NovelToon NovelToon

Perindu Senja

Metal bukan Sembarang Bocah

Di pesisir pantai laut Merah tepatnya di Flobamora bagian timur Nusantara, seorang Pemuda duduk bersila di atas luasnya rangkaian pasir yang terukir dari derasnya ombak yang berdesir. Tatapannya tertuju pada langit yang jauh di ufuk barat dan di tiap-tiap kedipan matanya menyimpan tanya yang dalam seakan ingin bertanya pada langit tentang sebuah jawaban yang ada di hadapannya.

Langit yang indah diisi lautan cahaya, berseri mengisi seluruh hamparan laut Merah. Namun di balik indahnya lembayung, sentuhan halus suara gemuruh dan pancaran kilat yang sehalus sutra terus mengusik langit.

'Indah namun aneh,' benaknya dengan lirikan mata yang masih saja tertuju pada senja, "Siapa itu!" sontak nya kaget ketika mendengar lantunan suara yang memanggil namanya.

Pemuda itu tak lain adalah Metal. Dia seorang pendatang dari generasi ke empat yang mengadu nasib di kota Flobamora. Ayahnya telah tiada, entah ada di mana. Ia tak tahu, walaupun itu hanya seutas mimpi pengantar tidur.

"Hai, ngapain kamu di sini?" tanya salah seorang gadis yang berparas cantik layaknya bidadari melangkah anggun menghampiri Metal seraya mengangkat lembut tangannya yang seputih salju.

Gadis itu mengulurkan tangannya yang terkepal menyisakan jari telunjuk perlahan menyentuh bibir Metal, seakan-akan memberi sebuah isyarat agar dia tetap diam.

'Ada apa dengannya? Aku yang dari tadi di sini saja tidak melihat sesuatu yang mencurigakan,' batin Metal penuh tanya di hadapkan pada gadis secantik bidadari, yang sejatinya tidak dia kenal.

Raut wajah Metal dipenuhi kerumitan yang mendalam. Tatapan penuh tanyanya terus mengitari sekitar, mencari jawab dari isyarat tubuh yang hampir membuatnya tak berdaya di hadapkan pada sentuhan yang sedingin salju. Namun dia tak menemukan sesuatu yang ganjal.

Selang beberapa saat dia terpaku menatap gadis itu dalam diam. Sosok yang anggun mengenakan gaun biru berenda kini terbaring indah menutupi butir-butir pasir. Bola matanya yang sebiru langit terus membawa cumbu di bawah tatapan yang tak pernah kedip dari waktu ke waktu.

"Indah, bukan?" tanya gadis itu.

Metal memejamkan matanya sesaat. Merasakan hembusan angin yang sejuk seakan surga hanya ada untuk saat ini, "Senja itu indah jikalau ada kamu," jawabnya.

Ketika matanya terbuka suasana di sekitarnya sungguh jauh berbeda. Langit tampaknya tidak bersahabat dipenuhi gumpalan-gumpalan awan putih kusam membumbung tinggi memenuhi jagad raya. Sedangkan dirinya terbaring tak berdaya menatapi langit-langit tempat tongkrongan yang jauh dari rumahnya.

"Ah, ini...." gumam Metal tak percaya seraya bangkit menyaksikan pemandangan yang tidak lazim lagi baginya.

Selang beberapa saat terdengar suara sayat yang memekakkan telinga membuatnya tertuju mencari asal suara yang dibungkus penuh dendam.

"Bu, bu. Lihat itu anak Elena," pinta Leni warga setempat hendak menunjuk ke arah Metal.

"Pantesan, ibunya juga demikian,” sambung Risa dengan sorotan mata yang sangat tajam.

Hinaan dari sekelompok Ibu-ibu ini membuatnya geram, seakan dendam yang terus mengusik jiwa ini tak mampu lagi dibendung, mengingat reputasi Ibunya terus tercoreng dari waktu ke waktu.

"Bu, permisi ya. Kalian boleh-boleh saja menilai aku seenaknya. Tapi tidak dengan ibuku. Sebelum menyebut namanya, lihatlah diri kalian terlebih dahulu," tegur Metal di bungkus senyuman jahat.

"Anak kecil, jangan engkau berlaga seperti malaikat. Hari ini saja kau tidak ke Gereja."

\=> Pola pikir [Fakta.]

Gereja merupakan tempat ibadah orang kristen. Dalam seminggu hanya satu kali saja mereka menunaikan ibadah (Jikalau di daerah-daerah terpencil yang minim akan Imam.), maka dari itu orang-orang yang tidak suka ke Gereja selalu saja mendapatkan teguran. Namun ada sebagian orang menyepelekan hal-hal baik ketika pulang dari tempat ibadah.

Mereka berpikir, jikalau mereka ke Gereja maka dosa yang selama ini mereka buat bisa terampuni oleh yang Maha Kuasa. Tetapi tindakan mereka justru sebaliknya. Sebab ketika pulang dari tempat ibadah, mereka melakukan hal-hal yang tidak baik.

[\=> Opini. Pemanis kisah.

Sedangkan Ibu-ibu yang lain memberikan dorongan kepada Risa karena dia adalah orang terpandang di kampung ini. Walaupun perkataannya salah tetap saja mereka mendukungnya.]

Kampung ini sangatlah rukun. Tetapi masih juga terdapat kejanggalan seperti beberapa orang ini yang selalu saja memanfaatkan keadaan untuk menekan seseorang.

Jikalau seseorang yang sangat berada atau berkecukupan, maka orang tersebut selalu dijunjung tinggi. Demikian pula sebaliknya, keluarga yang kualitas ekonominya rendah kadang kala mendapat tekanan.

Jari-jemari Metal terkepal erat. Sorotan mata yang menyimpan dendam tertuju secara bergantian menatapi mereka semuanya. Dirinya yang lugu juga penyabar seakan memberontak di atas hinaan yang kerap kali di peruntukkan kepadanya.

"Bu! Saya memang begini apa adanya. Dari pada kalian! Tampang bagaikan malaikat. Tapi hati bagaikan iblis. Tiap hari kalian beribadah. Tapi sayang, hari demi hari pula Ibu nodai ibadahmu!" tegas Metal.

Seketika mereka terdiam. Tatapan yang dalam dipenuhi dendam terpancar jelas, mengukir kusam raut wajah yang mulai nampak menua. Kebencian ini mungkin tidak berarti apa-apa jikalau di hadapkan pada orang yang sejajar dengan mereka, tapi ini hanyalah seorang bocah yang berkata tentang sebuah kebenaran.

Merasa di permalukan begitu kejam dari manisnya kata-kata yang terucap dari seorang bocah. Getaran tangan Risa, dari bodohnya penilaian tanpa sebab ingin melukai Metal. Namun sebelum semuanya terlanjur berlaku, muncul sosok wanita paruh baya menatap dingin Risa, yang membuatnya mengurungkan niatnya.

"Metal. Ayo sini, Nak! Untuk apa engkau bersanding dengan mereka!" tegas wanita itu yang tak lain ialah Elena.

"Iya, Bu," sahut Metal yang masih menyimpan tanya dalam benaknya atas kehadiran ibunya.

Dengan hadirnya Elena, sontak membuat mereka semua bubar. Karena ragu dengan tindakan yang telah mereka lakukan mampu menimbulkan konflik.

“Nak, kenapa kamu membentak mereka?” tanya Elena sembari mengelus lembut kepala Metal.

"Jadi begini, Bu. Aku sangat kesal melihat tingkah laku mereka yang selalu menjelek-jelekkan kita. Ibu tidak marah, kan?" tanya Metal yang tidak berani menatap Elena.

Elusan tangan yang lembut penuh asa tiada henti membelai Metal. Tatapan Elena yang dalam penuh cinta terpancar jelas di raut wajahnya. Senyuman manis membawa kehangatan terlihat sangat indah dari waktu ke waktu.

Elena melangkah perlahan mendekati Metal yang tidak jauh darinya, "Ibu tidak marah," jawab Elena sebelum meraih pergelangan tangan Metal, "Nak, temani bunda ke rumah ibu Esi ya," pintanya.

Metal hanya mampu menganggukkan kepalanya pelan. Tatapannya sangat ceria di bawah lembutnya kasih Elena yang tak terhingga. Walaupun dirinya dengan terpaksa mengikuti ibunya, kali ini Metal benar-benar sangat senang karena Elena tidak memarahinya, lantas dia memarahi orang yang tidak sepadan dengannya.

Tempat bermain

Setelah melewati beberapa rumah yang berjejer rapi mengisi ruas jejalanan, akhirnya tibalah juga mereka di depan rumah ibu Esi.

Langkah kaki Metallo seketika terhenti. Tatapannya tertuju mengarah tepat di bawah sebuah pohon rindang yang menaungi indahnya bunga-bunga yang tumbuh sejajar menghiasi halaman rumah ibu Esi.

Di sana terlihat sosok seorang gadis yang begitu menawan hendak menikmati tiap-tiap alunan ayunan. Sorotan matanya terus mengitari beberapa bunga yang indah di hadapannya tanpa peduli dengan keadaan di sekitar.

Dia adalah Mey. Seorang gadis yang sangat ceria. Hanya saja setelah ayahnya almarhum Riantio meninggal, pola prilakunya berudah drastis dari waktu ke waktu.

"Hai Mey," sapa Metllo dengan tatapan yang sinis mengarah pada ibunya yang telah jauh mereka.

Langkah kakinya yang sayu perlahan-lahan mendekati Mey. Tatapan yang dipenuhi dengan kejahilan nampak jelas, "Rupanya dia tidak menyadari keberadaan aku," guman Metallo pelan.

Seketika Metallo tertuju berdiri dalam diam menatap Mey. Kepalan tangan yang menyisahkan jari telunjuk terus mengetuk keningnya seakan sedang mencari cara demi mengerjai sosok anggun yang ada di hadapannya.

"Hai, gadis cantik," ucap Metallo seraya meraih kedua tali ayunan.

"Siapa!" sontak Mey kaget.

"Mey, ini aku," pinta Metallo yang tak mampu menahan cumbu ketika pendangan keduanya menyatu.

Tatapan yang berbinar-binar di ikuti seyuman kecil membuatnya benar-benar tidak berdaya di hadapkan pada pesona kecantikan Mey.

"Lepaskan talinya," pinta Mey.

-----

"Esi," sapa Elena.

"Elena! Tumben kamu kemari?" tanya Esi sontak kaget dengan kehadiran ibu Elena. Dia menghela nafas panjang, sebelum memutuskan untuk sesegera mungkin menghampiri Elena dengan membawa beberapa pakaian yang baru saja di turunkannya dari jemuran, "Apa kabar Elena?" tanyanya.

"Iya, seperti biasa," jawab Elena dengan senyuman penuh makna, "Terus bagaimana keadaan kamu dan Mey?" tanyanya.

Esi hanya mampu tersenyum pahit tanpa memberikan sebuah jawaban pasti, sebelum melambaikan tangannya menarik tangan kanan Elena demi mengikutinya ke dalam dapur, "Tunggu aku di sini," pinta Esi, sebelum melangkah perlahan menuju ke kamarnya untuk menyimpan pakaian yang baru saja diangkatnya itu.

"Esi, janganlah engkau terus bersedih. Aku tahu apa yang engkau rasakan saat ini, sebab aku telah melewatinya. Esi... Hidup ini hanyalah sekedar mimpi. Derita dan hempasan yang tertanam di dalam dada mengajarkan kita untuk mengerti apa arti dari perjuangan yang sesungguhnya," guman Elena pelan.

-----

"Tangkap aku Metallo," pinta Mey.

Metallo terdiam menatap dia dengan dalam, "Jikalau engkau tidak ingin terluka, maka turunlah tanpa harus memintaku untuk meraihmu," pinta Metallo acuh tak acuh.

"Kamu sungguh sangat keras kepala," ucap Metallo denagn tatapan yang sangat tajam tertuju pada wanita yang berada di dalam pelukannya.

Tepat ketika ucapannya selesai, keduanya pun terhuyung-huyung jatuh ke tanah akibat kerasnya dorongan dari Mey.

"Mey, sakit Mey," pinta Metallo menatap tajam Mey yang berada di atasnya.

Raut wajah yang anggun secantik bidadari tersipu malu dihiasi rangkaian pola kemerahan yang memehuni pipinya. Yang hanya bisa di lakukannya ialah tertunduk tanpa mampu menatap Metallo, "Maaf ya," pinta Mey.

"Iya," jawab Metallo seraya bangkit dan mulai duduk bersila di samping kanan Mey, "Kamu tidak apa-apa, kan?" tanyanya.

"Aku baik-baik saja," jawab Mey terbata-bata.

'Berat juga ya, padahal tubuhnya sangatlah ramping," batin Metallo.

"Kamu tidak terluka, kan?" tanya Mey.

"Iya, aku baik-baik saja," jawab Metallo di bungkus seyuman tipis yang sedikit memudar.

Tidak terduga benturan yang membawa sedikit kehangatan itu terjadi membuat lengan kanan Metallo terluka.

'Ah... perih bangat,' benaknya sebelum memperhatikan tangannya.

Tetesan demi tetesan darah menembus bajunya. Rasa sakit yang membawa kepedihan mulai terasa. Namun Metallo menahannya biar terlihat dia baik-baik saja.

Aroma amis darah yang menyengat mengisi tiap-tiap hembusan nafas membuat Mey tidak sadarkan diri.

"Apa yang terjadi dengannya," guman Metallo seraya menahan indahnya tubuh Mey yang lemah lunglai tak berdaya.

"Mey... Mey... Sadar Mey," pinta Metallo penuh kepanikan.

Usaha yang di lakukannya untuk menyadarkan Mey sia-sia. Dia mencari solusi yang terbaik untuk menangani Mey tetapi tidak juga menemukannya, 'Tidak ada cara lain,' Metallo mengumpat keras dalam benaknya, serta kesal akan tindakan yang akan di ambilnya.

Dia sendiri sebenarnya ingin memanggil ibu Esi, hanya saja jarak antara dapur dan taman mereka lumayan jauh. Sehingga Metallo tidak mau meninggalkan Mey di situ sendirian, apalagi dalam keadaan yang tidak sadar.

"Ada apa dengan mereka berdua?" guman seorang gadis yang sejak tadi memperhatikan mereka di pojok kanan halaman rumah Mey.

Keberadaannya sungguh sama sekali tak diketahui oleh Metallo karena pandangannya terpele dengan beberapa bunga yang ada di lorong masuk tanaman.

Wanita itu menatap tajam ke arah keduanya.Raut wajahnya dipenuhi kebencian yang mendalam saat melihat Metallo menggendong Mey.

"Apa yang ingin di lakukannya," guman wanita itu.

'Ah... bagaimana ini?' berbagai tanya muncul dalam benaknya, "Jikalau nanti aku sedang memberikannya nafas buatan, dia tersadar dari pingsannya, bagaimana?" guman Metallo penuh tanya.

Metallo menghela nafas panjang sebelum berdiri dan mondar-mandir tak karuan di hadapan Mey yang tak sadarkan diri.

'Apa yang hendak di pikirkan Metallo?'

Berbagai tanya muncul dalam benak wanita yang berada di pojok kanan halaman rumah Mey.

Dia yang ingin menghampiri Metallo dan Mey seketika menghentikan langkahnya. Raut wajah cantiknya di poles tanya dan kebingungan. Sedangkan tatapannya yang tajam terus memperhatikan tiap-tiap tindakan yang di lakukan Metallo.

"Aku harus sesegera melakukannya sebelum orang lain mengetahui tindakanku," guman Metallo menatap dalam sosok wanita cantik yang tak sadarkan diri.

Dengan perlahan-lahan Metallo mulai duduk di samping kiri Mey. Dia terus menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang tak pernah berkedip dari waktu ke waktu, sebelum menarik nafas dalam-dalam dan menahannya.

Ketika hendak mendekatkan wajahnya arah Mey berjarak dua jari, terdengar langkah kaki yang begitu cepat mengarah kepada mereka berdua, yang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa selain mengurungkan niat baiknya.

"Metallo!"

Sebuah pukulan dadakan mendarat di pinggangnya, sehingga membuat dirinya terlempar dua langkah dari Mey.

“Kau benar-benar konyol,” geram wanita itu dengan tatapan yang jahat terhadap Metallo, sebelum mengalihkan pandangannya kepada Mey dan menunjuknya, "Kau juga sama konyolnya dengan dia...." ucapnya terhenti ketika melihat Mey yang tidak sadarkan diri.

Sorotan mata wanita itu terus bergantian dari Metallo dan Mey, "Mey, apa yang dilakukannya terhadapmu?" tanyanya.

Metallo menatap gadis itu penuh keheranan, 'Sejak kapan dia ada di sini? Jangan-jangan dia memperhatikan kami berdua sejak dari tadi," benak Metallo penuh prasangka.

"I... Indri," sapa Metallo terbata-bata, sembari memegang pinggangnya yang jadi sasaran pukulan Indri, "Lumayan sakit," sambungnya.

Nongkrong

Indri tidak lain adalah saudari sepupu Mey. Ayu parasnya yang indah dan anggun menyerupai Mey, membuat orang-orang sulit untuk membedakan keduanya jikalau di lihat dari jauh.

Sedangkan ketika mendekat, akan terlihat jelas perbedaan diantara keduanya. Sebab Mey memiliki bola mata yang berwarna biru dengan sedikit titik hitam di tengah-tengahnya. Sedangkan Indri memiliki mata layaknya manusia pada umumnya.

"Ada apa denganmu?" tanya Metallo terbata-bata.

Kedua tangan Indri terlipat erat di depan dadanya. Tatapan yang sinisnya penuh dendam mengarah tajam kepada mereka berdua secara bergantian, "Diam! Seharus aku yang memberikan pertanyaan kepadamu!" tegasnya seraya melangkah perlahan menghampiri Metallo, "Apa yang engkau lakukukan terhadapnya?" tanyanya.

Metallo terdiam. Sedikit cumbu bercampur rasa malu menghantui tiap-tiap kedipan matanya sesaat. Entah jawaban apa harus di berinya demi menutup canda yang nyata ada di hadapannya.

"Sebenarnya... Sebelum kau bertindak pikirkan terlebih dahulu, jikalau engkau tak mau pipimu menjadi bengkak akibat pukulanku!" tegas Metallo diikuti sayatan batuk yang mengganjal di tenggorokannya.

"Cih... Apa yang kau lakukakan terhadap dia?" tanya Indiri dengan acuh tak acuh.

"Kuharap engkau dapat membantu aku."

"Apa?" tanya Indri dengan raut wajah yang kebingungan.

"Engkau sendiri dapat melihat dengan mata kepalamu. Kenapa... Kenapa engkau tak mau membantuku menyadarinya. Sedangkan dirimu menghalangi aku?"

"Siapa juga yang membuatnya pingsan. Maaf... Aku tidak mau membantumu," pintanya, tersenyum lebar menatap Metallo.

Metallo menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Senyuman yang penuh maknanya melebar dengan tatapan yang dalam mengarah kepada Indiri, "Oke... Jikalau demikian, jangan sekali-kali menghalangi aku," ucapnya seraya melangkah perlahan mendekati Mey.

Lagi-lagi Metallo menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum menyentuh kedua pipi manis Mey dangan lembut. Tatapannya dalam, sejajar dengan kedua bola mata yang tertutup rapat.

Tanpa adanya peringatan, tangan lembut yang membawa sedikit kebencian lagi-lagi mendorong Metallo agar jauh dari Mey.

"Apa yang engkau mau?" tanyanya, menatap sinis Indri.

"Seharus engkau katakan dari tadi, bahwa engkau akan memberikan nafas buatan kepadanya," ucap Indri.

'Dasar... Apakah engkau berpura-pura pingsan dan ingin merasakan ciuman dari Metallo. Hm...' benak Indri, "Kamu tenang... Ada aku di sini, dan aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini."

Mendengar itu, Metallo diam sesaat tertuju menatap mereka berdua secara bergantian, "Jikalau demikian, berhentilah berbicara! Dan cepat bantu dia."

Indri menutup matanya sesaat, sebelum menghela nafas panjang dan menghembuskannya ke hidung Mey.

Indri merasa geli, dilain sisi dia juga tidak mau jikalau Metallo yang melakukannya, 'Ini anak benar-benar buat aku muak,' benak Indri.

Melihat Indri, Metallo hanya mampu tersenyum dalam diam. Dilain sisi dia sama sekali tidak menyangka Indri sangat keras kepala kepadanya.

'Dia benar-benar melakukannya,' benak Metallo.

Sudah sekali Indiri memberikan nafas buatannya kepada Mey, namun Mey juga tak sadarkan diri,

"Hoe... Mey! Bangkit Mey," ucap Indri yang telah memberikan nafas buatannya, namu Mey masih tidak sadarkan diri, "Ini semua... Ini semua gara-gara kamu," ucapnya dengan tatapan yang sangat dingin mengarah kepada Metallo.

"Baiklah... Jikalau engkau tak melakukannya lagi, maka aku sendiri yang harus menyelesaikan ini."

"Ini... Ini demi kamu, tidak akan kubiarkan," pinta Indri tergesah-gesah menarik nafas yang sedalam-dalam mungkin, dan memberikan nafas buatan sekali lagi kepada Mey.

-----

"Ah... Jam telah menunjukan pukul 5:45, tapi kenapa rumah Metal masih saja gelap."

Terlihat seorang anak laki-laki yang seumuran dengan Metallo menatap jam klasik di tangan kirinya, seraya berjalan menuju ke kediaman Metallo

Anak itu tak lain adalah keponakan Metallo. Tingkah lakunya sangat baik kepada siapapun tanpa pandang bulu, sehingga dia sangat didambakan oleh semua orang.

Dia juga merupakan seorang anak yang sangat mencintai kedamaian, dan membenci perpecahan.

Kedua orangtuanya sangat membenci Metallo dan Ibunya, tetapi tidak dengan dia. Karena baginya masalah kedua orangtuanya bukan merupakan bagian darinya. Dan yang terpenting adalah menjalani silaturahmi agar kedua orangtuanya bisa melupakan semua permasalahan yang telah berlalu.

Tingkah baik yang di tanamnya telah meluluhkan benak Ibu Elena, sehingga hampir tiap malam dia selalu bersama Metallo.

Selang beberapa saat kemudian anak itu telah tiba di depan teras rumah Metallo. Dia menghela nafas sejenak, "Metal... Metal," panggilnya, seraya memastikan keadaan di sekitar rumah Metallo.

'Hm... Rupanya mereka tidak ada di sini,' benaknya.

"Bukankah itu seragam sekolah Metal," gumannya pelan ketika sorotan matanya tertuju pada pakaian yang berada di jemuran.

Tanpa pikir panjang dia langsung berjalan menuju ke jemuran itu, sebelum menuju ke dalam dan meletakan seluruh pakaian itu di dalam kamar Metallo.

Dia kemudian menghidupkan seluruh lampu di situ, karena keadaan rumah Metallo sangat gelap.

Walaupun di luarnya terlihat masih terang, tetapi sebalik di dalamnya sangat gelap, oleh karena tidak ada satu pun jendela yang terbuka.

Setelah selesai meletakan pakaian Metallo dan Ibunya, dia kemudian menuju ke ruangan tamu untuk menunggu mereka.

Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki di samping kanan rumah Metallo, 'Siapa itu? Mungkinkah, Metal dan Ibunya,' benaknya, sembari menyimak pembicaraan kedua orang itu.

"Mereka... Apa yang mereka lakukan lagi malam ini?" gumannya.

Kedua orang itu tak lain adalah Rian dan Pram. Keduanya selalu saja membuat keonaran di kampung mereka dan juga beberapa dusun lainnya, sebab mereka berdua hampir tiap malam kecanduan mabuk.

Tiap malam selalu saja ada perkelahian antara keduanya baik itu di kampung mereka dan juga di kampung lain yang mereka singgahi.

Walaupun terbilang cukup dewasa, tetapi tingkah buruk mereka tak pernah hilang.

Tiap malam terjadi percekcokan, tetapi anehnya ketika pagi mendatang keduanya sangat akur dan begitu baik satu sama lain.

"Metal... Metal," panggil salah seorang anak bersama temannya, seraya melangkah menuju ke tempat nongkrong yang berada di depan halaman rumah Metallo.

Keponakannya yang berada di dalam rumah itu tidak menghiraukan mereka. Dia memperhatikan keduanya lewat jendela, 'Hm... Festo dan Martin. Oh... Aku tahu, tapi kenapa mereka tidak mengatakannya kepada aku," benaknya.

Festo dan Martin merupakan teman seangkatan mereka. Keduanya tinggal di tengah-tengah kampung ini, hanya saja hampir tiap malam mereka selalu nongkrong di situ.

Biasanya yang mereka lakukukan di sini ialah sekedar bergurau, dengan bermain gitar klasik milik Metallo dan ditemani merdu suara yang mereka lantunkan menemani indahnya malam.

Melihat Festo dan Martin menunggu Metallo di tempat nongkrongan. Anak itupun mulai keluar dan berdiri di depan teras rumah Metallo, "Hoe! Ngapain kalian berdua di situ?" tanyanya.

"Faelo!" ucap keduanya sontak kaget.

Festo yang berada di atas tempat duduk nongkrongan itu perlahan mulai melipat kedua kakinya. Dia kemudian memukul kedua pahanya yang seakan-akan menjadi sebuah alunan nada. Sedangkan kepalanya di condong-condongkan ke depan dan belakang, "Ngapain lagi, jikalau bukan nongkrong."

Martin menatap Faelo penuh tanya. Dia menyadarkan badannya di tiang dari pada tempat nongkrongan itu, "Biasa... Tiap malam juga begini, dimana Metal?" tanyanya.

Faelo menghela nafas panjang, sebelum memberikan penjelasan kepada mereka berdua.

"Metal tidak ada," pintanya, sebelum menjelaskan panjang lebar tetang keadaan rumah Metallo sebelum kedatangannya.

-----

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!