NovelToon NovelToon

Senandung Sang Bunga

Prolog

"One ... two ... three ..., one ... two ... three ... four ...."

Berbarengan dengan hitungan berritme itu, aku mencoba menyelaraskan gerakan sebisaku.

Kedua tangan setengah terangkat. Saat"one" terlontar, mulai kugerakkan kedua tangan ke kiri dan ke kanan. Agak terlambat.

Seharusnya tepat di "three" tanganku sudah bergerak maju mundur. "One" telah berlalu, tapi tanganku baru akan bergerak ke kanan.

"STOP!"

Pekikan menggelegar. Menggema hingga ke ujung ruangan. Memancing setiap pasang mata untuk memandang.

Aduh! Kena lagi deh.

"Gimana sih kalian!? Ini sudah pengulangan yang ke berapa, HAH?". Sergah wanita yang dari tadi berdiri berkacak pinggang memelototi kami bertiga.

Nadanya penuh greget. Disusul dengan bunyi decak yang nyaring.

"Saya ...."

Kalimatku tenggelam, aku ingin membuat alasan, tapi urung. Bagaimanapun juga, alasanku hanya akan menambah porsi semprotan yang kuterima.

Kami bertiga menatap lantai. Mengkerut lesu. Tak bernyali membalas tatap wanita superior yang baru saja kukenal itu. Ia menepuk jidat. Menghembuskan nafas ekstra.

"Kalian niat enggak sih?" Wanita yang dipanggil Indri itu mendecak untuk kesekian kalinya. "Udahlah, capek gue! Sisanya kalian usaha sendiri deh."

"Baik, Kak."

Tanpa mengucap apa-apa lagi, kak Indri berpaling dari kami. Berwajah bak buah yang belum masak.

Kami tak merubah posisi. Melirik perlahan. Melihat punggung basah penuh keringat itu meninggalkan ruangan, kami serempak terduduk lunglai.

Perasaan lelah bercampur aduk dengan kesal menggelayuti. Aku merasa sudah berusaha penuh.

Ternyata menari tak semudah yang kubayangkan.

Awalnya kuanggap menari hanya menggerak-gerakan tubuh sesuai irama, rupanya tidaklah sesimpel itu. Terlebih jika dilakukan oleh sekumpulan individu.

"Nice try, guys." Hibur gadis yang tetiba mendekat. Menyodorkan beberapa handuk kecil. Tersenyum lembut.

"Dibawa santai aja, toh baru hari pertama." Lanjutnya.

Aku sependapat dengannya. Dalam benakku selalu tergaung "hari pertama, jadi wajar".

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku berkenalan dengan yang namanya koreografi.

Sebagai percobaan perdana, terlalu banyak salah di sana sini, membuat siapapun yang melihat, merasa gregetan. Bahkan aku sendiri pun tak kalah gregetnya.

Sepanjang hidupku, hingga aku kelas sebelas SMA, belum pernah belajar hal apapun yang berkaitan dengan koreografi.

Ternyata berbeda dengan main voli, untuk gerakan kecil saja, seharian pun belum sanggup kutaklukkan.

Untungnya aku tak sendirian. Ada dua orang yang senasib denganku. Satunya sudah kukenal sejak audisi, Octavia Viola.

Gadis berperawakan tinggi berkulit kuning langsat. Tentunya sangat menawan. Membuat aku—yang notabenenya sesama gadis— minder bukan main. Aku yakin ia calon artis yang menjanjikan. Kupanggil ia Viola.

Satunya lagi baru kenal hari ini. Malah belum sempat kenalan, tapi aku tahu namanya. Karena namanya sangat memorable.

Julianna Fortune Gwendoline. Nama ke-Inggris-Inggris-an yang tak lazim didengar telinga dan sulit untuk diucapkan. Terlebih bagiku, yang aksen Inggrisnya melokal.

Kuperhatikan wajahnya yang manis itu, justru membuat kepalaku dijejali rasa penasaran.

Entah mengapa, nama dan wajah si pemilik nama berseberangan. Nama ke-Inggris-Inggris-an, Wajah ke-Asia timur-an. Pemandangan yang langka.

Kuusap keringat yang membanjiri tubuh. Rasanya lepek seperti sehabis berenang dalam lautan keringat. Dari atas hingga bawah. Memberatkan handuk dalam sekejap.

"Terima kasih, Kak." Ucapku menyusul.

"Semangat Guys, ini belum apa-apa." Ucap seseorang setengah berteriak.

Entah mengapa, kalimat barusan tak terdengar seperti kalimat penghibur.

Tak cukup sampai di situ. Selain tubuhku yang teramat sangat lelah, pikiranku pun tak kalah lelahnya.

Otakku akhir-akhir ini rutin disusupi sebuah istilah, "Idol" dengan pelafalan "Aidol". Istilah itu sudah umum digunakan kepada pelaku dunia hiburan seperti kami.

Berkat hari ini aku tahu satu hal penting.

Menjadi idol ternyata tidaklah mudah.

Apa aku bisa menjadi idol?

Tidak. Tidak boleh begitu! Aku harus bisa menjadi idol apapun yang terjadi.

Demi orang itu, aku harus melakukannya.

Bab 1

Suara bel istirahat mulai memekakkan telinga. Berkumandang tiga kali ditutup dengan bunyi yang panjang.

Membuyarkan lamunanku setelah putus asa paska bergulat dengan angka. Sekaligus memotong penjelasan guru yang sedang di pertengahan jalan.

Tersungging jelas, senyum pada raut teman-temanku. Di antaranya bahkan bergumam "yes".

Bunyi bel barusan bagai penyelamat kami dari lautan rumus dan angka yang telah mengombang-ambingkan kami selama dua jam penuh.

Pak guru terlihat bingung. Disudahi, nanggung. Dilanjutkan tak akan ada yang mengindahkan. Dilema memang. Kali ini, pak guru dipaksa menyerah oleh suara barusan.

"Baik, bapak akan lanjutkan lain kali."

Tak perlu repot-repot, Pak. Tidak dilanjutkan juga tidak masalah.

Aku yakin, satu kelas juga mengharapkan hal yang sama. Pak guru pun keluar bersama tumpukan buku bawaannya.

Ratna, teman sebangkuku menggeliat. Citra mengucap "yes" paling keras. Terukir jelas dalam wajahnya rasa syukur yang tidak perlu.

Untung posisi duduk kami lumayan jauh dari meja guru. Terdengar pun pasti tersamarkan oleh bunyi bel tadi.

Kusimpan seluruh buku yang ada di atas meja ke dalam kolong. Seperti biasa, sebelum berangkat menuju kantin, kami rapat untuk menentukan tujuan dan apa yang hendak kami beli.

Sepakat beli bakso, kami berempat bergegas ke sana agar tak terjebak antrean yang panjang.

Meski rapat kami tergolong sangat amat singkat, keadaan kantin telah memadat. Antrean pun dalam sekejap memanjang. Kami segera andil memperpanjang antrean itu.

Aku pun menyambar posisi pertama di antara keempat temanku lantaran perutku yang telah kepalang menjerit.

Mendadak terasa tuilan pada pundakku.

"Itu tuh, ada si itu!" bisik Citra dari belakang.

Aku tahu siapa yang dimaksud. Siapa lagi kalau bukan Farrel Iskandar. Orang yang aku—atau bisa dibilang kami sukai atau bahkan mayoritas gadis di sekolah—. Otomatis kepalaku menoleh. Ingin juga melihat sosok itu.

Ganteng banget, sumpah!

Aku yang telah beberapa bulan di SMA, tak pernah absen memandangnya, tak merasa bosan dengan wajah itu, bola mata hitam kecokelatan itu, rambut undercut itu, hidung semi-mancung itu. Selalu berhasil mengusir kalut yang menumpuk seharian.

Jelas saja, laki-laki itu memang bak "pangeran" di sekolah ini. Farrel Iskandar. Anak dari seorang musisi terkenal, Harun Iskandar. Memiliki bakat yang luar biasa dalam musik.

Aku dengar-dengar, dia berhasil juara dalam kejuaraan piano. Terlepas dari bakatnya, orangnya pun tampan, ramah dan baik hati.

Bahkan, kalau boleh jujur, dialah sumber semangatku untuk datang ke sekolah. Hanya dia alasan bersyukurku karena sudah bersekolah di tempat ini.

Farrel dan gengnya ikut memperpanjang antrean. Sama sepertiku, ia menjadi yang terdepan di antara teman-temannya. Aku jadi menyesal karena telah mendahului teman-temanku tadi.

Coba aku di belakang seperti biasanya, sudah tentu bisa kupandangi wajah tampan itu dari jarak yang lebih dekat lagi.

Belum berhenti terkesima, tiba-tiba terlintas dalam kepalaku suatu ide cemerlang.

Tubuhku berbalik, berjalan dua langkah besar. Memperkecil jarak dengannya tanpa henti menatap. Karena ia lebih tinggi dariku, ketika mendekat, kepalaku menjadi sedikit mendongak.

Tanpa pikir-pikir lagi, Mulutku melontarkan, "Mau duluan?" Begitu saja.

Mendengarnya, Farrel kontan membalas pandang.

"Oke," sahutnya singkat.

Untuk sepersekian detik, matanya beradu pandang dengan mataku. Baru kali ini aku melihat pangeran sekolah ini dari jarak sedekat ini.

Membuatku yang hanya rakyat jelata merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia.

Bener deh. Gantengnya kelewatan!

Farrel mengambil beberapa langkah ke depan. Melewatiku begitu saja.

Namun, diluar dugaan, Farrel tak sendirian. Orang-orang di belakang Farrel beringsut maju. Bagai raja yang diikuti para punggawanya. Padahal tawaranku tadi hanya untuk Farrel seorang.

Teman-temanku yang melihat sontak jengkel. Terutama Citra yang alisnya paling berkerut, menyikut lenganku.

"Lu sih! Ngapain coba!?" Bisiknya kesal.

Aku bingung mau menjawab seperti apa. Hanya bisa mempertemukan kedua telapak tangan layaknya orang yang ingin sungkem. Sejurus kemudian, aku baru sadar kalau perutku kian kencang pekikannya.

Ide cemerlangku berhasil menghancurkan mood teman-teman dan cacing-cacing dalam lambungku. Jika diibaratkan, seperti demo yang berujung kisruh. Belum lagi terik yang mulai kentara. Belaian mentari sudah mulai kasar.

Bahkan, ucapan terima kasih pun tak mendarat.

...----------------...

Aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Teman segengku murka, seharian ini aku diabaikan. Tapi, tak ada rasa bersalah yang menghantui. Ucapan terima kasih pun sudah tidak kupikirkan.

Malah aku merasa bersyukur dari lubuk hatiku karena melakukannya dan mungkin akan merasa menyesal jika tidak melakukannya.

Wajar kah aku begini?

Kalau kuputar ulang lagi memoriku. Semua ini berawal pada hari di mana aku pulang kesorean.

Kala itu, aku yang keasyikan ngobrol setelah ekskul. Tak merasakan waktu yang berlalu begitu cepat. Aku baru tersadar melihat jam yang menunjukkan pukul 5.

Jam segitu, jam krusial di mana angkot sudah jarang untuk ditemukan. Naik ojek lalu bayar di rumah pun takut dimarahi.

Karena itu, aku berjalan di trotoar menuju ke arah pulang sembari menanti angkot yang lewat. Agar bisa memperkecil jarak pulang.

Kulangkahkan kaki dengan santai. Atau tepatnya tidak berusaha terburu-buru lantaran tenagaku yang telah terkikis seharian. Kakiku seperti mati rasa. Melangkah tapi seperti sedang melayang.

Kupandangi trotoar yang pudar warnanya. Hampir di setiap sudutnya terdapat penjual minuman. Minuman dingin yang berbaris  dari balik kaca seakan menggodaku untuk merelakan sisa uang yang ada dalam kocek.

Merayuku dengan berbagai warna dan rasa yang bisa mengobati dahaga. Tenggorokanku pun setuju.

Maaf ya, tenggorokan! Aku hanya bisa memberimu air liur.

Aku buang muka. Tapi entah mengapa pandanganku menangkap sesosok manusia yang sedap dipandang. Di sebuah bangku yang ada di depan jalan yang akan kulewati.

Dari kejauhan, aku tahu itu Farrel. Duduk dengan cool-nya. Pemandangan itu berhasil menguapkan dahaga dan lelah untuk sesaat.

Langkah tak kukurangi. Lewat di depannya, Aku sontak tersenyum meski wajah penuh keringat dan bibir telah mengering.

Aku yakin, senyumku adalah senyum yang mengerikan. Jika ada anak bayi melihatnya, ia akan menangis semalaman. Tak bisa tidur karena bermimpi buruk.

Meski begitu, aku berharap ia memahami keramahanku. Aku sadar kalau Farrel menatapku. Namun, aku segera melengos.

Aku paham ia adalah orang yang hidup di dunia yang berbeda denganku jadi tidak perlu berharap lebih.

Langkah telah berlalu beberapa, mendadak terdengar suara serak nan dalam yang merasuk ke telingaku.

"Woy, lu anak sekolah gue 'kan? Ambil nih!"

Apa ia memanggilku?

Aku yang belum habis terkejut, berbalik badan. Reflek tanganku menangkap botol yang tiba-tiba melayang ke arahku. Suhunya tak sedingin baru keluar dari lemari es, tapi masih bisa menyejukkan telapak tanganku.

Kutatap Farrel. Ia sudah menatap ke arah lain. Seakan bukan dia pelakunya. Tapi, karena tak ada orang lain lagi di sekitar, sudah jelas dialah sang malaikat yang menurunkan botol dengan separuh isi ini.

Setengah botol ini sudah lebih dari cukup untuk menghapus dahagaku.

Apa mungkin dia malaikat beneran? Kok dia bisa tahu kalau aku kehausan?

"Makasih ya!" Pekikku riang.

Farrel berlalu seakan tak mendengar ucapanku barusan. Tapi, bukan masalah.

Segera kutenggak botol itu. Sodanya sudah terkikis namun masih terasa sedikit. Rasa segarnya langsung menusuk ulu hati.

Tak lama, angkot yang kutunggu menunjukkan sosoknya. Kuberi isyarat dengan sebelah tangan, seketika berhenti.

Bersamaan dengan angkot yang melaju, aku memandangnya dengan senyum merekah.

Bergumam, "terima kasih ya, malaikat."

Bab 2

Jam istirahat hampir berlalu. Di sisa-sisa penghabisannya, aku telah berada di tempat duduk.

Tadinya sendiri, sebelum seorang lelaki duduk pada kursi kosong di hadapanku.

Ia memandangku intens. Alisku justru turun.

"Gue denger lu suka sama Farrel?" Celetuknya tanpa basa-basi.

Lelaki itu, Guntur Setiawan, temanku sejak lama.

Persis seperti namanya, sikapnya pun bagai guntur yang menyambar di siang bolong.

Tapi, aku tak terlalu kaget karena sudah lumrah dengan sikapnya yang suka ceplas-ceplos itu.

"Eh apaan dah? Dateng-dateng ngomong begitu."

"Gue denger dari temen-temen lu, kalo lu bucin banget sama dia."

"Kalo iya, mau ngapain? Toh mustahil cewek kaya gue bisa dapetin cowok kaya dia."

"Nah, lu salah tuh."

"Maksud lu?"

"Emang lu udah coba nembak dia?"

"Enggak. Dan enggak mungkin diterima juga."

"Ya udah, kemungkinannya enggak nol."

"Ya ... tetep aja, apalagi cewek nembak cowok itu aneh tau!"

"Kata siapa? Zaman udah berubah, Ran. Sekarang mau cewek mau cowok sama aja. Tinggal inisiatifnya aja. Malahan kalau sekarang, cowok itu malah seneng kalo cewek nembak dia duluan."

"Iya itu bagi jones, Bagi dia, yang hidupnya dikelilingi cewek, Jelas enggak mungkin."

"Sekarang gini deh ...," Guntur memperbaiki posisi duduknya, melipat tangannya di atas meja, menatapku lebih intens, "memangnya ada kabar kalo cowok itu jadian? Enggak pernah ada 'kan?"

"Iya juga sih."

"Menurut lu kenapa?"

Aku terdiam mencubit dagu. Memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi.

"Antara dia yang emang enggak mau atau tipe cewek yang dia suka belum ketemu," Terkaku.

"Nah itulah maksud gue!" Seru guntur sambil menjentikkan jari. "Bisa aja dia belum nemu cewek idamannya." Lanjutnya.

"Gue tanya balik nih! Emang gue bisa termasuk kategori itu? Enggak mungkinlah!"

"Jangan menilai rendah diri lu, Kirana! Lu itu cantik, tinggi, walaupun kulit lu gelap tapi manis. Cuma lu aja yang kurang peduli sama diri lu."

"Apa sih? Jangan ngada-ngada deh."

Mana mungkin aku cantik? Kulitku cokelat seperti brownies begini. Kalau bohong yang masuk akal dong!

"Serius gue."

Tatapan Guntur menajam. Seakan dia yakin betul dengan ucapannya.

"Menurut lu, kalo gue tembak dia, dia bakal terima?"

"Enggak ada yang mustahil, Ran. Buktinya banyak kok cowok yang suka sama cewek rambut pendek."

"Tapi 'kan gue—"

"Eh Kirana," pangkasnya,  "kalo lu belum coba, lu enggak akan tau, lagian mending coba terus gagal, daripada lu nyesel di kemudian hari."

Kalimat barusan ada benarnya. Tapi tetap saja aku merasa kalau Farrel yang menerimaku adalah sebuah keajaiban.

Sementara keajaiban itu hal yang mustahil ada. Keajaiban hanya ada dalam negeri dongeng. Tidak ada keajaiban dalam realita. Begitulah menurutku.

"Enggak deh, Tur. Dalam bayangan gue, jadian sama dia aja udah enggak mungkin."

Akhir kalimatku disambung dengan bel pertanda masuk.

Guntur pun terdiam seribu bahasa. Tanpa mengucap apapun lagi, ia kembali ke tempat duduknya.

...----------------...

Aku duduk bertelakan tangan. Sebelah tangan menggaruk kening dengan pulpen.

Di depan mata PR yang menghantui malamku. Namun, kepalaku dipenuhi Kata-kata Guntur. Fokusku telah sirna.

Siapa sih yang tidak mau jadian dengan Farrel?

Apa benar yang dikatakan Guntur?

Apakah aku akan menyesal jika tidak melakukannya?

Memang tidak ada salahnya mencoba. Jika kupikir, rasanya mirip seperti bertaruh. Melakukan suatu hal yang tidak pasti. Mengandalkan yang namanya keberuntungan, tapi, siapa yang tahu kalau aku gadis beruntung itu?

Meski kemungkinannya sangat amat kecil, aku tidak ingin menafikan kalau kemungkinan itu ada.

Di sisi lain, Aku tidak mau menyesal. Benar kata Guntur. Lebih baik aku mencoba lalu gagal, ketimbang menyesal di kemudian hari karena tidak melakukannya.

Mungkin akan terjadi hal baik jika aku melakukannya?

Seperti sebuah tulisan yang kubeli di pasar malam, yang kutempel di kaca lemari. Tempelan yang selalu tak sengaja terbaca ketika membuka atau menutup lemari.

Just try it.

Yang anehnya, baru kutahu artinya dari SMP, padahal aku sudah punya stiker itu jauh sebelumnya.

Lakukan saja!

Bagai mantra yang menggema di telingaku. Membentuk sebuah keyakinan. Mengencangkan otot-ototku. "Ya! Aku akan melakukannya!" Balasku entah pada siapa.

Masalah berikutnya, bagaimana cara menembak laki-laki? Seumur hidup, aku baru kepikiran soal ini.

Aku yang sehari-hari menonton acara gosip bersama ibuku. Latih tanding ketika weekend. Mana paham soal beginian. Aku butuh refrensi valid.

Kubuka layar terkunci. Kunyalakan data seluler. Si maha tahu google pasti tahu jalan keluarnya.

Kuketik, "cara menembak pria". Rentetan sabda telah tertera. Kuklik salah satu tanpa kubaca terlebih dahulu.

Kulewati pembukaan yang panjang. Mencari inti dari artikel tersebut.

Di dalamnya tertulis, pertama, membuat pengakuan secara kreatif. Contohnya dengan surat.

Cara umum namun efektif. Mungkin aku bisa buat surat cinta ala anak zaman now? Tapi, jujur saja, ponten sastraku pas-pasan. Tidak merah saja sudah untung. Next deh.

Kedua, minta bantuan orang lain untuk menjembatani perasaanmu.

Kurasa tidak mungkin. Aku tidak punya sekutu dalam hal ini. Yang ada malah saingan yang kehadirannya ada di mana-mana. Jadi, cara ini mustahil untuk dilakukan.

Ketiga, ajak dia pergi.

Sebentar! Cuma itu? Ajak pergi saja tidak akan menyelesaikan masalahku.

Di sini, aku mulai meragukan kemaha tahuan google.

Keempat, bicarakan perasaanmu dengan perantara hadiah.

Ide ini cukup menarik. Tapi butuh modal lebih. Nampaknya, anak sekolahan biasa sepertiku belum bisa melakukan ide ini.

Kelima sekaligus terakhir, ide tersingkat dan terpadat, bicara langsung.

Ide paling masuk akal sekaligus paling mendasar. Oh, ayolah! Kalo begini, buat apa kucari di google segala?

Kuhempas hp ke tempat tidur. Kuputuskan tidak mencari lagi.

Bicara langsung. Hanya itu cara yang bisa kulakukan.

...----------------...

Sejak malam, tidurku tak nyenyak. Kepalaku pusing berkeliling-keliling. Serasa mengalami overheat.

Memikirkan bagaimana caranya. Meski aku sudah memutuskan bilang untuk bertemu sepulang sekolah. Rasanya masih ada yang mengganjal.

Apa mungkin ini pertanda buruk?

Kutepis rasa itu sepanjang hari. Saat Bel istirahat terdengar. Seakan waktu eksekusi telah tiba.

Mendadak napasku memberat. Seolah paru-paruku mulai membeku.

Di waktu bersamaan, tubuhku bergetar. Ada rasa yang melua-luap. Dari ujung kaki hingga kepala. Bukan. Bukan rasa malu atau gugup. Malah aku semakin "tertarik" untuk melakukannya.

Perasaan apa ini?

Dengan tekad 360 derajat, aku melangkah ke kantin. Sengaja aku datang belakangan agar mudah menemukan Farrel di tengah lautan manusia yang kelaparan.

Aku yakin sosoknya selalu mencolok. Sosok itu... aku yakin akan selalu menemukannya di mana pun ia berada.

Tanpa sadar, aku telah berdiri di hadapan sekumpulan lelaki yang sedang menikmati hidangan mereka. Mereka nampaknya tak menyadari kehadiranku yang memang sengaja setengah mengendap.

"Farrel ..." Panggilku lirih namun sebisa mungkin di dengar olehnya.

Ia nampak tak terkejut. Menoleh sebentar. menurunkan suapan kembali.

"Ada hal penting yang mau gue bilang sama lu, bisa kita ketemu di dekat gudang pulang sekolah nanti?"

Alisnya terangkat, "kalo emang penting, ngomong aja di sini." nadanya terdengar tak tertarik.

Eh di sini!? Yang bener aja! Apalagi di depan orang banyak begini, Malu banget gue!

Sebentar, sebentar ...

Jika kutembak di saat seperti ini, bukannya akan berimbas bagus? Tentu saja lebih berkesan, bukan?

Seperti, "wah nih cewek sampe segitunya suka sama gue, bahkan di tempat rame begini dia nekat, wah ini nih cewek yang gue cari!"

Begitu 'kan?

Benar Kirana! Gas aja!

Aku mengambil nafas panjang. Mengumpulkan butiran keberanian dalam udara. Menghembuskannya perlahan. Dadaku berdegup amat kencang. Serasa mau meledak.

Kutatap Farrel sekali lagi. Ia menatap ke arah lain. Memandang jauh entah kemana.

Di titik ini, entah mengapa, aku dijejali berbagai rasa ragu.

Ragu untuk melakukan. Ragu untuk diterima. Bahkan slogan "Just try it" serasa tak relevan. Ditelan oleh keraguan yang menerpa.

Di tengah terpaan itu, aku yakin akan satu hal. Jika memang aku harus ditolak, aku yakin tidak akan ada alasan untuk membuatku menyesal.

Benar! Tujuanku hanya ada satu.

Cukup lama aku berdiri, membuat beberapa orang mulai menyadari. Beberapa pasang mata mulai menatapku sinis. Ada juga yang keheranan. Mataku tetap pada lintasan. Menatap semakin intens wajah sampingnya.

"Gue suka sama lu, mau enggak lu jadian sama gue?"

Kata-kataku meluncur tanpa jeda. Lebih cepat daripada berbicara biasa. Beberapa orang di sekitar Farrel menoleh ke arahku. Memandang heran. Sebagian tersenyum mengejek.

Farrel menghela nafas, "lu punya kaca enggak?"

Aku sontak terkejut. Jantungku seakan berhenti mendadak.

Telingaku meyakinkanku kalau Farrel-lah yang mengucapkan kata-kata barusan, tapi otakku menyangkalnya. Mendadak dadaku serasa kehilangan oksigennya.

Farrel mengangkat tubuhnya Menatap mataku lekat-lekat. Membuatku dapat berkaca pada kedua bola matanya.

Tinggi tubuhnya lebih tinggi dariku, membuatnya sedikit menunduk. Orang-orang yang melihat bintang sekolah ini beranjak, sontak menyita perhatian seisi kantin.

"Lu tau? Kemaren Kak Della nembak gue. Lu kenal 'kan sama dia?" Ucapnya dengan nada yang meninggi.

Kujawab dengan anggukkan pelan.

"Orang semacam dia aja enggak gue terima, apalagi lu yang burik begini?" ucapnya tanpa ragu, "cantik aja enggak cukup buat gue, paham?"

Pandanganku langsung ke bawah. Tak sanggup lagi menatap mata bundar itu lagi.

Apa sih yang gue lakuin?

Tanpa berkata apapun, aku dengan cepat beranjak. Aku sudah tidak peduli lagi dengan tatapan yang tertancap padaku. Tidak peduli dengan gema suara samar.

Yang kupedulikan hanyalah cara menahan air mata yang memang seharusnya tidak perlu jatuh ini.

"Ini buat kalian semua juga. Please, jangan ganggu hidup gue lagi!"

Aku mendengar Farrel berucap lagi, namun suaranya samar tak sampai telingaku. Kaki membawaku ke kelas. Membawa serta kalut yang bercampur dengan kesal.

Tak hanya itu, Kesedihan pun ikut menjalar. Bercampur aduk. Menjadi perasaan yang buram.

Kalau tahu begini, lebih baik aku tidak melakukannya. Lebih baik aku mengubur perasaan ini hidup-hidup. Berharap mati dilahap oleh waktu.

Aku ... menyesal.

Cinta pertamaku ... Farrel ... adalah bajingan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!