka.

Mereka berjalan beriringan, tertawa, seperti pasangan paling bahagia di dunia.

 Beberapa teman kampus melirik mereka, sebagian bergosip, sebagian pura-pura tidak peduli. Tapi Alya tahu, semua mata sedang menilai.

Hatinya tidak sekosong dulu. Ada sakit, masih. Tapi kini lebih seperti goresan lama yang mulai mengering, tidak lagi berdarah, tapi tetap meninggalkan bekas.

Mira sempat melirik ke arah Alya. Pandangannya kosong, tapi bibirnya menyunggingkan senyum sinis seolah berkata, “Lihat, aku yang menang.”

Alya menunduk dan tersenyum tipis. 'Kalau kamu pikir kamu menang hanya karena mengambil apa yang kubuang, itu berarti kamu bahkan tak tahu nilainya" ujar Alya dalam hatin

 

Sore itu, Alya kembali ke kafe langganannya, seperti biasa, sudut ruangan itu menantinya dan begitu pula pria bernama Davin.

Davin sudah ada di sana lebih dulu, sedang membaca koran sambil menyeruput kopi hitamnya.

 Tanpa banyak basa-basi, Alya duduk di kursi seberang. Mereka sudah cukup dekat untuk tidak perlu mengucapkan salam pembuka.

“Bertemu lagi, Alya,” sapa Davin singkat, matanya tetap tertuju pada koran.

“Sepertinya semesta memang sedang menjodohkan kita terus,” jawab Alya, mencoba santai.

Davin menutup korannya dan menatap Alya. “Kamu terlihat lebih tenang hari ini.”

“Aku... mulai menerima,” kata Alya pelan.

“Menerima kenyataan bahwa tidak semua orang layak diberi kesempatan kedua.” lanjut Alya

Davin mengangguk. “Itu kemajuan besar.”

Keduanya terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Davin bertanya, “Kalau kamu bisa memutar waktu, apa kamu akan tetap mencintai pria itu?”

Alya terkejut dengan pertanyaan itu. Ia berpikir sejenak, lalu menjawab, “Aku akan tetap mencintainya. Karena kalau aku tidak pernah mencintainya, aku tidak akan pernah tahu seberapa kuat diriku saat kehilangan.”

Davin tersenyum. “Jawaban yang sangat dewasa untuk seorang gadis muda.”

Alya menatap pria itu dengan penasaran. “Kak Davin... boleh aku tanya sesuatu yang agak pribadi?”

“Tentu.” jawab Davin,

“Kenapa kamu selalu sendiri? Maksudku... kamu tidak pernah cerita tentang keluarga atau pasangan.” tanya Alya pelan

Davin menyesap kopinya pelan sebelum menjawab, “Karena aku pernah percaya pada seseorang, dan itu membuatku kehilangan segalanya, sejak itu, aku lebih memilih sendiri dan tidak terlalu rumit, tidak terlalu menyakitkan.”

Alya terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat luka yang sama di mata Davin. Luka yang tidak jauh berbeda dari miliknya.

Beberapa hari kemudian, Davin tiba-tiba mengajak Alya keluar dari kota.

“Anggap saja ini penyegaran pikiran. Kamu butuh udara segar,” katanya.

Mereka berkendara menuju sebuah vila di dataran tinggi. Tempat itu milik pribadi Davin, dikelilingi hutan pinus dan pemandangan danau yang menenangkan. Tidak ada sinyal, tidak ada kebisingan kota. Hanya ketenangan dan suara alam.

Alya awalnya ragu, tapi begitu sampai di sana, ia merasa seperti bisa bernapas kembali.

Di teras vila itu, sambil memandangi matahari terbenam, Davin berkata pelan, “Alya... kamu tahu kenapa aku terus mendekatimu?”

Alya menoleh, hatinya berdebar.

“Karena aku melihat diriku di dirimu. Sama-sama dikhianati, sama-sama belajar berdiri sendiri. Tapi yang paling penting... karena kamu kuat. Dan aku... mungkin butuh seseorang yang mengingatkanku tentang kekuatan itu.” jelas Davin,

Alya tak mampu menjawab. Matanya mulai berkaca-kaca.

Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang melihatnya bukan sebagai gadis yang hancur. Tapi sebagai perempuan yang bertahan.

Dan saat itulah, di dalam hati yang masih remuk, Alya tahu satu hal, "Ia tidak sendirian lagi."

Bersambung

Bab 3 Pria yang Tak Terduga

Keesokan paginya, matahari menembus tirai kamar vila yang disediakan Davin untuk Alya. Udara dingin pegunungan membuat tubuhnya enggan beranjak dari selimut tebal yang membungkus hangat.

Tapi pikirannya terbang ke kejadian semalam. Ucapan Davin masih menggema di kepalanya—bahwa dia melihat kekuatan dalam diri Alya.

Jarang ada yang melihatnya seperti itu, bahkan orang tuanya pun hanya menganggapnya anak manja yang terlalu terbawa perasaan soal cinta.

Alya turun ke ruang makan dan mendapati Davin sudah duduk di sana, menyesap kopi sambil membaca dokumen. Ia mengenakan kaus lengan panjang berwarna gelap, santai tapi tetap terlihat berwibawa. Usianya memang terpaut jauh darinya, mungkin hampir dua puluh tahun lebih tua, tapi Alya mulai terbiasa dengan ketenangan pria itu.

“Pagi,” sapa Alya sambil duduk.

Davin menoleh dan tersenyum tipis. “Pagi. Tidur nyenyak?”

Alya mengangguk. “Terima kasih sudah membawaku ke tempat ini.”

“Kamu butuh tempat untuk menyembuhkan. Luka tidak sembuh hanya dengan waktu, tapi dengan tempat yang tepat dan orang yang tepat.”

Alya menatap Davin lama. Pria itu bukan hanya tempat bersandar sementara. Ia mulai menjadi sosok yang mampu membungkus luka-luka Alya dengan ketenangan. Tapi perasaan itu masih ia simpan sendiri.

Setelah sarapan, Davin mengajak Alya berkeliling sekitar danau. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak, sesekali saling bercerita tentang masa lalu. Alya menceritakan tentang orang tuanya yang kaku, kehidupannya sebagai anak perempuan tunggal, dan bagaimana Mira adalah satu-satunya orang yang ia percaya sebelum pengkhianatan itu terjadi.

Davin, di sisi lain, akhirnya membuka sedikit tentang hidupnya. Ia pernah menikah, tapi pernikahan itu kandas karena perselingkuhan. Ia tidak menyebut nama mantan istrinya, tapi dari nada suaranya, luka itu masih membekas dalam.

“Aku pikir pernikahan akan jadi akhir dari kesendirian,” ujar Davin pelan.

“Tapi ternyata, bisa jadi awal dari kehancuran juga.” lanjut Davin

Alya menggenggam ujung lengan jaketnya. “Aku tidak pernah percaya bahwa cinta sejati akan mengkhianati. Tapi setelah Raka dan Mira... aku mulai ragu.”

Davin menghentikan langkahnya. Ia menatap Alya, lama dan dalam.

“Kalau kamu ingin tahu... aku belum sepenuhnya percaya pada cinta. Tapi aku percaya pada orang yang bisa menyembuhkan rasa tidak percaya itu.”

Alya merasa dadanya sesak. Ia tak tahu harus berkata apa, tapi dalam diamnya, ia mulai bertanya dalam hati,

"Apakah orang itu… Davin?" tanya Alya dalam hati

Beberapa hari kemudian, mereka kembali ke kota. Alya merasa lebih segar, lebih kuat. Ia kembali ke kampus dengan kepala tegak. Kini, tatapan orang-orang tak lagi membuatnya gentar. Ia sudah mulai membangun dirinya yang baru, lebih dewasa, lebih tegar, lebih... tak tergoyahkan.

Suatu sore, saat Alya sedang di kafe sendirian, seorang wanita muda datang menghampiri. Wajahnya cantik, modis, penuh percaya diri. Tapi begitu wanita itu memperkenalkan diri, Alya merasa tubuhnya membeku.

“Hai. Aku Clara. Keponakannya Om Davin.”

" Keponakan...?" ucap Alya dalam hati

Alya menelan ludah. Ia baru sadar bahwa ia belum tahu banyak tentang latar belakang Davin. Bahkan ia tak pernah tahu siapa saja keluarganya.

Clara duduk tanpa dipersilakan, menyilangkan kaki dengan elegan. “Aku dengar kamu sering ketemu Om Davin. Kalian deket banget, ya?”

Alya hanya tersenyum kecil. “Bisa dibilang begitu.”

Clara tertawa pelan. “Wah, kamu tahu nggak, Om Davin itu udah jadi incaran banyak wanita. Bahkan temen-teman mama juga banyak yang naksir.”

Alya merasa aneh dengan nada suara Clara. Terlalu ramah, tapi ada sindiran tipis di baliknya.

“Aku cuma pengen tahu,” lanjut Clara.

“Kamu tahu nggak kalau Om Davin itu juga... paman dari seseorang yang kamu kenal?” tanya wanita yang bernama Clara.

Alya mengernyit. “Maksud kamu?”

Clara tersenyum penuh kemenangan. “Raka. Mantan kamu itu... sepupuku.”

Dunia Alya seperti terbalik.

Semua momen bersama Davin tiba-tiba terasa penuh misteri. Raka pria yang mengkhianatinya ternyata adalah keponakan dari pria yang kini menjadi tempatnya bersandar?

Clara berdiri, merapikan tasnya. “Lucu ya, dunia ini sempit. Dulu kamu pacaran sama Raka. Sekarang... siapa tahu, kamu bisa jadi Tantenya. Hehe.”

 

Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Ia merasa seperti ditampar oleh kenyataan baru. Tapi anehnya, ia tidak merasa takut atau ingin menjauh dari Davin. Sebaliknya, ia merasa ingin tahu apakah Davin tahu siapa Raka?

Besoknya, Alya datang lebih cepat ke kafe itu, saat mereka kembali bertemu di kafe, Alya tidak bisa menahan pertanyaannya.

“Kak Davin... kamu tahu Raka?”

Davin menghela napas panjang. Ia meletakkan cangkirnya dan menatap Alya dalam-dalam.

“Ya. Aku tahu. Dia keponakanku.” jawab Davin, yang merasa tidak perlu menyembunyikan ini semua dari Alya karena Alya berhak tau.

Alya membeku, tubuhnya kaku, lidahnya keluh mendengar semua itu, ia benar benar terkejut.

“Aku tahu siapa kamu, Alya. Bahkan sebelum kamu sadar siapa aku. Tapi aku tidak pernah mendekatimu karena alasan itu.” jelas Davin lagi

Alya terdiam, mencoba menyusun emosinya.

“Aku mendekat karena kamu kuat. Karena kamu bukan seperti perempuan kebanyakan. Dan... karena aku jatuh cinta padamu, Alya.” tambah Davin, dan itu membuat Alya hampir pingsan.

Saat itu, dunia Alya seperti tak memiliki gravitasi. Kata-kata Davin mengambang di udara, mengguncang hatinya yang belum pulih sepenuhnya.

"Aku jatuh cinta padamu, Alya."

Kata Taya itu terus terngiang-ngiang di telinganya sedari tadi.

Ia tak tahu harus merasa apa. Terkejut, bingung, atau senang? Yang jelas, untuk pertama kalinya sejak dikhianati, Alya merasa dicintai oleh seseorang yang tidak berpura-pura.

Tapi kenyataan bahwa Davin adalah paman dari Raka… menampar logikanya. Hubungan mereka bukan sekadar antara pria dan wanita yang saling menyembuhkan, melainkan juga pertarungan takdir antara masa lalu dan masa depan.

“Kenapa baru bilang sekarang?” tanya Alya lirih, mencoba menyembunyikan gejolak hatinya.

Davin menatapnya lembut. “Karena aku tahu kamu belum siap. Tapi setelah kamu tahu aku adalah pamannya Raka... kamu berhak tahu yang sebenarnya.”

Alya terdiam. Dalam hatinya, perasaan bersalah menyeruak. Bukan karena ia merasa bersalah pada Raka, melainkan karena ia mulai merasa nyaman dengan seseorang yang secara darah, masih terhubung dengan pria yang telah menghancurkannya.

“Jadi... selama ini kamu tahu siapa aku?” tanya Alya lagi

Davin mengangguk. “Aku tahu kamu mantan pacar Raka. Aku tahu kamu dikhianati. Tapi aku juga tahu satu hal penting yang tidak semua orang tahu, kamu layak bahagia.”

Alya yang mendengar itu terdiam kamu, tanpa bisa bicara atau pun menjawab semua ucapan Davin.

Bagaimana pun ini sangat mendadak, hatinya baru saja akan sembuh, tapi kenyataan ini membuatnya bingung.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!