“Aku ingin bertemu dengan Tuan Hardin Rogers,” ucap Emilia, pada petugas pintu gerbang masuk peternakan.
“Tuan sedang keluar. Dia berangkat beberapa saat yang lalu.”
“Ke mana?” tanya Emilia tak sabar.
“Tuan Rogers memiliki banyak aktivitas penting setiap hari. Namun, aku tidak berhak tahu karena tugasku hanya menjaga pintu gerbang,” jawab sang penjaga, yang sepertinya malas meladeni Emilia.
“Tolonglah. Aku harus bertemu Tuan Rogers sekarang juga. Ini sangat penting,” desak Emilia.
Penjaga pintu gerbang mengembuskan napas pendek. “Jika kau mau, kembalilah setelah makan siang. Biasanya, Tuan Rogers sudah berada di rumah pada ____”
“Hey, Smith! Buka pintu gerbangnya!” seru seorang pria dari dalam mobil pick up.
Penjaga pintu gerbang langsung menurut dan mengabaikan Emilia, yang masih berdiri dekat pos jaga. Pria itu seperti sengaja mencari kesibukan lain.
Menyadari sikap penjaga pintu gerbang, Emilia akhirnya memutuskan pergi. Dia mengayuh sepeda melewati jalan setapak, yang membelah padang rumput hijau membentang.
Semilir angin berembus lembut menerpa paras cantik Emilia. Begitu juga dengan cahaya mentari yang terasa hangat. Namun, sepasang mata hijau zamrud wanita 25 tahun tersebut menggambarkan sesuatu yang sebaliknya, yaitu keresahan karena gagal bertemu langsung dengan pemilik perkebunan, Hardin Rogers.
Sesaat kemudian, Emilia menghentikan laju sepeda ketika akan melewati pagar kayu, yang merupakan pintu masuk ke area lahan peternakan milik Hardin Rogers. “Astaga,” gumamnya, seraya mengedarkan pandangan ke sekitar, yang ditumbuhi pohon rindang.
Dari jarak beberapa meter, Emilia melihat dua pria menunggangi kuda menuju ke arahnya. Dia memicingkan mata, mencoba menerka hingga kedua pria itu mendekat.
“Minggirlah, Nona!” seru salah seorang dari kedua pria itu, seraya maju beberapa langkah.
“Aku sengaja menunggu Tuan Hardin Rogers di sni,” sahut Emilia cukup lantang.
“Untuk apa?” tanya pria itu lagi.
“Aku ingin bicara langsung dengannya,” sahut Emilia, tanpa mengubah nada bicara.
Pria yang berada di depan, menoleh kepada pria di belakangnya, barulah bergeser.
“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” Pria yang tadi di belakang, langsung maju hingga berada lebih depan dibanding pria satu lagi.
Emilia tak segera menjawab. Dia menatap lekat seseorang yang tak lain adalah Hardin Rogers, sang pemilik peternakan serta tanah ribuan hektar di desa itu.
“Pantaskah kita bicara di sini, Tuan?” Emilia tak mengalihkan perhatiannya, dari pria berkemeja putih yang masih berada di atas kuda.
“Aku tidak menerima tamu tanpa ada janji terlebih dulu,” sahut Hardin tenang, tapi penuh wibawa. Dia membalas tatapan Emilia, dari balik kacamata hitamnya.
“Aku minta maaf karena tidak membuat janji terlebih dulu. Namun, ini sangat penting karena berkaitan dengan tanah di dekat danau.”
“Tanah di dekat danau,” ulang Hardin, kemudian menoleh kepada pria di belakangnya, yang tak lain adalah Ethan Bailey, sang ajudan setia.
Ethan maju dan berhenti tepat di sebelah Hardin. "Tanah milik Nyonya Meredith Olsen yang sedang Anda incar, Tuan,” bisiknya.
Hardin mengangguk samar, lalu kembali mengarahkan perhatian kepada Emilia “Apa hubunganmu dengan Nyonya Meredith Olsen?” tanyanya.
“Aku adalah menantu Nyonya Meredith Olsen. Ibu mertuaku tidak bisa menemui Anda secara langsung. Karena itulah, aku yang mewakilinya.”
Hardin tersenyum samar. “Menantu? Baiklah. Berapa yang ibu mertuamu inginkan untuk melepas tanahnya?”
“Tidak sepeser pun, Tuan. Jadi, kupinta berhentilah mengirimkan orang untuk mengintimidasi kami,” sahut Emilia cukup tegas
Mendengar jawaban Emilia, Hardin kembali tersenyum samar. “Mengintimidasi? Yang benar saja," gumamnya.
"Datanglah besok pagi ke tempatku. Kita bisa membicarakan ini secara baik-baik.”
“Aku sudah bertemu denganmu dan menyampaikan apa yang harus kukatakan. Jadi, tidak perlu ada pertemuan lagi. Aku tahu Anda hanya ingin mempengaruhi pikiranku,,” tolak Emilia, dengan nada bicara yang tidak berubah.
Hardin menggeleng samar. “Aku hanya bermaksud menawarkan diskusi yang nyaman. Jika kau malas memenuhi ajakanku, sampaikan ini pada suamimu, Nyonya.“ Setelah berkata demikian, Hardin kembali memacu kudanya tanpa menunggu jawaban dari Emilia. Sikapnya terlihat cukup arogan dan menyebalkan.
“Keputusan kami sudah jelas, Tuan! ” seru Emilia lagi, meskipun Hardin dan Ethan sudah berlalu melewatinya.
Hardin menahan laju kudanya, lalu menoleh. “Aku juga sudah mengambil keputusan. Perundingan hanya akan terjadi, bila ada perwakilan dari Nyonya Olsen yang datang menghadap besok pagi,” balasnya cukup tegas. “Aku tidak suka pembicaraan di jalan seperti ini. Kau sangat tidak sopan.”
Setelah berkata demikian, Hardin langsung melanjutkan perjalanan pulang. Tak dipedulikannya Emilia yang masih berdiri sambil memperhatikan, hingga dia dan Ethan menjauh dari pandangan.
Berhubung urusannya dengan sang tuan tanah sekaligus pemilik peternakan telah selesai, Emilia memutuskan pergi dari sana. Dia mengayuh sepeda kembali ke rumah, yang ditempati bersama Meredith dan putri kecilnya, Blossom.
Setelah memarkirkan sepeda di depan rumah, Emilia bergegas masuk. Wanita dengan midi dress floral itu langsung menuju dapur untuk mengambil minum.
“Bagaimana? Apa kau sudah bertemu dengan Tuan Rogers?” tanya Meredith, wanita paruh baya berambut pirang dan bertubuh agak gemuk.
Emilia yang tengah meneguk segelas air putih, segera menoleh. “Aku sudah bertemu dan bicara secara langsung dengannya, Bu. Kutegaskan bahwa kau tidak akan menjual tanah, sekaligus meminta agar Tuan Rogers tak mengirimkan lagi utusannya kemari”
“Lalu, bagaimana tanggapan Tuan Rogers?”
Emilia meletakkan gelas kosong, lalu menarik satu kursi kayu dari dekat meja makan untuk Meredith, kemudian menarik satu lagi untuknya. “Pria itu sangat arogan. Apa yang kudengar dari para tetangga memang benar adanya. Tuan Rogers tidak mencerminkan watak orang-orang dari desa ini,” terang Emilia, diiringi embusan napas pelan bernada keluhan.
“Dia memang bukan warga asli desa ini. Jangan lupakan itu, Nak.”
“Oh, tentu saja. Menurutku, Tuan Rogers sangat menyebalkan dan …. Tiada kata yang pantas selain itu.”
Meredith tertawa renyah mendengar penuturan Emilia, meskipun sebenarnya tak ada yang lucu sama sekali. “Aku belum pernah bertemu secara langsung dengannya. Namun, Nyonya O’Hara mengatakan bahwa dia sangat tampan dan masih terbilang muda.”
“Oh, astaga. Nyonya O’Hara menganggap semua pria berparas tampan. Ibu tahu itu,” bantah Emilia tak setuju.
Meredith tersenyum kecil. “Yang penting, kau sudah bicara langsung dengannya. Semoga Tuan Rogers tidak memaksakan kehendak, atas tanah peninggalan mendiang suamiku. Bagaimanapun juga, ada banyak kenangan di sini.”
“Bu ….” Emilia menggenggam erat tangan Meredith. “Aku tidak memiliki siapa pun selain dirimu,” ucapnya lembut.
Meredith tersenyum hangat. “Kau bukan sekadar menantu, Millie. Aku ….” Dia menjeda kalimatnya karena ada ketukan cukup kencang di pintu.
“Biar kulihat.” Emilia segera memeriksa. Dia mendapati Ethan sudah berdiri di luar.
“Tuan Rogers menunggu Nyonya Olsen sore ini di kediamannya.”
“Untuk apa lagi? Aku sudah menegaskan tadi, saat bertemu langsung dengan Tuan Rogers,” tolak Emilia, yang merasa tak perlu lagi ada pertemuan untuk berunding.
“Kurasa, Tuan Rogers ingin memberikan penawaran menarik untuk Nyonya Olsen,” jelas Ethan sopan.
“Maaf, tapi aku sangat sibuk dan tidak bisa memenuhi undangan Tuan Rogers,” tolak Emilia lagi. Nada bicaranya terdengar sopan, tetapi menyiratkan ketegasan.
Ethan menggumam pelan. Pria dengan rentang usia sekitar 30-35 tahun tersebut berpikir sejenak, sebelum menanggapi ucapan Emilia. “Tuan Rogers mengundang Nyonya Meredith Olsen, bukan kau.”
“Ibu mertuaku sedang kurang sehat. Aku tidak akan membiarkannya datang ke manapun, apalagi untuk menemui Tuan Rogers. Aku tidak mau dia mengintimidasi ibu mertuaku dengan mudah,” tegas Emilia segera.
“Astaga. Bagaimana bisa kau berpikir Tuan Rogers akan melakukan intimidasi terhadap ibu mertuamu? Jika dia seperti itu, pasti sudah dilakukan dari semenjak beberapa hari yang lalu. Kenyataannya, Tuan Rogers melakukan pendekatan secara baik-baik,” sanggah Ethan, tetap dengan nada bicara yang cukup sopan.
Namun, itu tak akan membuat Emilia lengah. Dia tidak bisa diperdaya oleh sikap manis ajudan setia Hardin, yang pasti hanya terlihat baik di luar. “Pergilah dan sampaikan apa yang kukatakan tadi pada Tuan Hardin Rogers. Aku punya banyak pekerjaan. Jadi, tidak bisa berbincang terlalu lama.” Emilia mengarahkan tangan ke pintu pagar pekarangan yang tidak tertutup rapat, mempersilakan Ethan agar segera pergi.
Tak ada yang bisa Ethan lakukan lagi di sana. Dia tidak ingin memaksakan kehendak, berhubung kedatangannya hanya untuk menyampaikan pesan dari sang majikan.
Sepeninggal Ethan, Emilia segera menutup pintu, lalu kembali ke dapur. Dia harus menyiapkan masakan untuk makan siang.
“Ajudan Tuan Rogers,” ucap Emilia, saat mendapati Meredith sudah berdiri di ambang pintu dapur.
“Aku mendengar semua perbincangan kalian,” ucap Meredith, seraya berjalan ke hadapan Emilia. “Tuan Rogers pasti akan melakukan segala cara, agar bisa mendapatkan tanah ini,” resahnya.
“Jangan cemas, Bu. Aku juga akan melakukan segala cara, agar dia tidak berhasil mendapatkannya.” Emilia tersenyum hangat, berusaha meyakinkan Meredith supaya tidak khawatir.
Keluhan pelan meluncur dari bibir Meredith. Wanita paruh baya itu melihat jam dinding, yang sudah menunjukkan angka sebelas lebih beberapa menit. “Bee masih berada di rumah Allyson. Sebaiknya, kau jemput dia sekarang. Nyonya Randolph tidak akan suka, jika putrimu bermain di sana terlalu lama.”
"Aku akan memasak sepulang dari menjemput Blossom," ucap Emilia, sebelum berlalu dari hadapan Meredith.
Sepeninggal Emilia, Meredith termenung seorang diri. Ditatapnya foto berukuran 16R, yang dipajang di dinding. Foto itu memperlihatkan dirinya dengan mendiang sang suami dan dua putra kecil mereka, yang salah satunya menjadi suami Emilia.
“Kau sangat beruntung karena memiliki istri sebaik Emilia. Kau membawakanku anak perempuan yang sangat istimewa. Terima kasih, Grayson.” Meredith bicara sendiri, lalu tersenyum kelu. Tanpa terasa, air mata menetes, membasahi pipi dan sudut bibir.
“Granny!” Suara Blossom terdengar cukup nyaring, memanggil sang nenek. Gadis kecil itu berjalan sambil melompat-lompat kecil ketika memasuki rumah. “Apa yang sedang kau lakukan, Granny?” tanyanya polos, seraya melipat kedua tangan di pangkuan Meredith.
“Aku sedang menunggumu pulang, Sayang. Kau bermain terlalu lama di rumah Ally. Aku jadi kesepian karenanya,” jawab Meredith lembut dan penuh kasih.
Senyum manis Blossom terkembang sempurna, memperlihatkan celah di antara gigi susunya. “Aku menyayangimu, Granny. Aku ingin menemanimu bermain, tapi sudah waktunya memasak untuk makan siang,” celoteh gadis kecil berambut cokelat terang itu, menggemaskan
“Kau ingin membantu ibumu, Sayang?” tanya Meredith.
Blossom mengangguk tegas.
“Kalau begitu jangan banyak bicara, Bee. Ayo, ikuti aku,” ajak Emilia, yang melintas di sebelah Meredith dan Blossom.
Tanpa banyak bicara, Blossom langsung mengikuti sang ibunda menuju dapur. Sayup-sayup, terdengar obrolan ringannya dengan Emilia. Blossom bertanya banyak hal, yang membuat sang ibunda kewalahan dalam memberikan jawaban.
Suasana seperti itu merupakan hiburan yang sangat berarti bagi Meredith dan membuatnya betah berada di rumah sepanjang hari, meski tanpa melakukan pekerjaan yang berarti.
Sementara itu, Ethan langsung menghadap Hardin setelah tiba di Rogers Farm. Kebetulan, dia bertemu sang majikan yang baru kembali dari kandang kuda.
“Bagaimana?” tanya Hardin, sambil melangkah gagah menyusuri lorong cukup panjang menuju bangunan utama.
“Wanita itu menolak memenuhi undangan Anda, Tuan. Dia juga mengatakan bahwa Nyonya Meredith Olsen sedang kurang sehat, jadi tidak bisa pergi keluar rumah,” lapor Ethan apa adanya.
“Apa kau bertemu langsung dengan Nyonya Meredith Olsen?” Hardin menoleh sekilas, sebelum kembali mengarahkan pandangan ke depan.
“Tidak, Tuan. Aku bahkan tidak dipersilakan masuk dan hanya berdiri di depan pintu,” terang Ethan, yang berjalan sedikit di belakang Hardin. “Tugasku hanya menyampaikan pesan. Bukankah begitu, Tuan?”
Hardin langsung menghentikan langkah, lalu menoleh. Ditatapnya sang ajudan dengan sorot aneh. Sesaat kemudian, pemilik tanah seluas ribuan hektar di desa itu mengembuskan napas pendek. “Apa saja yang dikatakan menantu Nyonya Meredith Olsen?”
“Seperti yang kukatakan tadi, Tuan. Dia menolak datang kemari, dengan alasan sangat sibuk sehingga tidak bisa mewakili ibu mertuanya.”
“Astaga. Sombong sekali wanita itu,” gumam Hardin, diiringi decakan kesal. Dia melihat sekitar sambil bertolak pinggang, seakan tengah mencari keberadaan seseorang. “Apakah Albert sudah datang?” tanyanya.
“Aku belum melihatnya, Tuan,” jawab Ethan sopan.
“Ke mana dia?”
“Mungkin sedang mengurusi tanah di dekat milik Nyonya Meredith Olsen.”
Hardin tidak menanggapi, terlebih karena orang yang dimaksud akhirnya muncul.
Albert langsung menghadap Hardin, dengan sikapnya yang terlihat begitu sopan dan hormat. “Maaf terlambat, Tuan”
“Ikuti aku.” Hardin berbalik, kemudian melanjutkan langkah menuju ruang kerja dengan diikuti kedua pegawainya.
“Bagaimana?” tanya Hardin, setelah duduk di belakang meja kerjanya. Dia menunggu jawaban Albert sambil membakar cerutu.
“Ada beberapa informasi yang kudapat tentang wanita itu, Tuan,” jawab Albert, yang berdiri di depan meja kerja Hardin.
“Wanita yang mana?” Ethan menatap penasaran kepada Albert, lalu beralih pada Hardin. Pria berambut gelap itu tersenyum simpul. “Apakah ada seseorang yang ____”
“Aku menyuruh Albert mencari informasi tentang menantu Nyonya Meredith Olsen,” sela Hardin, setelah mengepulkan asap dari cerutu yang diisapnya.
Mendengar itu, Ethan langsung menautkan alis. “Kenapa Anda begitu penasaran, Tuan?” Nada pertanyaanya cukup aneh, seakan mencurigai sesuatu dari sang majikan.
“Aku hanya penasaran,” jawab Hardin singkat, seakan tak ingin memberikan penjelasan lebih pada Ethan. Dia bahkan langsung mengalihkan perhatian kepada Albert “Ada sesuatu yang menarik?"
Albert berdehem pelan, sebelum menjawab pertanyan Hardin. “Namanya Emilia Patricia Parker. Berasal dari Yorkshire. Dia adalah janda satu anak.”
“Hm.” Hanya itu tanggapan dari Hardin, setelah mendengar penuturan Albert. Dia mengisap, lalu mengepulkan asap cerutu sambil menatap aneh. “Kau boleh pergi.”
Albert mengangguk sopan, sebelum berbalik meninggalkan ruang kerja.
Sepeninggal Albert, Hardin langsung mengalihkan perhatian kepada Ethan. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Hardin memahami makna dari tatapan sang ajudan.
Keesokan harinya
Hardin pergi berkuda, ketika mentari sudah menampakkan sinarnya. Dia terlihat begitu gagah dalam balutan kemeja putih berlapis rompi hitam, yang dipadukan dengan celana jeans dan topi pet warna senada.
Pagi itu, Hardin pergi tanpa ditemani Ethan. Tidak biasanya, sang pemilik Rogers Farm tersebut berkeliling sendirian. Mungkin karena tempat yang hendak dituju adalah kediaman Meredith Olsen.
Dari jarak beberapa meter sebelum tiba di depan rumah Meredith, Hardin sudah memelankan laju kudanya. Terlebih, saat melihat gadis kecil sedang bermain di halaman. Gadis kecil itu adalah Blossom.
Tanpa turun dari kuda, Hardin memperhatikan Blossom yang tengah asyik bermain tanah. Di dekatnya, ada beberapa mainan khas anak perempuan yang berserakan.
Beberapa saat kemudian, Emilia muncul dari pintu samping dengan membawa keranjang berisi cucian yang hendak dijemur. Namun, pandangannya lebih dulu tertuju kepada Hardin, yang berada di luar halaman.
“Cuci tanganmu, lalu masuklah, Bee,” suruh Emilia cukup nyaring.
“Aku masih ingin bermain, Bu,” tolak Blossom tak kalah nyaring.
“Lanjutkan saja nanti. Granny membuatkanmu jus apel yang sangat enak,” bujuk Emilia, seraya berjalan mendekat kepada sang putri. Dia membantu membereskan mainan yang berserakan.
“Ayolah, Bu,” protes Blossom, tak setuju mainannya dibereskan sang ibunda.
Emilia mengembuskan napas pelan, lalu kembali berdiri. Dia menoleh sekilas kepada Hardin, sebelum bersikap tak peduli dan melanjutkan niat untuk menjemur baju.
Melihat sikap yang ditunjukkan Emilia, membuat Hardin menautkan alis. Dia mengarahkan kuda ke pinggir halaman, di mana ibunda Blossom itu berada.
“Selamat pagi, Nyonya,” sapa Hardin sopan dan penuh wibawa, setelah turun dari kuda. Dia berdiri di luar pagar, menatap lurus kepada Emilia yang tengah menjemur baju.
“Selamat pagi. Ada yang bisa kubantu, Tuan?” Emilia menghentikan aktivitasnya, lalu menatap Hardin penuh selidik.
“Apakah gadis kecil itu putrimu?” tanya Hardin basa-basi.
“Ya,” jawab Emilia singkat, seraya melanjutkan pekerjaan.
Hardin tak langsung bicara. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, pada pemandangan yang sangat indah dan memanjakan mata.
“Kau tahu, Nyonya. Sebagian besar wilayah ini sudah kubeli. Hanya tanah milik Nyonya Meredith Olsen yang belum menemukan kata sepakat. Sebenarnya, kita bisa bekerja sama dan membuat urusan ini jadi lebih mudah,” ucap Hardin tenang.
“Kau kemari hanya untuk mengatakan itu, Tuan Rogers?” Emilia yang sudah selesai menjemur baju, mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada Hardin.
“Aku tidak punya alasan lain untuk menemuimu, Nyonya.” Hardin menatap penuh arti, lalu tersenyum samar.
“Kau sudah tahu seperti apa keputusan kami,” balas Emilia, tetap pada pendiriannya.
“Kita bisa melakukan tawar-menawar lagi. Tanah ini akan kuhargai lebih tinggi dari yang lain,” bujuk manis Hardin.
Emilia tersenyum kecil, lalu mendekat ke hadapan Hardin. Mereka hanya terhalang oleh pagar kayu setinggi perut. “Kau sudah melakukan pembebasan tanah dari beberapa warga di sini. Kenapa masih memaksa ibu mertuaku agar ikut menjual tanahnya?”
“Sebenarnya, tanah Nyonya Meredith lah yang benar-benar kuinginkan. Aku punya rencana bagus untuk memajukan perekonomian di desa ini. Jadi, tolong bekerja samalah,” bujuk Hardin lagi, berusaha tetap sabar menghadapi Emilia.
Seulas senyuman kembali terlukis di bibir Emilia. “Maafkan aku, Tuan Rogers. Kau berasal dari kota besar. Kami tidak tahu seberapa tulus niatmu untuk memajukan perekonomian desa ini. Sejujurnya, aku tidak terlalu yakin, berhubung kau adalah pengusaha yang pasti mementingkan keuntungan pribadi.”
Bukannya tersinggung dengan ucapan Emilia yang terkesan agak ketus, Hardin justru menanggapi dengan senyum kecil. Sedikit demi sedikit, dia mempelajari karakter wanita di hadapannya, dari cara bicara serta luapan emosi yang terlihat.
“Maaf, Nyonya. Kudengar kau seorang janda,” ucap Hardin, yang membuat raut wajah Emilia tiba-tiba berubah tegang.
“Siapa yang mengatakan itu padamu, Tuan Rogers?” Emilia menatap tajam pria di hadapannya.
“Telingaku ada di mana-mana, Nyonya. Namun, tidak penting berita itu kudapatkan dari mana.”
“Kau mengawasiku, Tuan?” Suara Emilia terdengar cukup pelan, tetapi penuh penekanan.
“Satu hal yang diperlukan dalam berdiskusi adalah mengetahui siapa lawan bicaramu. Begitu, kan?”
Emilia tidak menjawab. Namun, sorot mata wanita 25 tahun tersebut telah mewakili segalanya.
“Aku akan menawarkan kesepakatan, Nyonya.”
“Bukankah kau mengatakan tidak suka membahas sesuatu dengan cara seperti ini? Tidak sopan."
“Kau tidak mempersilakanku masuk, Nyonya.”
Emilia kembali tidak menjawab. Rasa tak nyaman mulai menyeruak hebat. Terlebih karena sejak tadi Hardin tak mengalihkan pandangan sehingga membuatnya risi.
Demi mengurangi sedikit perasaan tak nyaman itu, Emilia mengalihkan perhatian kepada Blossom, yang sejak tadi bermain tanah. “Apa kau sudah selesai, Bee?” tanyanya, dengan ekor mata yang sesekali melirik ke arah Hardin.
Blossom menoleh, lalu tersenyum sambil memperlihatkan kedua tangannya yang kotor. “Aku menemukan cacing, Bu,” sahut gadis kecil berambut cokelat terang tersebut, kemudian menunjukkan cacing yang dimaksud kepada Emilia.
“Astaga! Kau jorok sekali.”
“Siapa nama putrimu?” tanya Hardin, yang ikut memperhatikan Blossom.
“Blossom,” jawab Emilia, setengah bergumam. Sesaat kemudian, wanita itu tersadar dan langsung menoleh kepada Hardin. “Jangan ganggu putriku,” tukasnya.
“Astaga. Apa maksudmu, Nyonya? Kau pikir aku akan melukai putrimu? Aku bukan penjahat,” balas Hardin, dengan ekspresi tak mengerti. “Aku sangat bersimpati karena kau bisa membesarkan anak seorang diri ___”
“Apa maksudmu, Tuan Rogers?” sergah Emilia, meskipun dengan suara cukup pelan.
“Kau seorang ibu tunggal.” Hardin memperjelas ucapannya.
“Aku masih bersuami!” bantah Emilia tegas.
“Kalau begitu, aku ingin bicara dengan suamimu. Perbincangan antara pria dengan pria akan jauh lebih baik,” ucap Hardin tenang, seakan sengaja memancing Emilia, yang justru terlihat sebaliknya. “Maafkan aku, Nyonya. Namun, aku tidak menemukan titik temu saat berbicara denganmu.”
“Bukan tidak ada titik temu, Tuan Rogers. Aku sudah menegaskan sejak awal. Namun, kau sendiri yang tetap memaksakan kehendak untuk memiliki tanah ibu mertuaku. Jadi, kau sendiri yang aneh dan …. Ya, Tuhan. Ini masih pagi dan aku sudah dibuat kesal olehmu,” gerutu Emilia pelan.
Hardin tidak membalas ucapan Emilia dengan umpatan atau kemarahan. Dia justru tersenyum simpul. Terlebih, saat Blossom tiba-tiba menghampirinya.
“Ini, Paman. Namanya Stacey,” ucap Blossom, seraya menyodorkan cacing yang dibawanya kepada Hardin. "Jagalah dia untukku."
“Bagaimana kau bisa tahu cacing ini betina?”
“Dia bergerak seperti ibuku ketika sedang mandi,” celetuk Blossom polos.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!