NovelToon NovelToon

Aku Bukan Pelakor

Prolog

Sedikit kutipan ...

Sujiwo Tejo pernah berkata,

"Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir. Kau boleh berencana menikah dengan siapa, tapi kau tak bisa menentukan cintamu untuk siapa."

Dan itulah kebenaran yang harus dipahami setiap orang, cinta akan datang dengan caranya yang tak terduga dan berlabuh kepada orang yang mungkin tak disangka.

Kita hanya cukup menjalani dan menikmatinya saja.

Tapi bagaimana jika cinta justru hadir untuk seseorang yang tak semestinya?

Mencintai seseorang yang sudah ada pemiliknya?

Apakah cinta salah?

***

Malam bergulir kian larut, meninggalkan kesunyian yang kian senyap. Namun mata ini tak juga menunjukan kelelahannya. Sebaliknya, aku malah asik membaca baris demi baris berita tentang perebut suami orang (pelakor) yang baru-baru ini santer diberitakan. Penggerebekan suami dan pelakor, pelakor yang berbangga merusak rumah tangga orang, istri yang menghujani pelakor dengan uang ratusan ribu, suami yang rela meninggalkan anak istri demi pelakor, berita-berita tersebut penuh memenuhi beranda media sosialku.

Ribuan orang membagikan beritanya. Ratusan ribu orang mengomentarinya, menghujat pelakor karena sudah merebut dan menghancurkan rumah tangga orang. Bak Serigala yang mengaum ketika kawanannya bersuara, dengan kompak mereka mem-bully pelakor. Tanpa mau tahu alasan dibalik perselingkuhan itu. 

Sudahlah. Untuk apa aku mengurusi berita tidak berguna itu. Toh lelaki yang kini berada di sampingku itu tampak bahagia. Lihatlah senyum kecil di sudut bibirnya. Padahal baru beberapa waktu lalu dia mendekatiku dengan rasa sakitnya. Tapi sekarang dia sudah tertawa riang. Damai sekali.

Kalian pasti bertanya apakah aku pelakor? Apakah dia sudah beristri?

Ya. Dia memang sudah menikah. Dan dia mendekatiku karena merasa tertekan oleh istrinya. Dasar istri bodoh. Suami sebaik ini kau sia-siakan dan kau malah membuat tingkah yang memuakkan. Tentu saja suamimu akan lari.

Biar aku ajarkan bagaimana menyambut lelaki yang benar.

Tanpa kabar dia mendatangiku. Meskipun keheranan, aku tetap melayaninya dengan benar. Menyediakan nya makan, menyiapkan teh hangat untuknya, membiarkan dia rileks tanpa menghujaninya dengan ucapan-ucapan yang membuatnya muak dan emosi.

Beberapa waktu yang lalu, saat ia meletakkan kepalanya dipangkuan ku, dia ingin aku memanjakannya. Aku tahu betapa tuntutan pekerjaan membuatnya lelah. Dia pulang berharap ketenangan untuk beristirahat, tapi sang istri malah menghadangnya dan berbicara macam-macam, membuat rasa lelah dan emosinya bercampur jadi satu. Lalu akhirnya meluap menjadi pertengkaran.

Jadi, salah siapa lelaki ini bisa tertidur di atas pangkuanku?

Bila kau pintar, kau akan menjawab istri lah yang salah.

Selain hal tadi di atas, banyak yang lelakiku ini tak suka dari istrinya. Terlalu pemalas, tidak melayaninya dengan baik, tidak menghargainya sebagai seorang imam dan hanya memikirkan kesenangan dirinya saja. Lelaki mana yang bisa bertahan dalam hubungan jangka panjang dengan wanita seperti itu. 

Bahkan cinta pun akan luntur seiring berjalannya waktu. Maka biarkan aku memberi nasihat sekali lagi, hargailah suamimu, layani dia dengan baik dan bersikap lemah lembut lah kepadanya. Carilah cara agar kehidupan rumah tangga kalian tidak monoton, agar suamimu tak berakhir di pangkuan, seperti lelaki ini. 

Lalu mengapa aku mau menerima dia, meskipun aku tau dia sudah beristri?

Ok, aku tak ingin munafik. Jujur saja alasan utama aku menjadi pelakor karena aku ingin membalas budi kepadanya, dia telah menolong keluargaku dan aku juga butuh seseorang untuk membiayai hidupku. Untuk mencukupi kebutuhan harian ku. Jangan lupakan fakta bahwa aku juga adalah wanita seperti kalian. Yang butuh dinafkahi dan dilindungi. Aku hanyalah seorang wanita yang tak memiliki penghasilan memadai untuk membiayai hidupku. Maka ketika kesempatan baik ini datang, aku tak boleh menyia-nyiakan. Walaupun awalnya aku tak mengetahui statusnya, tapi setelah tahu, aku tetap tak bisa lari darinya, aku sudah terlanjur mencintainya, aku butuh dia.

Dia datang kepadaku disaat dia membutuhkan teman untuk berbagi keluh kesahnya, sementara istri yang seharusnya menjadi teman hidupnya malah asyik dengan dunianya sendiri, mengabaikan sosok yang sedang membutuhkan sandaran saat dia rapuh. Dia juga datang kepadaku karena dia butuh ketenangan disaat orang yang dia harapkan justru membuat hati dan pikirannya semakin kacau.

Sekarang setelah rumah tanggamu retak, kau meraung-raung berpura menderita. Melemparkan semua kesalahan hanya padaku, dan mengajak istri-istri lain untuk menghujat ku. Silahkan saja. Yang pasti harus kau tau, suamimu bahagia di sampingku.

***

Wanita tak tahu malu ini berteriak seperti orang gila di depan kediamanku, dia memaki dan menghinaku sesuka hatinya. Dia menyebutku pelakor karena telah merebut suaminya.

"Dasar wanita murahan! Pelacur ...!!! Kau menjual tubuhmu cuma demi uang suamiku, dasar wanita penggoda!" Wanita yang bernama Renita itu berteriak memakiku. Sakit dan malu ... itulah yang aku rasakan. Tapi aku tak boleh mengalah karena ini bukan sepenuhnya salahku.

"Aku nggak pernah menggoda suamimu, justru suamimu yang mendatangiku karena muak dengan semua tingkah mu itu!" Ucapku tak mau kalah. Mengabaikan beberapa tetangga yang sedang asyik menonton adu mulut kami, biarkanlah malu sekalian.

"Dasar tak tahu malu! Berani sekali kau berkata seperti itu? Suamiku tak akan mungkin mendekatimu jika bukan kau yang menggoda dan memancingnya!" Renita tetap menuduhku yang menggoda suaminya.

"Cukup, Renita!!! Berhenti memakinya! Dia benar, aku yang mendatanginya ... dia tak pernah menggodaku!" Pria yang sedang kami ributkan akhirnya datang setelah aku telepon tadi. Dialah Satria Wijayanto, pengusaha muda yang tampan tapi tak beruntung dalam rumah tangganya.

"Kenapa kau disini? Pelakor ini pasti menghubungimu untuk meminta pembelaan, iya kan?" Renita menuduh seenaknya.

"Sudah aku katakan, hentikan semua ini! Dan pergi dari sini!" Satria membentak dan mengusir istri gilanya itu. Aku hanya tersenyum penuh kemenangan.

"Kau akan menyesal melakukan ini kepadaku! Dan kau wanita murahan ... jangan bangga menjadi pelakor, karena suamiku memilihmu bukan karena cinta. Tapi hanya sebagai pelampiasannya saja, kalaupun akhirnya kalian terus bersama, itu karena keterpaksaan karena suamiku ini sulit mengendalikan hawa nafsunya." Renita menghinaku lagi dan kali ini kata-katanya terasa begitu menyakitkan untukku.

Lalu wanita itu berlalu dari depan rumahku, meninggalkan umpatan-umpatan yang keluar dari mulut tetangga-tetangga sialan ini. Mereka hanya mendengar tapi tak melihat kenyataanya, tapi berani menghujat ku, seketika air mataku jatuh menetes.

Iya, aku memang salah dan aku tak meminta kalian menerima perbuatan ku. Tapi apa ini hanya kesalahanku sendiri saja?

Aku punya alasan untuk menerima kehadirannya dan Satria juga punya alasan saat mendatangiku. Kami hanya saling membutuhkan, setidaknya alasan itu yang aku tanamkan di dalam benakku saat ini, agar aku tak berharap lebih darinya.

***

Hay ... guys, aku tahu kalian pasti nggak suka dengan pelakor, sama aku juga benci banget.

Jangan lupa like, rate 5 dan favoritin ya, biar nggak ketinggalan pas aku up...💜

Awal bertemu dengannya

Pagi ini seperti biasa aku bergegas agar segera sampai di tempat kerjaku, aku melangkah cepat menuju toko roti yang sudah 2 tahun ini menjadikan aku karyawannya. Walaupun gajinya tak seberapa, tapi cuma pekerjaan ini yang bisa aku kerjakan agar dapat membiayai kehidupanku dan ayahku yang sakit-sakitan ditambah lagi aku juga harus membayar hutang ibuku kepada rentenir.

Menyebut kata ibu, mengingatkanku kepada sosok wanita yang telah menjadi penyebab penderitaan aku dan ayah, aku ingin sekali membencinya, tapi aku takut durhaka. Sudahlah. Lupakan dia, mudah-mudahan dia bahagia disana.

Kakiku masih melangkah cepat, kadang sesekali aku berlari kecil. Bukannya aku tidak ingin naik kendaraan umum, tapi jarak rumahku dengan tempat kerjaku tidak begitu jauh, jadi aku berjalan kaki untuk menghemat biaya.

Di seberang jalan sudah terlihat toko kue kecil tujuanku, tanpa berhati-hati aku segera berlari menyeberang jalan agar bisa segera sampai di tujuanku, dan naas sesuatu yang melesat cepat menabrak tubuh kurus ku hingga terpental ke jalanan.

"Aaaaahhh ..." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Seketika pandanganku menghitam, tubuhku serasa melayang seperti kapas dan setelah itu aku tak ingat apa pun lagi.

***

Samar-samar ku dengar suara berisik, aku mengerjap-ngerjap dan berusaha membuka mataku untuk memastikan suara apa yang menusuk gendang telingaku. Tapi mendadak ada rasa perih di kepalaku dan rasa denyut di kakiku.

"Aku dimana?" Aku bertanya saat menatap langit-langit ruangan yang terlihat asing. Aku tak perduli siapa yang akan menjawab pertanyaan ku itu.

"Kau sudah bangun rupanya. Kau pingsan tadi dan sekarang sedang berada di ruang UGD." Suara berat khas lelaki itu terdengar cemas, ku alihkan pandanganku mencari sosok yang bersuara itu.

"Kau siapa?" Aku terkejut saat mendapati sosok pria tampan nan gagah sedang berdiri menatapku. Wajahnya asing. Aku tak mengenalinya sama sekali.

"Namaku Satria. Maaf ... tadi aku tak sengaja menabrak mu saat kau hendak menyeberang jalan, aku sedang terburu-buru tadi dan tidak fokus." Satria menjelaskan apa yang terjadi kepadaku.

Aku terdiam, berusaha mengingat kejadian sebelum aku sampai disini. Mendadak aku panik saat mengingat toko roti yang menjadi tujuanku tadi.

"Maaf ... aku harus bekerja! Aaaww ..." Aku spontan bangun dari tidurku dan tiba-tiba rasa sakit menyerang kepalaku.

"Kau baik-baik saja? Jangan memaksakan dirimu untuk bangun!" Satria membantuku berbaring kembali.

"Tapi aku harus bekerja! Kalau aku tidak masuk, mereka akan memotong gajiku." Aku mengadu dengan wajah melas kepada pria yang baru ku kenal itu.

"Sudah kau istirahat saja dulu, nanti aku akan menghubungi bos mu untuk menjelaskan apa yang terjadi. Dia pasti mengerti!" Satria mencoba menenangkan ku walaupun aku masih belum tenang. Dia tidak tahu saja jika bos ku itu perhitungan sekali orangnya.

"Jadi kapan aku keluar dari sini? Bisakah sekarang?" Aku sungguh tak nyaman berada di ruangan ini, bau obat-obatan dan suara berisik pasien kecelakaan yang sedang kesakitan sungguh menggangguku.

"Aku akan pastikan dulu apakah kau sudah boleh pulang atau belum? Tunggu sebentar!" Satria melangkah mencari-cari seseorang, barangkali dokter yang menangani ku tadi. Dia melangkah meninggalkanku yang terbaring lemah tak berdaya.

Sepuluh menit kemudian, Satria kembali dengan seorang dokter wanita. Mereka menghampiriku dan tanpa aba-aba dokter itu segera memeriksa kembali kondisiku.

"Bagaimana, dok ... saya sudah bisa pulang?" Tanyaku berharap dokter itu menjawab iya atau sekedar mengangguk pun jadilah.

"Sebenarnya kamu harus dirawat dulu untuk pemulihan, luka di kepala dan kakimu juga masih basah. Saya takut infeksi jika tidak ditangani dengan benar." dokter itu sedikit ragu dengan permintaanku.

"Tapi saya tak bisa meninggalkan ayah saya yang sakit-sakitan, dok! Dia hanya sendiri di rumah, dia pasti cemas kalau saya tidak pulang." Akhirnya ayah menjadi alasanku untuk bisa keluar dari tempat menyebalkan ini.

"Hmmm ... baiklah, saya izinkan kamu pulang. Tapi kamu harus istirahat dan kontrol perkembangan luka kamu. Jadwal kontrol kamu dua hari sekali ya?" Aku berhasil. Dokter itu mengizinkan aku pulang.

"Baik, dok!" Jawabku pasti. Walaupun aku tidak janji akan mengikuti perintahnya.

***

Aku sudah berada di dalam mobil Satria, awalnya aku menolak tawarannya untuk mengantarkan pulang, tapi mengingat kondisi kakiku yang sulit berjalan akibat terluka, akhirnya aku menuruti kemauannya untuk mengantarku pulang.

Sepanjang perjalanan kami tak berbicara satu sama lain, hanya suara deruman mobil dan detak jantung kami masing-masing yang menjadi backsound perjalanan ini.

Aku hanya menatap nanar keluar jendela, memandangi pepohonan yang berbaris seolah ikut berjalan mengikuti ku.

"Kau belum memperkenalkan namamu." Tiba-tiba suara berat Satria memecah keheningan. Aku memutar kepalaku dan memandang sosok tampan yang sedang fokus mengemudi itu.

"Namaku Amanda." Aku hanya menjawab singkat. Iya begitulah aku, aku sangat irit berbicara dengan orang yang baru aku kenal seperti Satria ini.

"Kau bekerja dimana?" Tanyanya lagi. Entah ini hanya basa-basi atau dia memang ingin tahu.

"Di Choco Cake and Bakery." Lagi-lagi aku menjawab seperlunya.

"Oh." Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya. Sekarang aku paham, dia bertanya hanya untuk berbasa-basi.

Setelah itu tak ada pembicaraan lagi diantara kami setelah aku memberitahu alamat rumahku kepadanya, kami kembali diam sampai tiba mobil mewahnya berhenti di depan rumahku yang sangat sederhana ini, rumah yang sudah digadaikan oleh wanita yang sepertinya tak pantas ku panggil Ibu.

Setiap hari aku harus banting tulang untuk membayar hutangnya agar rumah ini tidak disita, bahkan aku sampai memohon kepada rentenir itu agar mau berbelas kasihan memberi waktu saat aku tak sanggup melunasi cicilannya, dia akan memberiku waktu tapi bunganya pun bertambah semakin banyak. Seperti saat ini, aku sudah menunggak 2 bulan dan aku tahu sebentar lagi penagih-penagih hutang itu akan datang dengan wajah seram mereka. Sementara ayahku yang sakit-sakitan itu hanya bisa terdiam menahan sakit hatinya.

"Mari aku bantu!" Satria buru-buru keluar dari mobil untuk membukakan pintu di sampingku dan membantuku untuk berjalan.

Aku hanya menurut, karena aku memang membutuhkan bantuannya.

Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan takut, aku takut ayah cemas melihat kondisiku. Dan yang benar saja, dari jauh ayahku sudah terlihat khawatir, dia segera menghampiriku dan mencecar ku dengan pertanyaan.

"Kau kenapa, nak?" Ayah membantu satria memapah ku. Guratan kekhawatiran terukir jelas di wajah tuanya.

"Hanya kecelakaan kecil saja, yah. Aku baik-baik saja kok." Ucapku berusaha menenangkannya. Sebenarnya aku yang lebih mencemaskan nya, mengingat ayahku memiliki sakit jantung akut, dia tak boleh syok dan terkejut.

"Perkenalkan saya Satria, Pak. Saya minta maaf karena saya tak sengaja menabrak Amanda tadi, tapi saya akan bertanggung jawab sampai Amanda sembuh." Satria ikut membuka suara, memohon maaf kepada ayahku karena telah menabrak putri kesayangannya.

"Lain kali lebih berhati-hatilah, jangan sampai kejadian ini terulang lagi, karena membahayakan dirimu dan orang lain." Ayahku tak marah kepada Satria, dia hanya menasehati pria itu dengan santun.

"Iya, Pak! Kalau begitu saya permisi dulu. Karena saya harus bekerja lagi." Satria undur diri dan berpamitan dengan ayah, lalu tersenyum kepadaku.

"Terima kasih ya."

Pria tampan yang sepertinya kaya raya itu pun berlalu pergi dari rumahku tanpa sempat kusuguh kan minum, dia terlihat terburu-buru meninggalkan rumahku. Mungkin pekerjaannya sedang menumpuk.

***

Ikuti terus ya sayang akuh ...

Jangan lupa rate 5 dan like nya.

Difavoritin aja dulu, jadi tahu kalau author udah up...

Karena author nggak janji bisa up tiap hari.

Tanggung jawab

Sudah dua hari berlalu sejak kejadian kecelakaan itu, aku merasa luka di kepala dan kaki pun sudah membaik, walaupun terkadang masih kurasakan nyeri.

Pagi ini aku sudah bersiap untuk pergi, tapi bukan untuk cek up ke rumah sakit, lupakan janjiku kepada dokter itu. Menurutku ini hanya luka kecil yang akan sembuh dengan sendirinya tanpa perlu di manjakan.

Tapi aku bersiap untuk pergi bekerja, sudah 2 hari aku tidak masuk, entah berapa bos pelit ku itu akan memotong gajiku nanti.

Tapi tiba-tiba indera pendengaran ku menangkap suara yang tidak begitu asing sedang berbicara kepada ayah yang tengah berolah raga di teras rumah, ku intip dari jendela kamarku dan ternyata ada sosok Satria di sana.

"Mau apa dia datang sepagi ini?" Aku merasa heran dengan kehadiran pria itu. Aku pun berjalan keluar kamar dengan pincang, karena memang sebenarnya kakiku masih sangat sakit jika dipakai untuk berjalan.

"Hai ... selamat pagi, Manda!" Satria menyapaku dengan senyuman sehangat mentari pagi.

"Selamat pagi." Aku hanya membalasnya singkat tanpa basa basi.

"Kau sudah siap?"

"Siap apanya?" Aku menautkan kedua alisku, aku bingung maksud dari pertanyaan Satria.

"Bukankah hari ini jadwal cek up mu? Kau ingatkan?" Satria balik bertanya kepadaku.

"Aku sudah membaik kok, jadi buat apa ke rumah sakit lagi?" Aku berusaha menutupinya dengan berbohong kepada Satria.

"Kau jangan membodohi ku, kulihat tadi kau masih pincang. Itu tandanya kau belum sembuh, mari sekarang aku antar kau ke rumah sakit." Pria ini datang pagi-pagi sekali hanya untuk menjemput dan mengantarkan ku cek up ke rumah sakit, apa aku pantas merasa tersanjung dengan perhatiannya ini?

"Tapi aku harus bekerja!" Ini senjata terakhirku agar dia berhenti mengajakku ke tempat menyebalkan itu. Aku benci rumah sakit!

"Sudah, lupakan dulu pekerjaan, fokuslah kepada kesembuhan mu, karena itu yang terpenting. Setelah kau sembuh, kau masih bisa bekerja lagi." Satria berbicara dengan tegas, seperti seorang suami yang mengatur istrinya. Lagi-lagi hatiku tersentuh dengan sikapnya ini.

"Satria benar, nak! Kesembuhan mu nomor satu." Ayah ikut-ikutan membela Satria.

"Baiklah." Akhirnya aku pasrah dan menuruti kemauan kedua pria ini, walaupun hatiku merasa berat sekali.

Aku melangkah pelan menuju mobil Satria dengan kaki yang pincang, setelah berpamitan dengan ayah tentunya. Satria memapah ku dengan hati-hati, tangan kekarnya memeluk pinggangku erat sekali, aku agak risih tapi entah mengapa tubuhku seolah tak keberatan dengan perlakuannya ini.

"Mau kemana pagi-pagi begini?" Seorang wanita berumur sekitar 40 tahunan yang biasanya ku panggil Bu Lela bertanya dengan sinis, dia sedang berkumpul bersama 2 orang lainnya yang juga memandangiku dengan tatapan tidak suka.

Aku tahu pertanyaan itu Bu Lela lontarkan karena ingin menyindirku karena berjalan dengan seorang pria.

"Mau ke rumah sakit, Bu ... mau cek up luka Manda." Satria menjawab dengan cepat sebelum aku membuka suara.

"Oh ... kirain mau ke mana." Ucap bu Lela lagi. Jujur sebenarnya aku sangat sebal jika wanita ini sudah mengusik telingaku dengan suaranya itu, tapi aku juga mengerti, beginilah jika hidup bertetangga dengan ibu-ibu yang suka usil.

"Kami permisi dulu ya Bu Lela." Tukas ku mengakhiri obrolan tak berfaedah ini, meladeninya hanya membuang-buang waktu saja. Dan aku tahu, setelah aku beranjak pergi, pasti bu Lela akan menggosipkan dengan dua temannya itu. Tapi aku tak perduli.

***

Seperti sebelumnya, aku hanya diam memandangi jalanan dari balik kaca jendela mobil. Bukannya aku sombong atau tidak menyukai Satria, tapi aku hanya bingung harus memulai pembicaraan kami dari mana?

"Aku sudah menemui bos mu dan meminta izin agar kau istirahat di rumah sampai kau benar-benar pulih." Tiba-tiba suara Satria mengagetkanku. Bukan cuma suaranya tapi pernyataannya yang lebih membuatku terkejut bukan main.

"Apa ...? Lalu apa yang dia katakan?" Aku segera memutar kepalaku menghadap Satria. Sungguh aku tak menyangka dia akan melakukan itu.

"Apa lagi ...? Ya tentu saja mengizinkannya! Memangnya dia mau bertanggung jawab jika sakit karyawannya semakin parah jika dipaksakan untuk bekerja?" Ucapan Satria ada benarnya juga. Tapi masalahnya bos pelit ku itu akan memotong gajiku yang tidak seberapa, lalu dari mana aku akan membayar cicilan hutang ibu? Belum lagi untuk makan aku dan ayah sehari-hari. Belum apa-apa aku sudah pusing memikirkan semua ini.

"Ada apa? Kenapa kau diam?" Sekali suara Satria mengagetkanku, membuyarkan lamunanku tentang kesusahan yang akan segera aku hadapi setelah gajian nanti.

"Hmmm ... tidak apa-apa!" Aku mencoba menutupi keresahan hatiku, aku malu jika Satria sampai tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Kami kembali membisu, suasana pun kembali hening, sampai mobil Satria memasuki parkiran rumah sakit dan berhenti di samping mobil-mobil lain yang berjejer dengan rapi.

Satria buru-buru turun dan segera membukakan pintu di sebelahku, aku cukup tersanjung dengan sikapnya ini, betapa dia sangat menghargai ku sebagai seorang wanita.

"Mari turun!" Satria mengulurkan tangannya. Dengan sedikit ragu, aku meraih tangan pria itu dan berusaha untuk keluar dari mobil.

Aku sudah berada di luar mobil, ku edarkan pandangan dan aku baru tersadar jika jarak parkiran ke gedung rumah sakit lumayan jauh untuk ukuran manusia yang sedang terluka sepertiku ini.

"Maaf seharusnya aku mencari kursi roda agar kau tidak perlu berjalan." Satria memandangku dengan perasaan bersalah.

"Tidak apa-apa! Aku bisa kok berjalan kesana." Aku mencoba meyakinkan Satria, dan pria itu terdiam walaupun wajah tampannya masih terlihat cemas.

Aku berusaha untuk berjalan dengan dipapah oleh Satria, meskipun kakiku masih terasa sakit, aku mencoba menahannya.

Tapi sepertinya Satria tak sabar dengan langkahku yang lambat seperti seekor keong ini, tanpa permisi Satria segera mengangkat tubuhku.

"Hey ... apa yang lakukan? Turunkan aku!" Aku mencoba memberontak agar Satria menurunkan ku, tapi pria itu tak menghiraukannya.

"Jangan bergerak-gerak! Atau kita akan jatuh!" Mendengar kata-kata Satria aku reflek mengalungkan kedua lenganku dilehernya untuk berpegangan.

Satria melangkah menuju gedung rumah sakit dengan menggendong tubuh kurus ku, orang-orang memandangi kami dengan tersenyum, entah apa yang ada dipikiran mereka.

Tapi sumpah demi apapun, aku sungguh malu. Ku sembunyikan wajah merona ku di dada bidang Satria, terserah dia dan semua orang mau berfikiran apa!

Satu jam kemudian, aku sudah selesai melakukan pemeriksaan. Kata dokter lukaku sudah membaik dan aku harus kembali 2 hari lagi untuk cek up berikutnya, aku hanya mengangguk patuh walaupun aku tidak berniat untuk mengikuti perintahnya.

Kami sudah berada di parkiran dan kali ini aku meminta Satria mendorongku dengan kursi roda, aku tak ingin dia menggendongku lagi seperti tadi. Sungguh itu sangat memalukan.

Satria membantuku masuk ke dalam mobil, dan meninggalkan kursi roda itu diparkiran, lalu dia pun ikut masuk dan duduk di belakang kemudi.

"Maaf ... aku boleh bertanya?" Ragu-ragu aku menyampaikan pertanyaan ini. Satria segera menoleh ke arahku.

"Mau bertanya apa?"

"Kenapa kau melakukan semua ini? Hmmm ... maksudku, kenapa kau baik sekali kepadaku?" Sudah benarkan pertanyaan ku ini? Mendadak aku menjadi gugup saat Satria menatap lekat wajahku.

"Aku hanya sedang bertanggung jawab karena telah membuatmu terluka begini. Aku tak mungkin membiarkan korban yang ku tabrak begitu saja." Pria tampan dan berwibawa itu tersenyum setelah dia menjawab pertanyaan ku.

"Iya, jawaban yang cukup masuk akal, memangnya jawaban seperti apa yang kau harapkan Amanda?" Gumam ku dalam hati.

***

Jika masih ada yang bingung tentang inti cerita ini, aku akan katakan ...

Kisah ini tentang kehidupan dan kejadian sehari-hari, alurnya tenang, konfliknya tidak seberat novelku yang sebelumnya tapi mudah-mudahan ada pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini.

Mohon dukungannya ya sayang akuh ...

Like novel aku ini di Kontes You Are A Writer Season 4 ya ...💜

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!