Tepat pukul dua belas malam, Anjani terbangun.
Hening menyelimuti kamar, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar seperti gema di telinganya. Ia menoleh pelan ke samping. Riki sudah terbaring di sebelahnya. Lelaki itu pulang diam-diam, tanpa sepatah kata, tanpa pelukan, tanpa... ucapan ulang tahun.
Padahal, Anjani sudah menunggunya sampai pukul setengah sebelas tadi malam, dengan mata yang nyaris tak sanggup terbuka dan harapan yang terus menipis.
Kini, ia hanya bisa menatap punggung suaminya yang lelap.
Lelaki yang dulu, tak pernah absen mengucapkan "Selamat ulang tahun, sayang," bahkan dengan cara-cara sederhana yang selalu membuatnya tersenyum. Tapi tahun ini… tidak ada apa-apa. Bahkan sekadar lirih pun tidak.
"Mungkin Mas Riki lelah setelah seharian sibuk bekerja," gumam Anjani, mencoba meredam kecewa yang terus menekan dadanya.
Ia meraih ponsel di samping bantal. Membuka layar. Hanya satu pesan masuk.
Dari Reno, kakaknya.
“Selamat ulang tahun, gemoy!”
Anjani tersenyum miris. Ia membalas cepat.
“Ih, nyebelin banget! Aku sekarang langsing tau!”
Tak ada pesan lain. Tak ada notifikasi dari suami yang tidur hanya sejengkal darinya.
Tiba-tiba terdengar bunyi alarm dari ponsel Riki. Ia refleks menoleh. Layar ponsel menampilkan satu pengingat:
“Ulang Tahun Lusi”
Dada anjani terasa sesak untuk seorang bernama lusi Riki sampai menyetel alrm khusus di ponselnya, sedangkan dia sebagai istrinya seolah dilupakan.
Anjani melihat Riki membuka bangun, lalu dengan malas mengecek ponselnya, mengetik sesuatu, dan tanpa berkata apa pun—tidur kembali. Ia menyelipkan ponsel itu di bawah bantalnya.
Anjani menahan napas. Artikel-artikel yang pernah ia baca melintas di benaknya. Tentang tanda-tanda suami selingkuh. Salah satunya... menyembunyikan ponsel.
“Tidak mungkin. Mas Riki lelaki yang baik,” ia bergumam, mencoba menepis bayangan buruk.
Pagi datang dan Riki sama sekali tidak mengucapkan selamat ulang tahun untuk Anjani. Seolah anjani bukan orang penting. Sebenarnya tidak masalah bagi anjani tapi saat riki mencoba mengingat ulang tahun wanita lain sedangkan dia tidak, itu yang membuat anjani terasa sakit.
Dengan mata sembab, Anjani bangkit. Ia tak bisa larut. Pagi selalu datang dengan daftar panjang pekerjaan rumah.
Ia menyiapkan sarapan sehat rendah kolesterol untuk ibu mertuanya, Mirna.
Membuatkan kopi untuk bapak mertuanya, Adi.
Mencuci pakaian untuk semua penghuni rumah: ibu mertua, bapak mertua, dan dua adik Riki yang sama-sama perempuan... dan sama-sama terlalu malas untuk mencuci baju sendiri.
Jam tujuh pagi, semuanya sudah rapi. Meja makan sudah penuh. Aroma masakan memenuhi udara. Tapi tidak ada satu pun yang berkata “terima kasih”.
Yang ada justru...
“Riki, nanti malam jangan lupa datang ke acara ulang tahun Lusi. Dia baru pulang dari luar negeri, selesai S2-nya,” ucap Mirna sambil mengunyah makanan.
“Wah, Mbak Lusi sudah pulang dari Singapura ya,” sahut Nina, adik Riki dengan nada girang.
“Berarti nanti malam kita harus ke sana dong, Bu,” timpal Nani, si kembarannya.
Anjani menunduk. Dadanya kembali sesak.
“Astaga... Mereka begitu antusias dengan ulang tahun orang lain, sementara ulang tahunku sendiri seolah tak dianggap,” pikirnya lirih.
“Bu, Lusi sudah menikah belum?” tanya Adi santai.
“Sepertinya belum, Pak,” jawab Mirna dengan ringan, tanpa memperhatikan Anjani yang duduk diam di ujung meja.
“Yah... Andai saja Riki belum menikah, bisa kita jodohkan sama Lusi,” tambah Adi sembari tersenyum tipis.
"Tring."
Bunyi sendok mengetuk piring. Riki akhirnya bersuara.
“Pak, aku sudah menikah. Jangan coba-coba jodohkan aku dengan Lusi. Hargai dong Anjani.”
Ucapan itu seperti setetes air di padang pasir. Hangat. Menenangkan. Tapi cepat menguap.
Anjani menoleh sekilas, mencari mata Riki. Tapi lelaki itu sudah kembali menunduk, sibuk dengan makanannya. Ia tak yakin, apakah kalimat itu tulus atau hanya formalitas untuk menjaga harga diri.
“Riki, kamu sekarang manajer. Harusnya punya istri yang pantas juga. Istri manajer, bukan... pembantu rumah tangga,” sindir Mirna tanpa ampun.
“Betul banget, Bu,” sahut Nina cepat.
“Ni, kamu nggak kepikiran kerja kayak istri-istri lain? Setidaknya bantuin suami, kek,” tanya Mirna, tajam.
“Saya kira tidak ada salahnya jadi ibu rumah tangga, Bu,” jawab Anjani pelan, menahan perih.
“Yah, tapi sampai kapan kamu akan jadi beban suami? Kalau kamu ibu rumah tangga terus, lama-lama bosan juga dilihat orang.”
Anjani menunduk. Mulutnya kelu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Riki mendahului.
“Sudah, Bu. Anjani nggak kerja itu permintaan saya. Saya nggak mau kalau gaji Anjani lebih besar dari saya. Harga diri saya di mana?”
Kalimat itu membuat hati Anjani runtuh. Jadi, alasan ia dilarang bekerja selama ini... karena ego? Karena harga diri suaminya takut kalah saing?
“Hmm. Tetap aja, Riki. Jadi ibu rumah tangga itu... ya memalukan. Menggantungkan hidup dari lelaki itu hanya jadi beban saja,” gumam Mirna, enteng.
Anjani meremas ujung bajunya di bawah meja. Ingin sekali ia menjawab:
"Lalu ibu apa? Bukankah ibu juga hanya menggantungkan hidup pada anak?"
Tapi ia tahan. Karena satu kata saja bisa meledakkan segalanya.
“Permisi. Saya sudah selesai makan,” ucap Anjani dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Ia bangkit, berjalan ke dapur dengan langkah berat. Dapur itu sudah seperti pelarian. Tempat ia bisa menangis sebentar. Tempat ia bisa bernafas tanpa harus pura-pura kuat.
Sudah enam bulan ia tinggal di rumah ini.
Dan selama itu pula... ia menyimpan luka, satu demi satu.
Riki berdiri di pintu, merapikan jasnya. "Anjani, abang mau berangkat," ucapnya datar, seperti biasa.
Anjani bergegas menghampirinya. Namun, meski hatinya berharap, ia tahu jawabannya. Tidak ada ucapan ulang tahun, tidak ada pelukan, tidak ada tanda cinta seperti yang dulu selalu ada. Cuma kebisuan yang terasa begitu kental di udara.
"Jangan dimasukkan perkataan ibu, sebenarnya ibu baik, kamu baik-baik saja di rumah," ujar Riki, seakan memberi penjelasan yang tak diminta.
Anjani hanya mengangguk, berusaha menahan air mata yang semakin menggenang. Ia menatap suaminya dalam diam.
Dengan hati yang terluka, Anjani melangkah maju dan mencium tangan Riki. "Hati-hati, bang," ucapnya lirih, seperti bisikan doa yang mengalir tanpa berharap ada balasan.
Riki hanya tersenyum tipis, lalu melangkah keluar. Anjani menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, merasa seperti kehilangan arah.
Namun sebelum ia sempat menutup pintu, suara percakapan dari ruang tamu terdengar jelas. Mirna dan Adi sedang berbicara dengan nada yang cukup keras untuk didengar dari luar.
"Pak, sebaiknya kita jodohkan saja Riki dengan Lusi, Pa. Kalau Riki menikah dengan Lusi, yakin karirnya akan meroket," kata Mirna, dengan nada penuh keyakinan.
"Bagaimana kalau Anjani nggak setuju?" tanya Adi, suara khawatirnya jelas terdengar.
"Ya gampang, tinggal cerai saja, Pak. Ibu malu memperkenalkan Anjani, orang kampung, nggak kerja lagi," jawab Mirna tanpa beban.
Anjani merasa seolah seluruh tubuhnya dibekap beban yang terlalu berat. Air matanya menetes, tapi ia tak mampu mengeluarkan suara.
"Jangan, Bu. Lebih baik Riki poligami saja. Anjani itu masakannya enak, pekerjaannya rapi dan rajin. Kalau wanita karir, mana bisa melayani seperti itu?" kata Adi dengan penuh rasa puas.
"Ah, kalau begitu gampang, Pak. Kita tinggal cari saja ART," sahut Mirna.
"Jangan buang-buang uang, Bu. Kapan Riki bisa beli rumah kalau nggak berhemat?" jawab Adi, tetap dengan nada yang datar.
Anjani menggigil mendengar semua itu. Ia mengunci pintu pelan dan berjalan menuju dapur. Langkahnya terasa berat, seperti setiap gerakan mengandung ratusan batu yang menambah beban di dadanya. Ia berjalan ke kamar mandi, menatap cermin yang tak bisa memberinya jawaban, dan akhirnya ia menangis—tanpa suara.
Setelah tangisnya mereda di kamar mandi, Anjani menghapus air mata yang membekas di pipinya. Ia menatap wajahnya di cermin. Pucat dan letih. Tapi seperti biasa, ia menguatkan diri dan keluar. Di rumah itu, ada empat perempuan—ibu mertua, dua ipar perempuannya, dan Anjani sendiri. Tapi entah kenapa, hanya Anjani yang dianggap bertanggung jawab atas semua pekerjaan rumah. Seolah menjadi menantu menjadikannya otomatis sebagai asisten rumah tangga.
Ia mulai dari menyapu lantai, mencuci piring, melipat cucian, hingga merapikan ruang tamu. Semua dilakukannya dalam diam. Tak ada yang membantunya, bahkan sekadar ucapan terima kasih pun tak pernah terdengar.
Setelah semua selesai, Anjani masuk ke kamar. Ia duduk di tepian ranjang dan menatap foto pernikahan mereka yang terbingkai rapi di atas meja kecil. Di dalam foto itu, Riki tampak tersenyum penuh bahagia, memeluknya dengan mesra. Anjani menatapnya dengan mata penuh harapan. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang jauh.
Dua tahun lalu, saat masih tinggal di kontrakan kecil, kehidupan rumah tangga mereka terasa sederhana namun hangat. “Selamat pagi, sayang,” adalah kalimat yang selalu Riki ucapkan tiap pagi. Mereka bersama-sama membersihkan rumah, memasak, dan saling bercerita. Saat itu, Riki masih menjadi ojek online setelah di-PHK dari pekerjaannya di pabrik karena pandemi. Ibu dan ayah Riki mencemoohnya karena pekerjaan itu, menyebutnya tak punya masa depan. Tapi Anjani selalu mendukung.
“Aku bangga sama abang. Apapun profesi abang, yang penting halal,” ucap Anjani suatu malam saat Riki pulang lelah dan kecewa karena dimarahi ibunya. Ia bahkan sempat disebut pembawa sial karena Riki di-PHK sebulan setelah menikah. Tapi Riki selalu membela Anjani, membuatnya tetap kuat bertahan.
Pikiran Anjani melayang ke setahun yang lalu, di hari ulang tahunnya. Malam itu, ia gelisah. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Riki belum juga pulang. Berkali-kali ia menelpon, tapi tak ada jawaban. Ia akhirnya tertidur di ruang tamu dalam gelap karena berhemat listrik.
Tiba-tiba, terdengar suara klik.
Lampu menyala. Anjani mengerjapkan mata.
“Selamat ulang tahun, sayang,” ucap Riki sambil tersenyum manis, masih mengenakan jaket ojolnya.
Anjani terharu, air matanya jatuh begitu saja. Di hadapannya, Riki berdiri dengan senyum lelah, membawa kue bolu kecil dengan lilin menyala. Jaket ojolnya masih melekat di tubuhnya. Rupanya ia pulang larut bukan karena lupa, tapi karena ingin memberi kejutan.
“Terima kasih, sayang,” ucap Anjani, memeluk Riki dengan hangat.
Riki lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru merah dari dalam tasnya. “Aku punya hadiah buat kamu.”
Anjani membuka kotak itu perlahan. Sebuah cincin emas dua gram bersinar lembut di dalamnya. Sederhana, tapi baginya itu lebih dari cukup. Ia tahu betul betapa keras Riki harus bekerja demi membelinya.
“Terima kasih, sayang. Aku harap kamu tetap menyayangiku sampai kita tua nanti,” bisik Anjani dengan suara bergetar.
Saking bahagianya, malam itu Anjani menelpon kakaknya, Reno, yang selama ini tinggal di kampung dan mengelola sawah peninggalan orangtua mereka. Anjani memang berasal dari keluarga berada, namun ia tak pernah membuka jati dirinya di depan keluarga Riki.
“Bang… Riki itu baik banget. Aku bahagia,” ucap Anjani di ujung telepon.
Reno terdiam sejenak, lalu berkata, “Kamu yakin? Dulu aku nggak setuju karena keluarga dia itu suka merendahkan orang.”
“Tapi Riki beda, Bang. Dia lembut, pekerja keras, dan nggak pernah mempermalukan aku,” Anjani meyakinkan.
Reno pun luluh. “Kalau begitu, tunggu saja. Nanti akan ada orang dari perusahaan yang menghubungi Riki.”
“Terima kasih, Bang. Tapi tolong… jangan bilang kalau itu dari abang. Aku nggak mau dia merasa dijadikan kasihan.”
“Kenapa?”
“Aku ingin Riki percaya bahwa dia mampu sendiri. Dia terlalu sering direndahkan keluarganya. Aku cuma ingin dia merasa berharga,” jawab Anjani pelan.
Seminggu kemudian, benar saja. Riki diterima di sebuah perusahaan ternama sebagai staf administrasi. Ia senang bukan main, dan Anjani pun ikut bahagia melihat semangat Riki yang kembali menyala. Malam-malamnya tetap hangat, walau pulang kerja makin larut.
Enam bulan kemudian, Riki dipanggil ke ruangan direktur dan diberi kabar bahwa ia diangkat sebagai manajer. Ia tidak tahu bahwa itu semua berkat campur tangan Reno—kakak Anjani—yang ternyata adalah salah satu pemegang saham di perusahaan tersebut.
Riki pulang dengan wajah berseri-seri. “Sayang, aku diangkat jadi manajer!”
Anjani memeluknya. Dalam diam, ia bersyukur. Tapi juga cemas. Ia tahu, kenaikan jabatan bisa mengubah seseorang, terutama jika lingkungan dan ego ikut campur.
Beberapa minggu setelah itu, Riki mulai berubah. Ia tak lagi pulang larut dengan senyum hangat. Ia mulai lebih sering serius, lebih sering diam. Lalu datanglah keinginan ibunya.
“Ni, Ibu minta kita tinggal bareng di rumah. Jangan di kontrakan lagi,” ujar Riki suatu malam.
Anjani diam sejenak. “Yah… apa sebaiknya kita cicil rumah sendiri, Bang? Biar mandiri. Aku khawatir kalau tinggal serumah… kita jadi nggak nyaman.”
Riki menatapnya, serius. “Aku nggak bisa menolak permintaan Ibu. Aku anak laki-laki satu-satunya.”
Anjani menarik napas panjang. “Kalau itu keinginanmu, aku ikut.”
Akhirnya, mereka pindah ke rumah Riki. Dan di situlah segalanya mulai retak.
Di rumah itu, Anjani tak pernah benar-benar dianggap. Ia direndahkan karena dianggap miskin, tak bekerja, dan berasal dari desa. Padahal Anjani bisa saja menunjukkan saldo rekeningnya. Ia punya uang. Sawah puluhan hektar peninggalan ibunya dikelola Reno dan hasilnya terus mengalir. Tapi ia memilih diam.
Anjani ingin melihat seperti apa sesungguhnya karakter keluarga Riki. Apakah mereka tulus menerima orang atau hanya menghargai status dan harta? Sampai hari ini, jawabannya perlahan-lahan terlihat—dan sungguh menyakitkan.
Riki pun perlahan ikut berubah. Lelaki yang dulu begitu lembut kini mulai enggan membelanya. Ia lebih sering diam ketika ibunya bicara kasar. Ia mulai mendahulukan restu ibunya daripada perasaan istrinya.
Dan Anjani? Ia hanya bisa diam, mengingat kembali hari-hari ketika Riki memanggilnya sayang sambil membawa kue bolu dan cincin dua gram itu. Lelaki yang dulu membuatnya yakin untuk melawan dunia kini terasa asing di sisinya.
“Brak, brak, brak!”
Pintu kamar Anjani digedor keras dari luar. Dengan cepat, ia menghapus air mata dan bangkit membuka pintu.
“Enak banget, ya, kamu di kamar terus! Cepat, siapkan makan siang!” bentak Bu Mirna dengan nada tinggi.
“Baik, Bu,” jawab Anjani lirih, menunduk tanpa perlawanan.
Menyesal dan menangis hanya akan membuatnya makin lemah. Jadi, ia memilih diam. Menyibukkan diri adalah satu-satunya cara agar pikirannya tak meledak.
Anjani memasak tanpa suara, menyiapkan lauk lengkap, menata meja, lalu menyetrika setumpuk baju yang seakan tak habis-habis. Tangannya cekatan, meski hatinya mulai lelah.
Mirna mengamati dari ruang tamu, matanya menyipit curiga melihat Anjani yang begitu tenang.
“Begitu dong, jangan disuruh terus baru gerak! Ini, masih ada baju lain,” katanya sambil melempar setumpuk pakaian ke arah Anjani.
Menjelang pukul empat sore, semua pekerjaan selesai. Anjani menyandarkan punggungnya sejenak, namun suara tawa menggema dari depan rumah. Ia menoleh. Bu Mirna, Pak Adi, Nina, dan Nani sudah berdandan rapi.
“Ibu mau pergi ke hotel, ya. Mau hadiri ulang tahun Lusi,” ucap Mirna sambil mengusap lipstiknya.
“Ya, Bu,” jawab Anjani singkat.
Hatinya mencelos. Bukan karena tidak diajak, tapi karena ia sadar—dirinya memang tak dianggap. Bahkan untuk acara ulang tahun Lusi, keluarga itu rela bersolek. Sementara dirinya? Dibiarkan di rumah, seperti bayangan yang tak penting.
Setelah kepergian keluarga mertuanya, Anjani duduk sendirian di ruang tamu. Rumah itu terasa hampa. Sunyi. Sesunyi hatinya yang perlahan retak. Jam di dinding berdetak pelan, seolah mengolok-ngolok waktu yang bergerak lambat. Ia melirik ponselnya. Tak ada pesan. Tak ada kabar dari Riki.
Malam mulai turun perlahan. Udara makin dingin, dan kesepian mulai merambat ke tulang. Ia menggigit bibirnya. Ingatan tentang ucapan ibu mertuanya siang tadi kembali menggema di kepalanya.
"Yah, tapi sampai kapan kamu jadi beban suami? Kalau kamu ibu rumah tangga terus, lama-lama bosan juga dilihat orang."
Anjani menghela napas panjang. Ia membuka aplikasi m-banking. Sebuah notifikasi baru muncul—uang masuk sebesar lima puluh juta rupiah. Ia mengecek saldonya: Rp1.350.000.000.
Ia menatap layar ponselnya lekat-lekat.
“Haruskah aku tunjukkan semua ini? Supaya mereka tahu, aku bukan beban…” bisiknya lirih.
Namun hatinya ragu. Ia terdiam lama. Tapi tekadnya mulai tumbuh.
“Baiklah. Besok aku akan bongkar siapa aku sebenarnya. Biar mereka berhenti merendahkan. Aku punya tanah, aku punya 300 pintu kontrakan. Cukup!” desisnya pelan namun pasti.
Lalu ia membuka WhatsApp. Matanya terbelalak. Di status Nina, tampak foto Riki dan Lusi duduk berdekatan, tertawa. Di foto berikutnya, Lusi menyuapi Riki dengan mesra. Anjani membeku.
Air matanya menetes tanpa bisa dibendung.
“Jadi ini alasannya…” bisiknya, getir.
Ia menatap layar itu lama. Lalu melihat status WA Nani: “Selamat ulang tahun calon kakak ipar.”
Tangannya hampir mengetik balasan. Tapi ia urungkan.
“Buat apa?” gumamnya pelan. “Kalau mereka tidak bisa menghargai aku, aku juga tidak akan memaksa diriku tetap tinggal.”
Memilih Riki bukan keputusan mudah bagi Anjani. Itu adalah sebuah pengorbanan besar—bukan hanya hati, tapi juga harga diri. Ia masih ingat betul bagaimana ia harus berdebat sengit dengan Reno dan Rini, kakak-kakaknya yang begitu menyayanginya. Mereka menolak keras saat tahu Anjani ingin menikah dengan Riki.
“Dia dari keluarga yang suka merendahkan orang lain, Jan. Kamu pantas dapat yang lebih baik,” tegas Rini saat itu.
Tapi Anjani bersikeras. Ia percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya. Ia percaya Riki bukan seperti keluarganya. Ia melihat sisi dewasa dalam diri Riki yang tak ia temukan pada lelaki lain.
Pikirannya melayang. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya saat mengingat Rizki—teman Reno—yang pernah menyatakan cinta padanya di pematang sawah. Saat itu para buruh tani sedang panen, dan Rizki berdiri kikuk dengan setangkai bunga liar di tangan.
Anjani terkekeh sendiri. “Norak banget,” gumamnya.
Tapi kenangan itu hangat. Tulus. Rizki memang pecicilan, terlalu riang dan sering bercanda. Beda dengan Riki yang kalem, pendiam, dan terlihat bertanggung jawab... setidaknya dulu.
“Astagfirullah…” Anjani tersentak, buru-buru mengusap wajahnya. Kenapa ia jadi membayangkan lelaki lain? Ia masih istri Riki. Meski disakiti, dilecehkan, ia masih terikat janji. Tapi luka ini… sudah terlalu dalam untuk terus disangkal.
Ponsel Anjani tiba-tiba berdering. Nama Reno, kakaknya, tertera di layar. Ia segera mengangkat.
“Halo, Bang,” sapanya pelan.
“Apa kabar adikku sayang?” suara Reno terdengar hangat, seperti biasa.
“Baik, Bang,” jawab Anjani mencoba terdengar ceria.
“Kenapa, kayaknya kamu sedang bersedih? Apa karena transferan dari Abang kurang? Sekarang hasil panen lagi berkurang, nih,” jelas Reno.
“Enggak kok, Bang,” ucap Anjani cepat.
“Jangan bohong, kamu. Apa Riki menyakitimu?” suara Reno berubah serius.
“Enggak, Bang. Suamiku baik, kok,” jawab Anjani lirih. Ia ingin sekali membuka luka di hatinya, tapi memilih bertahan. Bukan malam ini.
“Ya sudah, kalau kamu baik-baik saja. Sudah malam, cepet tidur ya,” ucap Reno lembut.
“Iya, Bang,” balas Anjani. Suaranya nyaris pecah.
Air mata menetes diam-diam. Kakaknya tak pernah berubah—selalu menjaga, selalu menyayanginya, meski jarak memisahkan mereka.
Anjani terus menatap jam dinding. Jarum panjang dan pendek menari pelan menuju angka sepuluh. Rumah masih sepi. Riki dan keluarganya belum juga pulang. Hatinya mulai resah, tapi ia tetap menunggu.
Tepat pukul sebelas malam, suara gerbang terbuka, disusul deru mobil yang tak asing lagi. Mobil itu—mobil yang DP-nya diam-diam Anjani bantu. Riki hanya setor lima juta, katanya promo dealer. Mana ada promo seperti itu? Sisanya, tiga puluh juta, Anjani tambahkan dari tabungannya sendiri. Tapi mobil itu malah dipakai untuk menghadiri pesta ulang tahun Lusi, wanita yang kini mengisi status WhatsApp dengan foto-foto mesra bersama suaminya.
Anjani membuka pintu.
"Belum tidur kamu?" tanya Riki singkat.
"Belum, Bang. Nunggu abang pulang kerja," jawab Anjani, mencoba tetap hangat.
"Pestanya mewah banget ya," komentar Nina sambil melepas sepatu.
"Mewah dong, orang kaya begitu," sahut Mirna, matanya berbinar.
"Mudah-mudahan jadi, ya," celetuk Nani dengan senyum menyebalkan.
Riki melirik tajam ke arah adik-adiknya.
"Sudah malam. Sebaiknya kalian tidur," tegur Adi.
Anjani meraih tas Riki dan menatanya dengan rapi. Ia juga merapikan sepatunya, lalu menggantung jas suaminya. Namun saat itu juga, aroma parfum perempuan menyengat hidungnya. Wangi yang sama dengan yang dipakai Lusi di foto.
Dadanya sesak. Tapi ia tahan.
"Bang, mau makan dulu atau mandi?" tanyanya lembut.
"Aku sudah makan. Mau langsung istirahat," jawab Riki dingin.
Anjani menghela napas panjang.
"Bang... emang abang nggak inget ini hari apa?" tanyanya pelan.
"Hari Rabu. Kenapa sih kamu nanya hal-hal nggak penting kayak gitu? Sudahlah, aku mau tidur!" sahut Riki ketus.
Anjani terdiam. Bibirnya bergetar.
“Bang, kamu rayakan ulang tahun wanita lain… dan melupakan ulang tahunku sendiri. Kamu tega, Bang,” ucap Anjani dalam hati, menahan isak yang nyaris pecah.
Anjani tak bisa memejamkan mata. Malam makin larut, tapi hatinya semakin gaduh. Ia bangkit dari ranjang, mencoba mencari kesibukan. Tangannya mulai memilah-milah pakaian kotor yang akan dicuci esok hari. Satu per satu ia sortir, sambil bergumam pelan.
Besok akan jadi hari yang panjang. Pekerjaan rumah tak pernah ada habisnya—menyapu, mencuci, memasak, merapikan semuanya. Tapi tak pernah ada yang melihat itu sebagai kerja. Karena tak menghasilkan uang, pekerjaan ibu rumah tangga seperti dirinya dianggap remeh. Itulah nasib sebagian perempuan yang memilih mengabdi di rumah.
Saat merogoh kantong celana Riki, tangannya menemukan selembar struk belanja dari sebuah butik ternama. Matanya langsung membulat.
“Dua juta rupiah? Gila... ini baju siapa? Apa mungkin kado ulang tahun buat aku?” Anjani memaksa dirinya berpikir positif. “Kalau iya, aku akan sangat berterima kasih. Tapi kalau itu buat Lusi… awas saja kamu, Bang,” ucapnya dalam hati.
Ia menggenggam struk itu erat, lalu kembali ke kamar. Riki tampak sudah tertidur pulas. Tapi satu hal membuat Anjani mengernyit—ponsel Riki yang biasanya tergeletak di nakas, kini tersembunyi di bawah bantal.
“Ini… benar-benar ciri orang yang sedang selingkuh,” pikirnya. “Di HP-ku ada uang miliaran, aku santai saja. Sedangkan kamu, paling isinya sepuluh juta, tapi disimpan seperti menyembunyikan emas. Kamu bukan takut hartamu hilang, tapi takut rahasiamu terbongkar.”
Anjani menatap bayangannya di cermin. Ia menyentuh pipinya, menyapu rambutnya pelan.
“Apakah aku sudah tidak cantik lagi, Bang? Aku ini dulu kembang desa, loh. Banyak pemuda kaya antre melamarku. Tapi aku memilih kamu, karena aku pikir kamu tulus…”
Ia menahan napas. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku selalu berusaha jadi istri yang terbaik. Tapi kenapa sekarang aku mencium bau-bau pengkhianatan ini?”
Anjani menarik napas panjang, menepuk pipinya sendiri pelan, lalu mencoba tidur, meski matanya masih basah. Malam itu terasa sangat panjang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!