NovelToon NovelToon

Pelabuhan Terakhir Sang Sekertaris

Bab 1

Shanaya memandangi dua benda di atas mejanya. Sebuah kartu lusuh berwarna putih gading, kartu janji yang dulu diberikan Reno tepat di malam pernikahan mereka. Dan satu lagi, dokumen perceraian yang baru saja ia cetak pagi ini, masih hangat dari printer, kertasnya bahkan belum sepenuhnya lurus.

Pelan, jemarinya menyentuh kartu itu. Tinta di permukaannya mulai pudar, tapi ia masih bisa mengingat satu kalimat singkat yang diucapkan Reno bertahun-tahun lalu “Aku janji, akan selalu memperbaiki semuanya.” Kalimat yang dulu membuat dadanya hangat, kini terasa hampa.

Dulu, Reno memberinya satu kotak kecil berisi seratus kartu serupa. Katanya, setiap kali mereka bertengkar, Shanaya boleh menyerahkan satu kartu. Itu sinyal baginya untuk berhenti marah, untuk kembali mengingat cinta mereka.

“Ini seratus kesempatan, Shanaya. Aku janji, aku nggak akan menyia-nyiakannya,” kata Reno waktu itu. Tangannya gemetar, suaranya berat, tapi matanya sungguh-sungguh.

Seratus kesempatan untuk bertahan.

Tapi waktu menguji segalanya. Janji manis tak lagi cukup. Satu per satu kartu itu terkikis oleh luka, oleh amarah yang tak pernah benar-benar reda. Dan kini, hanya tersisa tujuh.

Shanaya menggenggamnya erat. “Tinggal tujuh,” bisiknya, suaranya pelan tapi tajam. “Cepatlah habiskan, supaya aku bisa benar-benar pergi.”

Tak ada air mata. Ia sudah terlalu sering menangis. Bahkan rasanya, matanya lupa bagaimana caranya menangis. Luka itu masih ada, tapi ia memilih untuk tak lagi tenggelam. Ia memilih bangkit. Walau tertatih.

Ia berdiri dari kursinya. Kursi yang sudah tujuh tahun ini menjadi bagian dari hidupnya, kursi kepala sekretaris Reno Alhadi. Sebuah jabatan yang di luar terdengar bergengsi, tapi baginya? Hanya topeng. Simbol pengorbanan yang dibungkus rapi oleh formalitas.

Ia bukan istri yang akui di depan publik. Ia hanya “sekretaris 24 jam.” Kalimat ejekan yang dulu menyakitkan dan hanya bisa ditelan bulat-bulat.

Tapi hari ini, semua itu tak lagi penting. Hari ini bukan tentang jabatan. Bukan tentang harga diri yang diinjak. Hari ini tentang awal sekaligus akhir.

Dengan langkah mantap, Shanaya membawa map berisi dokumen menuju ruangan Reno. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia tetap tenang. Langkahnya tidak bergetar. Ini bukan lagi soal emosi. Ini keputusan.

Pintu terbuka. Dan di sana, tepat seperti yang ia duga, Reno duduk santai di sofa, dengan Malika Qorita bersandar manja di pangkuannya. Malika, sekretaris baru yang juga calon menantu pilihan ibu Reno. Wanita muda, ambisius, dan tak tahu malu.

Reno dan Malika menoleh bersamaan. Wajah mereka berubah kaku. Tapi Shanaya tak terganggu. Pemandangan seperti ini sudah jadi hal biasa.

Dulu ia mempermasalahkan kedekatan sang suami dan sekertaris itu, sayangnya, tidak menghasilkan apa-apa hanya ada kata 'cemburu' yang tersemat di kepala Shanaya.

“Maaf, Pak Reno. Ada dokumen yang perlu ditandatangani,” ucapnya datar. Tak ada tekanan, tak ada getaran.

Reno tampak panik. “Shanaya, ini bukan seperti yang kamu pikirkan.”

Malika cepat-cepat menimpali, suaranya dibuat manja, “Tadi aku jatuh… terus ya, nggak sengaja duduk di sini.”

Shanaya tersenyum tipis. “Tenang saja. Saya paham kok… soal beginian.” Lalu menoleh pada Reno. “Jadi, bisa ditandatangani sekarang?”

Malika melirik tajam. Biasanya Shanaya akan bereaksi. Cemburu. Nangis. Teriak. Tapi kali ini? Dingin. Tak tergoyahkan. Malika mulai gelisah.

“Pak Reno, kita ada rapat di hotel. Tandatangani saja dulu, Ayah dan Ibu juga menunggu,” ucap Malika, mencoba mengendalikan suasana.

Tapi Shanaya tak menggubris. Pandangannya hanya tertuju pada Reno. Bukan karena cinta. Tapi karena hari ini, ia harus membuat sejarah baru untuk awal kebebasannya.

“Ini dokumen apa?” tanya Reno curiga.

“Kerja sama dengan PT Glow Up. Kita sudah bahas dua minggu lalu,” jawab Shanaya cepat.

Ia tidak bohong. Tapi ia juga tak bilang bahwa terselip dua lembar dokumen penting, pengunduran diri dan perceraian.

Reno mengangguk. “Baiklah. Aku tandatangani.” Ia langsung mengambil pena dan menandatangani halaman demi halaman.

“Pak Reno, nggak mau periksa dulu?” Shanaya menahan napas.

“Enggak. Aku percaya. Aku buru-buru,” sahut Reno tanpa beban.

Malika mendengus. “Bu Shanaya sengaja ya? Ngulur waktu?”

Shanaya mengangkat bahu. “Nggak. Aku cuma nggak mau nanti ada yang menyesal.”

Saat Reno sibuk menandatangani, Malika mendekat. Bisikannya tajam, nyaris menusuk.

“Memangnya kenapa kalau kamu istrinya? Sekarang aku yang dia peluk tiap malam. Tadi malam, kami di hotel. Nggak ada klien.”

Dulu, Shanaya akan meledak. Tapi sekarang? Ia hanya menggenggam ujung blazernya erat. Ia menunggu.

Sambil tersenyum kecil, ia menjawab pelan, “Oh, kamu bangga jadi perempuan murah?”

Malika mendelik. “Apa maksud kamu?!”

“Jangan terlalu bangga kalau cuma dijadikan teman tidur,” lanjut Shanaya, suaranya dingin. “Nanti kalau udah bosan, kamu cuma akan jadi sampah.”

Malika terdiam, terpancing emosi. Tapi Shanaya tak memberi celah.

“Aku mungkin cuma teman tidurnya sekarang,” sahut Malika akhirnya. “Tapi sebentar lagi, aku yang akan menggantikan kamu.”

Shanaya mengangguk pelan. “Kamu tahu, aku baru sadar, ternyata ada juga ya perempuan yang rela jual harga diri demi posisi.”

Reno menyela, “Shanaya, sudah aku tandatangani semua. Ada lagi?”

Shanaya memeriksa halaman terakhir. Tanda tangan Reno jelas terlihat. Ia menarik napas panjang.

“Tidak ada lagi. Terima kasih, Pak Reno,” ucapnya pelan, lalu membalikkan badan.

Tapi Malika belum selesai. Ia berdiri di hadapan Shanaya, menghadangnya.

“Bu Shanaya, saya tahu hari ini peringatan pernikahan Ibu dan Pak Reno. Tapi, mohon tidak mengganggu urusan kantor hanya karena sedang sensitif.”

Shanaya menatapnya sebentar. Ia hampir lupa… atau tepatnya memilih untuk lupa. Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka. Ironis.

“Benar juga. Aku hampir lupa. Mungkin karena terlalu sibuk mengurus pekerjaan. Lagipula, hari ini juga tak terlalu penting,” jawabnya santai.

Reno mendongak, tajam menatapnya. “Shanaya, kamu sengaja berkata begitu?”

Shanaya menatapnya balik, tenang. "Tidak, Pak Reno. Aku sungguh lupa."

Rahang Reno menegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Ini nggak masuk akal. Shanaya yang biasanya detail banget, hafal semua tanggal penting sekarang bilang lupa hari pernikahan mereka? Mustahil. Reno tahu betul, perempuan itu mencintainya. Dalam. Terlalu dalam.

Atau... ini gara-gara Malika?

Reno melirik ke arah wanita di sebelahnya. Dalam hati, dia memang pernah berpikir Shanaya butuh sedikit “kompetisi”. Seseorang yang bisa bikin dia takut kehilangan. Biar balik lagi. Biar lebih butuh. Lebih bergantung. Karena, sejujurnya, Reno yakin Shanaya nggak akan pernah benar-benar pergi.

Ia menghela napas, lalu berkata dengan suara yang dibuat seramah mungkin. "Shanaya, aku tahu kamu iri pada Malika. Dia sekarang sering menemani aku bertemu klien, tapi kamu juga tahu alasannya. Aku hanya ingin dia cepat belajar, jadi sekretaris yang bisa diandalkan. Jangan terlalu baper, ya."

Shanaya terkekeh pelan, tawanya singkat tapi penuh makna. Ia menatap Reno dalam-dalam. "Iri? Tidak, Pak Reno. Saya hanya prihatin... karena Anda mulai menukar kualitas dengan kenyamanan sesaat."

Bab 2

Reno menatap Shanaya tajam. Matanya menyipit, nadanya meninggi. “Shanaya, maksudmu apa?”

Shanaya tidak gentar. Tatapannya tetap tenang, terlalu tenang malah, dan itu membuat Reno semakin gelisah.

“Tidak ada, Pak Reno. Anda benar. Malika memang harus belajar lebih giat supaya bisa jadi sekretaris yang bisa diandalkan,” jawabnya datar.

Suasana di ruangan itu langsung kaku. Malika yang berdiri canggung di tengah-tengah mereka buru-buru bicara.

“Itu salah saya, Pak. Saya memang masih banyak kurangnya. Saya harus belajar lebih keras.”

Reno menoleh pada Malika. Mata gadis itu tampak sedih, dan itu cukup membuat hatinya melunak. Ia mendekat, lembut. Malika bukan sekadar karyawan baru. Dia putri dari keluarga Qorita, klien besar yang menopang salah satu lini bisnis penting Reno. Tapi lebih dari itu, kehadiran Malika membuat Reno merasa dibutuhkan dan Malika bisa memenuhi kebutuhan pribadinya.

“Malika, kamu nggak perlu merasa rendah. Semua orang butuh waktu untuk berkembang. Kamu bisa, asal terus belajar.”

Shanaya menghela napas. Kalimat itu, kalimat yang dulu pernah ia ucapkan saat Reno nyaris tumbang karena masalah pribadi dan perusahaan kini diucapkan Reno untuk wanita lain. Di depannya. Penuh kelembutan yang pernah hanya ia rasakan sendiri.

Belum cukup sampai di situ, Reno malah berbalik dan menunjuk Shanaya.

“Kamu juga, Shanaya! Jangan terus merasa paling benar. Aku tahu kamu selalu tampil sempurna, tapi jangan pakai itu buat menjatuhkan orang lain.”

Shanaya mengerjap. “Menjatuhkan?” Ia tak percaya dengan tuduhan itu. “Pak Reno, sepertinya Anda salah paham. Saya—”

“Pak Reno,” potong Malika pelan. “Bu Shanaya tidak salah kok. Mungkin Anda cuma salah menangkap maksudnya. Beliau memang tegas, tapi saya tahu niatnya baik. Dia ingin menyemangati saya, walau cara penyampaiannya terdengar agak tajam.”

Malika melirik Shanaya dengan senyum tipis, seolah menyodorkan panggung.

“Benar, Bu Shanaya?”

Shanaya hanya tersenyum kecil. Bukan karena tersentuh, tapi karena geli. Sungguh kekanak-kanakan.

“Kamu dengar itu, Shanaya? Malika saja bisa berpikir positif. Jangan terlalu keras,” Reno menambahkan, nadanya seolah merasa menang.

Shanaya menatap keduanya bergantian. Kalau bukan karena harga diri, dia sudah menepuk tangan sekarang. Dua pemeran utama dalam drama murahan yang pura-pura saling mendukung, tapi ujungnya sama, menjatuhkan dirinya.

“Baik, Pak Reno. Saya salah. Saya akan belajar lebih bijak, supaya Pak Reno tak perlu repot-repot lagi mengingatkan saya,” balasnya dengan senyum tipis.

Reno diam. Ada yang ganjil. Shanaya terlalu kalem. Bukan seperti biasanya yang pasti akan membalas. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, semuanya berubah.

Shanaya berjalan pelan ke arah Malika. Namun entah kenapa, tiba-tiba tubuh Malika terdorong. Ia kehilangan keseimbangan. Reno refleks maju menolong Malika, tapi gerakannya malah mengenai Shanaya hingga wanita itu terhempas ke dinding.

Brak!

Shanaya jatuh. Darah mengalir dari pelipisnya.

“Shanaya!” Reno panik. “Aku… aku nggak sengaja!”

Tapi langkahnya tertahan oleh suara Malika yang meringis, “Pak Reno, kakiku, sakit. Mungkin terkilir...”

Reno ragu sesaat, lalu berlutut di sisi Malika. Tangannya sigap memeriksa pergelangan kaki wanita itu.

Shanaya menyaksikan semuanya. Tak ada yang datang ke arahnya. Tak ada tangan yang mengusap lukanya. Tak ada suara panik yang menyebut namanya. Dulu, Reno akan langsung memeluknya kalau ia terluka sedikit saja. Sekarang? Bahkan darah pun tak cukup untuk membuat pria itu menoleh.

“Shanaya, aku nggak nyangka kamu bisa serendah ini. Main kasar segala. Urus aja dirimu sendiri!” hardik Reno tajam.

Dengan satu gerakan tegas, Reno mengangkat Malika dalam pelukannya. Melewati Shanaya begitu saja. Seolah dirinya bukan siapa-siapa.

Saat melewati pintu, Malika menoleh. Senyumnya tipis. Bibirnya bergerak perlahan, tanpa suara.

Aku menang.

Shanaya balas tersenyum miris. “Ambil saja sampah itu. Aku juga sudah tak ingin menampungnya,” gumamnya pelan. Ia mengambil dokumen di meja, merapikannya dengan tenang, lalu melangkah keluar. Tanpa menoleh.

***

Shanaya akhirnya ke rumah sakit juga. Untungnya, masih ada satu sahabat yang setia nemenin. Hidup di Jakarta sebagai menantu yang gak pernah diterima bikin perempuan 27 tahun itu merasa kayak yatim piatu. Bukan karena gak punya orang tua, mereka masih ada, tinggal di luar kota, dan hampir tiap hari tanya kabar. Tapi Shanaya gak pernah bisa cerita apa-apa. Tugasnya cuma satu, kelihatan baik-baik saja dan pastikan uang tetap dikirim tiap bulan.

Itulah sumber keributan utama antara Shanaya dan mertuanya, Bu Astuti. Buat Astuti, Shanaya harusnya udah berhenti mikirin keluarganya sendiri dan fokus ke keluarga barunya. Tapi Shanaya gak bisa. Selama masih bisa bantu, dia bakal terus bantu. Orang tuanya udah jungkir balik biar dia bisa kuliah. Gak bisa dilupain gitu aja.

Wina memperhatikan dahi Shanaya yang kini terlihat memar, ia sedikit menyentuh luka itu dengan lembut, meskipun sentuhan itu lembut tetap membuat Shanaya meringis kesakitan.

“Gila tuh Reno, Sha. Udah lah, ceraiin aja. Masih berharap apa sih dari dia?” ucap Wina sambil nyilangin tangan di dada, wajahnya penuh amarah.

Sejak Reno ketahuan selingkuh, Wina gak pernah capek nyuruh Shanaya buat pisah. Tapi Shanaya masih bertahan, masih percaya sama janji lama mereka, janji seratus kesempatan.

“Sisa tujuh lagi, Win. Aku masih sabar. Tapi jangan anggap aku bodoh. Tanda tangannya udah di tangan,” ucap Shanaya pelan tapi mantap.

Wina melongo, kaget setengah mati. “Tanda tangan… surat cerai?”

“Bukan cuma itu. Surat resign juga. Aku mau benar-benar bebas, Win.”

Wina mandangin sahabatnya lama, lalu angkat tangan ke atas, seolah bersyukur banget. “Ya Tuhan, makasih. Akhirnya sahabatku sadar juga.”

Wajah Wina yang semringah bikin Shanaya ikut senyum, tapi cuma sebentar. Di balik senyum itu, muncul resah baru. Setelah ini, dia harus cari kerja. Dan di negara ini, cari kerja gak semudah itu. Bahkan buat lulusan terbaik sekalipun. Apalagi kalau gak punya nama besar di belakang.

“Kok mukamu tiba-tiba sedih gitu?” tanya Wina, curiga.

“Gak apa-apa,” jawab Shanaya sambil menarik napas panjang. “Cuma kepikiran, harus mulai dari nol lagi. Cari kerja baru. Gak tahu deh, ada perusahaan yang mau nerima aku atau enggak.”

Wina langsung menjitak pelan kepala Shanaya, lalu nyubit pipinya gemas. “Kamu tuh ya, rendah hati banget. Kamu itu sekretaris top di kantornya si brengsek itu. Begitu orang-orang denger kamu resign, percaya deh, bakal banyak yang ngantri ngajak kerja bareng.”

Belum sempat Shanaya jawab, tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang mereka.

“Resign? Cari kerja? Maksudnya apa?”

Shanaya dan Wina langsung noleh. Reno berdiri gak jauh dari mereka, wajahnya bingung, penuh tanda tanya. Ternyata dia denger cukup banyak buat bikin suasana langsung tegang.

Bab 3

“Wina cuma cerita soal temennya yang kerja jadi sekretaris. Sakit hati sama bosnya, terus mutusin buat resign,” ucap Shanaya cepat. Nadanya dibuat santai, walau jantungnya berdebar kencang.

Dia tahu banget gimana Reno. Pria yang cuma setahun lebih tua darinya itu bukan tipe yang gampang melepas sesuatu, apalagi kalau itu menyangkut dirinya. Selama semuanya belum benar-benar selesai, Shanaya nggak mau Reno curiga.

Wina sempat mau jujur, tapi tatapan tajam Shanaya sukses menghentikannya. Dia pun memilih menyindir sebagai pelampiasan.

“Iya... soalnya bosnya sekarang udah punya ‘mainan’ baru buat di ranjang. Makanya dia mundur,” sindir Wina sambil menatap Reno tajam.

Reno, yang cukup peka, langsung tersinggung. Dia melotot ke arah Shanaya, suaranya naik.

“Daripada nyebarin gosip nggak jelas, mending pulang sekarang!”

“Aku masih nunggu dipanggil buat diperiksa. Siapa tahu gegar otak. Kamu gak mau dilaporin KDRT, kan?” sahut Shanaya, nada suaranya datar tapi tajam.

“Shanaya! Udah aku bilang tadi itu nggak sengaja! Dan semua ini juga karena kamu dorong Malika!”

Shanaya tersenyum miring. Senyum yang nyaris nggak bisa menahan luka.

“Reno, setelah lebih dari sepuluh tahun kita kenal... kamu yakin kamu masih bisa bilang kalau kamu benar-benar ngerti aku?”

“Justru karena aku ngerti kamu, makanya aku peringatin. Cemburu boleh, tapi jangan sampai nyakitin orang lain.”

Shanaya menarik napas dalam.

“Kalau gitu, copot aja tuh CCTV di ruang kerja kamu. Nggak ada gunanya. Karena sekuat apa pun aku jaga sikap, di mata kamu aku selalu salah. Gila sih, setelah sepuluh tahun bareng kamu, cuma butuh sebulan buat kamu berpaling.”

“Shanaya! Aku lagi ngomongin sikap kamu. Coba deh belajar nerima kritik. Jangan asal lempar isu ke sana-sini!”

Wina, yang dari tadi udah panas, akhirnya berdiri dan nyela.

“Sha, udah giliran kamu buat periksa. Katanya dokternya cakep banget, lho. Sekali-sekali cuci mata lah, biar gak stres terus.”

Ucapan Wina sukses bikin Reno makin naik darah. Di pikirannya, cuma dia yang boleh ‘main-main’. Lelaki, menurutnya, wajar cari suasana baru, apalagi kalau udah punya jabatan dan duit. Tapi Shanaya? Harus tetap setia, jadi tempat pulang, nggak punya hak buat merasa atau berpikir yang sama.

“Wina! Shanaya itu cinta sama aku! Jangan ngajarin dia jadi cewek murahan yang gampang selingkuh!”

Wina melirik Reno dengan tatapan sinis, lalu tertawa pendek, pahit, tapi anggun.

“Lucu ya, kamu ngomong gitu padahal yang pertama kali nginjak garis batas kamu sendiri.”

Shanaya menunduk. Dia nggak sanggup lagi menatap Reno. Jijik. Reno tahu perasaannya, tapi kenapa malah ngejelek-jelekin dan nggak pernah hargai cinta itu? Yang dia mau, Shanaya tetap tinggal saat disayang, tapi siap dibuang saat bosan.

Wina menarik napas, lalu menatap Shanaya lembut. “Yuk, Sha. Dokternya nunggu. Daripada kamu duduk di sini terus dengerin ceramah kesetiaan dari orang yang bahkan gak bisa setia sama komitmennya sendiri.”

Saat Shanaya berdiri, Reno panik. Dia buru-buru buka suara.

“Shanaya! Aku udah bilang, antara aku dan Malika nggak ada apa-apa! Kenapa sih kamu selalu curiga? Aku cinta banget sama kamu!”

Langkah Shanaya terhenti. Dia berbalik, menatap Reno dengan mata berkaca.

“Kalau kamu emang cinta sama aku, seharusnya kamu lihat aku sekarang. Tanyain keadaanku. Minta maaf karena udah dorong aku tadi. Percaya sama aku. Atau setidaknya bilang kalau kamu bakal cari tahu dulu sebelum nuduh yang nggak-nggak. Tapi yang kamu lakuin malah kebalikannya semua.”

Kata-kata Shanaya seperti tamparan keras buat Reno. Baru kali ini dia benar-benar terdiam, terpaku menatap mata istrinya yang penuh luka. Perlahan, dia mendekat. Suaranya mengecil, terdengar menyesal.

“Sayang, maaf... Tadi aku emosi. Aku nggak mikir. Aku keburu nurutin ego aku.”

Reno refleks ingin meraih Shanaya, tapi perempuan itu langsung menghindar.

“Sayang, kartu itu… masih berlaku, kan? Aku mohon, beri aku kesempatan. Apalagi ini hari peringatan pernikahan kita.”

Shanaya terdiam. Sebagian hatinya ingin bilang tidak. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa. Luka di hatinya baru saja terbuka lebar, tapi tetap ia tekan rapat-rapat.

“Kamu yakin mau pakai kartu itu sekarang?” tanyanya pelan.

“Yakin. Aku nyesel. Aku mau benerin semuanya. Tolong, kasih aku kesempatan.”

Shanaya membuka tas, mengeluarkan kartu kecil simbol 'kesempatan kedua' yang selama ini disimpan dan dibawa kemana-mana. Ia tunjukkan ke Reno… lalu mematahkannya tepat di depan wajah pria itu.

“Kesempatan ini udah kamu ambil. Jadi tolong, tepati omonganmu. Jangan pernah diungkit lagi.”

Kartu itu bukan sekadar benda. Itu janji. Dan sekarang, hanya tersisa enam.

Reno mengangguk cepat. “Iya, sayang. Aku janji. Sekarang kita pulang, ya. Aku panggil dokter buat periksa kamu di rumah. Gak perlu masuk ke ruangan itu. Dan bilangin ke sahabatmu itu… suruh pulang aja.”

Melihat Shanaya mengangguk pelan, Reno tersenyum menang. Ia sempat melirik ke arah Wina dengan tatapan sinis, seolah berkata, Lihat? Kamu cuma sahabat. Gak bisa ubah keputusan istriku.

Wina menggigit bibir, menahan emosi. Tapi saat Shanaya menatapnya, memohon diam-diam, ia menarik napas panjang. Kecewa.

“Sha, kamu…” bisiknya lirih.

“Sekali ini aja. Oke?” jawab Shanaya pelan.

Padahal, ini bukan kali pertama. Bukan yang kedua. Mungkin udah puluhan kali Shanaya bilang “sekali ini aja” tiap kali Reno minta Wina menjauh.

Wina hanya diam. Tatapannya menusuk Shanaya, marah, kecewa, tapi yang paling kentara, pasrah.

Ia menarik napas dalam, menelan semua yang ingin ia teriakkan. Tapi melihat wajah Shanaya yang lelah, penuh luka yang belum sempat sembuh, ia tahu percuma memaksa.

“Baiklah.” Wina mengangguk pelan. “Kalau kamu butuh seseorang, kamu tahu harus cari siapa.”

Tanpa melirik Reno, Wina berbalik dan pergi. Membawa amarahnya, tapi juga cinta yang tulus untuk sahabatnya.

Reno lalu merangkul bahu Shanaya, lembut. Seolah pelukannya bisa menambal luka yang baru ia buka sendiri.

“Ayo pulang,” bisiknya. Shanaya tidak menjawab.

Langkah mereka hening. Tapi bukan hening yang nyaman. Ini hening yang dipenuhi janji semu dan luka yang makin dalam. Reno masih punya enam kartu tersisa. Tapi di hati Shanaya, rasa cintanya mulai patah satu per satu—seperti kartu yang barusan ia remukkan.

“Kita rayakan hari jadi kita di rumah, ya? Aku mau masak makanan kesukaan kamu,” ucap Reno, mencoba terdengar hangat.

Shanaya hanya mengangguk pelan. Tanpa senyum. Tanpa binar di mata.

Tiba-tiba, ponsel Reno berdering. Ia melirik sekilas—Malika. Dibiarkan. Tapi tak lama kemudian, deringnya kembali. Lalu berbunyi lagi. Dan lagi.

“Kenapa gak diangkat?” tanya Shanaya. Suaranya tenang, tapi nadanya tajam.

“Aku udah janji dan aku mau nepatin,” jawab Reno mantap.

Namun belum sempat keheningan pulih, ponsel itu berdering lagi—nyaring, menuntut perhatian.

Shanaya menarik napas dalam. Ia tahu Reno ingin mengangkatnya. Ia tahu pria itu sedang menahan diri.

“Angkat aja. Siapa tahu penting. Mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya,” ucap Shanaya datar.

Reno tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Iya. Tadi aku suruh Malika ketemu klien. Harusnya aku yang datang. Tapi aku malah ke sini buat nemenin kamu.”

Shanaya menggigit bibir bawahnya. Ucapan Reno terdengar seperti tuduhan diam-diam. Seolah kehadirannya hari ini adalah beban, bukan prioritas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!