NovelToon NovelToon

Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Lelaki Buaya

Laura memandang kosong ke luar jendela sebuah kafe kecil di tengah kota. Malam itu seharusnya menjadi perayaan ulang tahun pernikahannya yang ke-5 dengan Nicholas, tapi ia justru duduk sendirian, ditemani secangkir kopi dingin yang hampir tak tersentuh. Nicholas bahkan tidak repot-repot pulang untuk sekadar mengucapkan selamat, apalagi makan malam bersama.

Ia merapikan gaun hitam elegan yang dikenakannya, merasa ironis karena bersusah payah berdandan hanya untuk menghabiskan malam sendiri. Hati Laura penuh kekecewaan dan kemarahan yang ia sembunyikan di balik senyuman pahit.

Suara derit pintu kafe memecah kesunyian. Seorang pria tinggi dengan jas panjang warna antik besi masuk, rambut hitamnya berantakan diterpa angin malam. Matanya—biru pucat seperti es yang retak. Tanpa ragu, pria itu melangkah mendekat, aroma kayu cedar dan tembakau mewah memenuhi ruang di antara mereka sebelum ia bahkan membuka mulut.

“Maaf, aku terlambat,” ujarnya, duduk di kursi berlawanan tanpa diminta..

Laura mengerutkan kening, bingung. “Apa kita saling kenal?”

Pria itu tampak terkejut untuk sesaat, tapi kemudian tersenyum. “Nona Clara? Wanita yang membutuhkan ‘teman khusus’ untuk malam ini?”

Seketika, Laura tersedak tawa pahit. Teman khusus. Kata itu menggambarkan ironi hidupnya: seorang istri yang harus menyewa pelipur lara karena suaminya lebih memilih laporan keuangan daripada tubuhnya yang hangat. “Salah orang,” jawabnya, menegakkan postur. “Aku tak membutuhkan layanan semacam itu.”

Pria itu terdiam sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya, tampak memeriksa sesuatu. “Nona Clara? Rambut cokelat, gaun hitam elegan, duduk sendirian di sudut kafe—deskripsinya tepat.”

Laura mendengus, setengah kesal, setengah geli. “Aku Laura. Kamu salah orang.

Pria itu memandangnya dengan ekspresi bingung, lalu menyadari kesalahannya. Wajahnya berubah sedikit merah, namun senyumnya tetap bertahan. “Baiklah, sepertinya aku memang salah orang."

"Ya," sahut Laura singkat.

Laura menatap pria itu dengan tajam saat pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari sana.

"Tidak ada kursi kosong. Apa kamu keberatan jika aku menunggu temanku di sini."

Laura memendarkan pandangannya, pria itu tidak berbohong. Cafe itu full.

"Max," pria itu memperkenalkan diri begitu Laura mengembalikan tatapannya pada wajah pria itu. "Jadi namamu, Laura."

Laura hanya menganggukkan kepala, lalu memilih diam. Ia bukan teman ngobrol yang asik, itulah yang sering dikatakan orang-orang, termasuk suaminya sendiri.

"Sendirian?" Laura mengangkat tatapannya saat mendengar pertanyaan pria itu.

"Tidak, aku menunggu seseorang." Ia sengaja berbohong agar Max segera pergi dari hadapannya. Yang ia butuhkan saat ini adalah sendiri, menikmati kesepian dan rasa kecewanya.

"Teman kencan?"

"Hm." Laura berharap Max angkat kaki.

"Aku akan pergi setelah teman kencanmu datang."

Laura bungkam, dia tidak ingin memberi ruang pada pria itu untuk berbicara lebih lanjut.

Setengah jam kemudian, Laura akhirnya mendesah panjang.

"Sepertinya teman kencanmu tidak akan datang malam ini," cara Max menatapnya membuat sekujur tubuhnya merinding.

"Hal yang sama sepertinya juga terjadi padamu," cetus Laura dengan nada malas sambil membereskan barang-barangnya. Sebaiknya dia pulang, dan beristirahat di kamar. Selama apa pun dia di luar, Nicholas juga tidak akan mencarinya. Percuma berharap.

Max tiba-tiba berdiri, membuat Laura reflek mengangkat kepala menatap pria itu. Tampan. Pikir Laura. Laura seketika tertegun saat Max menyunggingkan senyum miring.

"Teman kencanku sudah datang sepertinya," ucap pria itu. Laura memiringkan kepala, menemukan seorang wanita cantik dengan ciri fisik yang sama seperti yang diucapkan Max tadi.

Tanpa mengucapkan satu kata pun, Max beranjak dari kursinya, dengan langkah lebar menghampiri wanita itu.

Laura memperhatikan keduanya saling bertegur sapa sebelum akhirnya berpelukan.

Tanpa sadar, Laura mengamati Max dan teman kencannya sampai keduanya menghilang dari pandangannya, lalu ia pun segera beranjak.

Sampai di rumah, ia mendesah. Tidak menemukan siapa-siapa di sana selain kekosongan dan kesepian yang selalu menemaninya.

Laura langsung naik ke atas kamar. Menanggalkan pakaiannya dan tanpa repot-repot membersihkan riasannya, dia naik ke ranjang, menutupi tubuh dengan selimut. "Happy anniversary, Nick." Ia pun tertidur dengan ditemani air mata.

Keesokan paginya, saat ia membuka mata, dia menemukan Nicholas sudah berpakaian rapi.

"Pagi," sapa suaminya begitu menyadari dia bangun.

Laura turun dari ranjang dan langsung memeluk Nicholas dari belakang.

"Happy..."

"Laura, setidaknya kamu mandi atau membasuh wajahmu dulu. Aku sudah berpakaian rapi."

Nicholas melepaskan pelukan itu seperti menyingkirkan kucing liar. Laura menatap bayangan mereka di cermin: dirinya dengan rambut pirang acak-acakan dan mata bengkak, Nicholas dengan potongan rambut sempurna dan kemeja putih tanpa kusut. Dua dunia yang tak pernah bersua.

Laura menggigit bibirnya, perlahan mundur. "Maaf, Nick."

"Aku ada rapat pagi ini. Aku tidak bisa menemanimu sarapan." Nicholas berbicara sambil berjalan ke arah nakas kecil di samping tempat tidur, mengambil arloji mewah dan memasangnya di tangannya.

Laura menggigit bibirnya lagi, Nicholas melupakan hari pernikahan mereka dan pria itu bahkan tidak memiliki waktu untuk menemaninya sarapan.

"Jam berapa kamu pulang tadi malam?" Laura mengalihkan pembicaraan.

Nicholas berbalik, menatapnya sambil mengerutkan kening, merasa terganggu. "Aku tidak memperhatikannya."

Tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan. Laura menahan diri untuk tidak mendesah kecewa.

"Basuhlah wajahmu, Laura. Ck! Kamu kacau sekali."

"Ya, baiklah," Laura langsung lari ke dalam toilet. Ia meringis saat melihat tampilan dirinya di cermin. Benar-benar kacau.

Lima menit kemudian, dia kembali ke kamar, Nicholas sudah berada di ambang pintu keluar. "Nick, aku sudah selesai," seraya berlari kecil dia menghampiri Nicholas. Di hadapan pria itu, dia berjinjit, mengecup pipi Nicholas dan bibirnya. Dia berharap Nicholas menyambut ciumannya, namun ia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan.

Dengan enggan dan sedikit malu, Laura mundur menjauh. "Semoga harimu menyenangkan, Nick."

"Hm." Setelah memberikan gumaman singkat, Nicholas langsung berlalu. Laura kembali menggigit bibirnya, kali ini lebih kuat hingga bibirnya berdarah.

"Tidak boleh cengeng, tidak boleh menangis. Nick tidak suka," lirihnya sambil naik kembali ke atas ranjang.

Laura melirik sisi ranjang yang kosong, tidak ada jejak kehangatan di sana. Masih rapi, tidak ada tanda-tanda ditempati.

Laura menyingkap selimut, ia butuh pengalihan untuk meluapkan rasa frustasinya.

Pagi itu juga, Laura pergi ke gym. Ketika sedang memulai treadmill, ia mendengar suara asing yang menyapanya dengan akrab.

“Pagi, Lau."

Laura menoleh dan menemukan Max berdiri di sebelahnya, mengenakan pakaian olahraga yang terlalu sempurna untuk seseorang yang benar-benar ingin berolahraga.

“Kamu?” Laura mendesis. “Kenapa kamu di sini?”

Max mengangkat bahu santai. “Seperti yang kamu lakukan, aku juga butuh olahraga.” Ia tersenyum, menampilkan senyum angkuh yang sama seperti malam itu di kafe.

Laura memutar matanya. “Gym ini cukup besar. Mungkin kamu bisa pergi ke sisi lain.”

“Tapi aku merasa sisi ini lebih menarik.” Max melompat ke treadmill di sebelahnya, mulai berlari dengan kecepatan santai sambil terus menatap Laura.

Laura mencoba mengabaikannya, tetapi cara Max terus melempar komentar kecil membuatnya kehilangan konsentrasi.

"Berhentilah mengajakku berbicara. Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu!" Laura melayangkan tatapan dongkol.

"Max!!" Suara panggilan seseorang membuat mereka menoleh. Seorang wanita cantik, yang berbeda dengan yang di cafe melambaikan tangan pada Max. "Bisa bantu aku, Max."

"Tentu saja. Aku akan ke sana." Max menoleh pada Laura, mengerling nakal sebelum pria itu berlalu.

Lagi, Laura menemukan dirinya diam-diam mengamati Max yang mengajari wanita asing itu, memberikan instruksi dengan sesekali menyentuh wanita itu. "Dasar buaya," Laura memalingkan wajah, memilih menjauhkan Max dari pandangannya.

Kebetulan

Hari itu hujan deras mengguyur kota, memaksa Laura untuk berteduh di sebuah toko buku kecil yang tidak terlalu ramai. Ia bukan tipe yang sering menghabiskan waktu di toko buku, tetapi aroma kayu dan lembaran kertas yang lembab memberikan rasa nyaman yang tidak terduga.

Sambil menunggu hujan reda, Laura berkeliling, matanya tertuju pada rak buku fiksi klasik. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil sebuah buku berjudul Pride and Prejudice karya Jane Austen, sebuah novel yang sudah lama ingin ia baca ulang.

Namun, saat jari-jarinya menyentuh sampulnya, tangan lain juga meraih buku yang sama. Laura mendongak, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Max berdiri di sebelahnya, dengan senyum tipis yang penuh arti.

“Sepertinya selera kita mirip,” ujar Max sambil menatap Laura, masih memegang sisi lain dari buku itu.

Laura mengerutkan dahi, merasa aneh dengan pertemuan kebetulan ini. “Hanya kebetulan.”

"Kebetulan yang menyenangkan." Max tertawa kecil, suaranya terdengar santai. “Pride and Prejudice. Kisah tentang cinta yang penuh kesalahpahaman. Cocok sekali.”

Laura menarik buku itu sedikit lebih kuat, membuat Max melepaskannya dengan mudah. “Aku tidak menyangka orang sepertimu membaca Austen.”

Max menyandarkan tubuhnya ke rak buku, memandang Laura dengan santai. "Orang sepertiku?"

Laura berdehem, ia memalingkan wajah, memilih untuk tidak menjawab.

“Aku menyukai cerita yang mengajarkan bahwa cinta tidak selalu sempurna. Selain itu, Elizabeth Bennet adalah karakter yang luar biasa. Menurutku, dia mengingatkanku pada seseorang.”

Laura mendengus kecil, ia membawa bukunya ke sudut lain toko. Max tetap mengikutinya. Pria itu mengambil buku lain dari rak, The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald.

“Kalau ini,” Max berkata sambil memamerkan buku itu kepada Laura, “juga favoritku. Kisah tentang ambisi dan cinta yang tidak pernah bisa dicapai.”

Laura meliriknya, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Kamu benar-benar suka cerita klasik?”

Max mengangkat bahu. “Mungkin.”

Mereka duduk di area baca kecil di pojok toko buku, masing-masing memegang buku mereka. Percakapan berubah dari buku menjadi kehidupan.

"Kamu sering ke sini?" Tanya Laura saat beberapa kali ia melihat orang menyapa Max.

“Lumayan. Tempat ini seperti pelarian dari kehidupan nyata.” Max tersenyum.

"Apa kehidupanmu sangat membosankan?" Laura menyesali pertanyaannya di detik itu juga.

"Terkadang," sahut Max singkat. "Bagaimana denganmu, Lau?" Max menatapnya dengan intens, bahkan mengunci pergerakan matanya.

Laura menunduk, tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Max. Ia pura-pura sibuk dengan bacaannya.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi." Max bersuara lagi.

Laura terdiam sejenak, lalu berkata, “hanya kebetulan.”

Ketika mereka berpisah, Max memberikan komentar yang membuat Laura berpikir sepanjang perjalanan pulang.

“Aku tidak percaya pada kebetulan, Lau. Mungkin ada alasan kenapa kita terus bertemu.”

***

Senyum samar terpatri di wajah Laura saat mengingat pertemuannya dengan Max.

Namun, senyumnya memudar perlahan ketika ia melihat sebuah mobil terparkir di halaman. Mobil Nicholas. Tidak biasanya suaminya pulang lebih awal dari kantor.

Laura melangkah masuk ke rumah, melepas sepatunya, dan mencari sosok Nicholas. Ia menemukannya di ruang kerja, duduk di depan meja dengan beberapa dokumen berserakan.

Laura berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahunya pada bingkai pintu. “Kamu pulang lebih awal.”

Nicholas mendongak, menatapnya sejenak dengan ekspresi datar sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada dokumen di depannya. “Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan di rumah.”

Laura melangkah masuk, mendekat, tapi tetap menjaga jarak. “Hal apa yang begitu penting sampai kamu meninggalkan kantor lebih awal?”

Nicholas menghela napas, tangannya bergerak merapikan dokumen. “Proyek baru. Ada banyak detail yang perlu aku cek ulang.”

Laura memperhatikan gerak-geriknya sejenak, lalu berkata, “Kamu hampir tidak pernah pulang lebih awal. Ada sesuatu yang terjadi di kantor?”

Nicholas berhenti sejenak, lalu menatapnya dengan dingin. “Kamu terlalu banyak bertanya, Laura.”

Nada suaranya membuat Laura mengerutkan dahi. Ia merasa seolah ada tembok besar di antara mereka, seperti biasa. “Aku hanya ingin tahu, Nicholas. Aku istrimu, ingat?"

Nicholas berdiri, merapikan jasnya. Tingginya yang menjulang membuat Laura merasa lebih kecil dari biasanya. “Aku bekerja untuk perusahaan, untuk karyawan yang katamu harus diperjuangkan. Jadi, berhentilah mengaitkan urusan pekerjaanku dengan statusmu."

Laura tersentak. Kata-katanya begitu menusuk, tapi ia menutupinya dengan ekspresi datar. “Kupikir aku bisa membantumu."

Nicholas mengangkat salah satu alisnya, nyaris mencemooh. “Setelah membuat perusahaan bangkrut?"

Ya, sebelumnya Laura lah yang memegang perusahaan yang diwariskan mendiang ibunya padanya. Laura membuat kesilapan yang membuat Nicholas turun tangan sepenuhnya.

"Aku bekerja lebih karena ulahmu."

Laura terdiam, menahan napas untuk tidak melontarkan kata-kata tajam yang sudah di ujung lidahnya. Akhirnya, ia hanya berkata, “Baiklah. Aku tidak akan mengganggu pekerjaanmu.”

Ia berbalik pergi, meninggalkan Nicholas yang hanya menatap punggungnya dengan ekspresi sulit diterjemahkan.

Di dalam kamar, Laura duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Kehidupan nyata, dengan segala kekakuan dan kesepiannya, kembali menghantam.

Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah seharusnya hidupnya seperti ini selamanya?

Ponselnya berdenting, membuyarkan lamunannya. Ponsel itu sangat jarang berbunyi, sehingga saat benda itu mengeluarkan suara, dia mengerutkan kening sambil mengambil ponselnya.

Laura membaca pesan di ponselnya dengan hati-hati. Dari nomor tidak dikenal.

"You must allow me to tell you how ardently I admire and love you.’

Kutipan dari Mr. Darcy. Aku penasaran, bagaimana menurutmu cinta bisa bertahan di tengah kebekuan dan jarak? Dan bagaimana dengan Gatsby? Apa yang kamu pikirkan tentang obsesinya terhadap Daisy? – Max."

Maniknya sampai terbelalak lebar, darimana Max tahu nomornya?

Laura mengernyit, membaca ulang pesan itu, merasakan campuran perasaan aneh yang mengalir di dadanya. Kutipan dari Pride and Prejudice itu membuatnya tersenyum tipis, tapi pertanyaan Max tentang cinta dan kebekuan seperti memukul bagian rapuh dalam dirinya.

Ia melirik ke rak buku kecil di sudut ruang tamu. Di sana, Pride and Prejudice dan The Great Gatsby berdiri berdampingan, keduanya adalah buku favoritnya. Tapi kenapa justru sekarang, di saat ia merasa jauh dari Nicholas, pertanyaan seperti ini muncul dari seseorang yang hampir asing?

Dengan hati-hati, Laura mengetik balasannya:

"Kutipan itu indah, tapi juga menyesakkan. Aku selalu merasa cinta Darcy lebih murni dibandingkan Gatsby. Darcy mencintai Elizabeth karena dirinya, sementara Gatsby mencintai Daisy karena gambaran sempurna yang ia ciptakan."

Laura menekan tombol kirim dan menyandarkan punggungnya di sofa. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan kutipan itu memenuhi pikirannya.

"You must allow me to tell you how ardently I admire and love you."

Ia menghela napas panjang, lalu membuka mata. Suara langkah Nicholas terdengar mendekat dari ruang kerja. Laura mendongak, berharap menemukan sesuatu di tatapan suaminya yang sudah lama hilang. Tapi seperti biasa, hanya ada jarak.

Ingin Menyewaku

"Pekerjaanmu sudah selesai?" Laura turun dari ranjang untuk menyambut kedatangan suaminya, mencoba mengabaikan seraut wajah Nicholas yang tampak masam. Pria itu bahkan tidak ingin repot-repot untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya walau hanya sekedar anggukan kepala.

Laura mengulurkan tangan, melepaskan jas yang masih melekat di tubuh Nicholas. "Kamu benar-benar sibuk sekali sampai tidak sempat untuk melepaskannya," ucap Laura dengan lembut.

"Maafkan aku, Nick." Laura menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Nicholas, menghirup aroma tubuh suaminya yang sudah sangat akrab dengannya. "Karena aku, kamu harus bekerja lebih keras." Ia mendongak, berharap tatapan Nicholas sedikit melembut, yang ada hanya tatapan kosong. Laura sampai tidak ingat kapan terakhir kali Nicholas menatapnya dengan penuh kasih sayang. Atau tidak pernah sama sekali?

Nicholas menyentuh kedua lengannya. Laura tersenyum, setidaknya Nicholas merespon pelukannya. Namun, senyum itu perlahan memudar seiring dengan tangan kekar itu mendorongnya perlahan.

"Aku berkeringat." Dan Nicholas melepaskan semua bajunya, memamerkan tubuhnya yang memiliki otot-otot yang sangat seksi, lalu berjalan menuju toilet. Mengunci dirinya di sana.

Laura menelan salivanya dengan susah payah. Perlahan berbalik, dan kembali ke ranjang, masuk ke dalam selimut, memeluk dirinya sendiri. Dan akhirnya dia tidak tahu kapan Nicholas keluar dari dalam toilet. Karena begitu ia membuka mata, hari sudah pagi dan sisi ranjang yang lain kosong tanpa jejak.

Laura merasakan matanya perih luar biasa. Dia benar-benar kesepian. Dan Laura tidak suka ini.

Saat ia membiarkan tangisannya jatuh membasahi pipinya, pintu kamar dibuka. Nicholas berdiri di sana, dengan hanya mengenakan jubah mandi. Rupanya pria itu belum pergi. Laura buru-buru menghapus air matanya, menggantinya dengan senyuman manis yang indah.

"Nick, kupikir kamu sudah pergi," serunya dengan semangat.

Nicholas mendengus. "Aku ada rapat lima belas menit lagi dan sudah pasti aku terlambat." Nicholas melangkah lebar, melepaskan jubah mandinya dengan gerakan cepat dan mengambil baju secara asal dari lemari.

"Kenapa kamu bisa terlambat bangun?" tanya Laura sambil memperhatikan setiap gerakan Nicholas.

"Kamu sungguh bertanya?" Nada sinis itu membuat Laura tersentak. Dia mengangkat kepala dan menemukan tatapan Nicholas yang seperti sedang menuduhnya. Apa salahnya?

"Harusnya kamu membangunkanku!" Nicholas berdecak, wajah kecut sangat tidak enak dilihat.

"Tapi, aku..."

"Ya, tidak bisa bangun pagi dan aku harus memakluminya." Nicholas menyambar kunci mobil dan segera berlalu sambil mengenakan dasinya.

Jasnya tertinggal, begitu juga dengan tas kerja. Laura mengambilnya, menyusul dengan berlari. Nicholas sudah mau masuk ke dalam mobil saat Laura sampai di halaman.

"Nick, kamu meninggalkan ini," serunya dengan napas agak tersengal.

Nicholas menerima jas dan tasnya tanpa mengucapkan apa pun.

"Nick, kamu tidak harus mengebut. Keselamatanmu lebih penting daripada rapat tersebut."

Nicholas hanya mendesah, kemudian menyalakan mesin dan melaju begitu saja.

"Hati-hati, Nick," lirihnya.

Laura berbalik, menatap rumah besar yang ia tempati sejak lahir. Masih sama seperti dulu. Sunyi, sepi dan hening.

Tidak tahan dengan keheningan yang ia rasakan, Laura memutuskan untuk pergi berolahraga lagi. Mengeluarkan keringat lebih baik daripada mengeluarkan air mata, batinnya.

Gym yang sama dengan yang ia datangi tempo hari. Gym itu terletak di lantai dua sebuah gedung modern dengan dinding kaca besar yang menghadap ke jalan raya sibuk. Musik upbeat memenuhi ruangan, bercampur dengan deru mesin treadmill dan dentingan alat angkat beban. Ia ingat bahwa sahabatnya lah yang membawanya ke sini.

Mengingat sahabatnya, dia mengeluarkan ponsel. Mencoba menghubunginya. Tidak tersambung, sama seperti dua minggu lalu.

Laura melangkah masuk, mengenakan pakaian olahraga sederhana. Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang tidak ingin ia akui.

"Tidak mungkin aku berharap bertemu dengannya di sini lagi," gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Ucapan tidak sejalan dengan tindakannya. Matanya masih terus mencari-cari.

Suara berat dengan nada menggoda menyapanya. "Pagi, Lau."

Laura menoleh cepat dan mendapati Max berdiri di dekat rak dumbbell, mengenakan kaus abu-abu ketat yang memamerkan ototnya. Senyumnya memancarkan kepercayaan diri yang nyaris arogan.

"Kamu mencariku?" tanyanya dengan tatapan jahil.

"Untuk apa aku mencarimu," balas Laura cepat, berusaha menjaga ekspresi netral.

Max tertawa kecil dan mendekat. "Sendiri lagi?"

"Apa tempat ini mengharuskan kita punya pasangan?" Laura meliriknya sekilas, lalu pandangannya fokus ke depan.

Max terkekeh, "tidak ada aturan, Lau. Tidurmu nyenyak?"

Pertanyaan Max yang tiba-tiba itu membuat Laura menoleh cepat lagi ke arah pria itu.

Cara Max menatapnya begitu dalam, membuat ia hampir lupa cara memainkan sepeda statisnya.

"Kuharap tidurmu nyenyak," ucap pria itu dengan nada tulus. Setidaknya begitulah yang terdengar di telinganya.

Laura menggigit bibir bawahnya saat mendengar hal tersebut. Hatinya yang kecewa karena Nicholas mempermasalahkan kebiasannya yang tidak bisa bangun lebih awal, sedikit terobati.

Laura berdehem, tidak seharusnya ia terlena hanya karena sebuah pernyataan yang sebenarnya tidak begitu berarti.

"Kamu juga sendiri?" Laura mengalihkan pembicaraan.

"Tidak. Aku bersama seseorang."

"Teman?"

"Ya," Max memainkan sepeda statis di sebelahnya.

"Wanita?"

Laura menyesali pertanyaannya tersebut. Untuk apa aku bertanya?! Sesalnya dengan kesal. Ia semakin dongkol pada dirinya saat melihat Max mengangkat sebelah alisnya.

"Maksudku, apa kamu bersama temanmu atau seseorang yang butuh teman khusus, klienmu," Laura berkilah.

"Teman khusus?" Max menautkan alisnya seolah ucapan Laura adalah hal yang aneh dan sulit dimengerti.

"Kamu pria bayarankan?" Max tersedak mendengar pertanyaannya. "Dibayar untuk menemani seseorang yang membutuhkan hiburan." Laura mengabaikan Max yang kini sampai terbatuk-batuk.

"Kamu di sini rupanya." Seseorang menginterupsi. Seorang wanita cantik. Yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. "Aku butuh bantuanmu, Max," kata wanita itu.

"Tentu saja." Max melirik Laura, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.

Max dan wanita bernama Cassie itu pergi tidak terlalu jauh darinya. Laura bahkan masih bisa mendengar perbincangan keduanya, juga tawa wanita itu yang renyah dan menggoda.

Laura melihat Max berbisik di telinga Cassie dan wanita itu semakin tertawa.

Laura mengakhiri olahraganya lebih cepat dari rencananya. Ia memutuskan untuk menikmati kopi di kafe kecil di lantai dasar. Interior kafe itu bergaya industrial dengan lampu gantung besar dan meja kayu yang dilapisi kaca. Aroma kopi segar bercampur dengan harum croissant yang baru keluar dari oven.

Dari tempat duduknya, Laura melihat Max membantu wanita tadi memasukkan barang ke mobil.

Laura terus mengamati sampai Cassie membuka tasnya dan memberikan sebuah card, kemudian membuka pintu mobil dan mengeluarkan sebuah paper bag dan menyerahkannya pada Max. Terakhir keduanya saling memberikan kecupan. Wanita itu tersenyum manis sebelum pergi, meninggalkan Max yang melangkah santai menuju kafe.

Max masuk dan langsung duduk di depannya tanpa izin. "Kamu cepat selesai hari ini," ujarnya santai sambil memesan espresso.

"Hanya tidak ingin terlalu lama," jawab Laura sambil menyesap cappuccino-nya.

"Sepertinya kamu mendapat bonus banyak," cetus Laura. "Pekerjaanmu sepertinya memuaskannya," imbuh Laura saat melihat nama brand mahal yang tertera di paper bag yang diletakkan Max di atas meja.

Max hanya mengangkat kedua bahunya.

"Berapa biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan jasamu?" Laura sampai mengernyit sendiri kenapa ia harus mempertanyakan hal itu.

Alih-alih langsung menjawab, Max justru mengamatinya dengan seksama, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan dengan senyum nakal dia bertanya, "Kenapa? Kamu ingin menyewa jasaku, Lau?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!